• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL ANALISIS WACANA KRITIS DALAM PENELITIAN SASTRA

Dalam dokumen BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS (Halaman 31-47)

A. Pendahuluan

Dalam rangka pengembangan penelitian sastra, berikut ini penulis kemukakan suatu alternatif pendekatan yang kiranya dapat dipakai menganalisis karya sastra. Meskipun Analisis Wacana Kritis relatif lama masuk ke Indonesia, tetapi cenderung dipakai dalam analisis media. Sedangkan dalam analisis sastra, Analisis Wacana Kritis belum banyak digunakan. Pengalaman peneliti menggunakan teori dan metode Analisis Wacana Kritis ini, memperoleh temuan yang sangat berharga bahwa pendekatan tersebut nampaknya dapat dipakai sebagai alternatif analisis dalam studi sastra.

Munculnya analisis wacana sebenarnya berangkat dari reaksi studi bahasa dan sastra, juga disiplin ilmu lain, terhadap stagnasi strukturalisme sepanjang abad ke-19. Paradigma dalam kurun waktu itu cenderung mereduksi subyek dan konteks sosiokultural dalam menelaah bahasa dan sastra. Teks bahasa dan sastra dikaji dalam kaitannya dengan struktur formal yang secara otonom dan stabil membangun kualitas teks tersebut. Kecenderungan ini jelas melepaskan hakikat bahasa dan sastra sebagai institusi sosial yang memiliki peran dan fungsi bagi masyarakatnya. Relasi teks dan konteks menjadi nisbi dan mewarnai setiap kajian bahasa dan sastra pada saat itu.

Analisis wacana sebagai bagian dari studi linguistik dan kebudayaan, semakin memperoleh tempatnya ketika muncul gerakan yang kemudian disebut postrukturalisme. Dalam kecenderungan studi sosial, bahasa, dan media, semenjak munculnya gerakan pemikiran yang berlabel postrukturalisme tersebut, berangkat dari asumsi bahwa bahasa dan sastra merupakan wacana praktik sosial. Wacana sebagai tataran tertinggi dari fenomena penggunaan bahasa oleh subyek, dipandang melampaui batas-batas sistem linguistik. Hal itu tidak terjadi pada era sebelumnya. Teeuw mengemukakan, penelitian terhadap aspek-aspek kemasyarakat dipicu oleh stagnasi analisis strukturalisme, analisis yang semata-mata didasarkan atas hakikat otonomi karya. Sebaliknya, karya sastra dapat dipahami secara lengkap hanya dengan mengembalikannya pada latar belakang sosial yang menghasilkannya, melalui analisis dalam kerangka penulis, pembaca, dan kenyataan.1

Postrukturalisme memang telah membuka cakrawala yang lebih luas dalam memandang wacana bahasa sebagai fenomena pemakaian bahasa. Katub-katub yang selama ini tertutup, dibuka kemungkinannya untuk mengurai aspek-aspek wacana yang lebih kaya dan membumi. Berdasarkan hakekat interdisiplin, analisis

wacana akhirnya membuka diri untuk menerima masukan dan dukungan dari pemikiran dan teori disiplin di luar kebahasaan. Teori-teoti Semiotika, strukturalisme genetik, resepsi, intertekstual, hingga dekonstruksi, sesungguhnya muncul berangkat dari cara pandang melampaui disiplin linguistik dan sastra murni yang mengungkung. Kesadaran yang terwadahi ke dalam feminisme, orientalisme, dan poskolonialisme, juga akibat gerak pemikiran yang menerabas batas secara interdisipliner itu. Studi dan analisis wacana pada akhirnya memperoleh bentuknya sebagai disiplin dengan banyak mendapatkan masukan dari para tokoh postrukturalisme.

Michel Foucault2, salah satu tokoh postrukturalis, merupakan salah satu pemikir yang memiliki peranan penting dalam menyumbangkan pemikirannya terhadap studi wacana. Foucault memandang wacana atau diskursus sebagai pembicaraan tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna, pada satu rentang historis tertentu. Wacana juga berarti sebuah mekanisme pengaturan yang bekerja sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Wacana mengisolasi, mendefinisikan, memproduksi obyek pengetahuan.3 Wacana bagi Foucault memiliki relasi dengan kekuasaan yang datangnya dari orang yang memiliki kekuasaan itu dan dari orang yang memiliki pemikiran kreatif. Mereka yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan antara kelompok orang yang mengangkat diri mereka dan mengaturnya4 Dengan demikian Foucault menempatkan wacana sebagai strategi --Foucault menyebutnya “elemen taktis”—politis dan ideologis, dalam pengertiannya yang luas, untuk mempertahankan dan membangun kekuasaan. Pandangan itulah yang menempatkan Foucault sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan teori analisis wacana.

Foucault telah memainkan peran utama dalam perkembangan analisis wacana melalui karya teoritis dan penelitian praktis. Marianne Jorgensen dan louise J. Phillips mencermati Foucault sebagai sosok yang menganut premis konstruksionis sosial umum yang menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran merupakan konstruksi kewacanaan dan rejim pengetahuan yang berbeda menentukan apa yang benar dan yang salah. Lebih lanjut dikatakan Horgensen dan louise J. Phillips, bahwa mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti konsepsi Foucault tentang wacana, yakni sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberi makna. Di sini wacana-wacana yang berbeda-beda berada secara berdampingan atau saling berjuang untuk mendapatkan hak untuk kebenaran. Batas-batas makna yang dimaksud oleh Foucault tersebut adalah bangunan ide-ide kebenaran yang diciptakan secara kewacanaan.5

Eriya to, A alisis Wa a a, Pe ga tar A alisis Teks Media Yogyakarta: LKI“, , hl .

-Mudji “utris o da He dar Putra to, Teori-Teori Ke udayaa Yogyakarta: Ka isius, , hl . .

I id., hl . .

Maria e W. Jorge se da Louise J. Phillips,A alisis Waca a, Teori da Metode Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , hl . - .

Pemikiran Foucault, dan banyak pemikir lain yang berkecenderungan memandang wacana tidak sekedar sebagai sistem linguistik, sesungguhnya berangkat dari penentangannya terhadap dominasi pemikiran sebelumnya. Dalam kerangka pemikiran semacam itu, menurut Horgensen dan louise J. Phillips bahwa bahasa tidak sekedar dipandang sebagai saluran tempat pengomunikasian informasi tentang keadaan mental utama atau perilaku atau fakta-fakta dunia ini. Sebaliknya, bahasa merupakan ”alat” yang menggerakkan, dan akibatnya menyusun, dunia sosial itu sendiri. Selain itu, bahasa juga menata hubungan-hubungan dan identitas-identitas sosial. Dalam pengertian ini, praktik kewacanaan merupakan perjuangan-perjuangan dalam upaya untuk mengubah maupun mereproduksi realitas sosial6.

Dalam perkembangan kemudian, beberapa tokoh muncul dengan membawa analisis wacana dalam perspektif yang sama, meskipun memiliki model analisis yang beragam. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew dengan pendekatan Critical Linguistik-nya; Theo van Leeuwen yang meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam suatu wacana; Sara Mils yang menitikberatkan pada wacana feminism, Teun A van Dijk dengan kognisi sosialnya; hingga Norman Fairclough dengan model perubahan sosial.7

(Darma,2009:84). Belum lagi nama-nama seperti Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang mencoba menggabungkan dua tradisi teoritis utama, yaitu Marxisme dan Strukturalisme, dalam kajian terhadap wacana dan teori penciptaan wacana.8

Berbagai tokoh dengan berbagai model dan titik pusat perhatiannya tersebut disamakan dalam paradigma yang sama, yaitu paradigma kritis.

Eriyanto mengemukakan paradigma kritis merupakan suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Wacana dengan demikian adalah suatu alat representasi di mana satu kelompok yang dominan memarginalisasikan posisi kelompok yang tidak dominan.9 Dikatakan Eriyanto, analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subyek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.10

Studi wacana berparadigma kritis disebut Critical Discours Analysis atau Analisis Wacana Kritis (AWK). Tokoh yang mengemuka dan penting dalam AWK adalah Norman Fairloug dan Teun van Dijk. Model AWK kedua tokoh ini banyak dipakai para peneliti, paling tidak di Indonesia, di berbagai disiplin seperti komunikasi, sosial, budaya, bahasa, dan pada akhirnya berkembang dalam disiplin ilmu sastra. Meskipun kehadiran AWK ke dalam studi sastra belum banyak

I id., hl . .

Yoee Aliah Dar a,A alisis Waca a Kri s Ba du g: Yra a Widya, , hl . . Maria e, op. it., hl .

Eriya to, op. i., hl . . I id., hl . .

mendapatkan respon positif, tetapi hal itu sudah dicoba dalam beberapa kajian sastra meskipun dalam skala kecil.

Analisis Wacana Kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (sebagai realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang berkecenderungan mempunyai tujuan tertentu.11 Menurut Fairclough dan Vodak, analisis wacana kritis melihat wacana --pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.12 Dengan demikian, AWK mengambil peranannya sebagai studi atas wacana, sebagaimana juga dikemukakan Fairclough13 dalam dimensi wacana sebagai teks, praktif diskursif, dan praktik sosial.

Mengikuti alur pemikiran tentang analisis wacana (kritis) di atas, dan juga kecenderungan mutakhir yang terjadi dalam studi sastra ke arah kajian kebudayaan dan cultural studies, maka metode AWK disambut baik untuk diterapkan dalam penelitian sastra. Dalam kata pengantar buku Eriyanto “Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media” (2001), Hidayat mengatakan, amatlah salah anggapan umum yang menganggap analisis wacana hanya merupakan bidang kajian bagi mereka yang berlatar belakang Ilmu komunikasi. Analisis wacana bisa menjadi kajian dalam bidang-bidang ilmu lain – khususnya dalam lingkup ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan susastra. Karakteristik CDA (Analisis Wacana Kritis) yang menekankan sifat holistik dan kontekstual, juga menjadikannya sebagai metode serta teori yang penting bagi kajian-kajian multidisiplin.14

Ratna mengemukakan, karya sastra, dengan kekayaan jenisnya, merupakan obyek studi wacana yang sangat kaya. Sebagai sistem model kedua sesudah bahasa di satu pihak, sebagai sistem komunikasi yang sangat komplek di pihak lain, wacana dan teks dapat dianalisis dari berbagai segi. Novel, melalui penyajian media yang cukup luas merupakan jenis yang paling banyak menarik minat para pemerhati wacana. Novel juga dianggap sebagai ‘tiruan’ yang paling dekat dengan dunia sosial.15

Lebih lanjut Ratna menjelaskan bahwa analisis wacana postrukturalis memahami karya sastra sebagai kebenaran-kebenaran problematik yang menunjuk pada sifat-sifat manusia secara umum, tetapi dalam struktur kategorial. Kemampuan postrukturalis yang terbesar adalah mengungkap hegemoni pengarang sebagai pembawa kebenaran tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad ke-19, menguasai analisis sastra.16 Di ujung pemikiran inilah ideologi dan praktik

Dar a, op. it., hl . . Eriya to, op. it., hl . .

Ja Blo aert da Cris Bul ae , A ual Re ie of A tropology , h p://a a ur. orpress. o , Vol. , Tahu , hala a - .

Eriya to, op. it., hl . Xiii.

Nyo a kutha Rat a,Sastra da Cultural Studies, Represe tasi Fiksi da Fakta Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , hl . .

sosial sebagai faktor pembangun karya sastra mendapatkan tempatnya dalam ranah studi sastra. Sosiologi sastra, Antropologi Sastra, Cultural Studies, kemudian berlanjut pada Analisis Wacana Kritis merambah ke dalam ilmu sastra. Dengan berbagai konsep dan cirinya, beberapa studi interdisipliner tersebut tidak menjadikan ilmu sastra semakin carut marut, sebaliknya, malah menjadi ramai dan lengkap.

Kalau selama ini AWK di Indonesia, lebih banyak digunakan untuk menganalis wacana media dalam disiplin Ilmu Komunikasi, tetapi kenyataan dan pemahaman para akademis dan ilmuwan sastra tidak bisa memungkiri, bahwa karya sastra merupakan bentuk wacana sebagai fenomena penggunaan bahasa secara kreatif dan imajinatif, dan itu membuka cakrawala ke arah analisis wacana. Di ujung lain, apabila dicermati, AWK sesungguhnya bergerak ke dalam pusaran pemikiran seperti itu. Model AWK yang dikemukakan Norman Fairclough misalnya, terbuka untuk dipakai dalam menelaah karya sastra dalam konteks perubahan masyarakat. Oleh karena itu, melihat peluang AWK dan kecenderungan mutakhir dalam studi sastra, tak ada salahnya jika menjadikan AWK menjadi salah satu alternatif menelaah karya sastra.

B. Paradigma Analisis Wacana Kritis

Seperti dialami oleh semua cabang kajian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences), pendekatan analisis wacana juga terpilah berdasarkan paradigma kajian yang mendasarinya. Menurut Mohammad A.S. Hikam, secara umum ada tiga paradigm kajian yang berkembang dan saling bersaing dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masing adalah analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacana kritisisme (critical discourse analysis).17

Bersandar pada paradigma positivisme, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Terkait dengan analisis wacana, para peneliti bahasa tidak perlu mengetahui makna-makna atau nilai subjektif yang mendasari suatu pernyataan. Analisis wacana positivistik memperhatikan dan mengutamakan pemenuhan seperangkat kaidah sintaksis dan semantik. Kebenaran semantik dan ketepatan sintaksis menjadi takaran utama dalam aliran ini. Karena itu, analisis wacana positivistik diarahkan pada penggambaran tata-aturan kalimat dan paragraf beserta kepaduan makna yang diasumsikan berlaku umum. Bagaimana kalimat yang baik harus disusun? Bagaimana paragraf yang baik harus ditulis? Bagaimana pula wacana yang baik harus dikembangkan? Bertolak dari masalah-masalah ini, kohesi dan koherensi menjadi tolok-ukur utama dalam setiap analisis wacana positivistik. Penganjur paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia sebagai subjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami terkecuali dengan memperhatikan subjek pelakunya. Subjek manusia diyakini mampu mengendalikan maksud-maksud tertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna. Dalam perspektif ini pula berkembang teori tindak tutur, serta keberlakuan kaidah-kaidah

kejasama dalam percakapan. Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkap maksud-maksud dan makna-makna tertentu dari subjek. Dalam perspektif ini, bila berkehendak memahami suatu wacana, maka tidak ada jalan masuk lain kecuali pengkaji mampu mengembangkan empati terhadap subjek pelaku wacana.

Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.

Paradigma kritisisme dalam linguistik18 memiliki pokok-pokok pikiran berikut ini. Pertama, pilihan bahasa dan kendala non-linguistik. Pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala-kendala politis, sosial, kultural, dan ideologi. Implikasinya adalah masyarakat dapat dimanipulasi dan diatur dalam aturan yang baik. Penilaian peranan dan status bawahan serta atasan dilakukan dengan system strategi-strategi social yang melibatkan aspek-aspek kekuasaan, aturan, subordinat, solidaritas, antagonism, kohesi, kesenangan, dan sebagainya, yang semuanya merupakan bagian integral dari system control masyarakat. Jadi, pilihan bahasa bukan menjadi pilihan individu, tetapi diproduksi oleh interaksi actual dan komunikatif yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis.

Kedua, teks sebagai realisasi modus wacana di mana di dalamnya terjadi lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks dihasilkan mungkin saja karya orang lain yang semuanya berakar pada kondisi social, politis, ekonomi, dan ideologis yang terletak dari control pengarangnya. Dengan demikian, kajian bahasa pada hakikatnya merupakan kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian integral dari struktur dan proses social. Kajian terhadap teks bahasa bukan hanya untuk kajian teks itu sendiri, tetapi merupakan kajian kewacanaan dengan mengikutsertakan dimensi politis, ideologis, dan cultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membangun makna melalui teks.

Ketiga, bahasa sebagai alat untuk mengkategorikan realitas kehidupan. Dalam menghadapi kehidupannya yang kompleks, manusia melakukan proses kategorisasi, sebagai strategi umum untuk mengatur dunianya. Menurut Fowler (dalam Darma,2009:46) bahasa merupakan medium efisien dalam pengkodean kateori-kategori social. Struktur bahasa yang dipilih dalam komunikasi tertentu menghasilkan jaringan makna tertentu yang mendorong kea rah perspektif yang sedang dihadirkan oleh komunikasi itu. Jaringan makna merupakan teori atau ideology penuturnya yang bukan merupakan kategori alamiah, tetapi lebih merupakan kategori cultural.

-Keempat, penyusunan teks tak lepas dari kberadaan konteks. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan teks tak lepas dari keberadaan konteks, kedua aspek ini tak dapat dipisahkan. Menurut Fowler dalam penyusunan teks tidak hanya membuat kalimat-kalimat dengan makna-makna individu yang dimilikinya serta kaidah bagi struktur-struktur ekspresi makna yang memungkinkan, tetapi teks kalimat-kalimat itu dihungkan juga satu dengan yang lainnya melalui jaringan yang kompleks dari pertalian-pertalian yang melibatkan sejumlah bagian struktur yang berbeda, seperti kata, pronominal, penghilangan sintaksis, dan sebagainya (Darma,2009:46).

Kelima, pemahaman akan keberadaan makna sosial. Halliday mengatakan bahwa bahasa memiliki fungsi pengalaman atau ideasional. Dalam hal ini ada dua pemaknaan yang dapat dimasuki penutur, yaitu makna alamiah dan makna sosial. Makna alamiah lebih bersifat universal, dalam arti semua manusia secara biologis dilengkapi alat untuk membuat diskriminasi dan klasifikasi. Sebaliknya makna social merefleksikan organisasi masyarakat dan hubungannya dengan lingkungan. Makna sosial dihasilkan dari konstruksi sosial realitas.19

Prinsip-prinsip itulah yang melandasi kajian kebahasaan sebagai kajian proses-proses komunikatif dan kultural. Cara pandang inilah yang mengarahkan analisis wacana kritis mengungkap tabir yang menyelubungi praktik-praktik sosial di balik struktur teks yang dipilih oleh pengarang. Dengan demikian, Analisis Wacana Kritis berada dalam wilayah paradigma Kritis.

C. Teori Dan Metode

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa analisis wacana yang berparadigma kritis disebut Analisis Wacana Kritis atau Critic Discourse Analilysisi. Tulisan ini akan mengemukakan salah satu model Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikemukakan Norman Fairclough. Dari beberapa model Analisis Wacana Kritis yang selama ini ada, dapat dikelompokkan ke dalam lima pendekatan.20

1. Analisis Bahasa Kritis (Critical Linguistics)

Cricitical Linguistics ini dibangun oleh sekolompok pengajar di Universitas East Anglia pada tahun 1970-an. Pendekatan wacana yang dipakai banyak dipengaruhi oleh teori sistematik tentang bahasa yang diperkenalkan oleh Halliday. Hampir mirip dengan French Discourse Analysis, Critical Linguistics

memusatkan analisis pada bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Bedanya Critical linguistics lebih konkret melihat gramatika. Inti dari gagasan

Critical Linguisticsadalah melihat bagaimana gramatica bahasa membawa posisi dan makna ideology tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai.

2. Analisis Wacana Pendekatan Prancis (French Discourse Analysis)

Dar a, I id., hl . . Eriya to, op. it., hl .

-Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh teori ideology Althuser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan pendekatan ini, bahasa dan ideology bertemu pada pemakaian bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideology. Keduanya, kata yang digunakan dan makna dari kata-kata yang menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas social berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya.

3. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)

Pendekatan social ini dikembangkan oleh pengajar di Universitas Amsterdam, Belanda, dengan tokoh utamanya Teun A. van Dijk. Dalam kurun waktu yang lama sejak 1980-an meneliti berita-berita di surat kabar Eropa terutama untuk melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van Dijk adalah pada masalah etnis, rasialisme, dan pengungsi. Pendekatan van Dijk ini disebut kognisi social karena van Dijk melihat factor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Dari analisis teks misalnya, dapat diketahui bahwa wacana cenderung memarjinalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan public. Akan tetapi, menurut van Dijk, wcana semacam ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang berpandangan cenderung memarginalkan kelompok minoritas.

4. Pendekatan Perubahan Sosial (Sosialcultural Change Approach)

Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan social. Fairclough banyak dipengaruhi oleh Foucault dan pemikiran intertekstual Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana di sini dipandang sebagai praktik social. Dengan memandang wacana sebagai praktik social, ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi social. Wacana juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas social tertentu. Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagaimana wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo dan mentransformasikannya. Dalam pendekatan inilah penelitian ini berada.

5. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approaches)

Analisis wacana ini dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Viena di bawah Ruth Wodak. Wodak dan koleganya terutama dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas. Penelitiannya terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, realism dalam media dan masyarakat kontemporer. Wacana di sini disebut historis menurut Wodak dkk., analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.

Di antara pendektan-pendekatan yang berbeda dalam AWK di atas, dapat diidentifikasi lima ciri umum, sebagaimana dikemukakan Fairclough dan Vodak.21

Lima ciri tersebut memungkinkan pendekatan-pendekatan tersebut digolongkan dalam gerakan yang sama.

1. Sifat Struktur dan Proses Kultural dan Sosial Merupakan Sebagian Linguistik Kewacanaan

Dalam dokumen BEBERAPA ALTERNATIF MODEL PENELITIAN SAS (Halaman 31-47)

Dokumen terkait