3.3 Perhitungan Harga Pokok Produksi
3.3.4 Evaluasi Perhitungan Harga Pokok Produksi
Proses produksi pada divisi garmen lokal PT Mulia Knitting Factory adalah process costing namun pencatatan dan perhitungan harga pokok produksinya tidak menurut metode process costing. Perusahaan tidak mencatat data barang dalam proses dan persediaan sehingga tidak terdapat perhitungan unit ekuivalen. Metode penentuan harga pokok produksi yang diterapkan oleh PT Mulia Knitting Factory adalah metode penentuan harga pokok produksi penuh (full costing), karena dalam menghitung harga pokok produksi, perusahaan harus memasukkan semua unsur biaya produksi yang terdiri dari bahan baku langsung, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik.
Untuk lebih memperjelas perbedaan biaya produksi menurut perusahaan dan menurut analisis penulis mengenai reklasifikasi biaya dapat dilihat pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Reklasifikasi Biaya Produksi Per Lusin Singlet Rider R123B
Keterangan Perusahaan Reklasifikasi (menurut penulis)
Bahan baku Biaya Bahan Baku
Langsung
Aksesoris Biaya Bahan Biaya Overhead Pabrik
Upah Tenaga Kerja Langsung
Listrik Biaya Overhead Pabrik
Solar/Gas Biaya Overhead Pabrik Tidak termasuk biaya produksi singlet
Pemeliharaan Biaya Overhead Pabrik
Limbah Biaya Overhead Pabrik Tidak termasuk biaya produksi singlet
Gaji dan Kesejahteraan Biaya Overhead Pabrik Penyusutan Biaya Overhead Pabrik
Biaya Lain-Lain Biaya Overhead Pabrik
Biaya Kantor Biaya Kantor Biaya Operasi
Berikut ini adalah perhitungan harga pokok produksi setelah dianalisa oleh penulis dengan laporan harga pokok produksi singlet Rider R123B yang telah ditampilkan sebelumnya :
Tabel 3.4 Laporan Harga Pokok Produksi Singlet Rider R123B Menurut Penulis
Keterangan Jumlah Pemakaian Per Lusin Biaya Per Lusin (Rp)
Total Per Lusin (Rp)
Bahan Baku 0.9 kg 62.010 55.809
Upah 4.182
Biaya Overhead Pabrik :
Aksesoris 4.528
Listrik 907
Pemeliharaan 237
Gaji dan Kesejahteraan 284
Penyusutan 947
Biaya Lain-Lain 47
Total Biaya Overhead Pabrik 6.950
Harga Pokok Produksi 66.941
Diolah oleh : Penulis
Dari data di atas, pembebanan biaya bahan baku dan tenaga kerja menurut penulis sudah tepat, sedangkan pada biaya overhead terdapat pembebanan yang kurang tepat. Hal ini dapat penulis jelaskan sebagai berikut :
a. Biaya Listrik
Biaya listrik sebesar Rp 907 per lusin dibebankan ke biaya overhead pabrik. Biaya ini adalah biaya yang digunakan untuk keperluan pabrik.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini sudah tepat karena biaya listrik yang terjadi untuk menunjang proses produksi dan bukan merupakan
b. Biaya Solar/Gas
Perusahaan membebankan biaya solar/gas sebesar Rp 1262 per lusin ke biaya overhead pabrik. Biaya solar/gas ini dikeluarkan oleh pabrik untuk divisi tekstil.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini tidak tepat karena solar/gas digunakan pada proses produksi yang lain, bukan pada proses produksi pada divisi garmen. Biaya ini harus dipindahkan dari divisi garmen lokal ke divisi tekstil. Berikut jurnal untuk perpindahan biaya :
Divisi Tekstil Rp 1.262
Divisi Garmen Lokal Rp 1.262
c. Biaya Pemeliharaan
Biaya pemeliharaan sebesar Rp 237 per lusin dibebankan pada biaya overhead pabrik. Biaya ini adalah biaya pemeliharaan mesin dan pabrik.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini sudah tepat karena pemeliharaan yang dilakukan untuk keperluan pabrik.
d. Biaya Limbah
Biaya limbah sebesar Rp 24 per lusin dibebankan pada biaya overhead pabrik. Limbah yang dimaksud disini adalah penanganan air limbah produksi tekstil.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini tidak tepat karena produksi singlet tidak berkaitan dengan air limbah produksi tekstil. Biaya ini harus dipindahkan dari divisi garmen lokal ke divisi tekstil. Berikut jurnal perpindahan biaya :
Divisi Tekstil Rp 24
Divisi Garmen Lokal Rp 24
e. Biaya Gaji dan Kesejahteraan
Perusahaan membebankan biaya gaji dan kesejahteraan sebesar Rp 284 per lusin pada biaya overhead pabrik. Biaya ini berkaitan dengan tenaga kerja tidak langsung seperti mandor dan staf bulanan sertajaminan sosial tenaga kerja pada PT Mulia Knitting Factory.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini sudah tepat karena jaminan sosial tenaga kerja juga berkaitan dengan tenaga kerja di pabrik.
f. Biaya Penyusutan
Perusahaan membebankan biaya penyusutan sebesar Rp 947 per lusin ke biaya overhead. Biaya penyusutan yang dimaksud disini adalah penyusutan mesin yang digunakan dalam proses produksi.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini sudah tepat karena biaya penyusutan mesin yang terjadi untuk menunjang proses produksi
g. Biaya Lain-lain
Perusahaan membebankan biaya lain-lain sebesar Rp 47 per lusin pada biaya overhead pabrik. Biaya lain-lain yang dimaksud adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pabrik dalam jumlah kecil.
Menurut penulis klasifikasi biaya ini sudah tepat karena merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proses produksi.
h. Biaya Kantor
Perusahaan membebankan biaya kantor sebesar 6 % dari total biaya produksi ke dalam biaya produk. Biaya kantor tersebut antara lain overhead kantor, listrik kantor, Pajak Bumi dan Bangunan, asuransi, air, gaji staf bulanan, telepon dan alat tulis kantor.
Menurut penulis, pengklasifikasian biaya ini tidak tepat karena biaya ini termasuk biaya operasi bukan biaya produksi.
Dari perhitungan harga pokok produksi dan penjelasan diatas dapat dilihat adanya perbedaan perhitungan harga pokok produksi sebelum dan sesudah reklasifikasi menurut perusahaan dan penulis. Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan adanya perbedaan antara harga pokok produksi sebelum dan sesudah reklasifikasi.
Tabel 3.5 Perhitungan Harga Pokok Produksi Per Lusin Singlet Rider R123B Sebelum dan Sesudah Reklasifikasi
Keterangan Perusahaan (Rp) Reklasifikasi (Menurut Penulis) (Rp) Selisih Bahan Baku 55.809 55.809 Aksesoris 4.528 0 4.528 Upah 4.182 4.182 Biaya Overhead Pabrik 3.708 6.950 3.242 Total 68.227 66.941 1.286 Biaya Non Manufaktur (6% dari total) 4.094 0 4.094 Harga Pokok Produksi Per Lusin
Rp 72.321 Rp 66.941 Rp 5.380
Diolah oleh : Penulis
Dari data biaya produksi diatas menunjukkan bahwa pengklasifikasian biaya produksi yang kurang tepat mengakibatkan perhitungan harga pokok produksi menjadi tidak akurat. Hal ini dapat dilihat dari total biaya produksi yang dihitung perusahaan adalah sebesar Rp 72.321 per lusin. Setelah dilakukan reklasifikasi, total biaya produksi menjadi Rp 66.941 per lusin dengan selisih sebesar Rp 5.380. Selisih ini terjadi karena perusahaan tidak membebankan aksesoris ke overhead dan membebankan biaya solar/gas pada biaya overhead pabrik. Perusahaan juga membebankan biaya operasi pada biaya produksi. Harga pokok produksi juga mempengaruhi harga jual, semakin tinggi harga pokok produksi maka semakin tinggi juga harga jual.