• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL) SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN HIDUP GLOBAL

A. Langkah Langkah Konservasi Kawasan Hutan Menurut Hukum Internasional.

9. Not Evaluated (NE; Belum Dievaluasi).

Sebuah takson dinyatakan “belum dievaluasi” ketika tidak

dievaluasi untuk kriteria-kriteria di atas.

Pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dalam UU No. 5 tahun 1990 sangat dipengaruhi oleh Strategi Konservasi Dunia IUCN. Kategorisasi Kawasan Konservasi IUCN ini lalu diadopsi di dalam UU 5 Tahun 1990, walau tidak seutuhnya. Hanya sayangnya konsep IUCN dalam membangun Kawasan Konservasi lebih banyak mengadopsi situasi di negara maju sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia.

Tabel 1.2. Perbedaan Kategori Kawasan Konservasi Menurut IUCN dan UU No. 5 Tahun 199041

IUCN UU No. 5 Tahun 1990

Strict Reserves Cagar Alam National Park Suaka Margasatwa Nature Monument Taman Nasional Species Management Taman Wisata Alam Protect Land/Sea Scapes Taman Hutan Raya Managed Resources

Sumber : Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan, 2008, hal. 39

Melalui kriteria status konservasi berdasarkan IUCN tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menyusun manajemen pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan aturan hukum masing-masing negara. Penggunaan ketentuan IUCN Red List tersebut bukan merupakan ketentuan yang mengikat bagi setiap negara di dunia dalam mengelola keanekaragaman hayatinya. Ketentuan ini hanya merupakan saran yang dapat diikuti dan diaplikasikan dalam hukum nasional masing-masing negara.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka kawasan hutan mangrove SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut termasuk dalam kategori kriteria Near Threatened atau hampir terancam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor,

41

Tim Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, 2008, Hal. 39

seperti penebangan hutan mangrove, beralihfungsinya lahan suaka margasatwa, hingga pemukiman dan persawahan. Akibatnya daya dukung lingkungan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut menjadi berkurang, sehingga menyebabkan berkurangnya populasi burung, terutama burung migran yang datang setiap tahunnya untuk berkembang biak dan mencari makan di kawasan suaka margasatwa. Tidak hanya itu, populasi hutan mangrove dalam SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut juga berkurang dan mengakibatkan percepatan erosi air laut ke daratan, yang akan mengakibatkan tenggelamnya kawasan disekitar suaka margasatwa. Berkurangnya pendapatan nelayan lokal dalam hal tangkapan ikan maupun udang juga akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Namun, jika kembali melihat ketentuan pasal 8 huruf m Perlindungan

suaka margasatwa seperti yang disebutkan dalam pasal 8 huruf m “bekerja

sama dalam penyediaan dana dan dukungan lainnya untuk konservasi in-situ yang dirumuskan dalam sub-sub ayat (a) sampai (l) di atas, terutama bagi negara-negara berkembang”. Bunyi pasal 8 huruf m ini mengandung makna bahwa dalam melindungi dan mengelola kawasan konservasi in-situ, pemerintah suatu negara dapat bekerjasama dengan pihak lain. Kerjasama ini dapat dilakukan kepada negara maju, organisasi internasional, ataupun organisasi internasional non pemerintah (international non government organization)42.

Sebagai contoh, dalam upaya pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan dan perlindungan suaka margasatwa sebagai

42

Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, 2014, Jakarta, hal. 32

kawasan konservasi, maka pada tahun 2005 diselenggarakanlah simposium

Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi dengan tugas “Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia”43

, yang didukung dan digagas oleh Program Kehutanan Multipihak (MFP Dephut-DFID) yang berkerjasama dengan 11

NGO „konservasi‟ (non governmental organization) yaitu Birdlife Indonesia, LATIN, WWF, RMI, Sylva Indonesia, PILI, Cifor, KEHATI, WARSI, ESP dan CI, serta PHKA-Dephut dan MFP-DFID. Dari kegiatan Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi ini menghasilkan perubahan dari PP No. 68 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasalan Pelestarian Alam (KPA), menjadi PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasalan Pelestarian Alam (KPA).

Melalui Pokja ini juga kemudian secara bertahap dapat merubah beberapa hal mendasar mengenai :

a. Tata kelola konservasi di Indonesia44

Governance (tata kelola pemerintahan) adalah proses penetapan, penerapan dan penegakan aturan main. Governance juga sering kali diartikan sebagai proses pengambilan keputusan dan sekaligus proses pemantauan/kontrol apakah keputusan yang diambil dilaksanakan atau tidak. Secara ringkas, good governance haruslah memuat setidaknya tiga komponen kunci: transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Dalam

43

Tim Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, 2008, hal. 24

44

konservasi SDA, paling tidak usaha penguatan Good Governance

mensyaratkan beberapa hal berikut45 :

1. Lembaga Perwakilan Rakyat yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (efective representative system and democratic decentralization) terhadap tata kelola pemerintahan di bidang konservasi SDA;

2. Pengadilan yang independen, mandiri, bersih dan professional khususnya dalam rangka penegakan hukum konservasi alam;

3. Aparatur pemerintahan (birokrasi) di sektor konservasi alam dan lingkungan hidup yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh (strong, professional and reliable bureacracy);

4. Masyarakat sipil yang peduli konservasi SDA yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol publik (strong and participatory society), dan

5. Terjadinya desentralisasi tata kelola konservasi SDA dari pusat ke tingkat kabupaten dan kota bahkan ke pemerintahan desa dan kelurahan.

b. Mengubah Paradigma Konservasi46

Dalam perkembangannya dewasa ini, telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm shift) pada bidang konservasi SDA, antara lain berupa perubahan paradigma terhadap fungsi kawasan yang dilindungi diberbagai negara, dari yang semula semata-mata kawasan perlindungan

45

Harry Alexander, Ibid, hlm. 7-9 dan Mas Achmad Santosa, Good Governance &

Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001). Berdasarkan Johanesburg‟s Plan of Implementation,

good governance sangat esensial bagi keberhasilan bagi pembangunan berkelanjutan. 46

keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial-ekonomi jangka panjang guna mendukung pembangunan yang berkesinambungan; beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah, menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle); penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up (participatory); pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local community-based), pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional- responsif–fleksibel-netral, tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan

facilitator.

Perubahan paradigma tersebut mencerminkan suatu upaya untuk mewujudkan efektifitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam, serta terpenuhi keinginan para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa adanya pihak yang dikalahkan.47

c. Menemukan Konservasi Khas Indonesia48

Konservasi khas Indonesia sudah saatnya dikembangkan. Banyak inisiatif konservasi yang telah dilakukan. Ada yang dikembangkan oleh

47

Pokja Collaborative Management, Naskah Akademis Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Bersama KSA dan KPA, 2003 . dokumen ini tidak

dipublikasi. 48

masyarakat adat sendiri. Ada pula yang dikembangkan melalui proses- proses kolaborasi dengan berbagai pihak.

Apabila dicermati, maka ada beberapa kesamaan yang bisa dijadikan sebagai ciri-ciri konservasi khas Indonesia, yaitu:

1. Konservasi khas Indonesia tidak memisahkan kawasan konservasi dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

2. Konservasi khas Indonesia adalah wujud dari pengetahuan lokal yang mementingkan keragaman dalam pengelolaannya, baik di tingkat genetik, jenis, maupun ekosistem.

3. Argumentasi pelestarian dalam konservasi khas Indonesia didasari oleh pertimbangan rasional. Semuanya ditujukan untuk pemanfaatan, tetapi bukan pemanfaatan yang rakus, namun pemanfaatan yang sesuai dengan kebutuhan serta pemanfaatan yang mempertimbangkan kepentingan generasi yang akan datang.

Konservasi khas Indonesia umumnya termasuk bagian dari sistem yang jelas dari wewenang lokal dan adat yang mengatur panen, mengawasi warga keluar masuk lahan, dan menyelesaikan perselisihan (Barber dan Churcill, 1987 dalam Barber et.al., 1997). Sistem pengelolaan sumberdaya menurut adat ini terkait erat dengan aspek-aspek lain kehidupan masyarakat, seperti hubungan keluarga dan suku dan agama (Dove, 1988 dalam Barber et.al., 1997).

Praktik Konservasi Khas di Indonesia Berdasarkan Pengetahuan Lokal.

Salah satu contoh dari konservasi sumber daya perairan berdasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat adat di Indonesia adalah mengenai kearifan lokal (Local Wisdom) Lubuk Larangan yang terdapat di Desa Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singgigi, Provinsi Riau dan Desa Rantau Pandan Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Bentuk kearifan lokal ini juga berlaku terhadap penggunaan alat tangkap yang dianggap dapat merusak ekosistem perairan dan darat disekitar kawasan Lubuk Larangan tersebut. Jenis ikan yang di budidayakan dalam sungai Lubuk Larangan dapat berupa ikan gurami

(Osphyronemus gouramy), nila (Orheochromis niloticus), barau (Hampala macrolipidota), lampam (Barbodes schwanefeii), toman (Channa micropeltes), dan baung (Mystus nemurus).

Alat tangkap yang dilarang untuk pengambilan ikan di sungai yaitu dengan mengunakan pukat panjang, tuba, racun, setrum, dan bahan-bahan kimia lainnya serta menggunakan lebih dari satu lampu (petromak). Alasanya adalah jumlah ikan yang diambil oleh seseorang akan melebihi dari kebutuhan konsumsi rumah tangga (hasil tangkapan besar). Semua ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam serta memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dalam jangka panjang. Gambaran tersebut adalah merupakan konservasi lingkungan yang berasakan kearifan lokal, secara teoritis hal ini apa yang disebut sebagai Integreted Community Development Conservation.

Tujuan masyarakat di sekitar aliran sungai singingi Desa Pangakalan Indarung sejak tahun 1982 melalui keputusan adat ninik mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai tersebut sebagai wilayah yang

terlarang untuk diambil ikannya selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah lubuk larangan. Tetapi masyarakat masih bisa menangkap ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai lubuk larangan. Adapun tujuan dari pembangunan lubuk larangan yaitu sebagai bentuk pelestarian perairan agar tidak rusak dan tidak tercemar. Secara ekologi dampak kearifan lokal lubuk larangan adalah mencegah kerusakan lingkungan sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan air serta ekosistem air.

Contoh pengetahuan lokal tentang pelestarian genetik dalam bidang pertanian yaitu seperti yang dilaporkan oleh Dolvina Damus (1992) dalam Nasution et.al., (1995). Damus melaporkan bahwa dijumpai 58 varietas padi lokal hanya di dua desa di Kecamatan Pujungan dan sebanyak 37 varietas padi lokal di Kecamatan Krayan, Kalimantan Timur. Puluhan varietas padi ini

mereka “rumat”dan “leluri”. Sebagai contoh, seorang nenek di Desa Apo Ping,

ia menanam berbagai varietas padi hanya untuk memperbarui bibitnya. Varietas padi itu ditanam bukan untuk dimakan. Setiap varietas padi mempunyai kekhasan masing-masing yang sesuai untuk ditanam di berbagai kondisi tanah basah, tanah datar, tanah kering di lereng, tanah hitam, dll.

Masyarakat Dayak di hulu Sungai Bahau yaitu Dayak Lepo‟Ke di Desa Apau

Ping mengenal penggolongan tanah sampai 16 macam.

Informasi tentang pengetahuan lokal yang terkait dengan pemanfaatan jenis tumbuhan termasuk yang banyak didokumentasikan. Nasution et.al., (1992); Nasution et.al., (1995) telah mendokumentasikan hasil-hasil Studi Etnobotani di berbagai komunitas. Tidak kurang dari 50 Studi Etnobotani telah

dicatat di dalamnya. Dari hasil Studi Etnobotani tersebut, contoh yang terkait dengan upaya pelestarian misalnya dilaporkan oleh Darnaedi (1992) yang melakukan studi terhadap tradisi pengobatan orang Sumbawa Barat Daya, Nusa Tenggara Barat. Darnaedi mengemukakan kearifan budaya orang Sumbawa Barat Daya tersirat dalam pengaturan pemanfaatan tumbuhan untuk obat antara lain dengan adanya aturan-aturan yang (a) menetapkan waktu untuk pengambilan bahan-bahan obat pada bulan Muharam, (b) tidak membuat obat jika tidak ada yang sakit, (c) adanya keyakinan bahwa semua tumbuhan bisa dijadikan sebagai obat. Contoh lain diungkap oleh Purwantoro (1992) yang memberi contoh upaya pelestarian beragam jenis tumbuhan obat melalui budidaya di pekarangan. Tidak kurang 84 jenis tumbuhan obat telah digunakan dan sebagian besar merupakan hasil budidaya.

B. Upaya Konservasi Kawasan Suaka Marga Satwa Karang Gading dan