• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Abiotik Lingkungan

Hasil pengukuran faktor fisik dan kimia perairan yang diperoleh pada stasiun penelitian di Sungai Sibiru-biru, Kecamatan Sibiru-biru, dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Nilai Faktor Fisik dan Kimia Perairan pada Masing-masing Stasiun Penelitian NO Parameter Fisik Kimia Satuan Stasiun 1 2 3 4 1 Temperatur Air oC 22o 23o 24o 24o 2 Penetrasi Cahaya M 1,3 1 0,6 0,4

3 Intensitas Cahaya Candela 212 283 260 183

4 pH Air - 8 7,8 7,3 8,3 5 DO mg/L 8 6,3 7,3 7,3 6 Kejenuhan Oksigen % 93,7 75,1 88,4 88,4 7 BOD5 mg/L 0,2 0,9 0,5 0,4 8 Kecepatan Arus m/s 1,9 1,3 1,5 0,9 9 Kadar Nitrat mg/L 0,5 0,5 0,5 0,5 10 Kadar Fospat mg/L 0,08 0,08 0,18 0,05 11 TSS mg/L 42 19 11 22 12 TDS mg/L 54 99 56 46 Keterangan :

Stasiun 1: Daerah Kontrol (Tidak ada aktifitas) Stasiun 2: Daerah Bekas Penambangan Batu Sungai Stasiun 3: Daerah Pariwisata

Stasiun 4: Daerah Persawahan.

a. Temperatur Air

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa temperatur air di stasiun penelitian berkisar antara 22oC-24oC. Temperatur tertinggi berada pada stasiun 3 (daerah pariwisata) dan stasiun 4 (daerah persawahan). Tingginya temperatur pada stasiun 3 dan 4 disebabkan oleh tingginya aktifitas masyarakat di daerah tersebut, sedangkan nilai temperatur terendah terdapat pada stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 22oC. Hal ini disebabkan oleh minimnya aktifitas masyarakat pada daerah ini, selain itu didukung juga oleh rapatnya naungan vegetasi pada pinggiran sungai yang masih baik.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga faktor naungan vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu pola temperatur juga dapat dipengaruhi oleh penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari langsung.

b. Penetrasi dan Intensitas Cahaya

Hasil pada Tabel 4.1 menunjukkan nilai penetrasi cahaya berkisar antara 0,4 - 1,3 meter. Nilai tertinggi berada pada stasiun 1 yaitu sebesar 1,3 meter, dan terendah berada pada stasiun 4 yaitu 0,4 meter. Tinggi rendahnya penetrasi cahaya dapat disebabkan oleh banyaknya bahan yang tersuspensi maupun terlarut di badan sungai tersebut sehingga menghalangi cahaya masuk ke dalam badan sungai tersebut. Faktor kedalaman sungai juga dapat mempengaruhi nilai pengukuran penetrasi cahaya.

Intensitas cahaya pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 183-283 Candela. Stasiun 2 adalah stasiun yang memiliki nilai intensitasi cahaya tertinggi yakni 283 Candela. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya pepohonan yang berada di tepi sungai, sehingga hanya sedikit badan perairan yang tertutup oleh kanopi dari vegetasi pepohonan di stasiun tersebut. Nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 183 Candela.

Menurut Taqwa (2010), luas tutupan kanopi akan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk sampai ke dasar daratan. Semakin tinggi kerapatan pepohonan semakin tebal pula tutupan kanopi, sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk semakin rendah. Intensitas cahaya yang masuk melalui kanopi pepohonan berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan memerlukan cahaya untuk proses fotosintesisnya. Oleh karena itu, intensitas cahaya matahari dalam air sangat menentukan nilai produktivitas primer perairan.

c. Derajat Keasaman (pH)

Berdasarkan Kriteria Mutu Air Kelas II PP No. 82 Tahun 2001 yaitu baku mutu pH untuk air sungai adalah 6,5-8,5. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa pH air yang terdapat pada semua stasiun penelitian di Sungai Sibiru-biru, Kecamatan Sibiru-biru masih dalam kondisi yang baik.

Nilai pH tertinggi berada pada stasiun 4 yaitu sebesar 8,3, sedangkan nilai pH terendah berada pada stasiun 3, yaitu sebesar 7,3. Tinggi rendahnya pH air pada setiap stasiun dapat disebakan oleh adanya berbagai macam aktifitas, seperti pemukiman penduduk, pariwisata, penambangan batu sungai, dan persawahan, yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang mengalami penguraian sehingga mempengaruhi nilai pH suatu perairan.

d. Oksigen Terlarut (DO)

Berdasarkan Tabel 4.1, nilai DO yang diperoleh berkisar antara 6,3 mg/L – 8 mg/L. Menurut PP no. 82 tahun 2001 tentang baku mutu air kelas II, nilai baku mutu air untuk kelarutan oksigen adalah minimal sebesar 4 mg/L. Berdasarkan baku mutu tersebut dapat disimpulkan bahwa semua stasiun penelitian memiliki kadar oksigen terlarut yang mencukupi untuk mendukung kehidupan plankton.

Besarnya nilai DO sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah suhu. Semakin tinggi suhu umumnya nilai DO akan semakin kecil. Namun berdasarkan tabel 4.1, jika dibandingkan dengan stasiun 2, pada stasiun 3 dan 4, dengan kenaikan suhu sebesar 1oC, nilai DO pada ke-2 stasiun ini justru mengalami kenaikan sebesar 1 mg/l. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya penurunan drastis nilai DO pada stsiun 2. Penurunan nilai DO ini bisa disebabkan oleh tingginya nilai BOD5 pada stasiun ini, sehingga nilai kejenuhan oksigen mengalami penurun dan menyebakan rendahnya nilai DO. Secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis, masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut.

e. Kejenuhan Oksigen

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa nilai kejenuhan oksigen tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 93,7%. Tingginya nilai kejenuhan pada stasiun ini dipengaruhi oleh tingginya nilai oksigen terlarut pada stasiun ini. Hal ini juga menggambarkan bahwa stasiun ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih rendah dari stasiun-stasiun lainnya. Nilai kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun 2, yaitu sebesar 75,1%. Hal ini disebakan oleh tingginya nilai BOD5 pada stasiun ini, yaitu sebesar 0,9 mg/l.

f. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, diperoleh nilai BOD5 pada stasiun penelitian berkisar antara 0,2 mg/L – 0,9 mg/L. Stasiun 1 merupakan daerah yang memiliki nilai BOD5 paling rendah yaitu 0,2 mg/L. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya aktifitas pada daerah tersebut yang mengakibatkan tidak banyaknya kandungan organik yang mencemari daerah ini sehingga kondisi perairan di daerah ini masih dapat ditolerir oleh organisme perairan. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 2 disebabkan oleh adanya aktifitas penambangan batu pada stasiun ini. Hal ini menyebabkan banyaknya kandungan organik dan anorganik yang masuk ke dalam perairan untuk diuraikan.

Kristanto (2004) mengemukakan bahwa BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan (limbah) di dalam air. Konsumsi oksigen tinggi ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air karena bahan buangan membutuhkan oksigen yang tinggi.

g. Kecepatan Arus

Dari Tabel 4.1 diperoleh nilai kecepatan arus berkisar antara 0,9 – 1,9 m/detik. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 (1,9 m/detik), dan terendah pada stasiun 4 (0,9 m/detik). Hal yang menyebabkan kecepatan arus pada stasiun 1 lebih tinggi adalah kedalaman daerah sungai pada stasiun 1 dan juga disebabkan oleh dawrah stasiun 1 merupakan daerah paling hulu dari semua stasiun penelitian

sehingga memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi. Jenis substrat akan mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah. Menurut Barus(2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus, karena di suatu ekosistem perairan, air sangat berfluktuasi dari periode ke periode, tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Selanjutnya, Asdak (1995) menyatakan bahwa kecepatan arus juga tergantung pada musim hujan atau kemarau, semakin tinggi arus sungai akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut.

h. Kadar Nitrat (NO3)

Berdasarkan Tabel 4.1, Kadar Nitrat (NO3) pada semua stasiun bernilai sama yaitu

0,5 mg/L. Nitrat merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan juga sumber nutrient bagi pertumbuhan plankton, tetapi dalam konsentrasi tinggi, nitrogen dapat menstimulasi pertumbuhan plankton, khususnya fitoplankton menjadi tidak terbatas. Kadar nitrat pada stasiun penelitian masih memenuhi kriteria baku mutu air, karena menurut PP No. 82 tahun 2002 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian air, nilai standar kadar nitrat adalah 10 mg/L.

Tinggi rendahnya kadar nitrat disebabkan oleh adanya pembusukan bahan-bahan organik dan banyaknya senyawa anorganik yang masuk ke badan perairan. Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak dan pemupukan. Secara alami kadar nitrat biasanya rendah namun dapat menjadi sangat tinggi dalam air tanah pada daerah yang diberi pupuk (Alaerts dan Sri, 2004).

i. Kadar Fospat

Fospat merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu ekosistem perairan dan termasuk sebagai faktor pembatas digunakan untuk mendukug pertumbuhan biota air (Supono, 2008). Berdasarkan Tabel 4.1, kadar fospat yang diperoleh pada stasiun

penelitian berkisar antara 0,05 – 0,018 mg/L. Kadar fospat tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,18 mg/L. Hal ini berkaitan dengan aktifitas yang ada pada stasiun ini, yaitu pemukiman penduduk dan daerah pariwisata. Limbah rumah tangga yang masuk ke dalam perairan dapat menyebabkan meningkatnya kadar fospat pada stasiun ini. Menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, baku mutu fospat pada badan perairan adalah sebesar 0,2 mg/L.

j. Total Suspended Solid (TSS)

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, nilai TSS di stasiun penelitian yang diperoleh berkisar antara 11 mg/L – 42 mg/L. Nilai TSS tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebsar 42 mg/L, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 3, yaitu sebesar 11 mg/L. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai TSS adalah laju aliran yang sangat deras, longsoran dari bagian tepi sungai yang membawa partikel-partikel tanah, dan membusuknya tanaman atau hewan.

TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45 m. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen (Agustira dkk, 2013).

Menurut PP No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, baku mutu Total Suspended Solid (TSS) dalam badan perairan adalah senilai 50 mg/L.

k. Total Disolved Solid (TDS)

Berdasarkan Tabel 4.1, nilai TDS yang diperoleh pada stasiun penelitian berkisar antara 46 mg/L – 99 mg/L. Stasiun 2 merupakan daerah yang memiliki nilai TDS tertinggi yaitu 99 mg/L, sedangkan stasiun 4 merupakan daerah yang memiliki nilai TDS terendah yaitu sebesar 46 mg/L. Tingginya nilai TDS di stasiun 4 disebabkan

oleh masuknya senyawa kimia yang berasal dari kegiatan pertambangan yang melampaui baku mutu yang telah ditetapkan.

Kegiatan pertambangan, mulai dari eksplorasi sampai eksploitasi dan pemanfaatannya mempunyai dampak terhadap lingkungan yang bersifat menguntungkan/positif yang ditimbulkan antara lain tersedianya aneka ragam kebutuhan manusia yang berasal dari sumber daya mineral, meningkatnya pendapatan negara. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjadinya perubahan rona lingkungan (geobiofisik dan kimia), pencemaran badan perairan, tanah dan udara, serta abrasi yang tidak tertanggulangi (Rusydi, 2014).

Total dissolved solid adalah “benda padat yang terlarut” yaitu semua mineral, garam, logam, serta kation-anion yang terlarut di air, termasuk semua yang terlarut diluar molekul air murni (H2O). Secara umum, konsentrasi benda-benda padat terlarut merupakan jumlah antara kation dan anion didalam air. TDS terukur dalam satuan parts per million (ppm) atau perbandingan rasio berat ion terhadap air. Umumnya berdasarkan definisi diatas seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2 mikrometer (Manurung et al, 2012).

Dokumen terkait