• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pandangan

3.2. Faktor Eksternal

Adapun faktor-faktor dari luar terdiri dari pengaruh-pengaruh luar lingkungan diantaranya: intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan, gerakan, dan hal-hal yang baru dan familier.20

Intensitas, semakin besar intensitas stimulus dari luar maka semakin besar pula hal-hal yang dapat dipahami. Stimulus harus cukup kuat, jika stimulusnya kurang jelas akan banyak berpengaruh dalam ketepatan pandangan.21 Misalnya, iklan televisi yang mencolok dan menghiasi gambar-gambar di televisi satu iklan yang lebih mencolok dari iklan yang lain tentu akan mendapat intensitas atau perhatian yang lebih banyak dari masyarakat.

Ukuran, faktor ini menyatakan bahwa semakin besar ukuran sesuatu objek, maka semakin besar pula dan mudah untuk dipahami atau diketahui. Misalnya, bentuk ukuran spanduk yang lebih besar akan mempengaruhi pandangan seseorang dan seseorang itu akan mudah tertarik melihat spanduk yang lebih besar ketimbang yang lebih kecil.

Keberlawanan, faktor keberlawanan ini menyatakan jika stimuli luar yang penampilannya berlawanan dengan latar belakang atau sama sekali diluar sangkaan orang banyak, akan menarik perhatian. Misalnya, seorang yang

20

Miftah Thoha, Perilaku Organisasi (Konsep Dasar dan Aplikasinya), h. 130. 21

Bimo Walgito, Psikologi Sosial(Suatu Pengantar), (Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 1999), h. 46.

bekerja setiap harinya di bengkel motor yang selalu mendengar suara mesin-mesin motor maka apabila terdapat bunyi yang berbeda dari suara motor tersebut, dengan sendirinya sang montir menangkap adanya kerusakan dari mesin motor tersebut.

Pengulangan, jika stimulus dari luar yang di ulang terus-menerus akan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan yang diulang satu kali. Misalnya, seorang dosen yang memberikan penjelasan dan pengarahan berulang-ulang kepada mahasiswanya, akan lebih mudah diingat oleh para mahasiswanya ketimbang jika sang dosen hanya memberikan satu kali pengarahan atau penjelasan saja.

Gerakan, faktor ini menyatakan bahwa orang akan lebih memberikan banyak perhatian terhadap sesuatu atau objek yang bergerak dalam pandangannya jika dibandingkan dengan objek yang diam. Misalnya, seorang dosen yang mengajar yang hanya memberikan penjelasan sambil membaca dan mahasiswa hanya mendengarkan saja akan memberikan rasa bosan dan jenuh kepada para mahasiswanya, sedangkan jika dosen memberikan cara mengajar yang berbeda, dengan diikuti gerakan fisik dan memberikan kesempatan terhadap mahasiswanya untuk berdiskusi, barangkali cara itu akan lebih menarik pandangan mahasiswanya.

Baru dan familier, faktor ini menyatakan bahwa baik situasi eksternal yang baru maupun yang sudah dikenal dapat dipergunakan sebagai penarik perhatian. Objek atau peristiwa baru dalam tatanan yang sudah dikenal dalam tatanan baru akan menarik perhatian pengamat.

Menurut Richard S Cruchfield dan David Krech yang dikutip oleh Rahadhi, selain faktor internal dan eksternal, pandangan juga ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor tersebut dapat disebut dengan faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi pandangan berasal dari kebutuhan dan pengalaman masa lalu. Pandangan tidak ditentukan oleh stimuli yang diterima melainkan pandangan ditentukan oleh karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut. Karena pandangan seseorang ditentukan oleh kondisi biologis dan sosiopsikologis.22

Sedangkan faktor-faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkan pada sistem syaraf individu. Para psikolog Gestalt seperti Kohler, Wartheimer dan Kofka yang dikutip oleh Rahadhi, merumuskan prinsip-prinsip pandangan yang bersifat struktural. Teori ini berpendapat bila kita memberikan pandangan terhadap sesuatu, kita harus memberikan pandangan atau mempersepsikannya secara keseluruhan.23 Intinya, untuk memahami seseorang kita harus melihatnya dalam lingkungannya, konteksnya dan masalah yang dihadapinya.

B. Agama

1. Pengertian Agama

Kajian tentang agama setidaknya terbagi ke dalam dua dimensi, yakni teologis dan sosiologis. Kajian agama dalam corak teologis berangkat dari adanya klaim tentang kebenaran mutlak ajaran suatu agama. Doktrin-doktrin keagamaan yang diyakini berasal

22

Rahadhi Arief Rahman, Tesis : “ Faktor-Faktor Yang Membentuk Persepsi Siswa SMU di Dki Jakarta Untuk Mempergunakan Internet Untuk Belajar”, (Jakarta : UI, 2003), h. 46-47.

23

Rahadhi Arief Rahman, Tesis : “ Faktor-Faktor Yang Membentuk Persepsi Siswa SMU Di DKI Jakarta Untuk Mempergunakan Internet Untuk Belajar”, h. 48.

dari Tuhan, kebenarannya juga diakui berada di luar jangkauan kemampuan pikiran manusia. Sementara dimensi sosiologis melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial, social institusion.24 Dengan kata lain, posisi agama dalam suatu masyarakat tidak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya, walaupun tetap mempunyai fungsi yang berbeda-beda.

Sementara para ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial.

pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N. Bellah, Thomas Luckmann dan Clifford Geertz. Sedangkan pakar teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang asasi, yaitu sesuatu yang sakral.

Dari uraian diatas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme dan lainnya.25 Kebanyakan definisi mengenai agama sangat bergantung kepada konsep ketuhanan atau hal supernatural dan spiritual.26 Secara sosiologis, dikenal paling tidak dua definisi agama. Yang pertama, dibawah pengaruh Emile Durkheim yang disebut definisi fungsional agama. Agama didefinisikan dalam pengertian peranannya dalam masyarakat, definisi fungsional agama menempatkan agama pada inti masyarakat, agama adalah bagian yang bersifat konstitutif terhadap masyarakat. Agama juga merupakan suatu dimensi permanen dari realitas.

24

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi ( Teks Pengantar dan Terapan ) (Jakarta: Kencana, 2004 ), h. 241.

25

Anis Malik Thoha, Tren Pluralis Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif. 2005), h. 13-14. 26

Yusron Razak dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Press, 2007), h. 13.

Definisi kedua diperkenalkan oleh kaum sosiolog agama. Definisi itu disebut substansif agama. Kaum sosiolog agama yang memilih definisi fungsional, tetapi bagi mereka karakteristik esensial agama berhubungan dengan dunia yang tidak tampak. Pendekatan seperti ini mengarahkan orang pada pandangan yang bersifat eksternal terhadap agama. Pendekatan seperti ini memang menyebabkan agama secara mudah dilihat sebagai primitif, ketinggalan zaman, tidak dapat dipercaya, belum dicerahkan dan aneh dalam suatu rasionalitas modern.27 menurut Elizabeth K. Nothingham, agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Agama juga senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati terhadap alam gaib dan surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian, agama bisa juga berfungsi untuk melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi masa kini.28

Dengan demikian, menurut pandangan para sosiolog, agama bisa dianggap sebagai suatu sarana kebudayaan bagi manusia dan dengan sarana itu dia mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalamannya dalam keseluruhan lingkungan hidupnya, termasuk diri sendiri, anggota kelompok, alam dan lingkungan lain yang dirasakan sebagai suatu yang transendental (tidak terjangkau penalaran manusia). Dalam lingkungan terakhir inilah pikiran, perasaan dan perbuatan manusia terhadap hal-hal yang menurut perasaannya berada diluar jangkauan pengalaman-pengalamannya sehari-hari dengan dirinya sendiri, teman-temannya dan dengan dunia nyata.29 Sedangkan Harun Nasution menyimpulkan beberapa definisi-definisi agama antara lain:

27

A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: PT. Gunung Mulia, 2006), h. 5-6. 28

Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1997), h. 3-4.

29

a) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan hubungan yang gaib yang harus dipatuhi.

b) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

c) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

d) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. e) Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib. f) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini yang bersumber

pada suatu kekuatan gaib.

g) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. h) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.30

Namun dari beberapa unsur-unsur diatas mengenai agama terdapat unsur-unsur primer penting yang secara substantif harus ada pada agama. Unsur-unsur penting tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ada empat. Pertama, kekuatan gaib yang dibutuhkan oleh manusia karena manusia merasa lemah dan berhajat kepadaNya sebagai tempat memohon pertolongan. Atas dasar itu, tidak heran manusia perlu mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Kedua, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan hidupnya diakhirat nanti tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib itu. Jika hubungan baik tersebut rusak, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari hilang. Ketiga, respon yang bersifat emosional

30

Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadist (Dirasah Islamiyah I), (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1996), h. 6-7.

dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam, misalnya: perasaan takut yang dijumpai dalam agama-agama primitif atau perasaan cinta yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Keempat, paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu. Dengan demikian, bila kita telaah lebih jauh tentang keempat unsur-unsur yang telah dijelaskan di atas, bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan agama untuk melindunginya dari rasa kecemasan dan memohon bantuan dan perlindungan kekuatan diluar dirinya.

Dokumen terkait