• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi

yang terjadi pada faktor abiotik. Adanya hubungan saling ketergantungan antara organisme-organisme dengan faktor abiotik dapat digunakan dengan mengetahui kualitas suatu perairan (Barus, 1996).

Faktor fisik perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan adalah: a. Temperatur

Temperatur merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan (Michael,

1994). Secara umum kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas fisiologis organisme (Asdak, 1995).

Menurut hukum Van’t Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10°C akan meningkatkan aktivitas fisiologis organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsentrasi oksigen meningkat dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 1996) dan organisme akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan temperatur (Odum, 1994).

Kenaikan temperatur yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan-ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992). Seperti pada ikan Nila (Oreochromis sp), dia membutuhkan temperatur optimal pada 25-30

o

C sehingga ikan Nila cocok dipelihara pada dataran tinggi dan rendah (Suyanto, 1995). Lain halnya dengan Ikan Bloater, ia hidup dan berkembang baik pada temperatur 5-10 oC (Moyle & Cech, 1988).

b. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran dari ikan pada danau. Kebanyakan danau yang hangat mengakibatkan warna air menjadi keruh sehingga ikan yang tinggal di perairan yang dalam semakin sulit di dalam menangkap mangsanya (Stickney, 1979).

Produktivitas ikan pada danau juga dipengaruhi oleh cahaya. Ikan yang aktif pada siang hari biasanya mengambil makanan pada malam hari ketika invertebrata

muncul. Jika intensitas cahaya rendah maka penglihatan mereka akan berkurang, setelah malam ikan akan beristirahat pada bagian bawah atau diantara tumbuhan akuatik, sedangkan ikan yang aktif pada malam hari akan bergerak ke perairan dangkal pada musim panas karena air dangkal lebih dingin di malam hari. Pada musim panas, ikan ditemukan pada bagian termoklin (Moyle & Cech, 1988).

Menurut Landau (1992) jika intensitas cahaya matahari menurun maka akan mempengaruhi proses fotosintesis dalam suatu perairan di mana jumlah plankton dapat mengalami penurunan sehingga mengakibatkan keterbatasan tersedianya nutrisi bagi ikan.

Intensitas cahaya matahari juga mempengaruhi produktivitas primer, apabila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air berkurang, di mana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisma (Barus, 1996).

Cahaya matahari berperan bagi kehidupan ikan melalui rantai makanan. Ikan yang mendiami daerah air yang dalam pada siang hari akan bergerak menuju ke daerah yang dangkal untuk mencari makanan dengan adanya rangsangan cahaya. Selain penting dalam membantu penglihatan, cahaya juga penting dalam metabolism ikan dan pematangan gonad (Rifai, et al., 1983).

Faktor kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan adalah: a. Dissolved Oxygen (DO)/Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari

kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan (Fardiaz, 1992).

Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan (Wardana, 1995).

Oksigen terlarut juga merupakan faktor penting dalam menetapkan kualitas air, karena air yang polusi organiknya tinggi memiliki oksigen terlarut yang sangat sedikit (Michael, 1994).

Ikan merupakan makhluk air yang memerlukan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata dan yang terkecil adalah bakteri. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 mg/l, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati (Fardiaz, 1992). Barus (1996), menyatakan bahwa kelarutan maksimum oksigen pada perairan tercapai pada temperatur 0 oC yaitu sebesar 14,16 mg/l oksigen. Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air.

Mahida (1993), mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air alamiah adalah (1) pergolakan di permukaan air, (2) luasnya daerah permukaan air yang terbuka bagi atmosfer, (3) tekanan atmosfer, dan (4) persentasi

oksigen di udara sekelilingnya. Kenaikan temperatur pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut.

Menurut Hickling dalam Asmawi (1986), bahwa bila jumlah oksigen terlarut perairan hanya 1,5 mg/l maka kecepatan makan ikan Mujair akan berkurang atau jika kadar oksigen kurang dari 1 mg/l ikan tersebut akan berhenti makan. Menurut Wardana (1995), kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/l oksigen sudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Ikan nila merah dalam kondisi oksigen terlarut sedikit di bawah normal (1 mg/l O2) masih dapat mentolerir kandungan oksigen terlarut.

b. Biochemical Oxygen Demand (BOD).

Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah bahan organik. Penguraian organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardana, 1995).

Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang akan dihabiskan selama lima hari inkubasi sudah memperlihatkan besar persentase yang cukup yaitu kurang lebih 70% dari seluruh bahan organik telah terurai (Sastrawijaya, 1991). Selanjutnya Fardiaz (1992) menyatakan bahwa air murni mempunyai nilai BOD kira-kira 1 mg/l dan air yang mempunyai nilai BOD 3 mg/l masih dianggap cukup murni.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, adanya mikroorganisme aerob yang mampu

menguraikan senyawa organik senyawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu (Barus, 2001).

c. Chemycal Oxygen Demand (COD).

COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan sacara biologis (Barus, 2004).

COD (Chemical Oxygen Demand) erat kaitannya dengan BOD. Banyak zat organik yang tidak mengalami penguraian biologi secara cepat berdasarkan pengujian BOD5 tetapi senyawa-senyawa organik itu tetap menurunkan kualitas air. Karena itu perlu diketahui konsentrasi organik dalam limbah dan setelah masuk dalam perairan. Untuk itulah tujuan diadakannya uji COD. Pengujian COD dilakukan dengan mengambil contoh dengan volume tertentu yang kemudian dipanaskan dengan larutan kalium dikromat dengan kepekatan tertentu yang jumlahnya sedikit di atas yang diperlukan. Dengan katalis asam sulfat diperlukan waktu dua jam, maka kebanyakan zat organik telah teroksidasi. Dengan penentuan jumlah kalium dikromat yang dipakai, maka COD contoh dapat dihitung. Dalam pengujian ini tiga hal yang diperhatikan:

1) Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang biasanya dapat diuraikan oleh bakteri dalam uji BOD5.

2) Zat organik yang dapat mengalami biodegradasi yang tidak dapat diuraikan oleh bakteri dalam wakru lima hari, tetapi akhirnya akan terurai dan menurunkan kualitas air.

3) Zat organik yang tidak dapat mengalami biodegradasi (Sastrawijaya, 2000). d. pH

pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman dan kebasaan (Asdak, 1995). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 1996).

Kebanyakan ikan di danau hidup pada pH 5-8,5. Pada pH di atas 8,5 dan di bawah 5 toleransi pada ikan sudah semakin berkurang (Moyle & Cech, 1988). Produksi ikan lebih tinggi di danau yang memiliki pH basa dibanding dengan pH yang asam (Stickney, 1979). Pada ikan Nila (Oreochromis nilotica), nilai pH berkisar antara 6-8,5 tetapi pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7-8 Suyanto, 1995). Reproduksi atau perkembangan ikan biasanya akan naik pada pH 6,5 walaupun hal itu tergantung juga pada jenis ikannya (Effendie, 2003).

e. Kandungan Nitrat

Amonium dan amoniak yang merupakan produk penguraian protein, sebelum masuk ke badan perairan akan semakin berkurang bila semakin jauh dari titik pembuangan yang disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme di dalam air. Mikroorganisme akan mengoksidasikan ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi (Borneff, 1982, Schwoerbel, 1987 dan 1994, Hotter, 1990 dalam Barus 2004).

Proses oksidasi amonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis-jenis bakteri seperti Nitrosomonas.

NH4+ + O2 NO2- + 4H+ + 2e (Amonium) Nitrosomonas (Nitrit) (Hidrogen)

Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri dari kelompok Nitrobacter sp akan dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrat.

NO2- + ½O2 NO3 -(Nitrit) Nitrobacter (Nitrat)

Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Sementara, nitrit merupakan senyawa toksis yang dapat mematikan organisme air. Dalam kondisi di mana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi proses kebalikan dari nitrifikasi yaitu proses denitrifikasi di mana nitrit melalui nitrat akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan

lepas ke udara atau dapat juga kembali membentuk amonium/amoniak melalui proses Amonifikasi nitrat (Barus, 2004).

f. Kandungan Fosfat

Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur penting dalam suatu ekosistem air. Zat-zat organik terutama protein mengandung gugus fosfor, misalnya ATP, yang terdapat di dalam sel makhluk hidup dan berperan penting dalam penyediaan energi. Dalam ekosistem fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme (Barus, 2004).

Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan. Reaksi ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut:

H3PO4  H+ + H2PO4-

H2PO4-  H+ + HPO4

2-HPO4-  H+ + PO43-

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk

ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Barus, 2004).

Faktor biologis perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan adalah: a. Bakteri Coli (Colifekal)

Colifekal adalah bakteri coli yang berasal dari kotoran manusia dan hewan mamalia. Bakteri ini bisa masuk keperairan bila ada buangan feses yang masuk ke dalam badan air. Kalau terdeteksi ada bakteri colifekal di dalam air maka air itu kemungkinan tercemar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber air minum (Sastrawijaya, 2000).

Pencemaran air oleh pembuangan kotoran yang belum diolah dapat ditemukan dengan menguji air tersebut untuk mengetahui adanya bakteri-bakteri berbentuk coli yang hanya ditemukan di dalam saluran pencernaan mamalia. Tidak semua bentuk coli berasal dari feses. Karena bentuk coli feses tidak tumbuh normal diluar saluran pencernaan, maka kehadiran mereka di air tanah merupakan petunjuk yang pasti dari pencemaran oleh pembuangan kotoran (Michael, 1994).

Dokumen terkait