• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu

HASIL PENELITIAN

C. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu

1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun

kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan

umur (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai median umur

pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur adalah 31

tahun, dimana umur termuda adalah 13 tahun, sedangkan umur tertua

adalah 56 tahun. Pada rentang umur tersebut pembuat tahu mengalami

kelelahan kerja bervariasi mulai dari kelelahan kerja ringan dengan waktu

reaksi 246 mili detik dan kelelahan tertinggi dengan waktu reaksi 1598

mili detik yang dialami satu orang.

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Spearman Correlations

didapatkan nilai p-value sebesar 0,00 menunjukkan bahwa umur pembuat

tahu berpengaruh terhadap kejadian kelelahan kerja. Arah korelasi umur

dengan kejadian kelelahan adalah positif dengan kekuatan korelasi yang

terjadinya kelelahan kerja. Uji statistik juga menjelaskan bahwa prediksi

peningkatan umur sebesar 31,4% untuk terjadinya kelelahan kerja pada

pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur.

Proses penuaan atau bertambahnya umur dapat menurunkan

kekuatan otot sehingga mudah mengalami kelelahan (Tarwaka, dkk, 2004,

Bridger, 2003). Fungsi faal tubuh yang dapat berubah karena faktor usia

mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Seseorang

yang berumur muda sanggup melakukan pekerjaan berat dan sebaliknya

jika seseorang berusia lanjut maka kemampuan untuk melakukan

pekerjaan berat akan menurun karena merasa cepat lelah dan tidak

bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga

mempengaruhi kinerjanya (Suma’mur, 1996).

Hasil penelitian dan teori diatas sejalan dengan hasil penelitian

kelelahan pada pekerja proyek. Kelelahan berat paling banyak dialami

oleh pekerja yang berusia diatas 37 tahun, sehingga dapat dikatakan

adanya hubungan yang bermakna antara usia pekerja dengan kelelahan

kerja (Marif, 2013).

Faktor umur mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja pembuat

tahu. Hal ini dapat terjadi karena dalam melakukan aktivitas fisik dalam

proses pembuatan tahu tidak berdasarkan umur pembuat tahu. Pembuat

membuat tahu, baik aktivitas fisik dengan beban kerja ringan, sedang

ataupun berat. Dalam hal ini, pemilik tempat pembuatan tahu tidak

membedakan pembagian kerja berdasarkan umur pekerja. Mereka

sama-sama bekerja untuk mencapai hasil produksi sesuai target yang diinginkan

berdasarkan permintaan pasar yang semakin meningkat.

Oleh sebab itu, berdasarkan teori yang dikemukaan Lerman et al

(2012) dan ILO (1998) bahwa untuk menghindari terjadinya kelelahan

kerja akibat faktor umur, pemilik tempat pembuatan tahu perlu

menyeimbangkan antara beban kerja berdasarkan umur. Hal ini

diharapkan pembuat tahu tidak mengeluhkan kegiatan yang berlebihan

saat bekerja. Penyeimbangan beban kerja yang dimaksud adalah pembuat

tahu yang berumur tua melakukan aktivitas fisik dengan beban kerja yang

ringan seperti proses perendaman, pencucian, penggilingan, pengendapan,

dan pemotongan, sedangkan pembuat tahu yang berumur muda itu

melakukan aktivitas fisik dengan beban kerja yang berat seperti proses

perebusan, pencetakan, dan penyaringan, kegiatan ini melibatkan seluruh

aktifitas tubuh karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara

menggoyang-goyangkan kain saringan, ada pula yang menginjak-injak

2. Masa Kerja

Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah

menjalani pekerjaan tersebut (Malcom, 1998 dalam Wirasati, 2003). Masa

kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun negatif.

Pengaruh positif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja maka

akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya

pengaruh negatif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja akan

menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seorang pekerja

bekerja maka semakin banyak pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan

oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai median

masa kerja pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat

Timur adalah 8 tahun, dimana masa kerja terendah adalah 1 tahun,

sedangkan masa kerja terlama adalah 41 tahun. Masa kerja yang bervariasi

tersebut membuat pembuat tahu juga mengalami kelelahan kerja yang

bervariasi mulai dari kelelahan kerja ringan dengan nilai waktu reaksi 246

mili detik dan kelelahan tertinggi yang dialami pembuat tahu 1598 mili

detik.

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Spearman Correlations

didapatkan nilai p-value sebesar 0,00 menunjukkan bahwa masa kerja

kolerasi masa kerja dengan kejadian kelelahan kerja adalah positif dengan

kekuatan korelasi yang kuat, artinya semakin bertambah lama masa kerja,

maka semakin meningkat untuk terjadinya kelelahan kerja. Uji statistik

juga menjelaskan bahwa prediksi peningkatan masa kerja sebesar 27,6%

untuk terjadinya kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan

Ciputat dan Ciputat Timur.

Beberapa teori menyatakan bahwa masa kerja dapat

mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun negatif. Namun

dalam penelitian ini masa kerja sejalan dengan teori yang mengatakan

bahwa masa kerja berpengaruh negatif yaitu adanya batas ketahanan tubuh

seseorang terhadap proses kerja yang berakibat terhadap timbulnya

kelelahan dan kebosanan. Selain itu, semakin lama seorang pekerja

bekerja maka semakin lama pula pekerja terpapar bahaya yang

ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003).

Pendapat lain menambahkan, pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu

dapat berpengaruh terhadap sistem peredaran darah, sistem pencernaan,

otot, syaraf dan sistem pernafasan (Suma’mur, 1999).

Hasil penelitian dan penjelasan teori diatas sebanding dengan hasil

penelitian kelelahan pada penjahit informal dimana ada perbedaan

kerja lebih dari 8 tahun dengan masa kerja kurang sama dengan dari 8

tahun (Umyati, 2010).

Hal ini disebabkan oleh pembuat tahu yang berumur tua, memiliki

masa kerja lama. Sebaliknya pembuat tahu yang berumur muda maka

pembuat tahu tersebut memiliki masa kerja baru. Berdasarkan hasil

penelitian pembuat tahu yang berumur tua dengan masa kerja terlama

yaitu 41 tahun mengaku menjadi pembuat tahu untuk melanjutkan usaha

keluarga secara turun temurun. Sedangkan pembuat tahu yang rata-rata

masih muda dengan masa kerja baru 1 tahun mengaku mengaku diajak

teman untuk menjadi pembuat tahu.

Oleh sebab itu, sama halnya dengan faktor umur, berdasarkan teori

yang dikemukaan Lerman et al (2012) dan ILO (1998) bahwa kelelahan

kerja akibat faktor masa kerja perlu dihindari. Hal yang bisa dilakukan

seperti pemilik tempat pembuatan tahu perlu menyeimbangkan antara

beban kerja berdasarkan masa kerja. Penyeimbangan beban kerja yang

dimaksud adalah pembuat tahu dengan masa kerja baru melakukan

aktivitas fisik dengan beban kerja yang berat seperti proses perebusan,

pencetakan, dan penyaringan, kegiatan ini melibatkan seluruh aktifitas

tubuh karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara

menggoyang-goyangkan kain saringan, ada pula yang menginjak-injak alat saringan

diharapkan pembuat tahu dengan masa kerja baru terlatih dan memiliki

motivasi untuk melakukan proses kerja lebih baik sehingga produktifitas

meningkat. Sedangkan pembuat tahu yang memiliki masa kerja lama

melakukan aktivitas fisik dengan beban kerja yang ringan seperti proses

perendaman, pencucian, penggilingan, pengendapan, dan pemotongan.

3. Status Gizi

Status gizi dapat digambarkan dengan perhitungan IMT melalui

pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dimana seorang pembuat tahu

dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan

ketahanan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah mengalami

kelelahan.

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Spearman Correlations

didapatkan nilai p-value sebesar 0,27 menunjukkan bahwa status gizi

pembuat tahu tidak berpengaruh terhadap kejadian kelelahan kerja. Arah

korelasi status gizi dengan kejadian kelelahan kerja positif dengan

kekuatan korelasi yang lemah, artinya semakin status gizi menjauhi kadar

normal (tidak normal), semakin meningkat untuk terjadinya kelelahan

kerja namun hanya sedikit. Uji statistik juga menjelaskan bahwa prediksi

peningkatan status gizi untuk terjadinya kelelahan kerja hanya 1,6% pada

Hal ini bisa terjadi karena berdasarkan hasil univariat didapatkan

hasil bahwa nilai median status gizi pembuat tahu di wilayah Kecamatan

Ciputat dan Ciputat Timur adalah 21,93 kg/m2. Jika dibandingkan dengan

standar yang diterapkan oleh Kesehatan Depkes RI Tahun 2004 status gizi

tersebut termasuk status gizi nomal, dimana pembuat tahu yang berstatus

gizi normal sebanyak 61 orang, sedangkan pembuat tahu yang berstatus

gizi tidak normal sebanyak 14 orang. Status gizi terendah adalah 17,15

kg/m2 yang dialami satu orang dimana termasuk kategori kurus,

sedangkan status gizi tertinggi adalah 32,46 kg/m2 yang dialami satu

orang dimana termasuk kategori sangat gemuk. Kecenderungan ini terjadi

dikarenakan pemilik tempat pembuatan tahu dalam pembagian kerja tidak

mempertimbangkan keadaan fisik pembuat tahu dimana mereka yang

memiliki gizi tidak normal (baik kurus maupun gemuk) mengerjakan

pekerjaan yang sama dengan mereka yang memiliki gizi normal. Sehingga

pembuat tahu tetap mengalami kelelahan kerja walaupun sebagian besar

dari mereka berstatus gizi normal.

Penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian kelelahan pada

pekerja proyek dimana pada tingkat kelelahan sedang, dari 65 pekerja

dengan status gizi normal, 25 pekerja (38,5%) mengalami kelelahan

sedang. Sedangkan dari 35 pekerja dengan status gizi tidak normal, 20

ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara status gizi dengan

kelelahan pada pekerja (Marif, 2013).

Namun, hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori yang

mengatakan bahwa seorang pekerja dengan status gizi yang baik akan

memiliki ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang lebih baik, sedangkan

seorang pekerja dengan status gizi yang tidak baik akan memiliki

ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang tidak baik juga (Budiono, dkk,

2003). Apabila dalam melakukan pekerjaan tubuh kekurangan energi baik

secara kualitatif maupun kuantitatif, kapasitas kerja akan terganggu

sehingga pekerja tidak produktif, mudah terjangkit penyakit dan

mempercepat timbulnya kelelahan (Tarwaka, dkk, 2004). Artinya bila

asupan makanan sebelum bekerja dan saat istirahat tidak sebanding

dengan kalori yang dikeluarkan selama bekerja. maka pekerja akan lebih

mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan pekerja yang asupan

makannya cukup untuk bekerja.

Dalam penelitian ini asupan kalori yang dikonsumsi pembuat tahu

sebanding dengan kalori yang dikeluarkan selama bekerja. Hal ini

dimungkinkan terjadi karena pemilik tempat pembuatan tahu juga

menyediakan meja khusus makanan dan makanan yang cukup bagi

pembuat tahu, sehingga pembuat tahu tidak perlu membeli makanan/jajan

belum tentu baik untuk tubuh mereka. Dimana gizi baik dapat membantu

pembuat tahu tetap sehat dan terhindar dari kelelahan kerja maupun risiko

kesehatan lain yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas

mereka.

4. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok adalah kegiatan yang dilakukan

berulang-ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam

satu hari. (Bustan, 2000).

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney

didapatkan nilai p-value sebesar 0,239, menunjukkan bahwa kebiasaan

merokok tidak berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja pada

pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun

2014. Hal ini berarti kelompok pembuat tahu yang memiliki kebiasaan

merokok dengan kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok

memiliki risiko yang sama untuk terjadinya kelelahan kerja.

Sedangkan berdasarkan hasil univariat didapatkan bahwa sebagian

besar pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

memiliki kebiasaan merokok yaitu sebesar 69,3% dari total sampel atau

sebanyak 52 orang. Berdasarkan wawancara dengan kuesioner, pembuat

mereka terpengaruh oleh lingkungan sekitar sehingga merokok sudah

menjadi sebuah kebiasaan. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi juga

bervariasi, namun kebanyakan pembuat tahu mengkonsumsi lebih dari 12

batang rokok perhari. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang hingga

menjadi sebuah kebiasaan.

Hasil ini sebanding dengan hasil penelitian kelelahan pada pekerja

proyek dimana diantara 37 pekerja yang tidak merokok sebesar 59,5 %

mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 63 pekerja yang merokok

sebesar 36,5% mengalami kelelahan sedang. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi rokok

dengan kelelahan pada pekerja proyek (Marif, 2013).

Namun, hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

setiap menghisap rokok, terdapat 107 radikal dalam komponen asap yang

didominasi oleh radikal oksigen, nitrit oksid, peroksil dan lain sebagainya.

Secara kimia, radikal oksigen, nitrit oksid ini akan bereaksi secara cepat

membentuk peroksilnitrit yang sangat reaktif dan akan berikatan dengan

ELF saluran napas menghasilkan ROS. Radikal semikuinon dapat

bereaksi dengan radikal oksigen untuk membentuk radikal hidroksil dan

peroksida membentuk superoksida. Radikal ini akan memicu sel untuk

menghasilkan peroksida yang secara terus menerus dan mengakibatkan

menambahkan bahwa orang yang mengkonsumsi satu pak atau lebih

rokok dalam sehari dapat menurunkan denyut jantung dua atau tiga

denyutan tiap menitnya (Hanson dan Venturelli, 1983). Asap rokok yang

beracun dan bersifat karsinogenik tersebut cenderung dapat berpengaruh

pada kemampuan fisik perokok, sehingga mudah mengalami kelelahan

(Bridger, 2003).

Teori tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada

karyawan di PT. Amoco Mitsui Indonesia menyebutkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kelelahan

yang dilihat dari kebugaran jasmani. Sebanyak 51 responden (68,9%)

dengan status perokok ringan yang mengalami kebugaran jasmani yang

baik (tidak lelah), dan sebanyak 8 responden (34,8%) dengan status

merokok berat yang mengalami kebugaran jasmani yang baik (tidak lelah)

dengan nilai p= 0,007 (Budiasih, 2011).

Dalam penelitian ini, faktor risiko kebiasaan rokok tidak memiliki

hubungan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya

kemungkinan pembuat tahu yang tidak memiliki kebiasaan merokok

secara tidak sengaja juga terhirup asap rokok dari pembuat tahu yang

memiliki kebiasaaan merokok. Paparan asap rokok tersebut didapatkan

ditempat kerja maupun saat tidak bekerja, yaitu saat beristirahat dan saat

rumah tinggal bagi para pembuat tahu yang berada dilokasi tempat

pembuatan tahu.

Analisa ini diperkuat oleh teori yang menyebutkan bahwa asap

rokok terdiri dari 2 bagian yaitu asap utama (mainstream smoke) yang

dihisap langsung oleh perokok dan asap sampingan (sidestream smoke)

yang terdapat pada ujung bagian rokok yang terbakar. Walaupun asap

sampingan yang dihasilkan tidak sebanyak asap utama yang dihisap

perokok, namun secara kimia kandungan zat-zat atau substansi penyusun

asap ini adalah hampir sama dengan konsenterasi yang berbeda (Susanto,

dkk, 2011). Oleh karena itu, sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih

mendalam mengenai kebiasaan merokok terhadap kelelahan kerja.

5. Tingkat Kebisingan

Pengukuran tingkat kebisingan pada penelitian ini dilakukan pada

setiap titik pembuat tahu bekerja dengan tujuan mengetahui paparan

kebisingan di tempat kerja. Pada penelitian ini tingkat kebisingan

dikategorikan menjadi 2 yaitu pembuat tahu yang terpapar kebisingan >

85 dB dan yang tidak terpapar kebisingan < 85 dB (Permenaker No 13

Tahun 2011).

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney

kebisingan di tempat kerja tidak berpengaruh terhadap terjadinya

kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan

Ciputat Timur tahun 2014. Hal ini berarti kelompok pembuat tahu yang

terpapar kebisingan dengan kelompok yang tidak terpapar kebisingan

memiliki risiko yang sama untuk terjadinya kelelahan kerja.

Sedangkan berdasarkan hasil univariat didapatkan bahwa sebagian

besar pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

tidak terpapar kebisingan di tempat kerja yaitu sebesar 89,3% dari total

sampel atau sebanyak 67 orang. Berdasarkan hasil observasi tempat kerja,

kebisingan yang terdapat di tempat kerja berasal dari mesin penggiling

kacang kedelai, tungku untuk perebusan baik secara tradisional yaitu

dengan kayu bakar yang diletakan di bawah drum/wadah bubur kedelai

maupun cara modern menggunakan ketel uap, dan mesin blower agar api

tetap menyala. Namun sumber bising tersebut tidak melebihi standar NAB

yang ditetapkan, hanya sebagian kecil pembuat tahu di tempat kerja yang

terpapar.

Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah

mengganggu komunikasi, mengurangi konsentrasi (Budiono, dkk, 2003),

sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan

terkendalikan dengan baik, juga dapat menimbulkan efek lain yang salah

satunya berupa meningkatnya kelelahan kerja (Suma’mur,1996).

Teori tersebut sesuai dengan beberapa penelitian yang

menyebutkan terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan

kelelahan pada pekerja di proses produksi kantong salah satu perusahaan

semen di Indonesia (Mauludi, 2010). Kemudian hasil penelitian di PT.

Indokores Sahabat Purbalingga menunjukkan ada hubungan yang

signifikan antara kebisingan dengan kelelahan tenaga kerja (Risva, 2002).

Serta hasil penelitian kelelahan yang menyebutkan terdapat hubungan

yang signifikan antara kebisingan dengan perasaan kelelahan kerja pada

tenaga kerja (Yusri, 2006). Selain itu penelitian lain juga menunjukkan

42,8% dari 18 sampel yang diteliti, mengalami kelelahan akibat

kebisingan di tempat kerja (Hanifa, 2006).

Dalam penelitian ini, faktor tingkat kebisingan di tempat kerja

tidak memiliki hubungan dengan kelelahan kerja. Hal ini dapat terjadi

karena sebagian besar pembuat tahu terpapar kebisingan berkisar 80 dB.

Dimana paparan kebisingan tersebut termasuk paparan kebisingan rendah.

Paparan kebisingan rendah dapat menyebabkan terjadinya kelelahan

karena adanya rasa tidak nyaman dalam menerima paparan kebisingan

ditempat kerja. Hal ini berkaitan dengan sensitifitas masing-masing

Analisa ini diperkuat oleh beberapa teori yang mengatakan bahwa

paparan kebisingan rendah (biasanya berkisar 75 dB) dapat menyebabkan

terjadinya stress dan efek kesehatan lainnya dalam beberapa kasus. Stress

yang dimaksud dapat berbentuk kelelahan, kegelisahan, depresi,

permusuhan atau agresi (Division of Workplace Health & Safety, 1998).

Pendapat lain juga menambahkan bahwa pekerja yang terpapar kebisingan

untuk jangka waktu yang panjang dapat menghasilkan perasaan tidak

nyaman dan peningkatan kelelahan kerja (Lerman et al, 2012). Semakin

lama seorang pekerja bekerja maka semakin lama pula pekerja terpapar

bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk,

2003).

Walaupun dalam penelitian ini faktor risiko tingkat kebisingan di

tempat kerja tidak berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja,

namun perlu adanya pencegahan paparan kebisingan yang dapat

mempengaruhi kinerja dan produktivitas pembuat tahu. Beberapa hal yang

bisa dilakukan seperti mengatur waktu bekerja dengan istirahat (Lerman et

al, 2012, ILO, 1998). Beristirahat sejenak 5 sampai 15 menit setiap 1

sampai 2 jam atau bila merasa sudah tidak nyaman dengan suara bising

yang terdapat di tempat pembuatan tahu, atau bergantian mengerjakan

pekerjaan yang memiliki paparan kebisingan lebih rendah dari pekerjaan

meningkatkan produktifitas, dan mengurangi risiko kesalahan atau

kecelakaan. Kegiatan yang bisa dilakukan saat beristirahat sejenak seperti

berinteraksi sosial sesama pembuat tahu lainnya atau mengkonsumsi

minum.

6. Tingkat Pencahayaan

Pengukuran tingkat pencahayaan dilakukan satu kali selama 3

menit (sampai nilai pada layar monitor stabil), tepatnya pada jam kerja.

Lokasi pengukuran dilakukan pada setiap titik pembuat tahu bekerja

dengan tujuan mengetahui paparan tingkat pencahayaan di tempat kerja.

Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney

didapatkan nilai p-value sebesar 0,169 menunjukkan bahwa tingkat

pencahayaan di tempat kerja tidak berpengaruh terhadap terjadinya

kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan

Ciputat Timur tahun 2014. Hal ini berarti kelompok pembuat tahu yang

tidak terpapar pencahayaan ideal dengan kelompok yang terpapar

pencahayaan ideal memiliki risiko yang sama untuk terjadinya kelelahan

kerja.

Sedangkan berdasarkan hasil univariat didapatkan bahwa sebagian

besar pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur

tempat kerja yaitu sebesar 57,3% dari total sampel atau sebanyak 43

orang. Berdasarkan hasil observasi tempat kerja, sumber cahaya yang

terdapat di tempat kerja berasal dari celah genting yang sengaja dibuka,

karena tempat pembuatan tahu tidak menggunakan lampu sebagai sumber

cahaya di tempat kerja.

Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa jika pencahayaan ditempat kerja kurang, dapat

menyebabkan perasaan tidak nyaman, gangguan atau sakit yang

meningkat dari waktu ke waktu, dan dapat menyebabkan kelelahan (A.

Wolska dalam Karwowski, 2001). Hal ini dikarenakan penerangan

ditempat kerja merupakan salah satu sumber cahaya yang menerangi

benda-benda ditempat kerja. Banyak objek kerja beserta benda atau alat

dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting

untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu

penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih

baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 1996).

Teori tersebut sesuai dengan hasil penelitian di PT. Indokores

Sahabat Purbalingga menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara

pencahayaan dengan kelelahan tenaga kerja (Risva, 2002).

Dalam penelitian ini, faktor tingkat pencahayaan di tempat kerja

disebabkan oleh adanya kemungkinan pembuat tahu sudah terbiasa dan

berpengalaman melakukan pekerjaan pembuatan tahu baik dengan

maupun tanpa tingkat pencahayaan yang ideal (300 lux). Hal ini berkaitan

dengan lamanya pembuat tahu bekerja di tempat pembuatan tahu. Dengan

masa kerja yang cukup lama kemungkinan para pembuat tahu sudah

Dokumen terkait