FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT
DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2014
SKRIPSI
Oleh:
DIO DIRGAYUDHA NIM : 109101000057
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, November 2014
Dio Dirgayudha, NIM: 109101000057
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014
xvi + 147 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 3 lampiran
ABSTRAK
Kelelahan kerja merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada pekerja, yaitu pekerja tidak sanggup lagi untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas kerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur diperoleh 91,7% pekerja mengalami kelelahan kerja (11 orang). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
Cross Sectional Study yang dilaksanakan pada Januari sampai Mei 2014. Populasi penelitian ini adalah pembuat tahu pada tujuh tempat pembuatan tahu yang berada di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur dengan jumlah sampel sebanyak 75 orang. Instrumen yang digunakan adalah reaction timer test, sound level meter,
custom digital lux meter, quest thermal environmental monitor, timbangan, meteran tubuh dan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Non-Parametric yaitu uji Spearman Correlations dan Mann-Whitney.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pembuat tahu mengalami tingkat kelelahan kerja sedang dengan nilai median waktu reaksi 483,00 mili detik, dimana sebagian besar mengalami gejala pelemahan kegiatan. Hasil penelitian membuktikan bahwa umur (p-value = 0,00), masa kerja (p-value = 0,00), dan tekanan panas (p-value = 0,01) berpengaruh terhadap kelelahan kerja. Sehingga dapat disarankan kepada pembuat tahu bahwa diharapkan mengerjakan tugas atau beban kerja sesuai kemampuan fisik dan kapasitas kerja, diharapkan beristirahat sejenak dan merotasi kerja. Kemudian kepada pemilik tempat pembuatan tahu diharapkan mendesain tempat pembuatan tahu dengan menambah celah udara di dinding sebagai sumber udara segar dan menambah celah genting sebagai sumber cahaya.
Kata Kunci : kelelahan kerja, waktu reaksi, pembuat tahu.
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduated Thesis, November 2014
Dio Dirgayudha, NIM: 109101000057
Factors that Influence Fatigue to Tofu Maker in the District of Ciputat and East Ciputat 2014
xvi + 147 pages + 18 tables + 3 charts + 3 attachments
ABSTRACT
Fatigue is a pattern that occurs in a situation that generally occurs in workers, workers no longer able to do the job, which causes a decrease in labor productivity. Based on a preliminary study conducted in December 2013 in the three sites of tofu manufacturing in the District of Ciputat and East Ciputat was found 91.7% of workers experiencing fatigue (11 people). Therefore, this study aims to determine the factors that influence fatigue to tofu maker in the District of Ciputat and East Ciputat 2014.
This study was an epidemiological analytic with design cross sectional study. It was conducted in January to May 2014. Population of this study are the tofu makers at seven sites of tofu manufacturing in the District of Ciputat and East Ciputat with total sample are 75 people. The instrument used were reaction timer test, sound level meter, custom digital lux meter, quest thermal environmental monitor, scales, meter body and questionnaires. Data analysis was performed by non-parametric test, those are spearman correlations and mann-whitney test.
Based on the research results, it was known that tofu makers were experienced middle level fatigue with the median of reaction time is 483,00 milli seconds. Most of them got symptoms a weaker activity. The research proves that the age (p-value = 0.00), work period (p-value = 0.00), and heat stress (p-value = 0.01) effect on fatigue. So it can be suggested to the tofu makers that are expected do the tasks or workloads corresponding physical ability and work capacity, are expected to rest a while and rotate work. Then the owner of the premises are expected to design sites of tofu manufacturing by adding the air gap in the wall as a source of fresh air and adding gap roof as a source of light.
Keywords : fatigue, reaction time, tofu makers.
vi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Maret 1991
Alamat : Jl. Mawar III Blok C2 / No. 4 RT. 04/ RW. 007 Taman Kedaung, Kel. Kedaung, Kec. Pamulang, Tangerang Selatan 15415
Agama : Islam
Golongan Darah : O (+)
No. Telp : 085691992580
Email : diodirgayudha@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1996 – 1997 : TK Nurul Huda
1997 – 2003 : SDN 1 Ciputat
2003 – 2006 : SMPN 1 Pamulang
2006 – 2009 : SMAN 1 Ciputat
2009 – 2014 : S-1 Program Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
vii
terhingga kepada kita semua. Shalawat dan salam juga selalu tercurah kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW. Dengan memanjat rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat–Nya hingga skripsi yang berjudul ”FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA PEMBUAT TAHU DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT DAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2014” ini dapat tersusun dengan baik.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, nasehat, motivasi, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga serta adik Akbar, yang senantiasa mendoakan dan telah memberikan dukungan moril, dan materil sehingga penulis terus bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Raihana Nadra Alkaff, SKM, M.MA dan Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, selaku pembimbing skripsi yang dalam kesibukannya telah menyempatkan waktu untuk membimbing penulis dan memberi masukan-masukan yang sangat bermanfaat.
5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Izzatu Millah, SKM, M.KKK selaku tim penguji skripsi.
viii
penulis dari awal penyusunan skripsi sampai akhir. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu Dongsaeng. You’re the best!
9. Teman-teman K3 2009 yang memberikan semangat dan doa (Henny, Amel, Ubay, Pikih, Defri, Fadil, Ipeh, Vj, Diana, Sandy, Desi, Rifqi, Reza, Nia, Denis, Lina, Sca, Novan, dan Mufil).
10.Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk para dosen tamu, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan.
11.Ka Ami, Ka Septi, dan Ka Ida selaku Laboran Kesmas yang telah memberikan arahan dan informasi dalam perjalanan penyelesaian skripsi ini. 12.Bapak Ajib dan Pa Go selaku Admin Kaprodi Kesehatan Masyarakat yang
telah membantu proses administrasi.
13.Seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan dan kekurangan sehingga penulis sangat menerima saran dan kritik yang diberikan untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, November 2014
ix COVER
LEMBAR PERNYATAAN i
ABSTRAK ii
LEMBAR PERSETUJUAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR BAGAN xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Pertanyaan Penelitian 9
D. Tujuan Penelitian 11
1. Tujuan Umum 11
2. Tujuan Khusus 11
E. Manfaat Penelitian 13
1. Bagi Peneliti 13
2. Bagi Pekerja 13
3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 14
F. Ruang Lingkup Penelitian 14
x
B. Kelelahan Kerja 23
1. Definisi Kelelahan 23
2. Definisi Kelelahan Kerja 25
C. Jenis Kelelahan 25
D. Gejala Kelelahan 27
E. Dampak Kelelahan 29
F. Metode Pengukuran Kelelahan 30
1. Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja 30
2. Perasaan Kelelahan Secara Subjektif 31
3. The Electroencephalograph 33
4. Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes
Test) 34
5. Pengujian Psikomotor 34
6. Pengujian Mental 36
G. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja 38
1. Umur 38
2. Jenis Kelamin 40
3. Masa Kerja 41
4. Status Gizi 42
5. Kebiasaan Merokok 44
6. Shift Kerja 46
7. Tingkat Kebisingan 48
8. Tingkat Pencahayaan 54
9. Tekanan Panas 58
xi
I. Kerangka Teori 69
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS 71
A. Kerangka Konsep 71
B. Definisi Operasional 76
1. Variabel Dependen 76
2. Variabel Independen 76
C. Hipotesis 79
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 80
A. Disain Penelitian 80
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 81
C. Populasi dan Sample Penelitian 81
D. Pengumpulan Data 84
E. Instrumen Penelitian 85
F. Pengolahan Data 94
G. Teknik Analisa Data 96
BAB V HASIL PENELITIAN 100
A. Gambaran Lokasi Penelitian 100
B. Hasil Analisis Univariat 102
1. Gambaran Kelelahan Kerja 102
2. Gambaran Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi 104
3. Gambaran Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat
Pencahayaan, dan Tekanan Panas di Tempat Kerja 105
C. Hasil Analisis Bivariat 108
xii
Pencahayaan, dan Tekanan Panas di Tempat Kerja terhadap Kelelahan
Kerja 111
BAB VIPEMBAHASAN 114
A. Keterbatasan Penelitian 114
B. Gambaran Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu 114
C. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat
Tahu 119
1. Umur 119
2. Masa Kerja 122
3. Status Gizi 125
4. Kebiasaan Merokok 128
5. Tingkat Kebisingan 131
6. Tingkat Pencahayaan 135
7. Tekanan Panas 138
BAB VI PENUTUP 143
A. Simpulan 143
B. Saran 145
1. Bagi Pemilik Pembuatan Tahu 145
2. Bagi Pembuat Tahu 147
3. Bagi Penelitian Selanjutnya 147
xiii
Tabel 2.1 Daftar Pertanyaan Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) 32 Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja 37
Tabel 2.3 Indeks Masa Tubuh (IMT) 43
Tabel 2.4 Intensitas Kebisingan yang Diperbolehkan Berdasarkan Waktu
Pemaparan dalam Satu Hari 51
Tabel 2.5 Standar Tingkat Pencahayaan di Lingkungan Kerja 55
Tabel 2.6 NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang
Diperkenankan 60
Tabel 2.7 Estimasi Pengukuran Panas Metabolik 61
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Dependen 76
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Independen 76
Tabel 4.1 Perhitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua Proporsi
terhadap Hasil Penelitian Terdahulu 83
Tabel 5.1 Distribusi Jumlah Pembuat Tahu dan Jenis Tahu yang Diproduksi Berdasarkan Kelurahan di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat
Timur Tahun 2014 100
Tabel 5.2 Distribusi Kelelahan Kerja (Reaction Timer Test) pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014 102 Tabel 5.3 Distribusi Kelelahan Kerja (Reaction Timer Test berdasarkan
Subjective Self Rating Test) pada Pembuat Tahu di Wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014 103
xiv
Tabel 5.6 Hasil Uji Normalitas 108
Tabel 5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Masa Kerja, dan Status Gizi terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat
dan Ciputat Timur Tahun 2014 109
Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Kebiasaan Merokok, Tingkat Kebisingan, Tingkat Pencahayaan, dan Tekanan Panas di Tempat Kerja terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat
xv
Bagan 2.1 Alur Pembuatan Tahu 23
Bagan 2.2 Kerangka Teori 70
xvi
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Pemetaan Titik Pengukuran Tingkat Kebisingan, Tingkat Pencahayaan, dan Tekanan Panas
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1970, pemerintah mewajibkan
pada semua bidang usaha agar menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) di tempat kerja sebagai salah satu wujud profesionalisme.
Undang-undang tersebut menjelaskan tentang pentingnya memenuhi syarat-syarat
keselamatan kerja untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan
kecelakaan, bahaya peledakan, bahaya suhu, kelembaban, radiasi, suara,
getaran, bahaya listrik, memadamkan kebakaran, pertolongan pada kecelakaan
serta memberi alat pelindung diri (APD) pada para pekerja. Dengan demikian,
perusahaan yang bergerak di bidang usaha apapun wajib menerapkan K3 di
tempat kerja.
Bidang usaha dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu usaha formal
dan informal. Usaha sektor formal adalah pekerjaan yang terstruktur dan
terorganisir, secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, dan
syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Sedangkan bidang usaha sektor
informal adalah kegiatan usaha yang secara umum sederhana, skala usaha
relatif kecil, umumnya tidak mempunyai izin usaha, untuk bekerja di sektor
informal biasanya rendah, keterkaitan sektor informal dengan usaha-usaha
lain sangat kecil, dan usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam
(Effendi, 1993). Di sektor informal, penerapan K3 masih belum terlaksana
secara memadai karena kurangnya dukungan landasan hukum untuk
pembinaan sektor informal, serta kurangnya kesadaran K3 dan kerjasama
lintas sektor yang berkaitan dengan penanganan sektor informal (Setyawati,
2001).
Salah satu bidang usaha sektor informal yang berkembang saat ini
adalah industri tahu. Tahu merupakan salah satu makanan utama dan digemari
oleh masyarakat Indonesia karena selain harganya murah dan mudah didapat,
tahu juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk masakan, rasanya enak, dan
merupakan salah satu makanan yang menyehatkan (Mudjajanto, 2006).
Kebutuhan masyarakat terhadap tahu sangat besar sehingga banyak industri
tahu bermunculan. Dengan demikian, industri tahu juga wajib menerapkan K3
di tempat kerja, agar dapat mencegah dan mengendalikan terjadinya
kecelakaan dan kesakitan akibat kerja.
Secara umum, terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu
tindakan atau perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human acts) dan keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition)
(Heinrich, 1959). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor
kecelakaan kerja yaitu antara 80-85%. Salah satu faktor penyebab utama
kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan
(Suma’mur, 1993). Kelelahan yang terjadi di tempat kerja memberi kontribusi 50% terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja (Setyawati, 2007, Maurits
dan Widodo, 2008).
Kelelahan kerja merupakan suatu pola yang timbul pada suatu keadaan
yang secara umum terjadi pada pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi
untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
produktivitas kerja akibat faktor pekerjaan (Riyadina, 1996, Sedarmayanti,
2009). Orang yang mengalami kelelahan kerja biasanya mengalami
gejala-gejala seperti perasaan lesu, menguap, mengantuk, pusing, sulit berpikir,
kurang berkonsenterasi, kurang waspada, persepsi yang buruk dan lambat,
kaku dan canggung dalam gerakan, gairah bekerja kurang, tidak seimbang
dalam berdiri, tremor pada anggota badan, tidak dapat mengontrol sikap, dan
menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Kroemer dan Grandjean, 1997,
Tarwaka, 2013).
Kelelahan kerja dapat berdampak terhadap menurunnya perhatian,
perlambatan dan hambatan persepsi, lambat dan sukar berfikir, penurunan
motivasi untuk bekerja, penurunan kewaspadaan, menurunnya konsentrasi
dan ketelitian, performa kerja rendah, kualitas kerja rendah, dan menurunnya
kesalahan, sehingga pekerja mengalami cidera, stress kerja, penyakit akibat
kerja, kecelakaan kerja, dan pada akhirnya produktivitas berkurang
(Sastrowinoto, 1985, Manuaba, 1998, Budiono, dkk, 2003, Tarwaka, 2013).
Kelelahan kerja disebabkan oleh beberapa hal seperti irama sirkadian,
masalah lingkungan kerja (tingkat kebisingan, tingkat pencahayaan, dan iklim
kerja), intensitas dan lamanya kerja, masalah-masalah fisik (tanggungjawab,
kecemasan, dan konflik dalam organisasi), status kesehatan, status gizi
(Budiono, dkk, 2003, Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, 2013), kerja
monoton, dan beban kerja (Suma’mur, 1999). Pendapat lain menambahkan
kelelahan kerja juga dipengaruhi oleh waktu kerja, jenis kelamin, usia, masa
kerja, status gizi, dan kondisi kesehatan (Silaban, 1998).
Berdasarkan penelitian menyebutkan kelelahan kerja disebabkan oleh
beberapa faktor. Penelitian yang dilakukan pada pekerja penjahit sektor
informal faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja adalah faktor usia
pekerja dan masa kerja (Umyati, 2010). Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kelelahan kerja pada karyawan Laundry informal adalah beban
kerja (Wati dan Haryono, 2011). Lalu jenis kelamin dan beban kerja memiliki
hubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan pengolah dan pendistribusi
makanan di instalasi gizi sebuah rumah sakit (Virgy, 2011)
Berdasarkan hasil survey di negara maju, dilaporkan bahwa antara
mengenai kecelakaan transportasi yang dilakukan di Selandia Baru antara
tahun 2002 dan 2004 menunjukkan bahwa dari 134 kecelakaan fatal, 11%
diantaranya disebabkan faktor kelelahan dan dari 1703 cidera akibat
kecelakaan, 6% disebabkan oleh kelelahan pada operator (Baiduri, 2008).
Kemudian, berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dalam kegiatan Workshop Formulasi Strategi Penelitian ASEAN
OSHNET (Association of South East Asian Nation-Occupational Safety and
Health Network) untuk K3 yang diselenggarakan tahun 2010, angka
kecelakaan kerja di Indonesia tahun 2009 masih relatif tinggi yaitu mencapai
96.513 kasus (Kemenakertrans RI, 2010).
Dari hasil penelitian tentang kelelahan kerja yang dilakukan pada
pekerja penjahit sektor informal diketahui bahwa sebagian besar responden
mengalami lelah yaitu sebanyak 41 (53.9%) responden dari total responden 76
orang (Umyati, 2010). Sedangkan pada karyawan Laundry informal diketahui
bahwa dari 30 orang responden, 20 orang mengalami kelelahan kerja (Wati
dan Haryono, 2011). Kemudian, penelitian lain menunjukkan sebagian besar
karyawan pengolah dan pendistribusi makanan di instalasi gizi sebuah rumah
sakit termasuk dalam kategori kelelahan kerja berat lebih banyak yaitu
sebanyak 17 orang (53,1%), kelelahan kerja sedang sebanyak 9 orang
(28,1%), dan sebanyak 6 orang (18,8%) responden mengalami kelelahan kerja
Pembuat tahu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan
kacang kedelai sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya untuk
membuat tahu serta cara kerja yang bersifat tradisional (M.Mikhew, ICHOIS,
l997 dalam Effendi, 2007). Terdapat sekitar 2500 pembuat tahu di wilayah
Tangerang, Banten. Di Tangerang Selatan sendiri, terdapat beberapa daerah
penghasil tahu yang cukup banyak dan tersebar di daerah Ciputat dan Ciputat
Timur (Sekarningrum, 2012 dalam Ferdian, 2012).
Sesuai dengan perannya sebagai industri sektor informal, industri tahu
mempunyai ciri-ciri dalam aspek keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
Ciri-ciri tersebut seperti timbulnya risiko bahaya pekerjaan yang tinggi,
keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja dan menentukan
pelayanan kesehatan kerja yang adekuat, rendahnya kesadaran terhadap
faktor-faktor risiko kesehatan kerja dan kondisi pekerjaan yang tidak
ergonomis, kerja fisik yang berat dan jam kerja yang panjang (M.Mikhew,
ICHOIS, l997 dalam Effendi, 2007). Tempat pembuatan tahu menghasilkan
suara bising dari mesin penggiling kedelai, kurangnya tingkat pencahayaan
ditempat kerja, dan tekanan panas yang dapat mengganggu proses kerja.
Selain itu pada proses penyaringan ini melibatkan seluruh aktifitas tubuh
karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara menggoyang-goyangkan
kain saringan, ada pula yang menginjak-injak alat saringan menggunakan kaki
Fauzi, 2013). Hal-hal tersebut menyebabkan pembuat tahu berisiko
mengalami kelelahan kerja.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember
2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur didapatkan bahwa dari 12 pekerja, 91,7% pekerja mengalami
kelelahan kerja yaitu 11 orang, dan 8,3% atau 1 orang pekerja tidak
mengalami kelelahan kerja. Maka dari itu penulis mengambil judul “ Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Kerja pada Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2014.”
B. Rumusan Masalah
Kelelahan kerja disebabkan oleh faktor-faktor risiko yang ada di
tempat kerja. Pada tempat pembuatan tahu faktor-faktor risiko kelelahan kerja
antara lain suara bising dari mesin penggiling kedelai, kurangnya
pencahayaan ditempat kerja, tekanan panas yang dapat mengganggu proses
kerja, dan proses kerja yang melibatkan seluruh aktifitas tubuh. Hal-hal
tersebut menyebabkan pembuat tahu berisiko mengalami kelelahan kerja.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember
2013 di tiga tempat pembuatan tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur, tingkat kebisingan yang terdapat di tempat pembuatan tahu
ditetapkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011, tingkat kebisingan sudah melebihi NAB
yang ditentukan yaitu 85 dB untuk 8 jam kerja.
Kemudian, hasil pengukuran tingkat pencahayaan di tempat kerja
bervariasi di masing-masing titik aktivitas kerja. Hasil pengukuran berkisar 13
lux sampai 596 lux, dimana sebagian besar titik berada dibawah 300 lux. Hal
tersebut berarti pencahayaan di tempat kerja dibawah NAB pencahayaan
minimal untuk industri kecil seperti pembuatan tahu yang ditetapkan oleh
Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 yaitu 300 lux.
Kemudian, hasil pengukuran tekanan panas mencapai 29,92 °C sampai
31,38 °C dengan alokasi pembagian waktu kerja pembuat tahu yaitu 8 jam
bekerja dengan istirahat 30 menit untuk makan siang (75% sampai 100%
kerja) sehingga termasuk beban kerja sedang. Hal ini berarti sudah melebihi
NAB Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang disesuaikan dengan
tingkat beban kerja pekerja dan alokasi pembagian waktu kerja yang diperkenankan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011, yaitu sebesar 280 C sampai 310 C.
Hasil pengukuran kelelahan kerja pada 12 pekerja diketahui bahwa
91,7% pekerja mengalami kelelahan kerja yaitu 11 orang, dan 8,3% atau 1
orang pekerja tidak mengalami kelelahan kerja. Maka dari itu, dengan
terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat
dan Ciputat Timur Tahun 2014.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
2. Bagaimana gambaran umur pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan
Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
3. Bagaimana gambaran masa kerja pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
4. Bagaimana gambaran status gizi pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
5. Bagaimana gambaran kebiasaan merokok pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
6. Bagaimana gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
7. Bagaimana gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
8. Bagaimana gambaran tekanan panas di tempat kerja pada pembuat tahu di
9. Apakah ada pengaruh umur terhadap kelelahan kerja pada pembuat tahu di
wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
10.Apakah ada pengaruh masa kerja terhadap kelelahan kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
11.Apakah ada pengaruh status gizi terhadap kelelahan kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014?
12.Apakah ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap kelelahan kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2014?
13.Apakah ada pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur tahun 2014?
14.Apakah ada pengaruh tingkat pencahayaan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur tahun 2014?
15.Apakah ada pengaruh tekanan panas di tempat kerja terhadap kelelahan
kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan
kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur
tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
b. Diketahuinya gambaran umur pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
c. Diketahuinya gambaran masa kerja pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
d. Diketahuinya gambaran status gizi pada pembuat tahu di wilayah
Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
e. Diketahuinya gambaran kebiasaan merokok pada pembuat tahu di
wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
f. Diketahuinya gambaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun
g. Diketahuinya gambaran tingkat pencahayaan di tempat kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2014.
h. Diketahuinya gambaran tekanan panas di tempat kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
i. Diketahuinya pengaruh umur terhadap kelelahan kerja pada pembuat
tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014.
j. Diketahuinya pengaruh masa kerja terhadap kelelahan kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2014.
k. Diketahuinya pengaruh status gizi terhadap kelelahan kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun
2014.
l. Diketahuinya pengaruh kebiasaan merokok terhadap kelelahan kerja
pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur
tahun 2014.
m. Diketahuinya pengaruh tingkat kebisingan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
n. Diketahuinya pengaruh tingkat pencahayaan di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur tahun 2014.
o. Diketahuinya pengaruh tekanan panas di tempat kerja terhadap
kelelahan kerja pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur tahun 2014.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana
untuk melatih pemikiran yang sistematis dalam menganalisa dan
memecahkan suatu masalah. Selain itu sebagai sarana untuk
mengaplikasikan keilmuan K3 yang telah didapat di perkuliahan dalam
dunia kerja mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan
kerja, khususnya pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan
Ciputat Timur tahun 2014.
2. Bagi Pekerja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan pikiran dan bahan pertimbangan bagi pekerja mengenai
dalam upaya pengaturan sikap dan sarana kerja sehingga dapat
memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam bekerja. Serta dapat
mengurangi kelelahan kerja dan meningkatkan kinerja dalam pencapaian
produktivitas kerja.
3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan
akademis sebagai referensi kepustakaan tambahan yang nantinya dapat
menjadi acuan untuk melakukan penelitian berikutnya mengenai
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja secara mendetail dan
mendalam.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Mei 2014.
Populasi penelitian ini adalah pembuat tahu yang berada di wilayah
kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur yang berjumlah 80 orang dan sampel
berjumlah75 orang
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan
desain Cross Sectional Study karena pada penelitian ini variabel dependen dan
variabel independen akan diamati dalam waktu (periode) yang sama.
untuk mengukur kelelahan kerja, Sound Level Meter (SLM) untuk mengukur
tingkat kebisingan, Custom Digital Lux Meter untuk mengukur tingkat
pencahayaan, Quest Thermal Environmental Monitor untuk mengukur
tekanan panas dengan mempertimbangkan waktu kerja dan beban kerja yang
diukur dengan Estimasi Pengukuran Panas Metabolik dan Indeks Suhu Basah
dan Bola (ISBB), timbangan dan meteran tubuh untuk menghitung status gizi,
dan kuesioner untuk mengetahui umur, masa kerja, dan kebiasaan merokok
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Industri Tahu
Sektor usaha dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu usaha formal dan
informal. Jan Breman mengatakan bidang usaha sektor formal adalah
sejumlah pekerjaan yang terstruktur dan terorganisir, secara resmi terdaftar
dalam statistik perekonomian, dan syarat-syarat bekerja dilindungi oleh
hukum. Sedangkan Simanjuntak memberikan ciri-ciri yang tergolong sebagai
bidang usaha sektor informal, yaitu kegiatan usaha yang secara umum
sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya tidak mempunyai izin usaha,
untuk bekerja di sektor informal lebih mudah daripada di sektor formal,
tingkat pendapatan di sektor informal biasanya rendah, keterkaitan sektor
informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil, dan usaha-usaha di sektor
informal sangat beraneka ragam (Effendi, 1993). Contoh bidang usaha sektor
informal biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan, dagang, pertanian,
perikanan atau usaha lain (Setyawati, 2001).
Salah satu bidang usaha sektor informal yang berkembang saat ini
adalah industri tahu. Tahu merupakan salah satu makanan utama dan digemari
oleh masyarakat Indonesia karena selain harganya murah dan mudah didapat,
merupakan salah satu makanan yang menyehatkan (Mudjajanto, 2006). Tahu
adalah makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan
menjadi bubur (Kastyanto, 1999 dalam Fredickson, 2011).
1. Pembuat Tahu
Pembuat tahu adalah pekerja sektor informal yang membuat
makanan yang terbuat dari kedelai sebagai bahan baku utama yang
dilumatkan atau dihancurkan menjadi bubur dengan cara tradisional.
Sesuai dengan perannya sebagai industri sektor informal industri tahu
mempunyai ciri seperti timbulnya risiko bahaya pekerjaan yang tinggi,
keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja dan
menentukan pelayanan kesehatan kerja yang adekuat, rendahnya
kesadaran terhadap faktor-faktor risiko kesehatan kerja dan kondisi
pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik yang berat dan jam kerja yang
panjang (M.Mikhew, ICHOIS, l997 dalam Effendi, 2007).
2. Tahapan Pembuatan Tahu
Berikut ini adalah tahapan pembuatan tahu (Suprapti, 2005):
a. Persiapan
Tahap persiapan merupakan kegiatan pokok pada pembuatan
Bahan baku harus melalui proses pembersihan, pengeringan dalam
oven dengan suhu 400C sampai 600C (sama dengan suhu sinar
matahari), pemisahan kulit, pelunakan dilakukan dengan
menambahkan soda kue, pencucian dan penirisan agar tidak tercampur
soda kue. Sedangkan bahan penggumpal dibutuhkan untuk
menggumpalkan protein yang masih tercampur di dalam sari kedelai.
Dengan demikian, akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak.
b. Proses Pembuatan Tahu
Proses pembuatan tahu terdiri beberapa tahap yaitu
(Widiantoko, 2010 dalam Ferdian, 2012, Fauzi, 2013):
1) Perendaman
Pada tahapan perendaman ini, kedelai direndam dalam
sebuah bak perendam selama kurang lebih 3 jam. Jumlah air yang
dibutuhkan tergantung dari jumlah kedelai, intinya kedelai harus
terendam semua. Tujuan dari tahapan perendaman ini adalah untuk
mempermudah proses penggilingan sehingga dihasilkan bubur
kedelai yang kental.
2) Pencucian Kedelai
Kedelai dikeluarkan dari bak perendam kemudian
dimasukan ke dalam ember-ember plastik untuk kemudian dicuci
biji-biji kedelai dari kotoran-kotoran supaya tidak mengganggu proses
penggilingan dan agar kotoran-kotoran tidak tercampur ke dalam
adonan tahu.
3) Penggilingan
Proses penggilingan dilakukan dengan menggunakan mesin
penggiling biji kedelai dengan tenaga penggerak dari motor
berbahan bakar minyak. Mesin penggiling kedelai menghasilkan
suara bising mencapai 86 dB. Tujuan penggilingan yaitu untuk
merubah biji-biji kedelai menjadi bubur kedelai. Saat proses
penggilingan sebaiknya dialiri air untuk didapatkan kekentalan
bubur yang diinginkan.
4) Perebusan/Pemasakan
Proses perebusan/pemasakan pada masing-masing tempat
pembuatan tahu dibedakan berdasarkan cara
pemasakan/perebusan. Ada yang menggunakan cara tradisional
yaitu perebusan/pemasakan dalam drum/wadah bubur kedelai
dimana kayu bakar diletakan langsung dibawahnya. Sedangkan
cara lain yaitu cara perebusan/pemasakan tidak langsung
mendapatkan panas dari kayu bakar, namun menggunakan ketel
uap yang diletakan agak jauh dari lokasi proses pembuatan tahu
diperoleh dari sisa-sisa pembangunan rumah. Tujuan perebusan
adalah untuk mendenaturasi protein dari kedelai sehingga protein
mudah terkoagulasi saat penambahan asam. Titik akhir perebusan
ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung panas dan
mengentalnya larutan/bubur kedelai. Proses ini menghasilkan
tekanan panas sekitar 29° sampai 32° C yang dapat mengganggu
proses kerja.
5) Penyaringan
Setelah bubur kedelai direbus dan mengental, dilakukan
proses penyaringan dengan menggunakan kain saring. Tujuan dari
proses penyaringan ini adalah memisahkan antara sari kedelai
dengan ampas atau limbah kedelai yang tidak diinginkan. Pada
proses penyaringan ini bubur kedelai yang telah mendidih dan
sedikit mengental dipindahkan ke dalam bak yang diatasnya
terdapat kain saring. Bubur tersebut dialirkan melewati kain saring
yang ada diatas bak penampung.
Proses penyaringan ini melibatkan seluruh aktifitas tubuh
karena dilakukan secara terus-menerus dengan cara
menggoyang-goyangkan kain saringan, ada pula yang menginjak-injak alat
saringan menggunakan kaki untuk membantu proses penyaringan.
dari limbah kedelai yang tidak diinginkan. Kemudian saringan
yang berisi ampas diperas sampai benar-benar kering. Ampas
hasil penyaringan disebut ampas yang kering, ampas tersebut
dipindahkan ke dalam karung. Ampas tersebut dimanfaatkan untuk
makanan ternak ataupun dijual untuk bahan dasar pembuatan
tempe gembus.
6) Pengendapan
Dari proses penyaringan diperoleh sari kedelai putih seperti
susu yang kemudian akan diproses lebih lanjut. Sari kedelai yang
didapat kemudian ditambahkan asam cuka yang berfungsi untuk
mengendapkan dan menggumpalkan protein tahu sehingga terjadi
pemisahan antara lapisan atas (whey) dengan lapisan bawah
(endapan tahu). Endapan tersebut yang merupakan bahan utama
yang akan dicetak menjadi tahu. Lapisan atas (whey) yang berupa
limbah cair merupakan bahan dasar yang akan diolah menjadi
Nata De Soya.
7) Pencetakan dan Pengepresan
Proses pencetakan dan pengepresan merupakan tahap akhir
pembuatan tahu. Terdapat dua cetakan yang digunakan, yaitu
cetakan kain untuk mencetak tahu berukuran 5×5 atau 10×10 cm
ruang-ruang berukuran 5×5 cm. Lubang tersebut bertujuan untuk
memudahkan air keluar saat proses pengepresan. Sebelum proses
pencetakan yang harus dilakukan adalah memasang kain saring
tipis di permukaan cetakan. Setelah itu, endapan yang telah
dihasilkan pada tahap sebelumnya dipindahkan dengan
menggunakan alat semacam wajan secara pelan-pelan. Selanjutnya
kain saring ditutup rapat dan kemudian diletakkan kayu yang
berukuran hampir sama dengan cetakan di bagian atasnya. Setelah
itu, bagian atas cetakan diberi beban untuk membantu
mempercepat proses pengepresan tahu. Tahu siap dikeluarkan dari
cetakan apabila tahu tersebut sudah cukup keras dan tidak hancur
bila digoyang.
8) Pemotongan Tahu
Setelah proses pencetakan selesai, dilakukan proses
pemotongan. Proses pemotongan ini untuk tahu yang dicetak
menggunakan cetakan kayu. Tahu yang sudah jadi dikeluarkan
dari cetakan dengan cara membalik cetakan dan kemudian
membuka kain saring yang melapisi tahu. Setelah itu, tahu
dipotong sesuai ukuran, kemudian tahu dipindahkan ke dalam bak
Bagan 2.1 Alur Pembuatan Tahu
B. Kelelahan Kerja 1. Definisi Kelelahan
Kelelahan merupakan kondisi melemahnya tenaga untuk
melakukan suatu kegiatan yang biasa terjadi kepada semua orang dalam
kehidupan sehari-hari dan disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan Perendaman
Pencucian Kedelai
Penggilingan
Perebusan / Pemasakan
Penyaringan
Pengendapan
Pencetakan dan Pengepresan
dalam bekerja (Budiono, dkk, 2003, Sedarmayanti, 2009). Pendapat
lainnya mendeskripsikan kelelahan menjadi tiga definisi umum yaitu
(Bridger, 2003):
a. Kelelahan “kantuk” yaitu kelelahan yang disebabkan karena
kurangnya waktu tidur dan adanya gangguan irama sirkadian.
b. Kelelahan “capek” yaitu kelelahan yang disebabkan karena melakukan
aktivitas fisik yang berat atau berlebih.
c. Kelelahan “mental” yaitu kelelahan yang mengacu pada mental akibat
melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang.
Kelelahan merupakan suatu kondisi menurunnya efisiensi,
performa kerja, dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh
untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto,
2003).
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar
terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah
istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang
berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan
efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka,
2. Definisi Kelelahan Kerja
Kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan
yang secara umum terjadi pada pekerja, dimana pekerja tidak sanggup lagi
untuk melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan
produktivitas kerja akibat faktor pekerjaan (Riyadina, 1996, Sedarmayanti,
2009). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kelelahan kerja
merupakan proses menurunnya efisiensi, performance kerja, dan
berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan
kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 1996).
Kelelahan kerja akan menambah tingkat kesalahan kerja dan
menurunkan kinerja atau produktivitas. Jika kesalahan kerja meningkat,
akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri
(Nurmianto, 2003).
C. Jenis Kelelahan
Kelelahan dibagi atas dua jenis, yaitu (Budiono, dkk, 2003):
1. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot.
2. Kelelahan umum merupakan kelelahan yang ditandai dengan
berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh pekerjaan
yang sifatnya statis/monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan
Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi di dalam tubuh manusia dan
menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang berhenti
bekerja (beraktivitas).
Di samping itu, kelelahan juga diklasifikasikan menjadi 6 bagian,
yaitu (Grandjean, 1988):
1. Kelelahan mata, yaitu kelelahan yang timbul akibat terlalu tegangnya
sistem penglihatan.
2. Kelelahan tubuh secara umum, yaitu kelelahan akibat beban fisik yang
berlebihan.
3. Kelelahan mental, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan mental
atau intelektual.
4. Kelelahan syaraf, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh tekanan
berlebihan pada salah satu bagian sistem psikomotor, seperti pada
pekerjaan yang membutuhkan keterampilan, melakukan pekerjaan yang
berulang-ulang.
5. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan akibat akumulasi efek jangka panjang.
6. Kelelahan sirkadian, yaitu bagian dari ritme siang-malam, dan memulai
periode tidur yang baru.
Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk menyegarkan tubuh.
Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipaksa untuk terus
produktivitas pekerja. Kelelahan sama halnya dengan keadaan lapar dan haus
sebagai suatu mekanisme untuk mendukung kehidupan (Budiono, dkk, 2003).
D. Gejala Kelelahan
Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara
subjektif dan objektif antara lain (Grandjean, 1988):
1. Perasaan lesu, mengantuk, dan pusing
2. Tidak atau kurang konsentrasi
3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan
4. Persepsi yang buruk dan lambat
5. Tidak ada atau berkurangnya gairah untuk bekerja
6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani
Sedangkan ada yang menambahkan bahwa gejala kelelahan antara lain
(Tarwaka, 2013):
1. Perasaan berat di kepala
2. Merasa lelah seluruh badan
3. Merasa berat di kaki
4. Sering menguap saat bekerja
5. Merasa kacau pikiran saat bekerja
6. Menjadi mengantuk
8. Kaku dan canggung dalam gerakan
9. Tidak seimbang dalam berdiri
10.Ingin berbaring
11.Merasa susah berpikir
12.Malas untuk bicara
13.Merasa gugup
14.Tidak dapat berkonsentrasi
15.Tidak dapat mempusatkan perhatian terhadap sesuatu
16.Cenderung mudah melupakan sesuatu
17.Kurang kepercayaan diri
18.Cemas terhadap sesuatu
19.Tidak dapat mengontrol sikap
20.Tidak dapat tekun dalam pekerjaan
21.Sakit di bagian kepala
22.Sakit di bagian bahu
23.Sakit di bagian punggung
24.Merasa pernafasan tertekan
25.Haus
26.Suara sesak
27.Merasa pening
29.Anggota badan terasa gemetar
30.Merasa kurang sehat
Beberapa gejala ini dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan
efektivitas kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya
timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak
masuk kerja (Grandjean, 1988).
E. Dampak Kelelahan
Dampak bagi pekerja yang mengalami kelelahan kerja antara lain
menurunnya perhatian, perlambatan dan hambatan persepsi, lambat dan sukar
berfikir, penurunan motivasi untuk bekerja, penurunan kewaspadaan,
menurunnya konsentrasi dan ketelitian, performa kerja rendah, kualitas kerja
rendah, dan menurunnya kecepatan reaksi. Hal-hal tersebut akan
menyebabkan banyak terjadi kesalahan, sehingga pekerja mengalami cidera,
stress kerja, penyakit akibat kerja, kecelakan kerja, dan pada akhirnya dapat
mempengaruhi produktivitas menjadi berkurang (Sastrowinoto, 1985,
Manuaba, 1998, Budiono, dkk, 2003, Tarwaka, 2013).
Kelelahan di tempat kerja memang tidak bisa dipandang sebelah mata,
karena sangat berpengaruh terhadap efektifitas, produktivitas, serta
keselamatan pekerja pada umumnya (Job dan Dalziel, 2001 dalam Australian
F. Metode Pengukuran Kelelahan
Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan
secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan
akibat kerja (Grandjean, 1993 dalam Tarwaka, 2013). Pengukuran kelelahan
dapat dilakukan dengan enam metode yang berbeda (Kroemer dan Grandjean,
1997), yaitu:
1. Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja
Pada metode ini, hasil kerja digambarkan sebagai jumlah proses
kerja dan waktu yang digunakan setiap unit proses atau jumlah operasi
yang dilakukan setiap unit waktu. Metode ini biasanya digunakan sebagai
pengukuran tidak langsung karena banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan seperti target produksi, perilaku psikologis dalam kerja,
dan faktor sosial (Kroemer dan Grandjean, 1997). Sedangkan kualitas
hasil kerja seperti kerusakan produk, penolakan produk, atau frekuensi
kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor
2. Perasaan Kelelahan Secara Subjektif
Saat ini telah ada alat untuk mengukur kelelahan dengan
menggabungkan beberapa indikator untuk menginterpretasikan hasil yang
dapat dipercaya. Mengutamakan perasaan subjektif terhadap kelelahan
perlu diperhatikan (Kroemer dan Grandjean, 1997).
Kuesioner khusus digunakan untuk menilai perasaan kelelahan
secara subyektif. Subjective Self Rating Test (SSRT) dari Industrial
Fatigue Research Committee (IFRC) Jepang, merupakan salah satu
kuesioner yang dibuat pada tahun 1967, berisi gejala kelelahan umum
yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan subjektif (Tarwaka, 2013).
Kuesioner ini berisi 30 pertanyaan sebagai indikator yang terdiri dari 10
pertanyaan sebagai indikator tentang pelemahan kegiatan, 10 pertanyaan
sebagai indikator tentang pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan sebagai
Tabel 2.1
Daftar Pertanyaan Kuesioner Subjective Self Rating Test (SSRT) 10 Pertanyaan tentang
Pelemahan Kegiatan
10 Pertanyaan tentang Pelemahan Motivasi
10 Pertanyaan tentang Gambaran Kelelahan Fisik
a. Perasaan berat di kepala
a. Merasa susah berpikir a. Sakit di bagian kepala
b. Merasa lelah seluruh badan
b. Malas untuk bicara b. Sakit di bagian bahu
c. Merasa berat di kaki c. Merasa gugup c. Sakit di bagian
punggung d. Sering menguap saat
bekerja
d. Tidak dapat
berkonsentrasi
d. Merasa nafas tertekan
e. Merasa kacau pikiran saat bekerja
e. Tidak dapat
memusatkan perhatian
e. Haus
f. Menjadi mengantuk f. Cenderung mudah
melupakan sesuatu
f. Suara serak
g. Merasakan beban pada mata
g. Kurang kepercayaan diri
g. Merasa pening
h. Kaku dan canggung dalam gerakan
h. Cemas terhadap
sesuatu
h. Merasa ada yang mengganjal di kelopak mata
i. Tidak seimbang saat berdiri
i. Tidak dapat
mengontrol sikap
i. Anggota badan terasa gemetar
j. Ingin berbaring j. Tidak tekun dalam pekerjaan
j. Merasa kurang sehat
Sumber: Tarwaka, dkk, 2004.
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan
semakin besar pula tingkat kelelahan. Kuesioner ini kemudian
dikembangkan dimana jawaban-jawaban kuesioner diskoring sesuai empat
skala Likert (Susetyo, 2008).
Apabila menggunakan penilaian dengan skala Likert, maka setiap
skor atau nilai haruslah memiliki definisi operasional yang jelas dan
terbagi menjadi 4 kategori jawaban dimana masing-masing jawaban
tersebut diberi skor atau nilai sebagai berikut (Tarwaka, 2013):
a. Skor 4 = Sangat Sering (SS) merasakan kelelahan
b. Skor 3 = Sering (S) merasakan kelelahan
c. Skor 2 = Kadang-kadang (K) merasakan kelelahan
d. Skor 1 = Tidak Pernah (TP) merasakan kelelahan
Setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian kuesioner,
maka langkah berikutnya adalah menghitung jumlah skor pada
masing-masing kolom (1, 2, 3 dan 4) dari 30 pertanyaan tersebut dan akan
dijumlahkan, total nilai yang didapat akan menggambarkan kategori
kelelahan dari tiap responden. Kategori tersebut antara lain (Tarwaka,
2013):
a. Nilai 30-52 = Kelelahan rendah
b. Nilai 53-75 = Kelelahan sedang
c. Nilai 76-98 = Kelelahan tinggi
d. Nilai 99-120 = Kelelahan sangat tinggi
3. The Electroencephalograph
The Electroencephalograph adalah alat ukur kelelahan yang
baru-baru ini sesuai dengan standar riset di laboratorium, dimana berupa
aktivitas listrik di otak. Setelah itu ditafsirkan sebagai sinyal yang
menunjukkan keadaan kelelahan dan mengantuk (Bridger, 2003).
4. Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes Test)
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat
kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang
diperlukan untuk jarak antara dua kelipan. Metode ini, disamping untuk
mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga
kerja (Kroemer dan Grandjean, 1997, Tarwaka, 2013).
5. Pengujian Psikomotor
Pengujian psikomotor mengukur fungsi-fungsi yang melibatkan
persepsi, interpretasi, dan reaksi motorik. Uji yang sering digunakan
adalah pengukuran waktu reaksi (Reaction Timer Test) (Tarwaka, 2013).
Reaction time adalah jangka waktu dari adanya pemberian suatu
rangsang sampai kepada suatu kesadaran atau dilaksanakan
gerakan/kegiatan. Dalam uji Reaction Timer dapat digunakan rangsangan
berupa nyala lampu yang kemudian pekerja akan meresponnya, sehingga
dapat dihitung waktu yang dibutuhkan pekerja untuk merespon
adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot (Koesyanto dan
Tunggul, 2005).
Pengukuran waktu reaksi dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil
pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya.
Eksperimen menggunakan uji Reaction Timer sangat penting dan menarik.
Hal tersebut dikarenakan hasil yang didapatkan dari pengukuran ini tidak
hanya sekedar mengetahui perbedaan kecepatan persepsi individu, akan
tetapi juga mampu mendapatkan informasi mengenai kegunaan fungsi
sistem syaraf yaitu atensi, kemampuan proses persepsi, dan proses
kecepatan reaksi (Koesyantodan Tunggul, 2005).
Hasil pengukuran dengan Reaction Timer akan dibandingkan
dengan standar pengukuran kelelahan yaitu (Koesyanto dan Tunggul,
2005):
a. Normal : waktu reaksi 150,0-240,0 mili detik
b. Kelelahan Kerja Ringan : waktu reaksi >240,0-<410,0 mili detik
c. Kelelahan Kerja Sedang : waktu reaksi 410,0-<580,0 mili detik
d. Kelelahan Kerja Berat : waktu reaksi ≥ 580,0 mili detik
Biro Konsultasi Kesehatan, Keselamatan dan Produktivitas Kerja
Lakassidaya yang dipimpin oleh Maurits Charles Soekarno merupakan
biro yang memberikan bantuan konsultasi secara K3 dan ergonomi
penelitian di bidang K3 dan ergonomi telah melakukan uji validitas dan
reliabilitas dari Reaction Timer Test. Hasil uji validitasnya baik dan hasil
reliabilitasnya sangat reliabel (r = 0,9) (Lakassidaya, 2011).
6. Pengujian Mental
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan
yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan
menyelesaikan pekerjaan. Bourdon Wiersma Test merupakan salah satu
alat yang dapat digunakan untuk menguji kecepatan, ketelitian, dan
konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang
maka tingkat kecepatan, ketelitian, dan konsentrasi akan semakin rendah.
Namun demikian Bourdon Wiersma Test lebih tepat untuk mengukur
kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental
Tabel 2.2
Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengukuran Kelelahan Kerja
No. Metode Kelebihan Kekurangan
1 Kualitas dan Kuantitas Hasil Kerja
Hasil kerja digambarkan sebagai jumlah proses kerja dan waktu yang digunakan setiap unit proses atau jumlah operasi yang dilakukan setiap unit waktu
a. Biasanya digunakan sebagai pengukuran tidak langsung karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan seperti target produksi, faktor sosial, dan perilaku psikologis dalam kerja
b. Kerusakan produk, penolakan produk, atau frekuensi kecelakaan bisa disebabkan bukan hanya karena faktor kelelahan semata 2 Perasaan Kelelahan
Secara Subjektif
Kelelahan dapat
dianalisis langsung dari gejala-gejala yang dirasakan oleh seseorang
Pengukuran tidak objektif sehingga hasilnya kurang kuat
3 The
Electroencephalograph
Alat ukur kelelahan yang akurat sesuai dengan standar riset di laboratorium
Pengukuran dapat
mengganggu proses dan jam kerja responden karena harus mengikuti tes di laboratorium, dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas responden
4 Mengukur Frekuensi Subjektif Kelipan Mata (Flicker Fusion Eyes Test)
Metode ini selain untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja
Bisa terjadi bias dalam
menentukan besar
frekuensi yang dihasilkan pada pengukuran
5 Pengujian Psikomotorik
a. Metode pengukuran secara objektif b. Tidak hanya sekedar
mengetahui
perbedaan kecepatan
Pengukuran menggunakan
No. Metode Kelebihan Kekurangan
persepsi individu, akan tetapi juga mampu mendapatkan informasi mengenai kegunaan fungsi sistem syaraf yaitu atensi, kemampuan proses persepsi, dan proses kecepatan reaksi
responden yang tidak terbiasa menggunakan
mouse.
6 Pengujian Mental Hasil test menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan
konsentrasi akan
semakin rendah atau sebaliknya
Lebih tepat untuk
mengukur kelelahan
akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental
G. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kelelahan Keja 1. Umur
Faktor umur dapat berpengaruh terhadap waktu reaksi dan
perasaan lelah pekerja. Pekerja yang berumur lebih tua terjadi penurunan
kekuatan otot, tetapi keadaan ini diimbangi dengan stabilitas emosi yang
lebih baik dibanding pekerja yang berumur muda, sehingga dapat
berakibat positif dalam melakukan pekerjaan(Setyawati, 2007).
Pekerja yang berumur diatas 35 tahun memiliki kelemahan pada
saat melakukan pekerjaan dengan temperatur panas dibandingkan dengan
pekerja yang berumur dibawah 35 tahun (Davis, 2001). Pada usia 65-70
(Permaesih, 2000). Penurunan kekuatan otot ini dipengaruhi oleh
bertambahnya umur (Tarwaka, dkk, 2004), aktifitas fisik yang dilakukan,
dan dipercepat jika seseorang tidak melakukan latihan (Permaesih, 2000).
Proses penuaan serta kurangnya kemampuan kerja disebabkan oleh
hilangnya fungsi otot, terjadinya penurunan kerja jantung, dan hilangnya
kapasitas aerobik (Bridger, 2003).
Umur seseorang akan mempengaruhi kondisi tubuh. Semakin tua
umur seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang
dapat berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan
kapasitas kerja seseorang. Seseorang yang berumur muda sanggup
melakukan pekerjaan berat dan sebaliknya jika seseorang berusia lanjut
maka kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat akan menurun karena
merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan
tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya (Suma’mur, 1996). Hal ini
sebanding dengan hasil penelitian kelelahan pada pekerja proyek dimana
kelelahan berat paling banyak dialami oleh pekerja yang berusia diatas 37
tahun, sehingga dapat dikatakan adanya hubungan yang bermakna antara
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari
kemampuan fisik atau kekuatan otot pria (Tarwaka, dkk, 2004). Bagi
seorang wanita, jantung harus bekerja memompa darah yang mengandung
oksigen lebih berat dari pada pria untuk mengalirkan satu liter oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh (Bridger, 2003). Dengan demikian, untuk
mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian
tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan
kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masing-masing (Kroemer
dan Grandjean, 1997, Tarwaka, dkk, 2004).
Akan tetapi dalam beberapa hal pekerja wanita lebih teliti dan
lebih tahan atau lentur dibandingkan dengan pekerja laki-laki, seperti pada
wanita yang telah menikah dan bekerja, waktu kerjanya lebih lama 4
sampai 6 jam jika dibandingkan dengan pria karena selain mencari nafkah
wanita juga bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah (Harrington
dan Gill, 2003). Berdasarkan hasil penelitian pada perawat di RS Syarif
Hidayatullah Jakarta didapatkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan
yang bermakna dengan kelelahan. Dari 41 orang responden, terdapat 3
responden yang berjenis kelamin perempuan mengalami kelelahan kerja,
sedangkan laki-laki tidak ada yang mengalami kelelahan kerja. (Sophia,
3. Masa Kerja
Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah
menjalani pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang kita
simpan, semakin banyak keterampilan yang kita pelajari, akan semakin
banyak hal yang kita kerjakan (Malcom, 1998 dalam Wirasati, 2003).
Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif
maupun negatif. Pengaruh positif terjadi bila semakin lama seorang
pekerja bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan
pekerjaannya. Sebaliknya pengaruh negatif terjadi bila semakin lama
seorang pekerja bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan.
Semakin lama seorang pekerja bekerja maka semakin banyak pekerja
terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut
(Budiono, dkk, 2003). Dampak negatif lainnya berupa adanya batas
ketahanan tubuh terhadap proses kerja yang berakibat terhadap timbulnya
kelelahan. Pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu dapat berpengaruh
terhadap sistem peredaran darah, sistem pencernaan, otot, syaraf dan
sistem pernafasan (Suma’mur, 1999).
Penelitian pada pekerja bongkar muat di pelabuhan menunjukkan
bahwa yang paling banyak merasakan lelah terdapat pada kelompok >10
masa kerja berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja (Eraliesa,
2009).
4. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu penyebab kelelahan. Seorang
pekerja dengan status gizi yang baik akan memiliki ketahanan tubuh dan
kapasitas kerja yang lebih baik, sedangkan seorang pekerja dengan status
gizi yang tidak baik akan memiliki ketahanan tubuh dan kapasitas kerja
yang tidak baik juga (Budiono, dkk, 2003). Apabila dalam melakukan
pekerjaan tubuh kekurangan energi baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, kapasitas kerja akan terganggu sehingga pekerja tidak
produktif, mudah terjangkit penyakit dan mempercepat timbulnya
kelelahan (Tarwaka, dkk, 2004).
Status gizi seseorang dapat diketahui dari perhitungan Indeks Masa
Tubuh (IMT). Adapun cara perhitungan IMT adalah sebagai berikut
(Almatsier, 2009):
Hasil perhitungan IMT tesebut akan dibandingkan dengan standar
yang diterapkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) Tahun 2004.
Adapun standar IMT yang ditetapkan dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah
Tabel 2.3
Indeks Masa Tubuh (IMT)
Status Gizi IMT (Kg/m2)
Sangat Kurus < 17
Kurus 17.0-18.4
Normal 18.5-24.9
Kelebihan Berat Badan (overweight) 25.0-26.9
Gemuk 27.0-28.9
Sangat Gemuk > 29
Sumber: Depkes RI, 2004
Menurut teori kelelahan terjadi pada IMT yang lebih tinggi yaitu
obesitas. Secara persentase dapat dilihat bahwa kelelahan kerja berat yang
dialami oleh pekerja lebih banyak terjadi pada pekerja yang memiliki
status gizi obesitas (Hartz et al, 1999 dalam Safitri, 2008).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja. Dari hasil
penelitian pada pekerja wanita diperoleh data bahwa bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan kerja (
p-value = 0,024), dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,204 menunjukan bahwa
arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah, artinya
semakin status gizi menjauhi kadar normal, maka semakin meningkat
untuk terjadinya kelelahan kerja (Trisnawati, 2012). Penelitian lain yang
dilakukan pada pemanen kelapa sawit terdapat hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan kelelahan kerja yang dialami oleh reponden.
mereka yang berstatus gizi buruk yakni 24 orang (72.7%) dibandingkan
dengan yang berstatus gizi baik (normal) yakni 9 orang (27.3%) (Mentari,
dkk, 2012).
5. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok adalah kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam
satu hari. (Bustan, 2000). Asap rokok yang mengandung sekitar 4%
karbon monoksida (CO) dapat bergabung dan terikat pada darah saat
dihisap oleh paru-paru 200 kali lebih kuat dari pada oksigen (Bridger,
2003). Setiap menghisap rokok, terdapat 107 radikal dalam komponen
asap yang didominasi oleh radikal oksigen, nitrit oksid, peroksil dan lain
sebagainya. Secara kimia, radikal oksigen, nitrit oksid ini akan bereaksi
secara cepat membentuk peroksilnitrit yang sangat reaktif dan akan
berikatan dengan epitelial lining fluid (ELF) saluran napas menghasilkan
reactive oxygen species (ROS). Radikal semikuinon dapat bereaksi
dengan radikal oksigen untuk membentuk radikal hidroksil dan peroksida
membentuk superoksida. Radikal ini akan memicu sel untuk
menghasilkan peroksida yang secara terus menerus dan mengakibatkan
Pendapat lain menambahkan bahwa orang yang mengkonsumsi
satu pak atau lebih rokok dalam sehari dapat menurunkan denyut jantung
dua atau tiga denyutan tiap menitnya (Hanson dan Venturelli, 1983). Asap
rokok yang beracun dan bersifat karsinogenik cenderung dapat
berpengaruh pada kemampuan fisik perokok, sehingga mudah mengalami
kelelahan (Bridger, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada karyawan di PT.
Amoco Mitsui Indonesia menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kelelahan yang dilihat dari
kebugaran