• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Uang untuk Anak Uji regresi linier berganda digunakan untuk menentukan faktor yang

berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran uang untuk anak. Alokasi pengeluaran uang dihitung berdasarkan nilai rupiah dan persentase dari pendapatan rata-rata keluarga seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 32 di bawah ini. Berdasarkan uji regresi linier berganda diperoleh nilai Adjusted R square sebesar 0,469 untuk pengeluaran dalam rupiah dan pengeluaran dalam persen. Artinya, sebesar 46,9 persen faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran anak dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

Hasil uji regresi keduanya menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, jumlah anak sekolah, pendidikan suami, tipe keluarga dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap alokasi uang untuk anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir. Diantara tujuh variabel yang diduga berpengaruh terhadap alokasi uang untuk anak, variabel jumlah anak sekolah memiliki pengaruh terbesar dibandingkan variabel lainnya. Setiap penambahan satu orang anak sekolah, alokasi uang untuk anak akan bertambah sebanyak Rp 139.104,665 atau 21,431 persen dari total pendapatan keluarga.

Tabel 32 Nilai koefisien regresi linier faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi uang untuk anak

Variabel Pengeluaran (Rp) Pengeluaran (%)

B Beta .Sig B Beta .Sig

Konstanta -23.656,961 - 0,763 -3,643 - 0,763

Jumlah anggota

keluarga (orang) -41.664,834 -0,476 0,001*** -6,419 -0,476 0,001*** Jumlah anak sekolah

(orang) 139.104,665 0,778 0,000*** 21,431 0,778 0,000*** Pendidikan istri (tahun) -8.637,462 -0,124 0,228 -1,331 -0,124 0,228 Pendidikan suami (tahun) 20.734,275 0,325 0,002*** 3,194 0,325 0,002*** Tipe keluarga (0=keluarga inti, 1=keluarga luas) 77.265,123 0,245 0,055* 11,902 0,245 0,055* Pendapatan keluarga (rupiah) 0,078 0,320 0,003*** 1,208E-5 0,320 0,003*** Perilaku Investasi (skor) 682,388 0,063 0,554 0,105 0,063 0,554

F 9,187 9,187

R 0,725 0,725

Adjusted R square 0,469*** 0,469***

Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95%

***=signifikan pada selang kepercayaan 99%

Jumlah anggota keluarga memiliki hubungan negatif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka akan semakin kecil alokasi uang yang diterima oleh masing-masing anggota keluarga. Banyaknya anak sekolah akan membuat pengeluaran orang tua untuk anak semakin tinggi, baik untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan lain-lain. Diantara pendidikan orang tua, pendidikan suami lebih berpengaruh secara signifikan dibandingkan dengan pendidikan istri. Lain halnya dengan perilaku investasi anak yang lebih dipengaruhi oleh pendidikan istri, alokasi uang dipengaruhi oleh pendidikan suami. Tipe keluarga yang dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga luas. Tipe keluarga memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. keluarga luas memiliki alokasi uang yang lebih banyak dibandingkan dengn keluarga inti.

Pendapatan keluarga berpengaruh positif sangat signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka alokasi uang yang diberikan untuk anak semakin besar. Sementara itu, hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa perilaku investasi berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi uang untuk anak. Akan tetapi, terdapat hubungan yang positif diantara kedua variabel. Semakin baik perilaku investasi anak, alokasi uang yang diberikan orang tua untuk anak akan semakin tinggi.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi koping dan perilaku investasi anak pada keluarga buruh pemetik melati gambir yang dilakukan di Desa Gelang, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Keluarga buruh merupakan keluarga dengan pendapatan rendah. Pendapatan rendah menjadi penyumbang besar terhadap kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan. Bekerja sebagai buruh tidak memerlukan pendidikan tinggi karena buruh lebih mengandalkan kekuatan fisik untuk bekerja. Termasuk dalam kelompok ini adalah buruh pemetik melati gambir. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang bekerja sebagai buruh pemetik melati dan memiliki anak sekolah (3-18 tahun).

Rata-rata pendapatan keluarga buruh pemetik melati gambir adalah Rp 649.090,91/bulan. Sumber pendapatan keluarga adalah suami, istri dan terdapat beberapa keluarga dengan anak bekerja. Meskipun pendapatan buruh pemetik melati gambir tergolong rendah, buruh pemetik melati gambir memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan keluarga. Istri yang bekerja memiliki kontribusi sebesar 26,25 persen terhadap pendapatan keluarga yang terdiri atas 20,65 persen dari pendapatan utama sebagai buruh pemetik melati gambir dan 5,60 persen dari pendapatan tambahan. Hasil ini mendukung pernyataan Suryocondro (1987) dalam Suryawati (2002) bahwa setiap wanita bekerja di luar rumah dapat membawa dampak positif terhadap pendapatan keluarga.

Pendapatan rata-rata buruh pemetik melati gambir adalah Rp 134.015,15/bulan dengan kisaran antara Rp 30.000,00 hingga Rp 300.000,00/bulan. Perbedaan pendapatan ini tergantung pada perolehan bunga melati gambir setiap harinya. Tidak terdapat jadwal bekerja bagi buruh pemetik melati gambir. Biasanya, pemetik melati gambir memulai kegiatannya pada pukul 06.00 WIB dan berakhir dengan waktu yang tidak menentu, tergantung pada habis atau belumnya bunga melati yang dapat dipetik pada hari itu. Akan tetapi, biasanya kegiatan memetik melati gambir dilakukan selama kurang lebih lima sampai enam jam.

Pendapatan sebagai buruh pemetik melati gambir tergolong kecil, akan tetapi memiliki manfaat yang besar, antara lain istri dapat membantu suami untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Penggunaan ini merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh istri sebagai buruh pemetik melati.

Pemanfaatan selanjutnya adalah untuk biaya pendidikan anak (uang saku). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan biaya kesehatan anak tidak terlalu menjadi prioritas utama. Biaya kesehatan hanya dikeluarkan ketika anak sakit atau perawatan tertentu. Tindakan kuratif (ketika anak sakit) merupakan tindakan yang paling sering dilakukan oleh keluarga. Jarang sekali orang tua yang melakukan tindakan preventif (pencegahan) seperti pembelian vitamin dan pemberian susu. Hal ini karena orang tua merasa biaya pemeliharaan kesehatan untuk anak bukan suatu keharusan, sehingga tidak perlu diberikan ketika anak tidak sakit atau anak dalam keadaan sehat. Menurut beberapa orang tua, tanpa diberikan perlakukan preventif kepada anak, anak dapat tumbuh dengan baik dan tetap sehat.

Perbedaan karakteristik keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Menurut Undang-undang No 10 Tahun 1992, keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Penelitian ini mengukur kesejahteraan keluarga menggunakan indikator Garis Kemiskinan (GK) dan indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikeluarkan oleh BPS. Berdasakan indikator Garis Kemiskinan (GK), terdapat hampir tiga per empat keluarga contoh termasuk dalam keluarga miskin dan menurut indikator 14 kriteria rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak terdapat keluarga buruh pemetik melati di Desa Gelang yang tergolong sebagai keluarga miskin dan sebagain besar keluarga tergolong sebagai keluarga tidak miskn.

Hasil yang telah diperoleh berdasarkan dua indikator menunjukkan perbedaan antara jumlah keluarga tidak miskin. Perbedaan hasil ini diduga disebabkan oleh tiga hal. Pertama, indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki dimensi lebih luas dan lebih menjelaskan kondisi kehidupan dari berbagai aspek seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial kemasyarakatan (Muflikhati et al 2010). Kedua, terdapat tiga indikator yang tidak dipenuhi oleh seluruh keluarga contoh di wilayah penelitian yaitu sumber penerangan, kemampuan makan/hari dan kemampuan membayar biaya pengobatan. Ketiga, menurut Muflikhati (2010) rendahnya tingkat kemiskinan ini

disebabkan kriteria yang ditetapkan terlalu banyak untuk menggolongkan rumah tangga menjadi hampir miskin yaitu sembilan kriteria.

Berdasarkan dua indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga, variabel mata pencaharian suami secara konsisten berpengaruh terhadap status kesejahteraan, baik indikator Garis Kemiskinan (GK) maupun indikator Bantuan Langsung Tunai (BLT). Keluarga dengan suami yang bekerja di bidang bukan pertanian memiliki peluang yang lebih besar untuk sejahtera dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan di bidang pertanian. Bekerja di bidang pertanian (menjadi buruh tani dan petani dengan lahan sempit) biasanya memiliki penghasilan yang rendah dan tidak menentu setiap bulannya dibandingkan dengan suami yang bekerja bukan di bidang pertanian, misalnya pedagang yang memiliki penghasilan rutin setiap hari. Bekerja di bidang pertanian dianggap sebagai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan rendah dan memerlukan tenaga yang banyak. Alasan ini pula yang menyebabkan banyak orang melakukan transmigrasi ke tempat-tempat yang dinilai mampu menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada sebagai petani. Rendahnya peluang petani untuk sejahtera juga dikarenakan rendahnya produktivitas yang dimiliki oleh petani, kegiatan pertanian yang dilakukan hanya on-farm dan jarang sekali keluarga petani yang melakukan kegiatan off-farm, sehingga pendapatan yang diterima petani masih tergolong rendah. Belum adanya pengembangan hasil pertanian secara luas menyebabkan petani menjual secara langsung hasil pertaniannya dengan harga yang rendah.

Sementara itu, menurut hasil penelitian Sitorus et al (2008), menurunnya peluang petani untuk meningkatkan kesejahteraan berkaitan dengan dua hal yaitu semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dibeli di pasar (semakin komersil) dan input produksi usaha tani yang harus dibeli di pasar (semakin komersil). Akibatnya, banyak keluarga yang mencari pekerjaan di luar bidang pertanian. Bagi lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi survival dimana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari sektor pertanian (Whiter 1988 dalam Girsang 1996).

Selain mata pencaharian suami, pekerjaan tambahan suami juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan berdasarkan indikator Garis Kemiskinan (GK). Keluarga dengan suami yang memiliki pekerjaan tambahan memiliki peluang lebih besar untuk sejatera, dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan. Adanya pekerjaan

tambahan yang dimiliki oleh suami menyebabkan pendapatan keluarga, khususnya pendapatan suami yang memiliki kontribusi terbesar terhadap keluarga, lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan suami yang tidak memiliki pekerjaan tambahan. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Aniri (2008) bahwa suami dengan pekerjaan tunggal akan lebih sejahtera karena pendapatan dari pekerjaan utama lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari pekerjaan sampingan. Perbedaan hasil ini karena pendapatan suami dari pekerjaan tambahan memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan pendapatan dari pekerjaan utama, walaupun pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh suami tidak rutin dilakukan setiap hari.

Selain mata pencaharian suami, pendidikan suami dan pendapatan keluarga juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diukur dengan menggunakan lima indikator baru. Semakin tinggi pendidikan suami peluang keluarga untuk sejahtera lebih besar. Pendidikan tinggi membuka peluang suami untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi semakin besar sehingga keluarga akan semakin sejahtera. Hasil ini mendukung penelitian Rambe (2004) dan Muflikhati (2010) bahwa pendidikan kepala keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Selain itu, Firdausy (1999) diacu dalam Permatasari (2010) menyatakan bahwa keluarga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan keluarga yang dikepalai oleh seseorang yang berpendidikan tinggi. Semakin tinggi pendapatan keluarga, peluang keluarga untuk sejahtera juga akan semakin besar. Keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarga baik untuk kebutuhan pangan ataupun non-pangan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Iskandar (2007), Aniri (2008) dan Muflikati (2010) bahwa pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga.

Ketika keluarga menghadapi suatu kesulitan ekonomi yaitu mengalami penurunan pendapatan ketika harga bunga melati turun, diperlukan upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga atau keuarga tetap dapat mempertahankan kesejahteraannya. Hal ini disebut sebagai strategi koping. Menurut Voydanoff (1987), strategi koping adalah proses yang dilakukan oleh individu dan keluarga dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Dua strategi yang dilakukan keluarga ketika

mengalami kesulitan keuangan yaitu mengurangi pengeluaran (cutting back) dan menambah pendapatan (generating income) (Puspitawati 1998).

Secara keseluruhan, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga pemetik melati di Desa Gelang sebagian besar termasuk dalam kategori sedikit baik dalam cutting back maupun generating income. Sedikitnya jumlah cutting

back menandakan bahwa keluarga buruh pemetik melati telah berusaha

meminimalkan kegiatan mengurangi pengeluaran agar pemenuhan kebutuhan bagi anggota keluarga tidak mengalami penurunan atau tidak terjadi penurunan kualitas hidup bagi anggota keluarga. Kegiatan cutting back yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh untuk kebutuhan pangan adalah mengurangi pembelian kebutuhan pangan baik jenis maupun jumlah, untuk kebutuhan kesehatan berupa mencari tempat pengobatan gratis yaitu dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Asuransi Kesehatan untuk Orang Miskin (Askeskin), untuk kebutuhan pendidikan berupa mengurangi pembelian buku pelajaran, dan untuk kebutuhan lain-lain berupa menunda pembelian barang elektronik.

Kegiatan cutting back lebih mudah untuk dijalankan dari pada kegiatan

generating income, karena dalam menjalankan kegiatan generating income

melibatkan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga seperi sumber daya manusia dan jejaring yang dimiliki oleh keluarga untuk meningkatkan sumber daya uang keluarga. Sementara itu, kegiatan cutting back lebih mudah dijalankan karena dalam pelaksanaannya tidak melibatkan orang lain (jejaring sosial), yaitu hanya melibatkan anggota keluarga sendiri. Menurut Puspitawati (1998), tingkat kemiskinan berhubungan erat dengan strategi penghematan (cutting back) dibandingkan dengan strategi menambah pendapatan (generating income).

Akan tetapi, sediktinya jumlah generating income yang dilakukan oleh keluarga contoh berarti keluarga contoh cenderung pasif menghadapi kenyataan. Kegiatan generating income yang paling banyak dilakukan oleh keluarga contoh untuk kebutuhan pangan adalah dengan sengaja menerima makanan dari tetangga atau saudara, untuk kebutuhan kesehatan adalah dengan memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami tanaman obat, untuk kebutuhan pendidikan adalah dengan meminta seragam bekas ke saudara/tetangga, dan untuk kebutuhan lain-lain adalah anak bekerja membantu orang tua. Selain itu, rendahnya kegiatan yang dilakukan karena kurangnya akses dan sedikitnya pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga sehingga kurang mampu mengeksplor

sumberdaya yang ada. Menurut Rogers dalam Rahardjo (1999), rendahnya tingkat inovasi peasant1 berkaitan dengan tiga hal yaitu: pola hidup peasant cenderung menggunakan cara-cara yang diketahui akan menghasilkan dan enggan menggunakan cara-cara baru yang mungkin menyebabkan kegagalan, sumber-sumber ekonomi yang langka atau penerapan teknologi yang kurang tepat guna karena membutuhkan biaya, dan rendahnya pengetahuan mengenai masalah-masalah teknis (technical know-how) dan sumber daya.

Banyak atau sedikitnya kegiatan strategi koping yang dilakukan keluarga tergantung pada latar belakang sosial ekonomi keluarga. Hasil uji regresi linier berganda menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, pekerjaan tambahan suami, dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap strategi koping keluarga buruh pemetik melati gambir.

Jumlah anggota keluarga memiliki pengaruh positif terhadap jumlah strategi koping. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, strategi koping yang dilakukan oleh keluarga akan semakin meningkat. Semakin banyak jumlah anggota keluarga akan menambah beban keluarga, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Cara atau strategi koping yang dilakukan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan akan semakin sering dilakukan dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga (Rachmawati 2010). Selain itu, Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga maka upaya untuk mengatasi masalah keluarga akan semakin optimal dilakukan.

Tipe keluarga berpengaruh negatif terhadap strategi koping keluarga. Keluarga luas memiliki strategi koping yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga inti. Hal ini diduga karena keluarga luas yang mendapat tambahan anggota keluarga lain dianggap lebih sejahtera, sehingga muncul anggota keluarga lain selain keluarga inti yang tinggal bersama dengan keluarga inti. Friedman, Bowden dan Jones (2003) mengemukakan bahwa terdapat tujuh strategi koping yang dapat dilakukan oleh keluarga internal (intrafamiliar) yaitu mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga, penggunaan humor, musyawarah bersama (memelihara ikatan bersama), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran dan normalisasi.

1

Peasant adalah penghasil-penghasil pertanian yang mengerjakan tanah secara efektif, menjadikan pekerjaan tersebut sebagai nafkah, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari keuntungan (Wolf;1956 diacu dalam Rahardjo;1999)

Adanya pekerjaan tambahan yang dimiliki suami menunjukkan sebagai salah satu strategi koping menambah pendapatan yang dimiliki oleh keluarga. Pendapatan suami dari pekerjaan utama dirasa belum mencukupi kebutuhan keluarga sehingga suami melakukan suatu upaya menambah pendapatan dengan cara memiliki pekerjaan tambahan. Selanjutnya, strategi koping dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Semakin sejahtera, strategi koping yang dilakukan akan semakin sedikit. Keluarga sejahtera telah mampu memenuhi kebutuhan keluarga baik kebutuhan pangan maupun non pangan, sehingga ketika terdapat penurunan pendapatan, keluarga dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mengatasinya, seperti menggunakan aset yang dimiliki oleh keluarga untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Rachmawati (2010) bahwa keluarga yang lebih sejahtera akan memiliki masalah ekonomi yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga miskin.

Pada dasarnya setiap keluarga ingin mempertahankan kesejahteraannya, bahkan memperbaiki keadaan ekonomi keluarga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan. Strategi koping sebagai upaya untuk mempertahankan kesejahteraan yang merupakan tujuan keluarga tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam (endogenous), tetapi ada faktor-faktor lain dari luar (eksogenous) yang turut mempengaruhi proses tersebut (Mardiharini 2002).

Salah satu harapan orang tua dari anak adalah anak memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari orang tua. Untuk dapat mewujudkannya, orang tua perlu memberikan modal agar sumber daya anak memiliki kualitas yang baik. Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), modal manusia/sumber daya manusia adalah jumlah total dari kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh manusia dan cara penggunaan sumber daya manusia yang berpengaruh terhadap sumber daya di masa yang akan datang. Agar manusia dapat menggunakan sumber daya yang dimilikinya, diperlukan suatu upaya berupa investasi sumber daya manusia yang dimulai dari kecil yaitu dari masa anak-anak.

Perilaku investasi anak terdiri atas dua kegiatan yaitu perilaku inevstasi pendidikan dan perilaku investasi kesehatan. Pendidikan merupakan jalan menuju produktivitas tinggi bagi masyarakat, sehingga diharapkan melalui pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Pentingnya pendidikan seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh

karena itu, orang tua perlu memberikan investasi berupa investasi pendidikan kepada anak.

Berdasarkan hasil penelitian, perilaku investasi pendidikan lebih baik daripada perilaku investasi kesehatan pada keluarga contoh. Hal ini terjadi karena orang tua cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menjadi keharusan bagi orang tua untuk anak, seperti membayar dengan tepat waktu uang pendidikan atau SPP. Selain itu, sebagian besar orang tua hanya melakukan hal-hal yang umumnya sudah menjadi kebiasaan diberikan kepada anak, sedangkan kegiatan yang membutuhkan biaya tambahan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan, seperti mengajak anak berekreasi dan memberikan ketrampilan khusus dan les sebagai bekal ketrampilan anak. Hartoyo dan Hastuti (2003) menyatakan bahwa pengeluaran untuk pendidikan anak yang relatif kecil memungkinkan anak kurang dapat mengembangkan potensinya.

Masyarakat lapiasan bawah menganggap pendidikan sebagai suatu pilihan dan bukan keharusan (Mulatsih et al 2002). Hal ini karena tingginya biaya pendidikan dan ketidakseimbangan antara biaya pendidikan dan pemanfaatan kelulusan dalam dunia kerja. Selain itu, adanya fasilitas pendidikan gratis bagi siwa SD dan munculnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) turut mendukung perilaku investasi pendidikan. Beban orang tua terasa semakin ringan dengan adanya Yayasan Ma‟arif di Desa Gelang yang memberikan sekolah gratis bagi anak-anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan SMP.

Investasi dalam bidang kesehatan tentunya berbeda dengan investasi dalam bidang pendidikan yang memiliki tujuan agar manusia memiliki produktivitas dan pendapatan yang tinggi dikemudian hari. Melalui investasi kesehatan, akan dapat memperpanjang umur harapan hidup dan terhindar dari penyakit sehingga akan menghasilkan waktu produktif yang lebih tinggi. Akan tetapi, keluarga contoh memiliki perilaku investasi kesehatan pada kategori sedang bahkan rendah. Berdasarkan hasil penelitian BPS (2009), kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kesehatan masih tergolong rendah. Perilaku investasi kesehatan yang paling sering dilakukan oleh keluarga contoh adalah perilaku kuratif yaitu pada saat anak sakit. Keluarga jarang sekali melakukan kegiatan preventif atau pencegahan. Orang tua merasa memberikan pelayanan kepada anak seperti pemberian makanan bergizi, vitamin, dan lain-lain

membutuhkan biaya yang tinggi. Sementara pendapatan keluarga sudah habis dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Bryant dan Zick (2006) menyatakan bahwa investasi kesehatan memiliki biaya tambahan yang lebih rumit dibandingkan dengan investasi pendidikan.

Pendapatan yang rendah, membuat orang tua hanya melakukan tindakan-tindakan kuratif (ketika anak sakit) terhadap anak. Selain pendidikan, rendahnya pendidikan orang tua membuat pola pikir orang tua kurang mendukung untuk melakukan tindakan promotif dan preventif. Menurut orang tua tindakan promitif dan preventif tidak terlalu penting untuk dilakukan. Orang tua jarang menyediakan susu, makanan bergizi, dan vitamin kepada anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya uang untuk membeli semua kebutuhan. Selain itu, kepuasan orang tua dengan keadaan anak membuat orang tua tidak terlalu memberikan perhatian khusus, seperti anak yang sudah gemuk sehingga orang tua tidak perlu memberikan vitamin. Rendahnya perilaku investasi yang dilakukan orang tua diduga karena pendidikan orang tua yang rendah, sehingga mind set yang dimiliki orang tua akan anak bukan untuk investasi sebagai perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia tapi sebagai tenaga kerja yang murah dan sebagai sandaran hidup di hari tua.

Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku investasi anak adalah pendidikan ibu dan pendapatan keluarga. Istri dengan pendidikan lebih