• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las

TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bengkel Las

a. Umur

Umur merupakan variabel yang sangat penting terkait terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur serta kondisi lingkungan yang kurang baik atau kemungkinan terkena suatu penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru semakin besar. Seiring bertambahnya umur seseorang, kapasitas paru akan berkurang. Kapasitas paru orang dengan umur 30 tahun ke atas memiliki rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada orang yang

berumur 50 tahunan kapasitas paru kurang dari 3.000 ml (Guyton, 1994).

Semakin lanjut usia seseorang otot-otot pernafasan akan semakin lemah, melemahnya otot-otot pernafasan mulai sekitar usia 55 tahun (Mawi, 2005).

b. Jenis Kelamin

Volume paru pria dan wanita terdapat perbedaan bahwa kapasitas paru total (kapasitas inspirasi dan kapasitas residu fungsional), pria adalah 6,0 liter dan wanita 4,2 liter (Lorriane, 1995). Sedangkan kapasitas vital rata – rata pria dewasa muda lebih kurang 4,6 liter dan perempuan muda kurang lebih 3,1 liter (Yulaekah, 2007). c. Kebiasaan Merokok

Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai lebih 200 miliar batang (Kepmenkes, 2008).

Merokok merupakan faktor risiko timbulnya penyakit obstruksi saluran napas kronik (PPOK). Rokok menimbulkan reaksi inflamasi

dengan atau tanpa pembentukan mukus dalam saluran pernapasan, peningkatan sel polymorfonuklear dan terjadi penghambatan elastase inhibitor yang dapat merusak jaringan elastin, akibatnya fungsi paru menurun (Mawi, 2005).

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada IndexBrigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkhitis 10 bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita bronkhitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok. Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya kalau sehari mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa terkena kanker paru (Kepmenkes, 2008).

Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut asap rokok utama (main stream smoke), sedang asap yang berasal dari ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang dihembuskan lagi oleh prokok dan asap rokok sampingan disebut asap rokok lingkungan (ARL) atau Environmenttal Tobacco Smoke (ETS) (Kepmenkes, 2008).

Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih tigggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan kimia. Oleh karena itu asap rokok lingkungan (ARL) berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari aseton (bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane (bahan bakar ringan), kadmium (aki kendaraan), karbon monoksida (asap knalpot), DDT (insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), methanol (bensin roket), naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil klorida (plastik) (Kepmenkes, 2008).

Menurut Amin (2000), kebiasaan merokok dapat dibagi menjadi 3 kategori perokok, yaitu:

1) Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batang/hari.

2) Perkokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batang/hari.

3) Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batang/hari.

d. Kebiasaan Olahraga

Berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk meningkatkan vitalitas fungsi baru. Olahraga merangsang pernapasan yang dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Seorang sehat berusia 50-an yang berolahraga teratur mempunyai volume oksigen 20-30% lebih besar dari orang muda yang tidak berolahraga (Stull, 1980).

Bila seseorang mempunyai volume oksigen yang lebih banyak maka peredaran darahnya lebih baik, sehingga otot-otot mendapatkan oksigen lebih banyak dan dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa rasa letih. Sudah diketahui banyak faktor yang dapat mengganggu kesehatan paru. Bahaya yang ditimbulkan berupa rusaknya bulu getar di saluran napas, sehingga fungsi pembersihan saluran napas terganggu. Bahan kimia tersebut juga dapat merusak sel-sel tertentu di alveola yang sangat penting dalam pertahanan paru dan mengubah tatanan normal sel-sel di paru, sehingga dapat menjurus menjadi kanker paru, serta menurunkan kemampuan atau fungsi paru, sehingga menimbulkan gejala sesak napas atau napas pendek (Stull, 1980).

Menurut Yunus (1997), Berolahraga secara rutin dapat meningkatkan aliran darah melalui paru yang akan menyebabkan kapiler paru mendapatkan perfusi maksimum, sehingga O2 dapat

berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume lebih besar atau maksimum. Olahraga sebaiknya dilakukan minimal seminggu tiga kali.

e. Status Gizi

Peran dari status gizi adalah secara tidak langsung seperti pada penyakit cystic fibrosis. Namun demikian, penelitian epidemiologis saat ini menunjukkan peran penting gizi terhadap fungsi paru, terutama yang berkaitan dengan konsumsi zat gizi yang merupakan sumber antioksidan. Peran penting antioksidan sebagai pencegah radikal bebas yang banyak terdapat pada debu dan polusi, hasil penelitian menunjukkan bahwa gizi kurang ternyata berhubungan dengan penyakit paru (Sridhar, 1999 dalam Budiono, 2007).

Penelitian Benedict tahun 1919 pada orang yang dalam keadaan starvation (lapar) ternyata mengalami perubahan fisiologis yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20% dan penurunan konsumsi O2 sebesar 18%. Efek negatif dari penurunan

status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga dikonfirmasi dalam penelitian Minesota oleh Keys et al pada tahun 1950. Kapasitas vital

paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang kembali pada keadaan diet normal. Penelitian yang lainnya menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberculosis dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat (Budiono, 2007).

Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil penelitian tentang kegemukan dan angka kematian, dijelaskan bahwa kegemukan dapat mengurangi umur seseorang. Bahkan orang gemuk yang tidak merokok berarti hidupnya lebih sehat, memiliki risiko kematian dini yang lebih tinggi dibanding orang yang lebih kurus (Almatsier, 2009).

Untuk memantau berat badan dapat digunakan IMT, dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Almatsier, 2009):

IMT = Berat Badan (kg)

Tabel 2.1 Kategori IMT

Kategori Keterangan IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5

Normal - 18,5-25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0-27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0 Sumber: Almatsier (2009)

f. Riwayat Penyakit

Dari hasil penelitian Sudjono dan Nugraheni dalam Budiono (2007) diperoleh hasil bahwa pekerja yang mempunyai riwayat penyakit paru mempunyai risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian juga diperoleh hasil bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru.

Seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah. Banyak ahli berkeyakinan bahwa emfisema kronik, pneumonia, asma bronkiale, tuberculosis dan

sianosis akan memperberat kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja yang terpapar oleh debu organik dan anorganik (Price, 1995 dalam Budiono, 2007).

g. Riwayat Pekerjaan

Riwayat pekerjaan dapat digunakan sebagai cara menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Pekerjaan sebelumnya mempunyai kemungkinan bahwa penyakit yang sekarang diderita merupakan akibat dari faktor-faktor penyebab penyakit yang ada pada lingkungan kerja sebelumnya (Suma’mur, 1996).

Pekerja yang memiliki riwayat kerja yang menghadapi debu berbahaya atau yang dapat menyebabkan pneumokoniosis, misalnya pernah bekerja di pertambangan, pabrik keramik, dan lainnya serta makin banyaknya penimbunan debu dalam paru-paru maka memiliki kemungkinan terjadi gangguan fungsi paru yang lebih tinggi (Suma’mur, 1996).

h. Masa Kerja

Penelitian Heri Sumanto pada tahun 1999 dalam Budiono (2007) menunjukkan bahwa semakin lama seseoang bekerja pada lingkungan berdebu, maka akan semakin menurunkan kapasitas vital paru. Dimana setiap penambahan masa kerja dalam satu tahun akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml.

i. Jumlah Jam Kerja Per Minggu

Menurut Anggoro (1999), semakin lama pekerja terpapar oleh paparan akan semakin memperbesar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Jumlah jam kerja per minggu seseorang mengakibatkan berbedanya intensitas pajanan dan banyaknya debu yang terhirup oleh masing-masing pekerja las, sehingga pekerja las yang cukup lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya, berpotensi menghirup debu lebih banyak jika dibandingkan dengan pekerja las yang tidak lama terlibat dalam aktivitas pekerjaannya.

Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja terpapar debu dapat digunakan untuk memperkirakan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Timbulnya gangguan fungsi paru pada pekerja dapat sangat tergantung pada lamanya paparan serta dosis paparan yang diterima. Paparan dengan kadar rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya gangguan fungsi paru (Budiono, 2007).

j. Penggunaan Masker

Masker merupakan salah satu bagian dari alat pelindung diri yang penting. Untuk meminimalkan risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru, maka disarankan penggunaan masker bagi pekerja yang terpapar debu (Carlisle, 2000). Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan Adi (2007) dalam Prasetyo (2010) menunjukan ada hubungan antara penggunaan APD (masker) dengan kapasitas vital paru.

APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (Yulaekah, 2007):

1. Masker untuk melindungi debu atau partikel - partikel yang lebih kasar masuk ke dalam saluran pernapasan, terbuat dari bahan kain dengan ukuran pori - pori tertentu.

2. Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan.

k. Paparan Kadar Debu Total

Paparan debu terhirup yang melebihi nilai ambang batas akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Namun demikian, perlu diketahui bahwa kadar debu yang rendah namun lama keterpaparan terjadi dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan efek kumulatif sehingga pada akhirnya pekerja dapat mengalami gangguan fungsi paru. Temuan dari penelitian terdahulu didukung oleh penelitian ini bahwa lama keterpaparan seorang pekerja pengelasan berhubungan secara bermakna dengan terjadinya

gangguan fungsi paru (Deviandhoko, 2012). Nilai ambang batas debu yang diperkenankan menurut Permenaker No. 13 Tahun 2011 adalah sebesar 10 mg/m3.

Mekanisme paparan debu las terhirup terhadap terjadinya gangguan fungsi paru tersebut perlu dicermati. Debu yang masuk saluran nafas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan non-spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan nafas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas (Deviandhoko, 2012).

Dokumen terkait