• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

D. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak

Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat ini

58

berkembang di masyarakat. Masyarakat yang pada umumnya mempunyai hubungan sosial yang multiplex, cenderung menjunjung tinggi mufakat atau kompromi. Masyarakat juga memikirkan kelanjutan hubungan sosial kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal yang mereka inginkan menyangkut hubungan baik dan kompromistis tersebut tidak bisa mereka dapatkan melalui sebuah penyelesaian sengketa yang terstruktur melalui cara litigasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan.

Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan politik, cara-cara negosiasi dan mediasi tidak akan berjalan efektif karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apa pun dapat memenangkan sengketa. 59

Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.

60

59 Albert K. Fiadjoe, Akternative Disputs Resolution, dalam Skripsi Fanny Dwi Lestari, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013

Seperti hal nya dengan negosiasi dan mediasi, arbitrase lebih dipilih karena para pihak cenderung tidak mempercayai lembaga pengadilan tersebut.

60

Para pihak yang bersengketa tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa yang menang ataupun kalah dalam suatu proses penyelesaian sengketa litigasi, para pihak akan mengeluarkan biaya yang banyak selama proses penyelsaian perkara. Melalui arbitrase, biaya besar yang dikeluarkan para pihak tersebut dapat diminimalisir sehingga para pihak pun lebih memilih arbitrase daripada proses penyelesaian secara litigasi. Dengan kata lain, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan cara yang efektif dari segi finansial karena biayanya yang terjangkau.

Sama halnya dengan biaya, para pihak juga tidak ingin membuang waktu hanya untuk berperkara di pengadilan saja, masih banyak kepentingan dan urusan lain yang harus mereka selesaikan disamping sengketa yang tengah mereka hadapi. Agar penyelesaian sengketa menjadi lebih hemat waktu, para pihak sengketa tertarik untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Selain putusan bisa di dapat dengan cepat, putusan arbitrase ini bersifat final dan tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

Tidak sama dengan negosiasi dan mediasi yang memiliki kemungkinan tidak berhasil, arbitrase pasti akan menghasilkan suatu keputusan terhadap sengketa yang terjadi, karen arbiter memiliki wewenang untuk hal tersebut bahkan dalam hal ketidakhadiran pihak termohon sekalipun. Hal ini juga mnjadi nilai lebih bagi arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa.

Faktor lain yang mendorong para pihak sengketa melakukan arbitrase adalah karena arbitrase memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada para pihak dalam menentukan arbiter, pilihan hukum, proses, serta tempat

penyelenggaraan arbitrase. Namun tetap pada akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh terhadap putusan arbitrase yang mengikat mereka tersebut.

Dari faktor-faktor yang telah diurasikan diatas, dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang memiliki manfaat serta kemudahan- kemudahan yang sangat besar sehingga mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.

BAB III

ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

A.Defenisi Sengketa Perbankan

Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem bagi semua sektor perekonomian.

Lembaga perbankan di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dimana kegiatan lembaga keuangan seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC). Voc membawa serta perangkat sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus ke arah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi perdagangannya. Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia, yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang secara resminya adalah perusahaan dagang. Adapun perusahaan yang benar-benar resmi didirikan untuk menjalankan usaha bank, yaitu NV De Javasche Bank. Adapun modal pertamanya sebesar satu juta gulden. Modal tersebut berasal dari setoran

pemerintah Hindia Belanda dan De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Dengan telah berdirinya De Javasche Bank oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya adalah mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, maka bank itu bertindak sebagai bank sentral.61

1. Mengatur pengeluaran dan peredaran uang kertas bank dengan harga yang tetap menurut keperluan masyarakat terhadap alat penukaran.

Setelah Jepang masuk ke Indonesia, De Javanische Bank tersebut dikuasai oleh pemerintahan tentara Jepang.

Pada permulaan zaman kemerdekaan pemerintah sangat memberikan perhatian yang besar kepada dunia perbankan. Banyak langkah dan kebijakan pemerintah yan g diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap kemanuan dunia perbankan di Indonesia pada saat itu. Langkah dan kebijakan pertama yang berkaitan dengan perbankan, yaitu [pembentukan bank baru sebagai alat perjuangan dan dimaksudkan untuk menjadi bank sentral, yaitu Bank Negara Indonesia yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahnu 1946 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1946, yang kemudian lebih dikenal dengan BNI 1946. Tujuan didirikannya bank tersebut yaitu untuk :

2. Memperbaiki peredaran alat pembayaran lain.

3. Memenuhi kredit masyarakat dan umumnya supaya dapat bekerja untuk kepentingan umum.

61 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2012) hlm. 54

Selain BNI 1946, bank lain yang juga milik negara pada saat awal kemerdekaan adalah Bank Rakyat Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1946, lahan usaha Bank Rakyat Indonesia meliputi memberikan pinjaman kepada rakyat, menerima uang simpanan (tabungan), menjalankan tugas-tugas bank umum, dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Karenanya, BRI mempunyai otonomi dalam menyelenggarakan usahanya. Oleh pemerintah, BRI lah yang diarahkan sebagai bank yang langsung berhubungan dengan rakyat.62

62Ibid. hlm 55-56

Pada saat ini belum secara jelas terbentuk sebuah bank sentral. Namun terdapat adanya kewajiban menyimpan uang di bank berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewajiban Menyimpan Uang dalam Bank. Bank yang ditunjuk berdasarkan Perppu tersebut adalah Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan Bank lain yang telah mendpatkan izin dari Menteri Keuangan. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dikenalan sanksi berupa hukuman penjara maksimal tiga tahun serta uangnya dirampas negara. Hal ini merupakan usaha dari pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang banking minded (banking habit). Pada waktu itu De Javasche Bank juga dinasionalisasi.

Pada zaman Orde Lama, bank sentral mulai ditetapkan. Bank sentral memiliki sifat dualisme yang merupakan warisan dari De Javasche Bank yaitu sebagai bank sentral dan juga sebagai bank komersial atau bank umum.

Dengan tenggelamnya Orde Lama, kehidupan perbankan kita memasuki babak baru bersama naiknya kebijakan pemerintah Orde Baru, pemerintah Orde Baru ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas. Langkah selanjutnya untuk perbaikan perbankan, dimulai dengan memperkuat perundang-undangan yang mengatur perbankan, baik berupa penggantian maupun membuat undang-undang yang baru, misalnya, membuat peraturan yang baru berupa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Sedangkan yang berupa penggantian peraturan yang lama yaitu berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna mengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Indonesia.

Perbaikan kelembagaan perbankan dengan memperkuat landasan hukumnya adalah suatu pilar bagi terselenggaranya pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam nmenjalankan fungsinya secara sehat, wajar, efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan internasional. Sebagai langkah awal perbaikan ekonomi nasional, pemerintah Orde Baru memulai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan ingin segera jelas mengatur usaha perbankan termasuk masalah perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan, seperti ekspansi kredit yang tak terkendali dapat dihindari. Disamping itu, untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi penghimpunan, dan penggunaan dana masyarakat. Selain itu, juga dibuka lagi kesempatan untuk

pendirian bank asing, yaitu melalui ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1968 tentang Bank Asing.63

1. Tahap stabilisasi dan rehabilitasi (1966-1969)

Perkembangan perbankan dalam masa Orde Baru ini secara garis besarnya dapat dibagi dalam tiga tahap utama, yaitu :

Yang dilakukan pemerintah adalah menyusun kebijakan-kebijakan dasar ekonomi serta keuangan maupun pembangunan. Kebijakan-kebijakan baru tersebut secara tegas membedakan antara tahap stabilisasi dan rehabilitasi, dengan tahap pembangunan ekonomi.

2. Periode pembangunan (1970-1982)

Pada tahap ini, di bidang perkreditan ditempuh kebijaksanaan pemberian kredit secara selektif dalam mengatur jumlah dan penyalurannya dalam perekonomian.

3. Periode deregulasi (1983-1991)

Dalam periode ini banyak sekali berbagai kebijakan baru yang merupakan kemajuan besar di dunia perbankan Indonesia.

4. Periode awal Reformasi (1992-1998)

Pada periode ini ada suatu semangat perubahan di bidang perbankan. Semangat tersebut belum dapat terlaksana dengan baik karena terbentur masih kuatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di dalam pemerintahan Orde Baru. Kredit Bank Indonedia hanya dinikmati

63Ibid. hlm 61

segelintir pihak yang dekat dengan sumbu kekuasaan. Selain itu, pengawasan perbankan tidak berjalan dengan sempurna.64

Lembaga perbankan dengan fungsinya yang antara lain, sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak- pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds), serta juga melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian masyarakat, maka menurut ilmu sosiologi, perbankan diakui merupakan suatu lembaga sosial. Dalam arti bahwa perbankan tersebut merupakan bentuk himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang menyangkut kebutuhan pokok manusia.

Setelah lengsernya kepemimpinan Soeharto, Presiden Habibie memiliki tekad untuk memperbaiki perekonomian dan perbankan secara benar. Yang menjadi prioritas adalah perubahan landasan hukum yang dipakai dalam program penyehatan perbankan nasional tersebut.

Kegiatan lembaga perbankan secara umumnya dilakukan oleh pelaku yang menurut fungsi serta tujuan usahanya dapat dibedakan, yaitu berupa bank sentral (central bank) dan bank umum (commercial bank). Bank umum atau bank komersial dalam kegiatannya dibina dan diawasi oleh bank sentral, sedangkan bank sentral dalam menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijaksanaan pemerintah.

65

Dikarenakan pentingnya lembaga perbankan sebagai pilar yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia dewasa ini, dan mengingat

64Ibid. hlm 69 65Ibid. hlm 69

perannya dalam mencapai tujuan nasional, maka disusunlah suatu ketentuan yang mengatur tentang perbankan yaitu dimulai dari disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, lalu diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diubah kembali menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan juga lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dimana keseluruhan Undang-Undang tersebut adalah juga merupakan bukti pengawasan pemerintah terhadap lembaga perbankan agar mampu berjalan dan berfungsi secara sehat, efisien serta dapat melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat dan mampu menyalurkan kembali dana-dana yang dihimpunnya tersebut ke berbagai bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.

Perbankan disebut juga sebagai lembaga fiduciary atau lembaga kepercayaan. Karena berdiri dan berkembang dan dikelola berlandaskan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat atau nasabah.

Menurut Saladin Djaslim, nasabah adalah orang atau badan yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank.66

Komaruddin dalam ˝Kamus Perbankan˝ menyatakan bahwa nasabah adalah seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau tabungan serupa lainnya pada sebuah bank.67

66 Saladin Djaslim, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Bank, (Jakarta, CV Rajawali, 1994)

dalam artikel Mira V

67 Komaruddin, Kamus Perbankan, (Jakarta, CV Rajawali, 1994) dalam artikel Mira Ve

Dalam pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan) disebutkan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.

Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberikan pengertian nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS (Unit Usaha Syariah).

Nasabah dalam lembaga perbankan merupakan bagian yang sangat penting. Diibaratkan nasabah adalah oksigen yang menopang kehidupan suatu lembaga perbankan. Karena berdasarkan fiduciary principle, dana yang dihimpun dan disalurkan kembali oleh lembaga perbankan adalah berasal dari nasabah yang mempercayakan uangnya dikelola oleh lembaga perbankan tersebut.

Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa (dispute) di antara mereka. Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya.68

1. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank

Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya konflik tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:

68

2. pemahaman nasabah terhadap aktifitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang

3. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana

4. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank. 69

Secara umum berbagai pihak menilai bahwa masih belum terdapat kesetaraan kedudukan antara Bank dan Nasabah sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum yang timbul dari transaksi keuangan yang ditawarkan bank. Pada umumnya nasabah sebagai pihak pengguna jasa berada pada posisi yang lemah dan lebih rendah dibandingkan dengan pihak bank sebagai penyedia jasa. Hal ini terutama dapat dilihat apabila terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan antara nasabh dengan bank mengenai pencatatan, perhitungan dan atau fakta yang terkait dengan transaksi keuangan.Apabila pihak nasabah mengajukan keberatan (complaint) atas perbedaan tersebut, pada umumnya pihak nasabah hanya bersikap pasif terhadap penyelesaian yang diberikan oleh pihak bank. Apabila pihak nasabah merasa tidak puas dengan respon dan atau penyelesaian yang diupayakan oleh bank nasabah biasanya hanya pasrah atau mengungkapkan rasa ketidakpuasannya melalui media massa. Melalui sarana media massa, nasabah yang merasa dirugikan oleh bank pada umumnya menghimbau kepada nasabah lain untuk lebih berhati-hati dalam

69 Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia dalam artikel

2014

melakukan transaksi dengan suatu bank. Publikasi negatif tersebut pada gilirannya dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi bank.70

Sengketa Perbankan biasanya berawal dari terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank.71

Dari ketentuan ini dapat dipastikan bahwa tidaklah semua sengketa perbankan dapat diarbitrasekan, akan tetapi tidak sedikit sengketa perbankan yang

Memang tidak semua sengketa perbankan dapat diselesaikan melalui arbitrase, dengan kata lain sengketa perbankan yang dapat diarbitrasekan hanyalah sebatas sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang dapat diadakan perdamaian.

Apa yang disebutkan di atas sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi :

(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

70

diakses 19 Februari 2014 71Ibid

dapat diarbitrasekan seperti sengketa kredit macet, kredit sindikasi, usaha patungan dan beberapa jenis sengketa lainnya.72

Kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Dari ketiga faktor penilaian tersebut, maka kualitas kredit ditetapkan sebagai berikut :

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

73

- lancar

- dalam perhatian khusus - kurang lancar

- diragukan - macet

Kredit macet adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.74

72

artikel, diakses 21 Februari 2014

73 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Pasal 12 ayat (3)

74 Mudrajad Kuncoro, Suhardjono, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta, BPFE, 2002) hlm.462

Bentuk lain yang dapat menjadi sengketa perbankan adalah kredit sindikasi. Menurut (bi.go.id), disebutkan bahwa kredit sindikasi adalah pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu debitur, yang jumlah kreditnya terlalu besar apabila diberikan oleh satu bank saja (loan syndication).75

75

Suatu kredit sindikasi dapat menimbulkan sengketa bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan perjanjian sindikasi tersebut, salah satunya misalnya adalah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur dalam permbayaran kredit.

Jenis sengketa tersebut pada kondisi perekonomian Indonesia yang carut marut ini menumpuk di beberapa lembaga keuangan yang ada seperti bank. Penumpukan perkara ini, menjadi persoalan tersendiri bagi dunia perbankan dalam artian merupakan suatu tuntutan bagi kalangan industri perbankan saat ini untuk dapat menyelesaikan sengketanya secara cepat dan hemat biaya agar arus perputaran uang menjadi lancar.

Hal ini penting apabila dikaitkan dengan usaha pokok dari bank yaitu sebagai suatu lembaga yang bergerak di bidang pengumpulan uang dari masyarakat yang selanjutnya didistribusikan kembali kepada mereka sendiri dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Sudah barang tentu apabila suatu industri perbankan mempunyai banyak sengketa dan mengalami kendala dalam penyelesaiaanya akan menimbulkan kerugian dan kemacetan dalam arus perputaran uang misalnya sengketa kredit macet.

diakses 23 Februari 2014

Dengan melihat fenomena di atas, dikaitkan dengan efek negatif yang ditimbulkan dari penumpukan perkara dalam dunia perbankan maka sudah seharunya industri perbankan maupun para usahawan untuk mencari solusi yang tepat, cepat, ekonomis serta efektif untuk memecahkan persoalan tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyelamatkan industri tersebut dari resiko yang mungkin timbul dan juga untuk menjaga perusahaan tersebut untuk tetap eksis untuk selamanya.76

Semakin berkembang kehidupan suatu bangsa dan lingkungan kehidupannya, maka semakin banyak dan luas juga kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bangsa tersebut. Kegiatan yang dilakukan beragam mulai dari kegiatan sosial, politik, perdagangan, dan lain sebagainya. Kegiatan yang dilakukan tersebut menyangkut hubungan antar individu, dimana dalam pelaksanaannya tentulah tidak terlepas dari adanya kesalahpahaman yang berakibat menimbulkan sengketa. Sengketa yang terjadi tersebut harus segera di

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sengketa perbankan adalah sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan oleh karena tidak terpenuhinya hal-hal yang diperjanjikan antara kedua belah pihak, baik karena wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah ataupun karena tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank. Yang mana sengketa perbankan seharusnya dan sebaiknya diselesaikan dengan cara yang cepat dan hemat biaya.

B. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Perbankan di Luar Peradilan

76

ambil jalan keluar penyelesaiannya agar tidak menjadi berlarut-larut dan agar tercapai suatu kepastian hukum atasnya.

Penyelesaian suatu sengketa biasanya diserahkan kepada lembaga peradilan, namun dalam pelaksanaannya banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat di lembaga peradilan dalam proses penyelesaian suatu sengketa, sehingga para pihak yang bersengketa berinisiatif untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa dengan cara lain yang lebih mudah. Jenis penyelesaian sengketa yang populer dan banyak di pilih oleh pihak yang bersengketa adalah penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar pengadilan, yaitu melalui arbitrase.

Akan tetapi arbitrase bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaiakan sengketa di luar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase, misalnya emlalui cara mediasis maupun konsiliasi dan sebagainya. Baik mediasi maupun konsiliasi adalah sama-sama merupakan suatu upaya menyelesaikan sengketa dengan cara

Dokumen terkait