• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

B. Unsur, Objek, serta Jenis Arbitrase

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa.

Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian unsur- unsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi :

a. penyelesaian sengketa b. di luar peradilan umum

c. berdasarkan perjanjian tertulis42

Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri.

Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi

42 Eddy Leks,

menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis.

Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase ataupun arbitrase ad-hoc.

Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa, “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “...the parties undertake to submit to arbitration all or any differences....which may arise between them...”43

a. meninggalnya salah satu pihak

Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut :

b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi (pembaruan utang)

43 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.24

d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak e. pewarisan

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok44

Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase.

Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi

b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan

44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif pasal 10

c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa.

Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup :

1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase 2. Ruang lingkup arbitrase

3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc. apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase

4. Aturan prosedural yang berlaku

5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase 6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase

7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).45

Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian

45 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia:Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995) hlm.25

sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.46

46

b. Objek Arbitrase

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan.

Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase.

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.47

1. Arbitrase ad-hoc

b. Jenis Arbitrase

Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai jenis-jenis arbitrase, dimana hal ini berarti menyangkut masalah lembaga yang akan menangani jalannya arbitrase. Untuk tinjauan terhadap lembaga arbitrase ini dilakukan pendekatan melalui ketentuan yang tercantum didalam Rv dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Jenis arbitrase yang akan dibahas ini merupakan jenis arbitrase yang kewenangan serta eksistensi nya diakui sebagai lembaga untuk memriksa, menangani serta memberikan putusan terhadap sengketa yang terjadi antara pihak- pihak yang telah melakukan perjanjian.

Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu :

2. Arbitrase institusional

47 BPK, Arbitrase.

Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.48

Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.

Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun pangikatan arbiternya.

49

Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekatpada suatu badan (body) atau lembaga (institution) tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelasanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan atta cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.50

Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para

48 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.55 49 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm.150

pihak sering kali memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional.51

Arbitrase institusional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.52

Karena arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.53

- The International Centre for Setlement of Investment Dispute (ICSID), didirikan oleh World Bank. Diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 5 Tahun 1968.

Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional.

Yang bersifat Internasional misalnya :

- Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC), bertempat di Paris.

- United Nation Commisson on International Trade Law (UNCITRAL), didirikan pada tanggal 21 Juni 1985.

51 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Op.Cit. hlm 25 52Ibid. hlm.26

Sedangkan lembaga arbitrase yang bersifat Nasional antara lain : - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

- Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)

Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil dan cepat.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini berdiri pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai sarana kepercayaan para pengusaha Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.

Prakarsa KADIN dalam pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang antara lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrase, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk legalisasi surat- surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya.54

Jadi walaupun Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini memiliki sifat, ruang lingkup keberadaan serta hanya meliputi kawasan Indonesia, namun bukan berarti Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini hanya dapat menyelesaikan sengketa nasional saja, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa yang bebobot internasional, asalkan hal tersebut diajukan atau diminta serta disepakati oleh para pihak.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri dari susunan seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang anggota tetap, beberapa orang anggota tidak tetap, dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua, anggota, dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Team Inti Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut adalah untuk waktu lima tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota tetap merupakan pengurus (Board of Managing Directors) Badan Arbitrase Nasional Indonesia.55

1. Kelebihan Arbitrase

Dokumen terkait