• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi

I.2.2 Faktor-Faktor yang Menumbuhkan Hubungan Antarpribadi (Interpersonal) dalam Komunikasi Antarpribadi

Pola-pola komunikasi antarpribadi (interpersonal) mempunyai efek yang berlainan pada hubungan antarpribadi. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi antarpribadi dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Bila diantara komunikator dan komunikan berkembang sikap curiga, maka makin sering mereka berkomunikasi makin jauh jarak yang timbul.

Yang menjadi soal bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat menumbuhkan hubungan antarpribadi yang baik, yaitu : sikap percaya, sikap suportif dan terbuka.

a. Sikap Percaya (trust)

Secara ilmiah percaya didefenisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (Griffin, 1967:224-234). Menurut Johnson (1981), mempercayai meliputi membuka diri dan rela menunjukkan penerimaan dan dukungan kepada orang lain.

Sejauhmana kita percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional. Menurut Deutsch (1958), harga diri dan otoritarianisme mempengaruhi percaya. Orang yang harga dirinya positif akan cenderung mempercayai orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter cenderung sukar mempercayai orang lain.

Ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya, yaitu ; menerima, empati dan kejujuran.

Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai (Anita Taylor, 1977:193). Saya menerima Anda bila saya menerima anda sebagaimana adanya; tidak menilai atau mengatur. Saya memandang Anda secara realistis. Saya tahu Anda mempunyai perilaku yang menyenangkan dan yang menyebalkan.

Sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan. Kita selalu cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya, hubungan antarpribadi tidak akan berlangsung seperti yang kita harapakan. Bila kita tidak bersikap menerima, kita akan mengkritik, mengecam atau menilai. Sikap seperti ini akan menghancurkan percaya. Orang enggan pula menerima kita karena takut pada akibat-akibat jelek yang akan timbul dari reaksi kita. Sikap menerima menggerakkan percaya, karena tidak akan merugikan orang lain.

Menerima tidaklah berarti menyetujui semua perlilaku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya. Menerima berarti tidak menilai orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi. Betapapun jeleknya perilakunya kita tetap berkomunikasi dengannya sebagai persona, bukan sebagai objek (Rakhmat, 2005:131-132).

Empati adalah faktor kedua yang menumbuhkan sikap percaya pada diri orang lain. Empati telah didefenisikan bermacam-macam. Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita (Freud, 1921) ; sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menanggapi orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi (Scotland, et al., 1978:12); sebagai “imaginative intellectual and emotional participation in anther person’s experience” (Bennet, 1979).

Defenisi terakhir dikontraskan dengan pengertian simpati. Dalam simpati kita menempatkan diri kita secara imaginatif pada posisi orang lain. Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang lain; kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Berempati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati

kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakan.

Kejujuran adalah faktor yang ketiga yang menumbuhkan sikap percaya. Menerima dan empati mungkin saja dipersepsi salah oleh orang lain. Sikap menerima kita dapat tanggapi sebagai sikap tak acuh, dingin dan tak bersahabat; empati dapat ditanggapi sebagai pura-pura. Supaya ditanggapi sebenarnya, kita harus jujur mengungkapkan diri kita kepada orang lain. Kita harus menghindari terlalu banyak melakukan “penopengan” atau “pengolahan kesan”. Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dan sikapnya dengan lambang-lambang verbal dan non-verbal. Kejujuran menyebabkan perilaku kita dapat diduga. Ini mendorong orang lain untuk percaya kepada kita (Rakhmat, 2005:133).

b. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas dengan sikap defensif komunikasi antarpribadi akan gagal; karena orang defensif akan lebih melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami orang lain.

Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif dan sebagainya) atau faktor-faktor situasional. Diantara faktor-faktor situasional adalah perilaku orang lain. Jack R. Gibb menyebutkan eman perilaku yang menimbulkan perilaku suportif (Gibb, 1961:10-15). Secara singkat perilaku yang menimbulkan iklim defensif dan suportif dapat diperhatikan pada tabel berikut :

Tabel 2

Perilaku Defensif dan Suportif dari Jack Gibb No. Iklim Defensif Iklim Suportif

1. Evaluasi Deskripsi

2. Kontrol Orientasi Masalah

3. Strategi Spontanitas

4. Netralitas Empati

5. Superioritas Persamaan

6. Kepastian Provisionalisme

Dalam penelitian Gibb diungkapkan bahwa makin sering orang mengunakan perilaku di sebelah kiri, makin besar kemungkinan komunikasinya menjadi defensif. Sebaliknya, komunikasi defensif berkurang dalam iklim suportif, ketika orang menggunakan perilaku sebalah kanan.

Evaluasi dan Deskripsi. Evaluasi artinya penilaian terhadap orang lain;

memuji atau mngecam. Dalam mengevaluasi kita mempersoalkan nilai dan motif orang lain. Bila kita menyebutkan kelemahan orang lain, mengungkapkan betapa jelek perilakunya, meruntuhkan harga dirinya, kita akan melahirkan sikap defensif. Dekripsi artinya penyampaian perasaan dan persepsi Anda tanpa menilai. Deskripsi dapat juga terjadi ketika kita mnegevaluasi gagasan orang lain, tetapi orang merasa bahwa kita menghargai mereka (menerima mereka sebagai individu yang patut dihargai).

Kontrol dan Orientasi Masalah. Perilaku kontrol artinya berusaha untuk

mengubah orang lain, mengendalikan perilakunya, mengubah sikap, pendapat dan tindakannya. Melakukan kontrol juga berarti mengevaluasi orang lain

sebagai orang yang jelek sehingga perlu diubah. Itu berarti kita tidak menerimanya. Setiap orang tidak ingin didominasi oang lain. Kita ingin menentukan perilaku yang kita senangi. Karena itu kontrol orang lain akan kita tolak. Orientasi masalah sebaliknya adalah mengkomunikasikan keinginan untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah. Dalam orientasi masalah, Anda tidak mendiktekan pemecahan. Anda mengajak orang lain bersama-sama untuk menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.

Strategi dan Spontanitas. Strategi adalah penggunaan tipuan-tipuan atau

manipulasi untuk mempengaruhi orang lain. Anda menggunakan strategi bila orang menduga anda mempunyai motif-motif tersembunyi; Anda berkomunikasi dengan “udang di balik batu”. Spontanitas artinya ikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. Bila orang tahu kita melakukan strategi, ia akan menjadi defensif

Netralitas dan Empati. Natralitas berarti bersikap impersonal-memperlakukan

orang lain tidak sebagai persona, malainkan sebagai objek. Bersikap netral bukan berarti objektif, melainkan menunjukkan sikap tak acuh, tidak menghiraukan perasaan dan pengalaman orang lain. Lawan netralis ialah empati. Tanpa empati, orang seakan-akan “mesin” yang hampa perasaan dan tanpa perhatian.

Superioritas dan Persamaan. Superioritas artinya sikap menunjukkan Anda

lebih tinggi atau lebih baik dripada orang lain karena status, kekuasaan, kamampuan intelektual, kekayaan atau kecantikan. Superioritas akan melahirkan sikap defensif. Persamaan adalah sikap memperlakukan orang lain

secara horizontal dan demokratis. Dalam sikap persamaan, Anda tidak mempertegas perbedaan. Status boleh jadi berbeda , tetapi komunikasi anda tidak vertikal. Anda tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama. Dengan persamaan, Anda mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan.

Kepastian dan Provisionalisme. Dekat dengan superioritas adalah kepastian

(certainty). Orang yang memiliki kepastian bersifat dogmatis, ingin menang sendiri, dan melihat pendapatnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Provisionalisme, sebaliknya, adalah kesediaan untuk meninjau kembali pendapat kita, untuk mengetahui bahwa pendapat manusia adalah tempat kesalahan; karena itu wajar juga kalau suatu saat pendapat dan keyakinannya bisa berubah. Provisial, dalam bahasa Inggris, artinya bersikap sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengkap.

c. Sikap Terbuka

Sikap terbuka (open-mindedness) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme; sehingga untuk memahami sikap terbuka kita harus mengidentifikasikan terlebih dahulu karakteristik orang dogmatis. Milton Rokeach mendefenisikan dogmatisme sebagai:

a. a relativly closed cognitive organization of beliefs and disbeliefs about

reality

b. organized around a central set of beliefs about absolute authority which,

in turn

(Rokeach, 1954:194-2004, dalam Rakhmat, 2005:136).

Karakteristik sikap terbuka dikontraskan dengan karakteristik sikap tertutup (dogmatis) seperti dalam daftar berikut ini ;

Tabel 3

Karakteristik Sikap Terbuka dan Sikap Tertutup

No. Sikap Terbuka Sikap Tertutup

1 Menilai pesan secara objektif, dengan

menggunakan data dan keajegan logika

Menilai pesan berdasarkan motif-motif pribadi

2 Membedakan suasana dengan mudah,

melihat nuansa

Berpikir simplistis

3 Berorientasi pada isi Berorientasi pada sumber pesan

4 Mencari informasi dari berbagai sumber Mencari informasi dari sumbernya

sendiri

5 Lebih bersifat provisionalisme dan

bersedia mengubah kepercayaannya

Secara kaku mempertahankan dan membela sistem kepercayaannya.

6 Mencari pengertian pesan yang tidak

sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.

Tidak mampu membiarkan inkonsistensi.

Secara lebih rinci karakteristik orang-orang dogmatis dijelaskan di bawah ini;

1) Menilai pesan berdasarkan motif pribadi. Orang dogmatis tidak

memperhatikan logika suatu proposisi, ia lebih banyak melihat sejauh mana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumentasi yang objektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. “Pokoknya aku tidak percaya,” begitu sering diucapkan orang dogmatis. Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam individu (inner pressures). Rokeach menyebut desakan ini antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk perseptual, motif ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan

untuk membesarkan diri. Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.

2) Berpikir simplistis. Bagi orang dogmatis, dunia ini hanya hitam dan putih,

tidak ada kelabu. Ia tidak sanggup membedakan yang setengah benar dan setengah salah, yang tengah-tengah. Baginya kalau tidak salah, benar. Tidak mungkin ada bentuk antara. Dunia dibagi dua : yang pro kita dimana segala kebaikan berada, dan kontra kita dimana segala kejelekan berada.

3) Berorientasi pada sumber. Bagi orang dogmatis yang paling penting ialah

siapa yang berbicara, buakn apa yang dibicarakan. Ia terikat sekali pada otoritas yang mutlak. Ia tunduk pada otoritas, karena – seperti umumnya orang dogmatis – ia cenderung lebih cemas dan mempunyai rasa tidak aman yang tinggi.

4) Mencari informasi dari sumber sendiri. Orang-orang dogmatis hanya

mempercayai sumber informasi mereka sendiri. Mereka tidak akan meneliti tentang orang lain dari sumber yang lain. Pemeluk aliran agama yang dogmatis hanya mempercayai penjelasan tentang keyakinan aliran lain dari sumber-sumber yang terdapat pada aliran yang dianutnya.

5) Secara kaku mempertahankan dan membela sistem kepercayaannya.

Berbeda dengan orang terbuka yang menerima kepercayaannya secara provisional, orang dogmatis menerima kepercayaannya secara mutlak. Orang dogmatis kuatir, bila satu butir saja dari kepercayaannya yang berubah, ia akan kehilangan seluruh dunianya. Ia akan mempertahankan setiap jengkal dari wilayah kepercayaannya sampai titik darah yang penghabisan.

6) Tidak mampu membiarkan inkonsistensi. Orang dogmatis tidak tahan hidup dalam suasana inkonsisten. Ia mengehindari kontradiksi atau benturan gagasan. Informasi yang tidak konsisten dengan desakan dari dalam dirinya akan ditolak, didistorsi, atau tidak dihiraukan sama sekali. Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai dan yang paling penting dapat saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal melalui komunikasi yang dilakukan.

II.3 Konsep Diri

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 1998). Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan spiritual.

William H. Fitts (1971) megemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya berarti ia menunjukkan suatu

kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu disebut juga diri fenomenal (Snygg & Combs, 1949, dalam Fitts, 1971). Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati, dialami dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tentang diri atau konsep diri individu.

Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri.

II.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri