• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor –Faktor Pendorong Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

Faktor pendorong atau penyebab kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor aktivitas manusia. Menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia baik dikarenakan kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan/slash and burning) dan kecil kemungkinannya disebabkan oleh faktor alamiah seperti fenomena alam, petir, gesekan kayu dan lain-lain.

1. Faktor biofisik

Para ahli telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain Clar dan Chatten (1954); Brown dan Davis (1973); Suratmo (1985); Sahardjo (2003a), yang mengacu kepada komponen-komponen pada segitiga api. Adapun komponen-komponen yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai berikut :

a. Bahan Bakar

Bahan bakar hutan (forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Ford-Robertson 1971, diacu dalam Chandler et al. 1983). Bahan bakar berupa biomass hidup dan mati per unit luas merupakan besarnya energi tersimpan yang menentukan karakteristik potensial di lapangan.

Ukuran bahan bakar mempunyai pengaruh terhadap kecepatan pembakaran. Hal ini didukung oleh penelitian Rastioningrum (2004) yang menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat pula bahan bakar menjadi terbakar. Pada kadar 10%, bahan bakar ranting diameter < 0.5 cm memiliki laju konsumsi bahan bakar tertinggi jika dibandingkan dengan ukuran bahan bakar lainnya.

Susunan bahan bakar terbagi ke dalam susunan vertikal dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran (Brown dan Davis 1973).

Menurut Brown dan Davis (1973), jumlah bahan bakar menunjukkan banyaknya bahan bakar yang tersedia dalam hutan. Jumlah bahan bakar dapat berupa luasan hamparan bahan bakar, volume bahan bakar dan berat bahan bakar. Bahan bakar dalam jumlah besar menjadikan api lebih besar dan temperatur tinggi, hal ini menyebabkan kebakaran sulit dipadamkan. Sedangkan jenis bahan bakar digolongkan ke dalam pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah (tumbuhan setahun dan tahunan), serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang-cabang pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan dan sisa penebangan.

14

Kondisi bahan bakar dapat dilihat berdasarkan kadar air dan jumlah bahan bakar sehingga meskipun bahan bakar berlimpah, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Hasil penelitian Rastioningrum (2004) menunjukkan bahwa bahan bakar dengan kadar air sebesar 30%, 20% dan 10% dapat terbakar dengan baik lebih dari 50%. Bahkan pada kadar air 10%, bahan bakar daun dapat terbakar 100%.

Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antara partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar bawah (ground fuels), yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) bahan bakar permukaan (surface fuel), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3) bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada di antara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri. b. Iklim

Kebakaran hutan dan lahan sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (Suratmo 2003). Faktor iklim tersebut mempengaruhi : (1) jumlah total bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran, (2) seberapa panjang dan seberapa parah episode kebakaran, (3) pengaturan kadar air bahan bakar mati yang menyebabkan kemudahan terbakar (flammability), dan (4) kejadian penyalaan dan penyebaran kebakaran hutan (Chandleret al.1983).

Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kemarau atau waktu dalam setahun di mana sering terjadi kebakaran. Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, lamanya dan intensitas musim kebakaran suatu daerah merupakan fungsi

utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Selain pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar dan cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dan cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus.

Kebakaran liar yang tidak terkendali khususnya ketika terjadi musim kemarau atau musim kering berkepanjangan. Kebakaran besar yang terjadi di hutan Indonesia selalu berasosiasi dengan kejadian El Nino. Kekeringan yang terjadi selama El Nino juga menyebabkan sumber air berupa kolam-kolam penampungan atau sungai menjadi surut. Sumber-sumber air yang ada sangat sulit untuk dijangkau sehingga mempersulit upaya pemadaman kebakaran (Sahardjo 1998)

Kebanyakan kebakaran hutan besar terjadi selama kondisi cuaca yang ekstrim dan tidak biasa, di mana hal ini sesuai dengan perkiraan. Kekeringan berkepanjangan, disertai suhu udara yang tinggi dan kelembaban relatif udara yang rendah, membentuk situasi bagi kebanyakan kebakaran besar karena menurunkan kandungan kelengasan bahan bakar hutan mencapai kondisi rendah yang ekstrim. Kondisi kebakaran yang hebat biasanya terjadi selama panas di hari-hari yang terik, kondisi yang kurang baik kemudian mengikuti. Beberapa kebakaran mencapai intensitas tertinggi pada malam hari dan beberapa kebakaran menyebar sangat cepat bahkan ketika suhu maupun kelembaban udara tidak ekstrim (Brown & Davis 1973).

c. Topografi

Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat ke arah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar & Chatten 1954). Brown dan Davis (1973) juga mengatakan bahwa kemiringan berperan dalam penyebaran api.

16

2. Faktor aktvitas manusia

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alami maupun buatan (manusia). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa faktor alami bukan merupakan penyebab terjadinya kebakaran di Indonesia. Kebakaran yang menjadi penyebab utama adalah akibat dari faktor manusia. Kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan awal 1998 kebanyakan berawal dari pembakaran yang dilakukan dengan sengaja (Mudiayarso & Lebel 1998).

Beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan kebakaran di Indonesia adalah : pembukaan hutan dengan membakar, pembakaran limbah kayu oleh eksploitasi hutan (pembalakan) dan tanaman tua perkebunan, dan karakteristik dari biomas hutan yang memungkinkan terbakar sendiri (misalnya oleh petir). Namun, bahan kayu biasanya sangat jarang terbakar sendiri karena membutuhkan suhu yang tinggi (Ginting,et al. 1998)

Kebanyakan kebakaran yang terjadi di Indonesia berawal dari pembakaran yang dilakukan oleh manusia. Berdasarkan data sebaran hotspot tahun 1997, Sahardjo (1998) mengemukakan bahwa kebakaran hutan terjadi pada 45,95% di perkebunan, 24,76% di perladang berpindah 15,49% di hutan produksi, 8,51% di hutan tanaman, 4,58% di hutan lindung dan taman nasional dan 1,20% di areal transmigrasi.

Purnama dan Jaya (2007) mengungkapkan bahwa faktor aktivitas manusia memiliki bobot lebih tinggi (51,4%) dibandingkan dengan faktor biofisik yang hanya memiliki bobot sebesar 48.6%. Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang terbangun dari penelitian di Propinsi Riau adalah :

y = 0,514 (0,054 x1+ 0,161 x2+ 0,247 x3+ 0,538 x4) + 0,48,6(0,476 x5+ 0,202 x6

+ 0,322 x7).

di mana : y = Bobot kerawanan kebakaran hutan dan lahan x1= jarak pemukiman x2= jarak jalan x3= jarak sungai x4= penggunaan lahan x5= curah hujan x6= NDVI x7= NDWI

Dengan menggunakan metode regresi logistik, Thoha (2006) membuat model peluang kebakaran terjadinya kebakaran hutan dengan formula :

Log(ODDS) y = -0,47426 + 0,0015784 x1 – 0,0050383 x2 – 3,8829293 x3 –

0,000895 x4– 0,0000233 x5– 0,0000191 x6+ 0,0000322 x7

di mana : y = peluang kebakaran x1= curah hujan

x2= ketebalan gambut,

x3= NDVI

x4= jarak dari sungi

x5= jarak dari HPH/HTI

x6= jarak dari kebun

x7= jarak dari lahan pertanian

Pada penelitian di Propinsi Kalimantan Tengah, Jaya et al. (2007) menyatakan bahwa 48% dari kerawanan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor penutupan lahan yang menggambarkan jumlah, tipe dan susunan bahan bakar. Sedangkan 52% lainnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia di sekitar desa dan jalan.

Kejadian kebakaran besar di Amerika Utara disebabkan pula oleh faktor manusia. Banyak kegiatan pembakaran tidak dikontrol terjadi pada kondisi ideal timbulnya kebakaran besar. Secara umum, hal ini mencerminkan ketidaktanggapan publik terhadap kebakaran hutan yang berlangsung bertahun- tahun dan masih saja terus ada, Sebanyak 65% kebakaran pada hutan boreal di Amerika Utara disebabkan oleh manusia namun luas kebakarannya hanya 15% dari keseluruhan (Stock 1991, diacu dalam Grissomet al. 2000).

Di Amerika Serikat, lebih dari 90% penyebab seluruh kebakaran hutan adalah manusia. Dalam kurun waktu 10 tahun (1989-1998), rata-rata terjadi sekitar 100.000 kali kebakaran dengan luas areal terbakar sekitar 1.335.462 Ha setiap tahunnya, namun sejumlah besar (98%) luasan areal yang terbakar disebabkan oleh sejumlah kecil (1%) kebakaran (Strauss et al. 1989, diacu dalam Flanniganet al. 2000)

Dokumen terkait