• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LANGGENG KAYOMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2010

(3)

LANGGENG KAYOMAN. Modelling of Risk Level of Forest and Land Fires in West Kalimantan Province. Under the supervision of I NENGAH SURATI JAYA and LAILAN SYAUFINA

The spatial model of land and forest fire risk in West Kalimantan Province is described. The objectives of the study are (a) to identify the main causes of forest and land fires and (b) to establish forest fire risk index in West Kalimantan. The model was derived by considering human and biophysical factors that affect the forest and land fires. Composite Mapping Analysis (CMA) method was used to develop the model. The study found that distance from road network, distance from city, land status, land cover and rainfall significantly affect land and forest fire risk. The mathematical model obtained from this study is : y = 0,000000225x3 - 0,0002x + 0,003841 having coefficient determination of 65.7%. Model validation shows that the model can predict the forest and land fire risk providing 71.82% of accuracy. The model described that approximately 58.2% of forest and land fire risk is contributed by human factors (road distance, city centers distance and land status). While the rest of 41.8%, is contributed by biophysical factors (land cover and rainfall).

(4)

LANGGENG KAYOMAN. Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan Dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA dan LAILAN SYAUFINA.

Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997/1998 telah mendapatkan perhatian luas baik nasional maupun internasional. Peristiwa tersebut menghanguskan 11,7 juta Ha hutan dengan kerugian ekonomi sebesar 1,62 – 2,7 milyar dollar dan menghasilkan emisi karbon berkisar 206,6 juta ton karbon serta dampak asapnya mempengaruhi kehidupan 75 juta jiwa (Tacconi 2003). Untuk sektor transportasi udara, kerugian total berkisar antara Rp 100,78 – Rp 122,69 milyar. Kerugian yang ditimbulkan belum termasuk dampak terhadap kerusakan ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya produktivitas tanah, timbulnya dampak sosial di masyarakat dan lain sebagainya.

Provinsi Kalimantan Barat telah mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan sejak puluhan tahun lalu dan tercatat pertama kali oleh Garlach pada tahun 1881 di Taman Nasional Danau Sentarum (Meijaarad & Dennis 1997, diacu dalam KLH-UNDP 1998). Berdasarkan data Bapedalda Kalbar (2002), luas total wilayah hutan dan lahan yang terbakar dari tahun 1990 hingga 2002 diperkirakan 43.414,23 Ha, belum termasuk kebakaran pada tahun 1995 dan 1998 yang kerugian ditaksir sebesar Rp 83.608.154.625,- Sedangkan menurut Direktorat Perlindungan Hutan (1998) luas wilayah kebakaran pada tahun 1997 di Provinsi Kalimantan Barat mencapai 26.590,36 ha dengan total kerugian Rp

38.535.540.000,-Bila dikaitkan dengan pengamatan titik panas (hotspot) dalam 5 tahun terakhir (2004 – 2008), Kalimantan Barat memiliki tingkat kepadatan titik panas yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan data hotspot yang terpantau oleh Satelit NOAA, di Kalimantan Barat pada tahun 2004 terdeteksi titik panas sebanyak 10.311 titik, 3.200 titik pada tahun 2005 dan 29.266 titik pada tahun 2006, 7.561 titik di tahun 2007 dan 5.528 titik di tahun 2008. Fenomena yang menarik dari rekapitulasi data hotspot 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2007 dan 2008, Kalimantan Barat memiliki jumlahhotspottertinggi di Indonesia.

Berdasarkan catatan sejarah kejadian kebakaran tersebut di atas dan dampak negatif yang ditimbulkannya maka upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan haruslah dilakukan secara terpadu. Salah satu upaya untuk mendukung pencegahan yang efektif dan efisien adalah melalui kegiatan penelitian dan penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran yang memanfaatkan data-data hotspot dan data-data pendukung lainnya untuk diolah dan dianalisis menjadi suatu model spasial menggunakan teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga memudahkan pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah.

(5)

Pengetahuan tentang pembagian tingkat resiko memudahkan pemetaan kebijakan pencegahan baik di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan maupun desa.

Penelitian ini menemukan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah 1) faktor aktivitas manusia yang dipengaruhi oleh jarak terhadap kota (x1), jarak terhadap jalan (x4), penggunaan lahan (x5) dan 2) faktor

biofisik yang dipengaruhi oleh tutupan lahan (x6) dan jumlah curah hujan (x8).

Faktor aktivitas manusia memiliki bobot 58,2% sedangkan faktor biofisik memiliki bobot 41,8 %. Bobot tertinggi yang mempentaruhi terjadinya kebakaran dimiliki oleh peubah tutupan lahan, penggunaan lahan dan jarak dari jalan yang masing-masing bernilai 36,5%, 29,4% dan 15,29%.

Model matematis tingkat kerawanan hutan dan lahan di Kalimantan Barat adalah y = 0,000000225x3 - 0,0002x + 0,003841. Model yang disusun oleh peubah jarak terhadap jalan, tutupan lahan, jarak terhadap kota, jumlah curah hujan dan penggunaan lahan memiliki koefisien determinasi yang cukup (65,7%), dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2.

Hasil uji z-test two sample mean, model Z1 dan model Z2 memberikan dugaan kepadatan hotspot yang tidak berbeda secara signifikan sehingga kedua model tersebut dapat dihitung akurasinya. Perhitungan dengan matrik koinsidensi menunjukkan bahwa model Z2 lebih akurat dalam menduga kepadatan hotspot model Z1 dengan 3 kelas kerawanan memiliki akurasi 37,18% sedangkan model Z1 dengan 5 kelas kerawanan memiliki akurasi 20,26%. Untuk model Z2 dengan 5 kelas kerawanan memiliki akurasi 45,58% sedangkan model Z2 dengan 3 kelas kerawanan memiliki tingkat akurasi yang paling baik yaitu 71,82%.

Berdasarkan pemetaan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat (model Z2), daerah terluas untuk kategori kerawanan tinggi terletak pada Kabupaten Sanggau dengan luas 680.142 Ha, disusul kemudian oleh Kabupaten Ketapang (567.097 Ha) dan Kabupaten Sintang (522.032 Ha). Ditinjau dari jenis penggunaan lahannya, APL memiliki persentase luas areal untuk tingkat kerawanan tinggi sebesar 66,56% (2.656.986 Ha) dan eks HPH sebesar 16.65% (664.860 Ha). Dari peta ini diketahui bahwa 11,41% (199.917 Ha) dari luas total areal gambut berada pada areal dengan kelas kerawanan tinggi. Sedangkan areal dengan kerawanan tinggi berada di lahan bukan gambut memiliki luas berkisar 12.974.671 Ha atau 29,23% dari luas areal bukan gambut.

Wilayah berdasarkan tingkat resiko dibagi menjadi lima kelas resiko yaitu resiko sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Wilayah dengan tingkat resiko tinggi memiliki luas 6.746.877 Ha (45,82%) dan wilayah tingkat resiko sedang memiliki luas 6.510.004 Ha (44,21%). Sedangkan wilayah dengan tingkat resiko sangat tinggi memiliki luas yang paling kecil dengan persentase hanya 0,92% (142.074 Ha). Selain tingkat kerawanan, pengambilan kebijakan pencegahan juga perlu mempertimbangkan tingkat resiko berdasarkan nilai kerugian yang diderita oleh suatu wilayah apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan sehingga menjadi informasi penting dalam menentukan prioritas pencegahan kebakaran hutan dan lahan

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LANGGENG KAYOMAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Langgeng Kayoman

NRP : E151070231

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

Tanpa bimbingan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Kasih dalam setiap langkah kehidupan penulis, sulit rasanya untuk menghadapi rintangan,

tantangan dan hambatan dalam penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat-Nya

atas selesainya penulisan tesis yang berjudul Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat“

Ide penulisan tesis ini merupakan inspirasi dari aktivitas penulis dalam kegiatan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat serta keprihatinan terhadap berbagai dampak yang ditimbulkannya sehingga merupakan suatu tantangan bagi penulis untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi permasalahan tersebut.

Besar harapan agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kebakaran hutan dan lahan. Secara khusus bagi pengambil kebijakan, tesis ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan pecegahan kebakaran hutan dan lahan.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna sehingga masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisannya. Segala kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan bagi perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.

Bogor, Februari 2010

(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Nopember 1976 di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari ayah Drs. Heru Djamari, M.Sc dan ibu (alm) Retno Rudiati. Penulis menikah dengan Yunita Semestiana R.A, SP pada tanggal 25 Agustus 2007, dan telah dianugerahi seorang putri bernama Maheswari Alissa Anindya Kayoman yang lahir pada bulan Juni tahun 2008.

Penulis memulai pendidikan dasar pada tahun 1982 di SD Negeri Coblong 4 Bandung serta menyelesaikannya pada tahun 1987 di SD Swasta Pertiwi Pontianak. Kemudian penulis meneruskan pendidikan lanjutan di SLTP Negeri 11 Pontianak. Pada tahun 1990, penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 3 Pontianak. Penulis memasuki jenjang perguruan tinggi pada tahun 1993 dengan mengambil Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak dan meraih gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 1998.

Pada tahun 1999, penulis melanjutkan studi pada program Magister Manajemen di Universitas Tanjungpura, Pontianak dalam bidang Manajemen

Pemasaran dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf Depertamen Kehutanan yang ditugaskan di Balai Konservasi Sumber Daya

(12)

Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas segala pertolongan-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Sangat disadari pula bahwa keberhasilan dalam penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M. Agr selaku ketua komisi pembimbing yang dengan tulus telah meluangkan waktu, tenaga, perhatian dan pikiran dalam membimbing penulis hingga tesis ini selesai.

2. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang secara sabar dan lemah lembut telah memberikan motivasi, saran dan

masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

3. Bapak Dr. M. Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat, saran

dan masukan untuk perbaikan tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku ketua Departemen Manajemen Hutan yang telah banyak memberikan arahan selama penulis menempuh pendidikan Pascasarjana di IPB.

5. Bapak Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku koordinator Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan yang telah memfasilitasi berbagai urusan yang berkaitan dengan kelancaran studi.

6. Departemen Kehutanan yang mensponsori perkuliahan ini dan Pusat Diklat Kehutanan Bogor atas pelayanan adminstrasi yang dibutuhkan.

7. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat beserta seluruh staf.

8. Kepada Bapak Amin Sutanto, staf di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atas bantuannya dalam penyediaan datahotspot.

9. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan atas bantuan terhadap data citra Landsat Kalimantan Barat 2006.

10. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan atas penyediaan datahotspot. 11. Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan di Bogor atas

(13)

Programme dan staf yang telah membantu dalam penyediaan data peta digital sebaran gambut di Kalimantan Barat.

13. Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalimantan Barat, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kalimantan Barat, Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah X dan Brigade Pengendalian Kebakaran (Brigdalkar) Hutan Manggala Agni Kalimantan Barat yang telah memberikan masukan dan data dalam penyusunan tesis ini.

14. Kepada Ibu R. Irma Imelda, staf JICA di Jakarta atas bantuannya dalam penyediaan datahotspot.

15. Sujardi Aloy, staf Institut Dayakologi (ID) atas masukannya.

16. Segenap staf administrasi Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Pengelolaan

Hutan.

17. Bapak Uus Saeful M, Edwin Setia Purnama dan M. Fatah Noor atas masukan

dan bantuannya dalam membagi pengetahuan mengenai SIG dan Remote Sensing.

18. Keluarga besar Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kebutanan IPB yang banyak mendukung dalam penyelesaian tesis ini.

19. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S-2 Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan tahun 2007 yang telah memberi semangat, membagi kebahagian dan memupuk kebersamaan selama menjalani kuliah.

20. Rasa terima kasih untuk istriku, Yunita Semestiana, beserta anakku, Alissa Anindya atas doa, pengorbanan dan dukungannya selama ini. Juga untuk Bapak dan Ibu (alm) atas kasihnya, serta adikku, Wangsit Panglipur atas dukungannya. Demikian pula disampaikan kepada Keluarga Besar di Putussibau atas doa dan dukungannya.

(14)

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Kerangka Pemikiran ... 3

C. Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 6

II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Kebakaran Hutan dan Lahan ... 7

B. Faktor –Faktor Pendorong Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan .... 12

C. Teknologi Penginderaan Jauh ... 17

D. Sistem Informasi Geografis ... 20

E. Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 22

III METODE PENELITIAN ... 24

A. Lokasi dan Waktu ... 24

B. Data dan Alat ... 24

C. Tahapan Penelitian ... 25

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Jumlah dan SebaranHotspot ... 32

B. Pola HubunganHotspotdan Curah Hujan ... 35

C. Hubungan KepadatanHotspotDengan Beberapa Variabel ... 41

D. Pembanguanan Skor ... 56

E. Verifikasi Skor ... 64

F. Validasi Model ... 72

G. Uji Akurasi Model ... 73

H. Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan dan Lahan ... 75

V KESIMPULAN DAN SARAN... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(15)

Halaman

1 Peubah dari aspek aktifitas manusia ... 28

2 Peubah dari aspek biofisik ... .. 28

3 Jumlahhotspotbulanan di Provinsi Kalimantan Barat 2004–2008 versi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan ... 32

4 Jumlahhotspotbulanan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2004–2008 versi Kementerian Lingkungan Hidup ... 33

5 Jumlahhotspotbulanan per kabupaten di Kalimantan Barat Tahun 2006.... 34

6 Jumlah curah hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006 ... 36

7 Jumlah hari hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006 ... 37

8 Intensitas curah hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006 ... 38

9 Kepadatanhotspotberdasarkan jarak dari pusat kota ... 42

10 Kepadatanhotspotberdasarkan jarak dari beberapa kelas kota ... 43

11 Kepadatanhotspotberdasarkan jarak dari pusat desa ... 45

12 Kepadatanhotspotberdasarkan jarak dari sungai ... 46

13 Kepadatanhotspotberdasarkan jarak dari jalan ... 48

14 Kepadatanhotspotberdasarkan penggunaan lahan ... 49

15 Kepadatanhotspotberdasarkan tutupan lahan ... 51

16 Kepadatanhotspotberdasarkan keberadaan gambut ... 51

17 Kepadatanhotspotberdasarkan keberadaan hutan di lahan gambut ... 52

18 Kepadatanhotspotberdasarkan kelas wilayah curah hujan ... 55

19 Skor faktor jarak terhadap pusat kota ... 56

20 Skor faktor jarak terhadap pusat desa/pemukiman... 58

21 Skor faktor jarak terhadap sungai ... 59

22 Skor faktor jarak terhadap jalan ... 60

23 Skor faktor penggunaan lahan ... 61

24 Skor faktor tutupan lahan ... 62

25 Skor faktor keberadaan gambut ... 63

26 Skor faktor jumlah curah hujan ... 64

27 Koefisien dan bobot penyusun skor komposit model Z1 ... 69

(16)

30 Hasil z-test :Two Sample for Meansuntuk model Z2 ... 72 31 Hasil z-test :Two Sample for Meansuntuk model Z1 dan model Z2... 72 32 Matrik akurasi model terpilih... 73 33 Pembagian kelas kerawanan berdasarkan kepadatanhotspotdan radius dari

hotspot... 76 34 Skor dan luas dari masing-masing kelas kerawanan kebakaran ... 77 35 Luas kerawanan kebakaran hutan dan lahan menurut kabupaten/kota dan

persentase luas berdasarkan kerawanan pada masing-masing kabupaten/kota.... 77 36 Luas kerawanan kebakaran hutan dan lahan menurut kabupaten/kota dan

persentase luas berdasarkan tingkat kerawanan antar kabupaten/kota ... 78 37 Luas kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan jenis penggunaan

(17)

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian... 4

2 Segitiga api ... 8

3 Alur penelitian ... 25

4 Jumlah rata-ratahotspotTahun 2004 – 2008 pada 10 provinsi di Indonesia ... 33

5 Persentase jumlahhotspotper kabupaten di Kalimantan Barat ... 35

6 Jumlah curah hujan dan jumlahhotspottahun 2006 di Kalimantan Barat ... 38

7 Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlahhotspot... 39

8 Hubungan antara jumlah hari hujan dengan jumlahhotspot ... 40

9 Hubungan antara intensitas curah hujan dengan jumlahhotspot... 40

10 Pola hubungan kepadatanhotspot(km2) terhadap jarak dari pusat kota ... 42

11 Kepadatanhotspotpada ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan pada 10 km pertama... 43

12 Pola hubungan kepadatanhotspot(km2) terhadap jarak dari pusat desa ... 45

13 Pola hubungan kepadatanhotspot(km2) terhadap jarak dari sungai ... 47

14 Pola hubungan kepadatanhotspot(km2) terhadap jarak dari jalan... 48

15 Kepadatanhotspotper km2berdasarkan tipe penggunaan lahan... 49

16 Kepadatanhotspotper km2berdasarkan tipe tutupan lahan ... 51

17 Luas lahan gambut berdasarkan keberadaan tutupan hutan dan kepadatan hotspot-nya... 52

18 Sebaran lahan gambut di Kalimantan Barat ... 54

19 Kepadatanhotspotberdasarkan kelas curah hujan ... 55

20 Pola skor dugaan dari faktor jarak terhadap pusat kota ... 57

21 Pola skor dugaan dari faktor jarak terhadap pusat desa/pemukiman ... 59

22 Pola skor dugaan faktor jarak dari sungai ... 60

23 Pola skor dugaan faktor jarak dari jalan ... 61

24 Pola skor dugaan faktor penggunaan lahan ... 62

25 Pola skor dugaan faktor tutupan lahan... 63

26 Pola skor dugaan faktor keberadaan gambut ... 63

(18)

29 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor jarak pusat desa... 65

30 Hubungan antara kepadatanhotspot dan skor jarak sungai ... 66

31 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor jarak jalan... 66

32 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor penggunaan lahan... 67

33 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor tutupan lahan ... 67

34 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor keberadaan gambut ... 68

35 Hubungan antara kepadatanhotspotdan skor curah hujan ... 68

36 Hubungan antara skor komposit model Z1 dengan kepadatanhotspot... 69

37 Hubungan antara skor komposit model Z2 dengan kepadatanhotspot... 71

38 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat dari Model Z2 dengan 3 kelas... 74

(19)

Halaman

1. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat dari Model Z1 dengan 3 kelas ... 90 2. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat dari Model

Z1 dengan 5 kelas ... 91 3. Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan Kalimantan Barat dari Model

(20)

A. Latar Belakang

Kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997/1998 telah mendapatkan perhatian luas baik nasional maupun internasional. Peristiwa tersebut menghanguskan 11,7 juta Ha hutan dengan kerugian ekonomi sebesar 1,62 – 2,7 milyar dollar dan menghasilkan emisi karbon berkisar 206,6 juta ton karbon serta dampak asapnya mempengaruhi kehidupan 75 juta jiwa (Tacconi 2003). Untuk sektor transportasi udara, kerugian total berkisar antara Rp 100,78 – Rp 122,69 milyar. Belum lagi dampak lainnya seperti kerusakan ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya produktivitas tanah, timbulnya dampak sosial di masyarakat dan lain sebagainya.

Provinsi Kalimantan Barat telah mengalami kejadian kebakaran hutan dan lahan sejak puluhan tahun lalu dan tercatat pertama kali oleh Garlach pada tahun

1881 di Taman Nasional Danau Sentarum (Meijaarad & Dennis 1997, diacu dalam KLH-UNDP 1998). Pada kebakaran tahun 1997/1998, Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah rawan kebakaran yang paling besar terkena dampak negatif.

Berdasarkan data Bapedalda Kalbar (2002), luas total wilayah hutan dan lahan yang terbakar dari tahun 1990 hingga 2002 diperkirakan 43.414,23 Ha, belum termasuk kebakaran pada tahun 1995 dan 1998 dan kerugian ditaksir sebesar Rp 83.608.154.625,- Sedangkan menurut Direktorat Perlindungan Hutan (1998) luas wilayah kebakaran pada tahun 1997 di Kalimantan Barat mencapai 26.590,36 Ha dengan total kerugian Rp

(21)

rekapitulasi data hotspot 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2007 dan 2008, Kalimantan Barat memiliki jumlahhotspottertinggi di Indonesia.

Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia termasuk di Kalimantan Barat, secara umum disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai bentuk usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan. Aktivitas tahunan masyarakat berupa penyiapan lahan pertanian dengan menggunakan metode tebas, tebang dan bakar memberikan kontribusi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Cara ini masih dianggap efisien secara ekonomis, biaya maupun tenaga oleh masyarakat petani.

Selain itu, sektor perkebunan juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kejadian kebakaran. Dalam kurun waktu 1988 – 1997, terjadi penambahan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara drastis yaitu

862.859 Ha menjadi 2.516.079 Ha. Penambahan ini memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kebakaran akibat aktivitas landclearing. Pada kebakaran tahun 1997, media massa nasional memberitakan bahwa terdapat 133 perusahaan perkebunan dari 176 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan (KLH-UNDP 1998).

Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa derajat pengaruh aktivitas manusia cenderung lebih besar dibandingkan dengan pengaruh lingkungan fisik antara lain penelitian Purnama dan Jaya (2007) di Riau menemukan bobot faktor manusia berkisar 51,4 % dibandingkan faktor biofisik 48,6 %. Dalam penelitian serupa di DAS Kapuas, Kalimantan Barat, Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik.

(22)

Berdasarkan pengalaman tersebut maka upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan haruslah dilakukan secara terpadu. Salah satu upaya untuk mendukung pencegahan yang efektif dan efisien adalah melalui penyediaan informasi tingkat bahaya kebakaran yang memanfaatkan data-data hotspot dan data-data pendukung lainnya untuk diolah dan dianalisis menjadi suatu model spasial menggunakan teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga memudahkan pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah.

Dengan pembangunan model spasial diharapkan mampu menggambarkan sebaran tingkat kerawanan maupun resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat sehingga informasi tersebut dapat menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan dalam upaya menyusun rencana pencegahan

kebakaran hutan dan lahan dari sudut pandang spasial baik di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa.

B. Kerangka Pemikiran

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya mengindikasikan adanya suatu kebutuhan terhadap upaya penanggulangan secara menyeluruh dan terpadu agar mampu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Hingga saat ini, kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah belum mampu untuk mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Oleh sebab itu maka perlu dicari faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan sebagai dasar penentuan kebijakan yang akan diambil. Penyediaan data dan analisis lanjutan dari data mengenai kebakaran hutan dan lahan yang tersedia diharapkan mampu memberikan informasi awal dalam mencari faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan.

(23)

Kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan tidak cukup didekati dengan informasi mengenai motif masyarakat melakukan pembakaran, tetapi juga perlu ditunjang oleh informasi berbasiskan spasial yang menunjukkan sebaran tingkat kerawanan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Selama ini penentuan kebijakan pencegahan terkendala oleh tidak adanya data empiris yang memadai dalam menentukan sebaran wilayah rawan kebakaran. Penelitian ini mencoba untuk mencari model kerawanan maupun peta sebaran resiko kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat sehingga kebijakan dapat diterapkan secara efektif dan efisien.

Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran berbasiskan prosedur spasial dan sistem informasi geografis yang akan menghasilkan model spasial

tingkat kerawanan dan peta sebaran resiko kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya, kerangka pemikiran di atas, diterangkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

(24)

C. Perumusan Permasalahan

Upaya mencegah kebakaran hutan telah dilakukan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, di mana 40 buah proyek dan misi bernilai kurang lebih 30 juta dollar AS telah dikembangkan dan dilakukan di Indonesia (Anonim 2003). Tetapi anehnya kejadian kebakaran selalu menjadi ”kalender tahunan”. Upaya-upaya tersebut tidak efektif dikarenakan informasi maupun permasalahan kebakaran tidak dimengerti secara menyeluruh.

Padahal tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membenahi data dan informasi yang berkenaan dengan kebakaran hutan dan lahan sebelum dilakukannya upaya-upaya lain yang sifatnya mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Seringkali dalam kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak menganggap penting kebutuhan untuk mengumpulkan data dan informasi

secara konsisten untuk mendukung analisa dan pengembangan opsi-opsi kebijakan yang sesuai. Dalam hal ini, kurangnya kapasitas sumber daya manusia

dan peralatan dasar serta tidak optimalnya penggunaan perangkat-perangkat yang telah tersedia menyebabkan pengumpulan informasi menjadi tidak penting.

Saat ini, data maupun informasi yang tersedia secara konsisten adalah data mengenai ‘hotspot’ atau ‘titik panas’ yang didapatkan melalui penginderaan jarak jauh melalui satelit. Titik-titik panas tersebut tidak memberikan indikasi mengenai jumlah dan luas areal yang terbakar, dan hanya dapat memberikan informasi yang berguna apabila dikombinasikan dengan data-data lainnya (Anonim 2003).

Kelangkaan informasi juga terjadi dalam menggambarkan secara menyeluruh tingkat kerawanan hutan dan lahan secara spasial. Apalagi data dan informasi harus terus diperbaharui untuk mengantisipasi perubahan pola dan kecenderungan dari perilaku kebakaran hutan dari tahun ke tahun.

Khususnya di Kalimantan Barat, kebutuhan informasi secara spasial mendesak untuk diketahui secara menyeluruh agar dapat diketahui kebijakan yang dapat secara efektif diimplementasikan. Namun informasi mengenai tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan belum tersedia secara lengkap.

(25)

tingkat kerawanan sebagai informasi awal dalam menentukan kebijakan pencegahan. Hasil penelitian di DAS Kapuas Tengah ini memperlihatkan bahwa sebagian besar terdiri dari wilayah sangat rawan (64.7%), diikuti oleh daerah rawan (23.3%) dan daerah tidak rawan (12%) dari luas wilayah 1.625.347,1 Ha.

Dari pemaparan latar belakang maupun perumusan masalah yang digambarkan di atas, maka bentuk pertanyaan yang akan dijawab sehubungan dengan pemodelan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan adalah :

1. Apa faktor –faktor penentu yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat.

2. Bagaimana model spasial kerawanan dan sebaran kelas resiko kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat.

2. Membangun model spasial kerawanan dan memetakan sebaran kelas resiko kabakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat.

E. Manfaat Penelitian

(26)

A. Kebakaran Hutan dan Lahan

1. Definisi kebakaran hutan dan lahan

Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak sengaja pada areal tertentu yang kemudian menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul, daun-daunan dan pohon-pohon yang masih hidup.

Syaufina (2008) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai kejadian di mana api melahap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di

kawasan non hutan. Kebakaran di Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api dari kawasan hutan

ke kawasan non hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia.

2. Segitiga api

Brown dan Davis (1973) melukiskan suatu konsep kebakaran hutan sebagai segitiga api yang dikenal sebagai The Fire Triangle. Sisi-sisi segitiga api tersebut adalah bahan bakar, oksigen dan sumber panas atau api (Gambar 2). Jika salah satu atau lebih dari ketiga komponen pada sisi-sisi segitiga api tersebut tidak ada maka kebakaran tidak akan pernah terjadi. Ketiga komponen yang mempengaruhi kebakaran hutan sangat tidak mungkin untuk mengatur jumlah oksigen karena oksigen selalu tersedia di alam namun bahan bakar dan sumber api dapat dikontrol, sehingga upaya pencegahan dapat dilakukan.

(27)

Gambar 2 Segitiga api

Adapun proses pembakaran yang terjadi pada kebakaran hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses kimia yang terdiri dari karbondioksida, air dan energi panas matahari sehingga menghasilkan oksigen dan senyawa lainnya. Dalam proses pembakaran energi akan menghasilkan panas.

Walaupun proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis, Soedjito (1997) menyatakan bahwa kebakaran hutan menurunkan kapasitas fotosintesis tumbuhan hutan karena hilangnya daun sebagai wadah proses fotosintesis. Selanjutnya produksi sekunder ikut menurun paling tidak sampai terbentuknya pucuk daun.

3. Bentuk kebakaran hutan

Ada 3 (tiga) bentuk kebakaran hutan berdasarkan model penyebaran dan karakteristik dari masing-masing kebakaran (Sahardjo 2003b), yaitu : a. Kebakaran tajuk (crown fire) dengan ciri api membakar tajuk dan pohon

belukar. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon. Pohon akan mati terbakar.

b. Kebakaran permukaan (surface fire) merupakan kebakaran terjadi pada

permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan BAHAN

BAKAR PANAS

O

2

(28)

pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi hingga mencapai tajuk pohon.

c. Kebakaran bawah (ground fire) dengan ciri api membakar serasah, kemudian api membakar bahan organik pada lapisan bawahnya. Biasanya terjadi pada hutan bertanah gambut dan yang mengandung batu bara. Kebakaran ini sangat sulit dideteksi. Bara menjalar perlahan beberapa kaki di bawah permukaan tanah, tanpa ada nyala, hanya sedikit asap. Kebakaran ini akan diikuti oleh kebakaran permukaan jika kelembaban bahan bakar permukaan memungkinkan.

4. Dampak kebakaran hutan

Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif.

Oleh sebab itu dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan memerlukan pemahaman mendalam mengenai berbagai dampak yang ditimbulkan akibat

kebakaran hutan. Secara umum dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menimbulkan berbagai dampak yang dapat digolongkan menurut aspek ekologi, ekonomi, sosial, kesehatan dan politis.

a. Aspek Ekologis

Chandler et al. (1983) mengemukakan bahwa dampak negatif kebakaran hutan antara lain merusak sifat fisik dan kimia tanah, menaikan pH tanah serta menurunkan produktivitas tanah. Dampak terhadap ekologi hutan yaitu mengubah secara drastis lingkungan hutan dan juga mempengaruhi kondisi pohon, jenis herba dan semak.

(29)

Kebakaran hutan dapat mempengaruhi proses-proses hidrologi akibat perubahan kondisi fisik tanah dan hilangnya vegetasi penutup lahan akibat kebakaran sehingga berdampak pada meningkatnya run-off dan erosi. Rothacher dan Lopushusky (1954), diacu dalam Chandler et al. (1983), menemukan bahwa satu tahun setelah kebakaran, sedimentasi yang terjadi pada daerah aliran sungai di Washington antara 41 sampai 127 m3.

Kebakaran juga mempengaruhi jumlah air yang hilang di suatu wilayah. Dengan menggunakan pendekatan aliran permukaan, Yunus (2006) mengemukakan bahwa hilangnya jumlah air per tahun di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya sebanyak 7.466 m3/ha/tahun dan di Taman Wisata Alam Baning sebanyak 6.470 m3/ha/tahun.

Dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar, seperti jenis mamalia

dan unggas, juga dikemukakan oleh Chapman dan Meyer (1947), Chandleret al. (1983) dan Fuller (1991), yang mana dampak tersebut dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung yaitu hilangnya spesies-spesies hewan yang ada di dalam hutan dan dampak tidak langsung yaitu dalam bentuk modifikasi habitat dan biota.

Sebaliknya Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat memberikan dampak positif antara lain : (1) merangsang peremajaan alami, (2) memudahkan teknis penanaman hutan karena hilangnya serasah dan biaya menjadi lebih murah, (3) memberikan sumber makanan bagi ternak, (4) memusnahkan hama dan penyakit dan (5) pembakaran kecil yang terorganisir dapat menghidari kebakaran besar.

b. Aspek Ekonomi

Asap dari kebakaran hutan sangat mengganggu sebab dapat mengurangi jarak pandang, mengganggu penerbangan, dan hilangnya keuntungan dari pariwisata. Bila ditinjau dari sudut pelepasan karbon maka kebakaran hutan dan lahan menyebabkan peningkatan karbon ke udara dalam jumlah besar sehingga apabila dikonversi menjadi nilai ekonomi perdagangan karbon, Indonesia kehilangan potensi pendapatan yang cukup besar.

(30)

termasuk beberapa kerugian yang sulit diukur atau dinilai dalam bentuk uang, seperti kematian, dampak jangka panjang kesehatan, dan berbagai bentuk hilangnya keanekaragaman hayati (Schweithelmet al. 2002).

Menurut Yunus (2005) total kerugian flora fauna akibat kebakaran pada areal seluas 12.756 Ha yaitu antara Rp 804 juta sampai 2,01 milyar (harga 1997) dan mengalami peningkatan kerugian (rata-rata 84%) antara Rp 1,56 milyar sampai dengan Rp 3,99 milyar pada tahun 2003.

c. Aspek Kesehatan

Produk utama pembakaran adalah produk kimia yang mudah menguap tetapi tidak teroksidasi selama proses pembakaran, membentuk rantai secara parsial atau seluruh oksidasi sempurna dari berbagai bahan bakar organik dan membentuk pyrosynthesis selama pembakaran (Sahardjo 2003b). Beberapa dari produk ini adalah CO2, dan uap air, merupakan pengisi normal dari

atmosfir, tetapi yang lainnya seringkali merupakan polutan udara antara lain

partikel-partikel, CO, SO2, NO2dan Ozon (O3).

Menurut Chandler et al. (1983), kebakaran hutan seluas satu hektar dengan kandungan bahan bakar 50 ton/ha akan menghasilkan 92 ton CO2, 27

ton uap air yang mengandung asap, dan merusak 273 juta liter udara. Sedangkan menurut Fuller (1991) efek asap kebakaran hutan terhadap hewan dan manusia berupa CO2, partikel debu, dan sebanyak 60 jenis bahan kimia

berbeda.

Dampak asap yang ditimbulkan terhadap kesehatan antara lain terjadinya iritasi yang disebabkan oleh adanya partikel debu halus pada hidung, tenggorokan, saluran udara, kulit dan mata. Menurut Ruitenbeek (2002), diacu dalam Glover & Jessup (2002), dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan total kerugian ekonomi jangka pendek pada sektor kesehatan mencapai US$ 924 juta.

d. Aspek Sosial

(31)

masyarakat sekitar hutan karena turunnya aktivitas ekonomi. Pada akhirnya timbul kemiskinan yang akan berakibat langsung pada kerusakan lingkungan dan konflik horisontal dalam memperebutkan mata pencaharian.

Hubungan sosial antar masyarakat juga terganggu akibat api yang digunakan untuk membersihkan lahan untuk perladangan menjalar ke lahan tetangganya. Biasanya akan terjadi sengketa untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pihak yang lahannya terbakar. Bahkan seringkali sengketa tersebut berakibat pada konflik yang lebih besar lagi.

Dampak kebakaran hutan akan mempengaruhi pula kemampuan masyarakat pedesaan untuk mempertahankan rasa keadilan dan keseimbangan kehidupan serta aktivitas produktif. Kebakaran hutan juga sangat merugikan masyarakat yang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada sumber daya

hutan untuk kehidupan sosial.

e. Aspek Politik

Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran. Kondisi ini mengakibatkan hubungan antar negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia yang menuntut agar kebakaran hutan dapat diatasi sehingga asap tidak semakin tebal. Protes dari negara-negara tetangga inilah yang menyebabkan pemerintah Indonesia sibuk dan berupaya keras memadamkan kebakaran hutan dan lahan (Pratondo 2007).

B. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

(32)

1. Faktor biofisik

Para ahli telah meneliti faktor-faktor pendukung kebakaran antara lain Clar dan Chatten (1954); Brown dan Davis (1973); Suratmo (1985); Sahardjo (2003a), yang mengacu kepada komponen-komponen pada segitiga api. Adapun komponen-komponen yang mempengaruhi kebakaran adalah sebagai berikut :

a. Bahan Bakar

Bahan bakar hutan (forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Ford-Robertson 1971, diacu dalam Chandler et al. 1983). Bahan bakar berupa biomass hidup dan mati per unit luas merupakan besarnya energi tersimpan yang menentukan karakteristik potensial di lapangan.

Ukuran bahan bakar mempunyai pengaruh terhadap kecepatan

pembakaran. Hal ini didukung oleh penelitian Rastioningrum (2004) yang menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran bahan bakar semakin cepat pula

bahan bakar menjadi terbakar. Pada kadar 10%, bahan bakar ranting diameter < 0.5 cm memiliki laju konsumsi bahan bakar tertinggi jika dibandingkan dengan ukuran bahan bakar lainnya.

Susunan bahan bakar terbagi ke dalam susunan vertikal dan susunan horisontal. Susunan vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Susunan ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan susunan horisontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan yang mempengaruhi penjalaran kebakaran (Brown dan Davis 1973).

(33)

Kondisi bahan bakar dapat dilihat berdasarkan kadar air dan jumlah bahan bakar sehingga meskipun bahan bakar berlimpah, api tidak mudah menyala jika kadar airnya tinggi. Hasil penelitian Rastioningrum (2004) menunjukkan bahwa bahan bakar dengan kadar air sebesar 30%, 20% dan 10% dapat terbakar dengan baik lebih dari 50%. Bahkan pada kadar air 10%, bahan bakar daun dapat terbakar 100%.

Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antara partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh pada persediaan udara dan pemindahan panas. Kerapatan partikel tinggi menjadikan tumpukan log kayu terbakar dengan baik dalam waktu lama. Kebakaran akan berhenti jika kerapatan partikelnya rendah.

Menurut Brown dan Davis (1973), bahan bakar bawah (ground fuels),

yaitu terdiri dari serasah yang berada di bawah permukaan tanah, akar pohon, bahan organik yang membusuk, gambut dan batu bara; (2) bahan bakar

permukaan (surface fuel), yaitu bahan bakar yang berada di lantai hutan, antara lain serasah, log sisa tebangan, tunggak pohon dan tumbuhan bawah lainnya; (3) bahan bakar atas (aerial fuels), yaitu bahan bakar yang berada di antara tajuk tumbuhan tingkat bawah dan tajuk tumbuhan tingkat tinggi, seperti cabang pohon, daun dan semak serta pohon mati yang masih berdiri. b. Iklim

Kebakaran hutan dan lahan sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain temperatur udara, kelembaban relatif, kecepatan angin dan curah hujan serta kelembaban vegetasi (Suratmo 2003). Faktor iklim tersebut mempengaruhi : (1) jumlah total bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran, (2) seberapa panjang dan seberapa parah episode kebakaran, (3) pengaturan kadar air bahan bakar mati yang menyebabkan kemudahan terbakar (flammability), dan (4) kejadian penyalaan dan penyebaran kebakaran hutan (Chandleret al.1983).

(34)

utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Selain pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar dan cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dan cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus.

Kebakaran liar yang tidak terkendali khususnya ketika terjadi musim kemarau atau musim kering berkepanjangan. Kebakaran besar yang terjadi di hutan Indonesia selalu berasosiasi dengan kejadian El Nino. Kekeringan yang terjadi selama El Nino juga menyebabkan sumber air berupa kolam-kolam penampungan atau sungai menjadi surut. Sumber-sumber air yang ada sangat sulit untuk dijangkau sehingga mempersulit upaya pemadaman kebakaran (Sahardjo 1998)

Kebanyakan kebakaran hutan besar terjadi selama kondisi cuaca yang ekstrim dan tidak biasa, di mana hal ini sesuai dengan perkiraan. Kekeringan

berkepanjangan, disertai suhu udara yang tinggi dan kelembaban relatif udara yang rendah, membentuk situasi bagi kebanyakan kebakaran besar karena menurunkan kandungan kelengasan bahan bakar hutan mencapai kondisi rendah yang ekstrim. Kondisi kebakaran yang hebat biasanya terjadi selama panas di hari-hari yang terik, kondisi yang kurang baik kemudian mengikuti. Beberapa kebakaran mencapai intensitas tertinggi pada malam hari dan beberapa kebakaran menyebar sangat cepat bahkan ketika suhu maupun kelembaban udara tidak ekstrim (Brown & Davis 1973).

c. Topografi

(35)

2. Faktor aktvitas manusia

Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alami maupun buatan (manusia). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa faktor alami bukan merupakan penyebab terjadinya kebakaran di Indonesia. Kebakaran yang menjadi penyebab utama adalah akibat dari faktor manusia. Kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan awal 1998 kebanyakan berawal dari pembakaran yang dilakukan dengan sengaja (Mudiayarso & Lebel 1998).

Beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan kebakaran di Indonesia adalah : pembukaan hutan dengan membakar, pembakaran limbah kayu oleh eksploitasi hutan (pembalakan) dan tanaman tua perkebunan, dan karakteristik dari biomas hutan yang memungkinkan terbakar sendiri (misalnya oleh petir). Namun, bahan kayu biasanya sangat jarang terbakar sendiri karena membutuhkan

suhu yang tinggi (Ginting,et al. 1998)

Kebanyakan kebakaran yang terjadi di Indonesia berawal dari pembakaran

yang dilakukan oleh manusia. Berdasarkan data sebaran hotspot tahun 1997, Sahardjo (1998) mengemukakan bahwa kebakaran hutan terjadi pada 45,95% di perkebunan, 24,76% di perladang berpindah 15,49% di hutan produksi, 8,51% di hutan tanaman, 4,58% di hutan lindung dan taman nasional dan 1,20% di areal transmigrasi.

Purnama dan Jaya (2007) mengungkapkan bahwa faktor aktivitas manusia memiliki bobot lebih tinggi (51,4%) dibandingkan dengan faktor biofisik yang hanya memiliki bobot sebesar 48.6%. Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang terbangun dari penelitian di Propinsi Riau adalah :

y = 0,514 (0,054 x1+ 0,161 x2+ 0,247 x3+ 0,538 x4) + 0,48,6(0,476 x5+ 0,202 x6

+ 0,322 x7).

di mana : y = Bobot kerawanan kebakaran hutan dan lahan x1= jarak pemukiman

x2= jarak jalan

x3= jarak sungai

x4= penggunaan lahan

x5= curah hujan

x6= NDVI

(36)

Dengan menggunakan metode regresi logistik, Thoha (2006) membuat model peluang kebakaran terjadinya kebakaran hutan dengan formula :

Log(ODDS) y = -0,47426 + 0,0015784 x1 – 0,0050383 x2 – 3,8829293 x3 –

0,000895 x4– 0,0000233 x5– 0,0000191 x6+ 0,0000322 x7

di mana : y = peluang kebakaran x1= curah hujan

x2= ketebalan gambut,

x3= NDVI

x4= jarak dari sungi

x5= jarak dari HPH/HTI

x6= jarak dari kebun

x7= jarak dari lahan pertanian

Pada penelitian di Propinsi Kalimantan Tengah, Jaya et al. (2007) menyatakan bahwa 48% dari kerawanan kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor penutupan lahan yang menggambarkan jumlah, tipe dan susunan bahan bakar. Sedangkan 52% lainnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia di sekitar desa dan jalan.

Kejadian kebakaran besar di Amerika Utara disebabkan pula oleh faktor manusia. Banyak kegiatan pembakaran tidak dikontrol terjadi pada kondisi ideal timbulnya kebakaran besar. Secara umum, hal ini mencerminkan ketidaktanggapan publik terhadap kebakaran hutan yang berlangsung bertahun-tahun dan masih saja terus ada, Sebanyak 65% kebakaran pada hutan boreal di Amerika Utara disebabkan oleh manusia namun luas kebakarannya hanya 15% dari keseluruhan (Stock 1991, diacu dalam Grissomet al. 2000).

Di Amerika Serikat, lebih dari 90% penyebab seluruh kebakaran hutan

adalah manusia. Dalam kurun waktu 10 tahun (1989-1998), rata-rata terjadi sekitar 100.000 kali kebakaran dengan luas areal terbakar sekitar 1.335.462 Ha setiap tahunnya, namun sejumlah besar (98%) luasan areal yang terbakar disebabkan oleh sejumlah kecil (1%) kebakaran (Strauss et al. 1989, diacu dalam Flanniganet al. 2000)

C. Teknologi Penginderaan Jauh

(37)

pengaruhnya pada waktu mendatang. ASMC (2002) menyatakan bahwa remote sensing merupakan teknologi yang memberikan informasi mengenai permukaan bumi dan keadaan atmosfer dengan menggunakan sensor sebagai alat penerima gelombang radiasi elektromagnetik yang membawa informasi tentang objek yang sedang ditangkap.

1. Titik panas (Hotspots)

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advance Very High Resolution Radiometer). (LAPAN 2004).

Di Indonesia terdapat beberapa stasiun penerima data titik hotspot antara lain Palembang Sumatera (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimantan (MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal). Beberapa sumber penyedia data hotspot tersebut memiliki perbedaan dalam menentukan jumlah dan sebaran hotspot. Hal ini disebabkan perbedaan dalam menentukan ambang batas suhu antara stasiun pengamatan.

Penelitian untuk melihat keakuratan data hotspot dengan kejadian kebakaran dilakukan oleh Thoha (2006) menyatakan bahwa akurasi berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot dengan sumber data dari ASMC memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 60%. Sedangkan untuk JICA dan LAPAN masing-masing adalah 47% dan 40%. Untuk akurasi berdasarkan jarak terdekat, sumber data dari JICA memiliki akurasi tertinggi yaitu 1,75 km dibandingkan ASMC sebesar 4,46 km dan LAPAN sebesar 3,70 km.

(38)

Terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA yang berfungsi sebagai pemantau titik panas yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan aerosol sehingga memungkinkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada saat kebakaran besar jauh lebih rendah daripada yang seharusnya. Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan kemungkinan terjadinya salah perkiraan hotspot, misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Oleh karena itu diperlukan analisa lebih lanjut dengan melakukanoverlay (penggabungan) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying) (Adinugrohoet al.2005).

Dengan NOAA-AVVHRR tidaklah mungkin untuk mengukur secara tepat

luas area yang terbakar ataupun memberikan data yang tepat mengenai kerusakan vegetasi. Koordinat hotspot mewakili titik tengah dari pixel kebakaran yang terdeteksi dan bukan koordinat letak kebakaran di permukaan bumi yang sesungguhnya. Kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500 meter dari koordinat titik tengah tersebut. Lebih jauh lagi, sangatlah sulit untuk menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut. Kekeliruan registrasi tergantung pada keakuratan operator ketika menumpangsusunkan garis pantai dalam proses georeferensi (Hoffman 2000).

2. Sistem satelit Landsat

Sistem satelit Landsat dikenal memiliki tiga instrumen pencitraan (imaging instrument) yaitu Return Beam Vidicom (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Sistem satelit TM memiliki orbit dekat dengan kutub, berbentuk lingkaran yang selaras dengan matahari dan memiliki ketinggian nominal 913 kilometer (Lillesand & Kiefer 1990).

Richard (1993) menambahkan bahwa sensor TM merupakan sebuah alat

(39)

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa pada Landsat TM terdapat sensor multispektral yang disebut Thematic Mapper. Nama ini berkaitan dengan tujuan terapan sistem data yang diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral yang akan menghasilkan citra terkelas (peta tematik). Sensor TM memiliki tujuh band yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi.

Menurut Jaya (2002) pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat serta sedang, energi yang direflektansikan dan direkam oleh sensor sangat bergantung pada sifat-sifat obyek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah serta tingkat sedimentasi pada air. Oleh karena itu kombinasi yang setidak-tidaknya terdiri dari satu band sinar tampak, satu band dari inframerah dekat dan satu band dari inframerah sedang dianggap sebagai kombinasi yang cukup ideal digunakan

untuk mendeteksi berbagai penutupan lahan.

Aplikasi citra satelit banyak digunakan di bidang kehutanan khususnya

yang berhubungan dengan sifat-sifat vegetasi. Karakteristik pantulan dari vegetasi sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat daun, termasuk orientasi dan struktur kanopi daun. Proporsi dari radiasi yang dipantulkan pada bagian spektrum yang berbeda tergantung pada pigmentasi daun, ketebalan daun dan komposisi (struktur sel) dan kandungan air pada jaringan daun (Parkinson 1997, diacu dalam Arianti 2006)

D. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu kumpulan terorganisasi yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis (ESRI 1990). Lebih lanjut Arronof (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi.

(40)

pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dan variasi spasial, ilmu tanah, survey dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan,utility network, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986).

Kolden dan Weisberg (2007) dalam penelitian mengenai perbandingan akurasi pemetaan kebakaran secara manual dengan pemetaan menggunakan SIG danRemote Sensingterhadap 53 kejadian kebakaran menunjukkan bahwa terdapat kesalahan (error) secara signifikan terhadap pemetaan garis batas kebakaran dengan pengukuran lapangan dan metoda dengan helikopter. Penggunaan teknologi SIG mempermudah delineasi dan pemetaan daerah kebakaran secara lebih tepat.

Penerapan SIG dalam model kerawanan hutan telah mempertimbangkan

sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Menurut Chuvieco dan Salas (1999),

variabel spasial yang digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kota, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran dan ketersediaan air.

Penggunaan teknologi penginderaan jauh digunakan Chuvieco et al. (1999) dalam penelitian mengenai pengukuran kandungan kelembaban daun di wilayah Mediterania Eropa. Dalam studi ini menunjukkan bahwa citra NOAA-AVHRR mengandung informasi yang dapat digunakan untuk memonitor dan menyediakan peta kandungan kelembaban daun sebagai salah satu parameter penting bagi institusi pemadam kebakaran hutan.

(41)

E. Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan secara umum disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu aktivitas manusia dan biofisik. Padahal harus dipahami bahwa berulangnya kejadian kebakaran hutan dan lahan harus dilihat dari berbagai komponen yang tidak sederhana. Kajian lain yang harus dilihat adalah faktor kebijakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Seringkali kejadian tahunan kebakaran hutan dan lahan didorong oleh kebijakan yang tidak tepat.

Herkulana (2001) menerangkan, secara umum sistem pengelolaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri atas tiga komponen yaitu : pencegahan (prevention), pemantauan (monitoring) dan penanggulangan (mitigation). Dari ketiga komponen tersebut yang paling penting adalah komponen pencegahan. Hal ini dikarenakan upaya pencegahan harus

dititikberatkan pada faktor pelaku di mana di Indonesia faktor manusia mendominasi kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Ada beberapa upaya pencegahan kebakaran yang dapat dilakukan antara lain penentuan peringkat kebakaran, rencana pra pemadaman, deteksi kebakaran, manajeman bahan bakar, pengembangan teknologi pencegahan khusus, analisis statistik kebakaran, penelaahan dan adaptasi peraturan perundangan, kampanye dan penyuluhan kebakaran serta patroli hutan (Xanthopoulos 2007). Selain itu kegiatan pencegahan juga mencakup pengembangan alternatif pengolahan lahan tanpa bakar, mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan adat yang mendukung pelestarian hutan serta memberikan insentif yang dapat membantu masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Penelitian Soewarso (2003) mengenai pencegahan kebakaran hutan rawa gambut mengemukakan bahwa berdasarkan model prediksi yang dibangun dengan model matematik :

Log (Y) = -1.6043 - 0.000027 log x1+ 0.00059 log x2dan 0.000100 x3

di mana : x1= jarak kanal/rel,

x2= jarak lahan tani,

x3= jarak sungai,

(42)

Pratondo (2007) pada penelitian di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat mengemukakan bahwa kebijakan prioritas pengembangan kelembagaan adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan dan mekanisme hubungan antar institusi dan pembangunan infrastruktur pendukung. Diungkapkan pula bahwa partisipasi masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan masih rendah sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi.

Dengan menggunakan simulasi model, Yunus (2006) menyatakan bahwa alternatif kebijakan yang berpengaruh nyata menurunkan kebakaran tahunan yaitu mengurangi penggunaan api dalam membuka lahan serta meningkatkan usaha mitigasi kebakaran dan curah hujan (skenario optimis), sehingga luas kebakaran menurun menjadi 356 ha/tahun dengan nilai kerugian Rp 1,59 milyar (1997) dan

Rp 2,7 milyar (2003), dari kondisi aktual luas kebakaran 623 ha/tahun dengan kerugian ekonomi Rp 2,6 milyar (1997) dan Rp 4,5 milyar (2003).

Menurut Otsukaet al.(1997) bahwa usaha penggulangan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Hal ini merupakan salah satu parameter yang cukup nyata dalam menilai tingkat kesejahteraan masyarakat, karena tingkat kesejahteraan ini sangat berhubungan dengan besarnya gangguan/kerusakan dan resiko kebakaran hutan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat di sekitar hutan.

(43)

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium FisikRemote Sensingdan Sistem Informasi Geografis (GIS) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dimulai dari Maret sampai Juli 2009, yang dilanjutkan dengan pengolahan data dari bulan Juli sampai Nopember 2009.

B. Data dan Alat

1. Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

a. Peta digital yang terdiri atas peta sungai, jalan, desa/kampung, kota, penggunaan lahan, tutupan lahan, keberadaan gambut dan batas

administrasi

b. Data koordinat hotspt di Kalimantan Barat tahun 2006 hasil pemantauan satelit NOAA-AVHRR dari JICA (Japan International Cooperation Agency) dan ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Centre).

c. Citra Satelit Landsat wilayah Kalimantan Barat liputan tahun 2006.

d. Data iklim yang meliputi curah hujan bulanan, hari hujan bulanan dan intensitas curah hujan tahun 2006 yang diperoleh dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan Geofisika Kalimantan Barat.

e. Data-data penunjang berupa data letak geografis dan luas wilayah studi, data keadaan umum lokasi penelitian, data penduduk dan sosial masyarakat dari BPS dan Bappeda Kalimantan Barat.

2. Alat

(44)

C. Tahapan Penelitian

1. Alur penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ada beberapa tahapan yang harus ditempuh sehingga didapatkan hasil yang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kegiatan dilakukan dari proses persiapan dan pengumpulan data hingga terbangunnya model dan peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Secara garis besar alur penelitian ini ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Alur penelitian

2. Persiapan

Tahap persiapan ini meliputi: pengumpulan data digital, wawancara

kepada ahli kebakaran hutan dan lahan, pengolahan citra Landsat, pengolahan data titik panas (hotspt) dan penentuan peubah yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Persiapan dan pengumpulan data

Pra pengolahan Data

Penentuan Variabel Kerawanan

Penentuan Bobot dan Skor

Penentuan Beberapa Alternatif Model

Spasial Validasi

Uji Signifikansi

Model Terbaik Operasi Spasial

Peta sebaran berdasarkan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan Mulai

(45)

a. Pengumpulan Data Digital.

Data digital pada penelitian ini mencakup semua data spasial, baik vektor maupun raster yang menunjang pelaksanaan penelitian ini. Data-data tersebut berkaitan dengan variabel yang digunakan dalam membangun model. Bila diperlukan, data-data digital tersebut diberikan atribut-atribut tambahan sehingga dapat digunakan dalam pembangunan model.

Pembangunan model spasial pendugaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan ini menggunakan peubah jarak dari pusat kota, jarak dari jalan, jarak dari desa/pemukiman, jarak dari sungai, keberadaan gambut, jenis penggunaan lahan, kelas penutupan lahan dan kelas curah hujan.

b. Pengolahan Citra Satelit Landsat.

Pengolahan citra satelit Landsat dilakukan supaya data citra dapat

dikonversikan menjadi data vektor sehingga kemudian dapat ditumpangsusunkan (overlay) dengan data vektor lainnya. Berdasarkan

pengolahan citra maka akan didapatkan peta tutupan lahan sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Kegiatan dalam pengolahan citra antara lain georeferensi, mosaicing, histogram matching, cropping dan lain sebagainya.

c. Pengolahan Data Titik Panas (hotspt).

Data titik panas diperoleh dari hasil rekaman satelit NOAA AVHRR (JICA) diperoleh dari Departemen Kehutanan dan ASMC. Dengan bantuan software ArcView 3.2, data-data ini dikonversi menjadi bentuk shapefile melalui fasilitas “Add Even Theme”. Selanjutnya dilakukan transformasi koordinat, dari koordinat geografis menjadi koordinat UTM dengan datum WGS84 dan zone 49S.

(46)

3. Penentuan peubah pembangunan model kerawanan kebakaran

Secara umum, terjadinya kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh dua hal yaitu faktor alam (biofisik) dan faktor akibat aktivitas manusia. Oleh sebab itu maka pendekatan spasial dalam membangun model kerawanan kebakaran hutan dan lahan harus memperhatikan 2 faktor tersebut sehingga peubah-peubah yang digunakan dalam menyusun model diturunkan dari faktor-faktor tersebut. Dalam penelitian ini, pengkelasan dari masing-masing faktor-faktor tersebut ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Peubah dari aspek aktifitas manusia

Faktor Sub Faktor

X1 Jarak terhadap pusat kota Buffer dengan interval 1000 m (1 km)

X2 Jarak terhadap pusat desa Buffer dengan interval 1000 m (1 km)

X3 Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m (1 km)

X4 Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m (1 km)

X5 Penggunaan Lahan Areal Penggunaan Lain

HPH Aktif

Tabel 2 Pengkelasan peubah dari aspek biofisik

Faktor Sub Faktor

X6 Tutupan Lahan Hutan lahan kering

Hutan rawa X7 Keberadaan Gambut Gambut

Non Gambut

X8 Curah Hujan 179.0 ~ 209.4 mm/ bulan

(47)

4. Analisis data spasial

Kajian yang dilakukan dalam analisis data spasial antara lain meliputi proses data spasial, overlay, manipulasi, pengkelasan, skoring, pembobotan dan pembuatan model sehingga menghasilkan peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Overlay dilakukan pada semua data spasial peubah pembangunan model (Jaya, 2002).

a. Penentuan Bobot

Pada penelitian ini bobot setiap peubah untuk mengindentifikasi derajat pengaruhnya terhadap kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan pendekatan kuantifikasi (metode analisis pemetaan komposit /CMA). b. Penentuan skor aktual (actual score)

Penentuan nilai berdasarkan metode CMA diperoleh dengan

mengetahui informasi dari luasan setiap sub faktor, jumlah hotspt yang ada (observed) pada setiap sub faktor serta jumlah hotspt yang diharapkan atau yang seharusnya ada (expected). Dalam penelitian ini, hubungan sub faktor dalam setiap faktor diklasifikasikan berdasarkan persentase terjadinya hotspt dalam setiap sub-faktor. Adapun perhitungan skor relatif untuk setiap sub faktor pada setiap faktor menggunakan persamaan 1 dan 2.

Nilai kerawanan sub-faktor (xidan zi),

xidan zi=

xi adalah skor kelas (sub-faktor)biofisik

zi adalah skor nilai kerawanan sub-faktor aktifitas manusia

oi adalah jumlahhotsptyang terdapat pada setiap sub-faktor (observed hotspt

ei adalah jumlahhotsptyang diharapkan ada dalam setiap sub-faktor

T adalah jumlah total titik panas (hotspt)

(48)

c. Penentuan skor dugaan (estimated score)

Skor dugaan digunakan untuk merapikan pola nilai skor aktual yang tidak teratur. Skor dugaan didapatkan dengan meregresikan antara masing-masing sub faktor dengan skor aktual dengan pola regresi terbaik.

d. Perhitungan nilai skor skala (rescalling score)

Standarisasi skor antara pada semua faktor yang digunakan dalam penyusunan model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menghitung kembali skor sehingga didapatkan skor skala dengan nilai antara 10 sampai 100 dengan menggunakan persamaan 3 (Jayaet al., 2007).

Min

ROut Score Score Score

Score

ScoreR.out = nilai skor hasilrescalling

ScoreE.input = nilai skor dugaan (estimated score) input

ScoreE.Min = nilai minimal skor dugaan

ScoreE.Max = nilai maksimal skor dugaan

ScoreR.Max = nilai skor tertinggi hasilrescalling

ScoreR.Min = nilai skor terendah hasilrescalling

e. Pembuatan persamaan matematik

Pembangunan model tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (empiris) dengan metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA). Model dibangun berdasarkan nilai skor komposit, disusun dengan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara jumlah hotspt per km2 dengan skor komposit faktor-faktor penyusunnya.

5. Uji signifikansi

Pengujian ini dimaksudkan untuk memilih model terbaik dari beberapa model yang memiliki nilai akurasi tinggi. Uji z ini dapat memperjelas apakah suatu model berbeda nyata terhadap model lainnya. Statistik uji yang digunakan adalah ujiz-test two sample for meandengan persamaan 4.

(49)

di mana :

z adalah nilai signifikansi

1

x , x2 adalah nilai rata-rata dua contoh σ1,σ2 adalah standar deviasi dua populasi n1, n2 adalah jumlah atau ukuran dua contoh Δ adalah perbedaan rata-rata populasi

6. Pembuatan peta kelas kerawanan kebakaran

Dalam penelitian ini, pembagian kelas didasarkan pada pembagian kelas yang kerangka pendekatannya berdasarkan radius antarhotspt yang nantinya akan diturunkan alternatif-alternatif kelas tingkat kerawanan hutan dan lahan di provinsi Kalimantan Barat.

7. Verifikasi dan validasi model

Verifikasi model bertujuan untuk mengetahui seberapa tepat model yang dibuat dalam menduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan terhadap kondisi sebenarnya. Verifikasi dilakukan dengan cara membuat area verifikasi dengan luasan tertentu, referensi untuk verifikasi adalah kepadatan hotspt bulan tertentu. Pemilihan tipe kepadatan adalah kernel agar tampilan output tampak lebih halus.

Area verifikasi dipilih secara acak dan tersebar menurut tingkat kerawanan berdasarkan kepadatan hotspt, kemudian ditampalkan dengan peta model kerawanan kebakaran. Akurasi model dihitung berdasarkan koinsidensi antara model dan referensi dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Matrix ini untuk menilai akurasi peta yang dihasilkan.. Matrik ini digunakan untuk menghitung akurasi umum dengan persamaan sebagai berikut :

OA adalah nilai validasi keseluruhan

Xii adalah Coincided Value atau luasan kelas kerawanan yang sama antara

(50)

Akurasi umum biasanya memberikan hasil penilaian yang tinggi (over estimate) karena hanya mempertimbangkan piksel-piksel diagonal saja, oleh karena itu perlu dihitung dengan akurasi Kappayang mempertimbangkan seluruh elemen dalam matrik. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berikut :

k adalahakurasi kappa;

r adalah jumlah baris dalamerror matrix;

xii adalah jumlah pengamatan dalam barisidan columni(diagonal utama)

xi+ adalah jumlah baris i;

x+i adalah jumlah kolom i;

N adalah total jumlah pengamatan

8. Pemodelan spasial resiko kebakaran hutan dan lahan

a. Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan terbaik

Model kerawanan yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalalah model dengan akurasi model terbaik yang telah dilakukan validasi sebelumnya.

b. Pemetaan zone kerawanan kebakaran hutan dan lahan

Perasamaan regresi dari tahapan sebelumnya, kemudian dibuat peta kerawananannnya dengan mengalikan bobot dengan skor dari masing-masing sub faktor. Operasi pengalian tersebut menggunakan fasilitas

Calculator dalam software ArcView 3.2. Dari peta kerawanan ini akan dapat dilihat jumlah luasan kerawanan kebakaran ditinjau dari berbagai sudut pandang.

c. Sebaran kelas resiko kebakaran hutan dan lahan

Dengan melakukan overlay antara peta kerawanan kebakaran hutan dan kelompok kelas penutupan lahan berdasarkan nilai kerugiannya maka akan didapati kelas resiko yang akan ditimbulkan akibat kebakaran.

Gambar

Gambar 3 Alur penelitian
Tabel 1 Peubah dari aspek aktifitas manusia
Gambar 11 Kepadatan hotspot pada ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten dan ibu
Gambar 18 Sebaran lahan gambut di Kalimantan Barat (Sumber : Wetland Internasional, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi Petani dalam Pelaksanaan Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut (Kasus di Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat). Dibimbing oleh: PUDJI MULJONO dan

r Data Spasial Nasional (IDSN) untuk Pengenhlian Kebakaran Hutan Studi kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat) adalah karya saya asahan kornisi pembimbing dan

Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi jika 3 kondisi sebagai syarat terjadinya kebakaran tersedia yaitu bahan bakar (biomass), dryness (kekeringan) dan faktor pemicunya.

Variabel spasial yang digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu topografi (elevasi, slope, dan aspek), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola

PEMETAAN RAWAN DAN RESIKO KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kabupaten Rokan Hilir Dan Rokan Hulu, Provinsi Riau)..

Status Siaga Darurat Sebagaimana Dimaksud Adalah Dalam Rangka Siagan Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Atau Lahan di Provinsi Kalimantan Selatan terhitung

Model spasial berdasarkan target RTRW lebih sesuai diterapkan di Provinsi Kalimantan Tengah karena pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit pada hutan produksi

Penelitian selanjutnya adalah membangun model hutan tanaman berisiko kecil kebakaran, pencegahan kebakaran hutan rawa gambut berbasis masyarakat, dan menentukan indikator