• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan,"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi diluar kawasan hutan (Pubowaseso, 2004).

Dibawah ini dapat dilihat data kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 yang terjadi di Provinsi Sumatera dan Kalimantan.

Tabel 1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera dan Kalimantan

No

Provinsi

Luas Hutan ( Km2 )

Hutan Rawa Gambut

Luas ( Km2 ) Persentase Terhadap Luas Hutan Kalimantan 1 Kalimantan Tengah 116.144 28.489 24.5 2 Kalimantan Selatan 17.959 1.452 8.1 3 Kalimantan Barat 87.006 18.782 21.6 Sumatera 4 Riau 59.365 35.128 59.2 5 Jambi 27.658 5.851 21.2 6 Sumatera Selatan 35.621 6.721 18.9 Sumber : http://www.setneg.go.id Proses Kebakaran

Proses pembakaran/kebakaran adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu :

C6H12O6 + O2 + Sumber Panas CO2 + H2O+ Panas

Pada proses fotosintesa, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan partikel-partikel. Dapat dilihat bahwa terjadinya proses pembakaran/kebakaran

(2)

apabila ad dan panas akan terja yang meru termasuk di hutan d tergantung Hartono, 1 Faktor-fa Fa karakterist kondisi cu (Purbowas Fa kebakaran da tiga unsu s (heat). Bil adi. Prinsip upakan kun dalam upay dalam jumla g kepada ko 1986). aktor Penye aktor utama tik bahan b uaca (suhu, seso, 2004) aktor cuaca n hutan dan ur yang ber la salah sat ini dikena ci utama da ya pengenda ah yang berl ondisi alam Gamb ebab Kebak a perilaku a bakar (kadar curah hujan . a merupak lahan, meli rsatu yaitu tu dari ketig al dengan is alam mempe alian kebaka limpah, seda mi suatu daer bar 2. Prinsip karan Hut api yang m ar air, juml n, kelembab kan faktor iputi : angin bahan bak ganya tidak stilah prins elajari keba aran. Bahan angkan sum rah dan keg

p Segitiga Ap

an dan Lah mempengaru

lah, ukuran ban dan ang

penting k n, suhu, cur ar (fuel), o k ada maka ip segitiga akaran hutan n bakar dan mber panas p giatan manu pi han uhi kebakar dan susuna gin) serta top

kedua yang rah hujan, k oksigen (oxy kebakaran api (Gamb n dan lahan oksigen ter penyalaan s usia (Sormin ran hutan a an bahan ba pografi lapa g menyeba keadaan air ygen) tidak bar 2) n yang rsedia sangat n dan adalah akar), angan abkan tanah

(3)

karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Waktu dipisahkan atas waktu siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan kondisi kebakaran hutan dan lahan. Masing-masing faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku api kebakaran hutan dan lahan (Pubowaseso, 2004).

Karakteristik Bahan Bakar 1. Kadar Air Bahan Bakar

Kadar air bahan bakar berpengaruh sangat nyata dalam menentukan perilaku api pada kebakaran hutan. Kadar air menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran. Api sulit untuk memulai menyala pada kadar air bahan bakar di atas 12% untuk jenis rumput-rumputan dan di atas 20% untuk bahan bakar hutan. Agar bahan bakar terbakar, suhu bahan bakar harus naik sampai mencapai titik bakar. Pada kertas kering, terbakar pada suhu 130oC,

serasah hutan pada suhu 300oC dan batang pohon sekitar 600oC (Sagala, 1988 dalam Darwo, 2009). Apabila sudah menyala, api dapat bergerak

dengan cepat jika ada angin bertiup (Artur, 1986 dalam Darwo, 2009). Batas aman kadar air bahan bakar adalah 30%. Untuk memahami sifat kemudahan terbakar suatu bahan bakar diperlukan pengetahuan mengenai kadar air seperti curah hujan, kelembaban relatif, dan suhu. Bila kelembaban tinggi, maka dibutuhkan energi yang besar untuk terjadinya pembakaran. Bila kelembaban rendah, maka bahan bakar cepat terbakar (Suratmo, 1985 dalam Darwo, 2009). 2. Ukuran Bahan Bakar

Ukuran bahan bakar dibagi menjadi 3 bagian yaitu bahan bakar halus, bahan bakar sedang dan bahan bakar kasar. Bahan bakar halus mudah dipengaruhi

(4)

lingkungan sekitar, mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Karena sifatnya yang cepat mengering, maka apabila terbakar akan cepat meluas namun cepat pula padam. Bahan bakar halus ini terdiri dari daun, serasah, rumput dan cabang kecil. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savana dan padang alang-alang. Pada bahan bakar kasar, kadar air yang terkandung lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Namun apabila terbakar, maka akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar meliputi pohon, log kayu dan pohon-pohon mati yang masih berdiri (snog) (Darwo, 2009).

3. Susunan Bahan Bakar

Susunan bahan bakar tersebut dibagi menjadi 2 yaitu susunan vertikal dan susunan horizontal. Susunan secara vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Hal ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu yang singkat. Susunan secara horizontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan dan akan mempengaruhi penjalaran kebakaran (Darwo, 2009).

Jenis Bahan Bakar

Jenis bahan bakar dapat digolongkan menjadi:  Jenis pohon

Kepekaan masing-masing pohon terhadap api sangat bervariasi. Komposisi tegakan sangat mempengaruhi kepekaannya. Umumnya hutan murni dengan jenis daun lebar kurang peka terhadap kebakaran, sedangkan hutan murni dengan jenis konifer yang mengandung banyak resin sangat peka terhadap kebakaran. Laju penjalaran api pada tanaman Pinus merkusii sebesar 32,82 m/jam lebih cepat dibandingkan dengan tanaman Acacia mangium sebesar 18,13

(5)

m/jam, hal ini karena pada P. merkusii terdapat zat ekstraktif berupa resin (Saharjo, 2003 dalam Darwo, 2009).

 Semak dan anakan

Jika dalam keadaan tumbuhan sehat, maka sukar terbakar namun apabila dalam keadaan mati sangat mudah untuk terbakar. Serasah dan lapisan humus yang belum hancur merupakan lapisan bahan organik yang sudah mati terdiri dari daun-daun, cabang-cabang pohon yang mati. Serasah mudah dikeringkan oleh udara sehingga mudah terbakar. Cabang-cabang pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan merupakan bahan bakar yang mudah menyala dan bila terbakar api dapat berkobar tinggi. Sisa penebangan misalnya penebangan dalam penjarangan yang banyak meninggalkan sisa-sisa kayu, cabang dan daun-daun (Saharjo, 2003).

Kondisi Bahan Bakar

Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya bahan bakar terbakar. Salah satu kondisi bahan bakar yang penting adalah kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran. Kandungan kadar air bahan bakar dari tanaman A. mangium 28,60%, sedangkan tanaman P. merkusii 30,96% (Saharjo, 2003 dalam Darwo, 2009).

Kerapatan Bahan Bakar

Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan tajuk antar partikel-partikel dalam bahan bakar. Kerapatan berpengaruh kepada persediaan udara dan pemindahan panas. Tumpukan log kayu akan terbakar dengan baik dalam waktu

(6)

yang lama jika kerapatan partikelnya tinggi dan akan berhenti terbakar jika kerapatan partikelnya rendah (Darwo, 2009).

Kondisi Cuaca 1. Suhu

Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler et. al. 1983). Temperatur udara bergantung pada intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan percepatan pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu udara merupakan faktor cuaca penting yang menyebabkan kebakaran. Suhu udara secara konstan merupakan faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar (Dirjen PHPA, 1994).

Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memprakirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian adalah penting untuk mengetahui bagaimana menentukan besarnya suhu udara (Purbowaseso, 2004).

Suhu udara tergantung dari intensitas panas / penyinaran matahari. Areal dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering sehingga rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004).

(7)

2. Kelembaban Udara dan Curah Hujan

Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim kebakaran karena berkaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan berhubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah, kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara disekitarnya. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering. Selama musim kemarau, kelembaban udara yang rendah juga mempengaruhi kadar air bahan bakar hidup. Uap air yang akhirnya turun sebagai hujan akan meningkatkan kadar air dari bahan bakar mati (Darwo, 2009).

3. Iklim Mikro dalam Hutan

Hamzah dan Wibowo (1985) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa walaupun Indonesia dalam kawasan tropis dengan curah hujan tinggi, namun hutan-hutannya tidak luput dari ancaman kebakaran. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya musim hujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau, curah hujan dalam sebulan sering kurang dari 60 mm terlebih lagi pada daerah bertipe iklim C dan D, maka bahaya kebakaran hutan akan makin besar. Karena adanya siklus tahunan dalam curah hujan dan pertumbuhan vegetasi maka setiap daerah memiliki musim kebakaran yang tegas. Lamanya musim kebakaran ini berbeda-beda, ada yang setahun dua kali dan adakalanya sepanjang tahun.

4. Angin

Angin adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau udara nisbi terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angin yang biasanya di kaji adalah kecepatan angin. Kecepatan angin penting karena dapat menentukan

(8)

besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan.

Angin menentukan arah menjalarnya api, menurut Suratmo (1985) dalam Darwo (2009) angin juga mempengaruhi kecepatan dan percepatan terjadinya kebakaran hutan. Angin menentukan arah dari menjalarnya api dan berkorelasi positif dengan menjalarnya api, selain itu api juga dapat mengurangi kadar air bahan bakar. Clar dan Chatten (1954) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa dengan adanya angin maka persediaan oksigen tercukupi dan memberikan tekanan untuk memindahkan panas dan api serta mengeringkan bahan bakar melalui penguapan.

Akibat dari semua mekanisme ini, akan membuat kebakaran kecil menjadi kebakaran besar, menyebabkan api bergerak tidak terduga serta membahayakan dan menyulitkan usaha pemadaman.

5. Topografi

Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1994).

Sagala (1988) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa api akan menjalar

lebih cepat apabila menaiki lereng dan akan lebih lambat jika menuruni lereng. Hal ini dikarenakan bahan bakar bagian atas lebih cepat panas.

(9)

6. Jarak dari Pemukiman

Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk memiliki kategori sangat penting sehingga peubah jalan dan pemukiman penduduk digunakan sebagai peubah penyebab kebakaran untuk menentukan pengaruh aktivitas manusia. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006).

Aktivitas masyarakat sekitar hutan demi memperoleh penghidupan cenderung meningkat pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan lahan bercocok tanam di wilayah sekitar hutan menjadi tidak produktif karena kekeringan. Pembuatan arang kayu di hutan misalnya dapat mengakibatkan bahaya kebakaran (Qodariah dan Wijanarko, 2008).

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan diantaranya :

a. Dampak Terhadap Bio-fisik

Dampak buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya tahan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit/pembusukan. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi

(10)

kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut.

Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan. Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang dikawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.

Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah hulu DAS cenderung menurukan kapasitas penyimpanan air di daerah-daerah dibawahnya. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau dan bendungan.

b. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi

Perubahan bio-fisik terhadap sumber daya dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian,

(11)

perindustrian, perdagangan, jasa wisata dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.

c. Dampak Terhadap Lingkungan

Selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.

Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua hotspot mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (FFPMP2, 2007).

Sebuah hotspot adalah sebuah pixel kebakaran yang mewakili areal 1,1 km2, ini menunjukkan bahwa ada satu kebakaran atau beberapa kebakaran dalam areal itu, namun itu tidak menjelaskan jumlah, ukuran, dan intensitas kebakaran dan areal yang terbakar (FFPMP2, 2007).

(12)

Titik panas (hotspot) adalah penamaan yang diberikan terhadap produk pencitraan satelit NOAA. Satelit ini mengelilingi bumi setiap 100 menit di ruang angkasa sejauh 850 km. Data dari NOAA dapat diterima hampir setiap hari. Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla), disetiap propinsi mempunyai akses langsung terhadap stasiun satelit yang berada di Jakarta tersebut. Sedangkan untuk kebutuhan umum, data baru akan diterima dua hari setelah kebakaran terjadi. NOAA dilengkapi dengan sensor AVHHR (Advanced

Very High Resolution Radiometer). AVHHR akan mendeteksi suhu permukaan

tanah menggunakan sinar infra merah pendek utama. Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Ukuran satu

pixel ini setara dengan 1,2 km dikalikan dengan 1,1 km dan titik panas di

permukaan bumi yang dapat ditangkap oleh sinar infra merah adalah 315○K (42○C) pada siang hari dan 310○K (37○C) pada malam hari. Dalam keadaan berawan, deteksi titik panas ini tidak dapat dilakukan. Derajat panas senilai 42○C

pada siang hari di satu kawasan mustahil ditemukan pada daerah yang tidak memiliki titik api. Refleksi panas pada sebuah atap seng pada pabrik yang luas hanya mampu memproduksi panas tidak lebih dari 257○C. Dengan menggunakan angka ini, total luas hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar dalam enam tahun terakhir mencapai 27,612 juta Ha. Rata-rata setiap tahunnya, hutan dan lahan seluas 5 juta Ha (WALHI, 2007).

Dalam periode Juli-November 2006, jumlah titik panas yang tercatat (menurut data Satelit NOAA 12) sebanyak 145.147. Jumlah titik panas ini mencapai puncaknya pada bulan Agustus, sebanyak 48.943, kemudian September

(13)

(47.810) dan Oktober (35.829). Berdasarkan penyebarannya, titik panas ini sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera. Dalam periode tersebut, titik panas terbanyak terdapat di Kalimantan Tengah (46.285), yang diikuti oleh Kalimantan Barat (28.061), Sumatera Selatan (21.030) dan Riau (10.784) (Fire Bulletin, 2007).

Dengan mengambil sampel Kalimantan Barat dan Riau, analisis titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut : konsesi perkebunan sawit (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%), dan areal penggunaan lain/APL (58,59%). APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi (Fire Bulletin, 2007).

Aplikasi SIG pada Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Teknologi Pengindraan Jauh

Penggunaan teknologi remote sensing dalam pengendalian kebakaran

hutan dan lahan telah memberikan kemudahan dalam memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta dapat memperkirakan kejadian kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Remote sensing merupakan teknologi yang memberikan informasi mengenai permukaan bumi dan keadaan atmosfer dengan menggunakan sensor sebagai alat penerima gelombang radiasi elektromagnetik yang membawa informasi tentang objek yang sedang ditangkap (ASMC, 2002). Titik panas (hotspots) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi disuatu lokasi tertentu pada saat tertentu

(14)

dengan memanfaatkan satelit NOAA yang memiliki teknologi AVHRR (LAPAN, 2004).

Penelitian untuk melihat keakuratan data hotspot dengan kejadian kebakaran dilakukan oleh Thoha (2006) menyatakan bahwa akurasi berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot dengan sumber data dari ASMC memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 60%. Sedangkan untuk JICA dan LAPAN masing-masing adalah 47% dan 40%. Untuk akurasi berdasarkan jarak terdekat, sumber data dari JICA memiliki akurasi tertinggi yaitu 17,5 km dibandingkan ASMC sebesar 4,46 km dan LAPAN sebesar 3,70 km.

Terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA yang berfungsi sebagai pemantau titik panas yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan aerosol sehingga memungkinkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada saat kebakaran jauh lebih rendah daripada seharusnya. Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan kemungkinan terjadinya salah perkiraan hotspot, misalnya cerobong api dari tambang minyak dan gas sering kali terdeteksi sebagai suatu

hotspot. Oleh karena itu, diperlukan analisa lebih lanjut dengan melakukan

overlay (penggabungan) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying) (Adinugroho, et al, 2005).

Dengan NOAA-AVHRR tidaklah mungkin untuk mengukur secara tepat luas daerah yang terbakar ataupun memberikan data yang tepat mengenai kerusakan vegetasi. Koordinat hotspot mewakili titik tengah dari pixel kebakaran yang terdeteksi dan bukan koordinat letak kebakaran dipermukaan bumi yang

(15)

sesungguhnya. Kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500 meter dari koordinat titik tengah tersebut. Lebih jauh lagi, sangatlah sulit untuk menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut. Kekeliruan registrasi tergantung pada keakuratan operator ketika menumpangsusunkan garis pantai dalam proses georeferensi (Hoffman, 2000). 2. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu kumpulan terorganisasi yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis. Lebih lanjut Arronof (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi.

Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan referensi pada bagian bidang terkait seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dan variasi spasial, ilmu tanah, survey dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility network, dan pengindraan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986).

Kolden dan Weisberg (2007) dalam penelitian mengenai perbandingan akurasi pemetaan kebakaran secara manual dengan pemetaan menggunakan SIG dan Remote Sensing terhadap 53 kejadian kebakaran menunjukkan bahwa terdapat kesalahan (error) secara signifikan terhadap pemetaan garis batas kebakaran

(16)

dengan pengukuran lapangan dan metoda dengan helikopter. Penggunaan teknologi SIG mempermudah deliniasi dan pemetaan daerah kebakaran secara lebih tepat.

Penggunaan SIG dalam model kerawanan hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Variabel spasial yang digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu topografi (elevasi, slope, dan aspek), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kota, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran dan ketersediaan air (Chuvieco dan Salas, 1996).

Peta Rawan Kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, dkk, 2007).

Model peta rawan kebakaran ini tidak secara khusus memperhatikan potensi penyulutan, melainkan lebih secara luas memprediksi kemungkinan kebakaran akan terjadi serta kemungkinan intensitas serta dampak yang ditimbulkan. Potensi penyulutan juga dikembangkan sebagai salah satu komponen di dalam Sistem Analisa Ancaman Kebakaran (Ruecker, 2007) yang dikembangkan oleh SSFFMP.

(17)

Rawan Kebakaran = {40% * (Penutupan Lahan)} + {30% * (Lahan Gambut)} + {30% * (Zona Iklim/Elevasi)}

(Solichin, dkk, 2007).

Jaya (2002) menyatakan bahwa analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses pemodelan, pengujian model dan interpretasi hasil model. Analisis spasial sangat bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian melalui proses simulasi data geografis.

Teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta) baru beserta data atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting yaitu

intersect, union, clip, dan merge. Metode intersect adalah metode yang paling luas

penggunaannya untuk analisa data spasial dimana teknik akan mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema informasi yang baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih digabungkan sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial tanpa memperhatikan aspek databasenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua data spasial yang akan menghasilkan potongan sesuai poligon yang dikehendaki (area

of interest). Metode merge adalah penggabungan dua atau lebih data secara

spasial dan non-spasial dengan syarat adanya field kunci yang sama dalam data atribut (Prahasta, 2001).

(18)

Monitoring Kebakaran Hutan

Monitoring kebakaran hutan bisa mencakup pemantauan lokasi kejadian kebakaran, perkiraan luas dan dampak kebakaran pada hutan dan lahan, perkiraan resiko kebakaran dan intensitas kerusakan akibat kebakaran hutan. Dengan SIG, maka dapat dibangun sebuah model statistik ke dalam model prediksi spasial. Persamaan statistik diperoleh dari analisis statistik yang diaplikasikan pada

software GIS (Geographical Information System) untuk menghasilkan sebuah

peta (Thoha, 2008).

Identifikasi lokasi rawan kebakaran hutan berguna untuk kegiatan monitoring sebagai upaya pencegahan dini. Lokasi rawan kebakaran memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Merupakan lokasi-lokasi yang berdasarkan laporan tahun lalu telah sering

terjadi kebakaran.

2. Lokasi hutan yang dekat dengan pemukiman/aktifitas masyarakat.

3. Lokasi yang berdekatan dengan sarana/prasarana atau aksesibilitasnya tinggi

(dekat dengan jalan atau alur) sehingga sering dilewati oleh masyarakat.

4. Lokasi-lokasi yang berbatasan atau berada pada kegiatan persiapan lapangan.

5. Lokasi yang tumbuhan bawahnya di dominasi oleh kirinyuh (Eupatorium

odoratum) dan alang-alang (Imperata cilindrica)

6. Lokasi tanaman (1-3 tahun) terutama dengan sistem banjarharian

Lokasi-lokasi rawan kebakaran tersebut harus dipetakan dan akan selalu di update setiap tahunnya. Selain itu, perlu diidentifikasi pula kondisi lapang lokasi rawan kebakaran tersebut yakni :

(19)

 Topografi

Topografi lapangan sangat menentukan kemudahan api menyebar serta menjadi pertimbangan pada saat pemadaman api. Lokasi yang miring akan memiliki karakteristik api lebih mudah menyebar ke lokasi yang lebih tinggi dengan bantuan angin dengan adanya api loncat dibandingkan lokasi yang datar.  Bahan bakar/material berpotensi mudah terbakar

Keberadaan tumbuhan bawah terutama yang didominasi oleh ilalang dan kirinyuh akan lebih berpotensi terbakar dibandingkan semak belukar/tumbuhan bawah lainnya. Selain itu keberadaan serasah daun jati yang meranggas pada saat musim kemarau merupakan potensi bahan bakar yang tinggi, selain pohon, ranting, batang yang kering.

 Keberadaan sumber air/perairan

Keberadaan sumber air/perairan seperti sungai, selokan, irigasi, embung, mata air atau bendungan terdekat sangat diperlukan pada saat upaya pemadaman. Jika wilayah perairan terdekat sudah teridentifikasi, maka tindakan pemadaman api akan menjadi lebih mudah.

 Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju lokasi rawan kebakaran perlu diidentifikasi, letak jalan, alur serta kondisi terkininya akan sangat membantu dalam mengatur tim pemadam, meletakkan sarana pemadam (mobil tanki, dll), mobilisasi masyarakat serta jalur penyelamatan.

(20)

Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan pada fase sebelum kejadian berlangsung. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan meliputi pembuatan peta rawan kebakaran, memantau gejala rawan kebakaran, penyiapan regu pemadam kebakaran, membangun menara pengawas, membuat jalur sekat bakar, dan penyuluhan (Purbowaseso, 2004).

1. Peta Rawan Kebakaran

Peta rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan menumpang susunkan peta dari parameter-perameter yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan metode skoring. Selain itu, peta rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan bantuan citra satelit yang memanfaatkan saluran thermal, seperti citra NOAA.

2. Memantau Cuaca, Akumulasi Bahan Bakar dan Gejala Rawan Kebakaran Kegiatan yang dimaksud adalah yang dikaitkan untuk memantau tingkat kerawanan api. Api ditentukan oleh kondisi bahan bakar (kandungan air, struktur dan susunannya), angin dan topografi. Oleh karena kandungan air bahan bakar tergantung hujan, suhu dan kelembaban, maka sebenarnya kerawanan api akan juga tergantung pada factor hujan, suhu, kelembaban, struktur bahan bakar, susunan bahan bakar, angin dan topografi (Purbowaseso, 2004).

3. Penyiapan Regu Pemadam Kebakaran

Satu regu pemadam kebakaran hutan terdiri dari 20 orang dan dipimpin seorang ketua regu. Ketua regu harus dipilih yang sudah berpengalaman. Kebutuhan regu pemadam dapat dihitung dengan kriteria yaitu apabila satu regu

(21)

dengan membawa peralatan pemukul api memerlukan ruang gerak 5 meter, maka untuk satu regu wilayah yang bisa dijangkau adalah sepanjang 5 x 20 = 100 meter (Purbowaseso, 2004).

4. Membangun Menara Pengawas

Perlengkapan yang diperlukan dalam pengawasan ini adalah alat komunikasi dan lokasi pengawasan. Bahan yang digunakan untuk membuat menara api dapat berasal dari besi ataupun kayu. Sesuai SK Dirjen PHPA nomor 248/Kpts/DJ-VI/1994 mensyaratkan bahwa tinggi menara pengawas api berkisar antara 12-18 m.

Lokasi penempatan menara pengawas api harus diletakkan pada tempat yang strategis artinya pada tempat yang paling tinggi di wilayah tersebut dan mudah didatangi. Menara pengawas api dengan tinggi 13 m yang diletakkan di puncak bukit kecil mampu mengawasi wilayah 3-5 km (Purbowaseso, 2004). 5. Membuat Jalur Sekat Bakar

Biasanya sekat bakar dipisahkan atas 2 yakni jalur kuning dan jalur hijau. Jalur kuning adalah sekat yang dibuat dengan lebar tertentu (umumnya 12-20 m) dan mengelilingi areal sampai ketemu gelang serta sekat dalam kondisi bersih dari bahan bakar. Jalur hijau dibedakan dengan jalur kuning terletak pada penanaman pohon yang tahan api pada jalur hijau. Pembuatan jalur kuning biasanya juga dikombinasikan dengan jalan, baik jalan utama maupun jalan cabang.

Hal yang perlu diperhatikan untuk membuat lebar jalur kuning adalah kecepatan angin. Angin yang kencang akan membawa materi bisa terbang jauh, sebaliknya angin sepoi-sepoi tidak dapat membawa materi terbang jauh. Oleh karena itu, lebar jalur sangat ditentukan oleh besar-kecilnya kecepatan angin.

(22)

Jalur hijau lebih tepat dibuat pada areal yang menghubungkan antara kegiatan sebagai sumber penyebab kebakaran hutan seperti pemukiman, ladang, kegiatan HTI, PIR, transmigrasi dengan kawasan yang dilindungi yang berada di sekitarnya. Jalur hijau dicirikan dengan penanaman pohon-pohonan yang tahan api artinya jenis pohon yang survival setelah terbakar (Purbowaseso, 2004).

6. Penyuluhan

Penyuluhan merupakan kegiatan penting dalam rangka menyadarkan seluruh pihak yang terkait dengan pembakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, agar penyuluhan dapat efektif, maka orang yang disuluh sebagai obyek harus tepat. Materi yang disampaikan harus dalam bahasa yang mudah diterima oleh peserta penyuluhan (Purbowaseso, 2004).

Kondisi Umum Lokasi Penenlitian Lokasi dan Keadaan Geografis

Kabupaten Toba Samosir berada pada 2○03’ - 2○40’ Lintang Utara dan 98○56’ - 9940’ Bujur Timur dengan luas wilayah yaitu 2.021,8 Km2. Kabupaten

Toba Samosir berada diantara lima kabupaten yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, - Sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir.

Kabupaten Toba Samosir terletak pada wilayah dataran tinggi, dengan ketinggian antara 300 - 2.200 meter di atas permukaan laut, dengan topografi dan kontur tanah yang beraneka ragam, yaitu datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil dan berada pada wilayah gempa tektonik dan vulkanik.

(23)

Iklim

Sesuai dengan letaknya yang berada di garis khatulistiwa, Kabupaten Toba Samosir tergolong ke dalam daerah beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170C - 290C dan rata-rata kelembaban udara 85,04 persen. Rata-rata tinggi curah hujan yang terjadi di Kabupaten Toba Samosir per bulan tahun 2007 berdasarkan data pada 3 stasiun pengamatan sebesar 155 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 14 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dengan 260 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 6 hari. Sedangkan pada bulan Pebruari curah hujan yang turun sangat rendah sekitar 85 mm, dengan jumlah hari hujan 4 hari. Berdasarkan stasiun pengamatan, Kecamatan Habinsaran merupakan daerah dengan curah hujan yang tertinggi, yaitu 200 mm.

Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2009 adalah 175.325 jiwa, dengan jumlah rumah tangga (RT) 39.339 RT, dengan luas wilayah daratan 2.021,8 Km², tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Toba Samosir tahun 2009 sebesar 86,7 jiwa/km². Kecamatan Balige yang merupakan ibukota kabupaten, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan adalah kecamatan dengan tingkat kepadatan yang tertinggi, yaitu sebesar 487,52 jiwa/km², kemudian Kecamatan Porsea dengan tingkat kepadatan sebesar 351,64 jiwa/km². Sedangkan Nassau merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan yang terkecil, yaitu hanya 18,80 jiwa/km².

Struktur Ekonomi

Perekonomian di daerah hulu biasanya didominasi oleh pertanian dan di daerah hilir didominasi oleh industri jasa. Daerah hulu DAS Asahan adalah Toba

(24)

Samosir dan Simalungun dan daerah hilirnya adalah Asahan dan Tanjung Balai. Toba Samosir yang berada di hulu justru struktur ekonominya didominasi sektor industri. Hal ini diduga karena di Toba Samosir terdapat industri pulp yakni PT. Toba Pulp Lestari yang mempunyai pasar nasional dan internasional sehingga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PDRB Toba Samosir pada sektor industri. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dimana Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah hulu mempunyai kerawanan terhadap degradasi dengan keberadaan industri pulp tersebut. Namun demikian, secara umum struktur ekonomi pertanian di Toba Samosir juga memberikan kontribusi yang hampir setara dengan industri.

Gambar

Tabel 1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera dan Kalimantan

Referensi

Dokumen terkait

5 Faktor manusia Kebakaran Hutan Data Spasial Cara pencegahan/ peringatan dinin Kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan Prediksi kebakaran/ pemodelan Faktor paling

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Utara dapat dirumuskan dengan model matematis y = 0.1709e 0.0248x yang memiliki

Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak sengaja pada areal tertentu yang kemudian menyebar secara bebas

Hal ini menunjukkan bahwa zona bahaya kebakaran hutan dan lahan yang dibuat mempunyai hubungan yang positif atau cukup erat dengan terjadi kebakaran vegetasi (hutan

Proses pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan pengolahan data titik panas (hotspot) dapat dilakukan dengan mengimplementasikan metode clustering, salah

menyatakan bahwa kebakaran hutan berdasarkan intensitas dan jenis kebakaran yang terjadi menimbulkan beberapa dampak yaitu : kemsakan pada pohon yang terbakar, kerusakan

Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Dan Lahan 1 Sangat Tidak Mudah 2 Tidak Mudah 3 Sedang 4 Mudah 5 Sangat Mudah Pembahasan Model Pemetaan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan

Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir KESIMPULAN Tingkat kerawanan Kebakaran di Kabupaten Rokan Hilir terbagi atas empat kelas yaitu rawan sangat