• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Di Sumatera Utara"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis, 1973). Sementara itu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, pengertian kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.

Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi diluar kawasan hutan (Pubowaseso, 2004).

Laju deforestasi Indonesia antara tahun 2000 dan 2009 sekitar 1,51 juta hektar per tahun, dalam periode tersebut luas tutupan hutan Indonesia mengalami pengurangan seluas 15,15 juta Ha (Sumargo et al., 2011). Demikian pula yang disampaikan oleh Hansen et al. (2013) bahwa Indonesia kehilangan hutan sebesar 15,8 juta Ha atau 8,4% antara tahun 2000-2012.

(2)

eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO, 2001).

Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 diacu dalam Sunuprapto, 2000).

Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup, 2002)

(3)

hutan/lahan di sekitarnya dan menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang merugikan secara ekonomis dan ekologis. (Departemen Kehutanan, 1995)

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

2.2.1 Faktor aktifitas manusia

Faktor aktifitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso, 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran. Qodariah dan Wijanarko (2008) menyatakan aktifitas masyarakat sekitar hutan demi memperoleh penghidupan cenderung meningkat pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan lahan bercocok tanam di wilayah sekitar hutan menjadi tidak produktif karena kekeringan. Pembuata arang kayu misalnya dapat mengakibatkan bahaya kebakaran.

Beberapa aktifitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA,2003). Booyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktifitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan.

(4)

Semakin jauh lokasi hutan terhadap permukiman penduduk, dan jalan, maka hutan semakian terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006)

2.2.2 Faktor lingkungan biofisik

Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.

Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al., 1983) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. .

(5)

cepat mengering sehingga sulit terbakar, namun bila terbakar, akan memberikan penyalaan api yang lebih lama. Bahan bakar kasar ini meliputi pohon, log kayu dan pohon-pohon mati yang berdiri (tunggak) (Darwo,2009)

Selain faktor bahan bakar, faktor lingkungan lain adalah faktor cuaca, meliputi angin, suhu,curah hujan, keadaan air tanah dan kelembaban relatif. Waktu juga sangat terkait dengan kemungkinan terjadinya kebkaran.yaitu pada saat siang atau malam hari (Purbowaseso,2004)

2.3 Titik panas (hotspot)

Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 µm), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan. Data yang dihasilkan dikenal dengan istilah hotspot yang mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik kordinat. Sebuah hotspot adalah sebuah piksel kebakaran yang mewakili areal 1,1 km2, dan ini menunjukkan bahwa ada suatu potensi kebakaran dalam atau sekitar areal itu, namun tidak menjelaskan jumlah, ukurann dan intensitas kebakaran dan areal yang terbakar (FFPMP2, 2004)

(6)

sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot (fire exist). Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan ambang batas suhu minimum sebesar 322o K, sedangkan Departemen Kehutanan memakai ambang batas suhu 315o K pada siang hari dan 310o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320o K pada siang hari dan 314o K pada malam hari (FFMP2, 2004).

2.4. Model Spasial

2.4.1. Sistem informasi geografis

Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, jaringan utilitas, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986).

Burrough, 1986 mengatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan.

(7)

Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. SIG berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan variabel geografis resiko kebakaran kedalamnya.

Chuevieco et al., 1999, dalam Sunuprapto, 2000 menyebutkan beberapa variabel spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, variabel tersebut adalah:

1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi) 2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban)

3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi) 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain

5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman

7. Tanah dan bahan bawah tanah

8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air

SIG telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital.

(8)

lebih membantu memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai lokasi, jarak serta aksesibilitas antara lokasi daerah rawan kebakaran dengan sumberdaya pemadaman api yang ada di lapangan.

2.4.2 Pemodelan spasial

Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial sesuai untuk prediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya :

a. penemuan hubungan antara fitur geografis untuk pemahaman dan mengkaitkan permasalahan utama

b. pendefinisian masalah jelas dan logis

c. penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata

d. simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur

(9)

Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuat input. Model-model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen-elemen dan interaksinya. Simulasi dapat dihubungkan sebagai bentuk model yang dapat dijalankan pada kondisi tertentu (riil atau didesain). Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses-proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilaku sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global.

Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan variabel-variabel penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = -0.709 + 0.206 (penutupan lahan) + 0.02531 (penggunaan lahan) + 0.160 (tipe tanah) + 0.0000001881 (jarak dari rel) – 0.00001769 (jarak dari sungai) + 0.00004779 (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = -18.03 + 1.6848 (penutupan lahan) + 0.9784 (penggunaan lahan) + 2.3129 (tipe tanah) + 0.0003 (jarak dari rel) – 0.0002 (jarak dari kanal) + 0.0003 (jarak dari pemukiman).

(10)

manusia (Boonyanuphap,2001). LAPAN (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor-faktor penyebabnya. Faktor aktifitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso, 2003).

Purnama (2006) dalam penelitiannya di Propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktifitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL)) + (0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)).

2.5 Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan

(11)

tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar-pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar.

Sementara itu, NFDRS, dalam Hardy, 2005 menyatakan bahwa “fire risk” (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al., 1972 dalam Hardy,2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber-sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktifitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1-100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga 100.

2.6. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Sumatera Utara terletak di antara 1° 4° Lintang Utara dan 98°‐100° Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia.

(12)

dan Kota Gunung Sitoli. Sementara Kabupaten Nias Selatan dimekarkan menjadi Kabupaten Nias Barat.

Secara topografis wilayah pantai Timur Sumatera Utara relatif datar, bagian tengah bergelombang dan berbukit karena merupakan bagian dari pegunungan Bukit Barisan, sedangkan bagian Barat merupakan dataran bergelombang. Curah hujan relatif cukup tinggi yaitu berkisar 1.431- 2.265 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 173-230 hari per tahun. Musim kemarau pada umumnya terjadi pada Juni sampai September dan musim penghujan terjadi pada bulan November sampai Maret. Kondisi hidrologi di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari air permukaan yaitu sungai, danau, rawa dan air bawah tanah dimana secara keseluruhan wilayah terbagi atas 72 DAS dan 3 (tiga) DAS lintas provinsi. Jumlah induk sungai di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 99 buah, anak sungai sebanyak 783 buah, ranting sungai 659 buah, anak ranting sungai 342 buah. (Dokumen Rencana Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara, 2011)

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik klasifikasi untuk menggali pengetahuan yang dapat dihasilkan dari data sekunder HCC Survival Data Set dengan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan nano brushing rubber yang digunakan sebagai bahan pengisi terhadap parameter kekerasan, kuat tarik,

However, with new high resolution Digital Terrain Model (DTM) from bathymetric and airborne LiDAR (Light Detection and Ranging) surveys and precise tidal data

Rencana Strategis Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Probolinggo Tahun 2013 - 2018, yang selanjutnya disebut Renstra DPKD Kabupaten Probolinggo Tahun 2013

Yang dimaksud dengan pemberian Jaminan Kematian secara berurutan pada ayatini apabila janda atau duda atau anak tenaga kerja tidak ada maka Jaminan Kematian diberikan

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1985 tentang Pemberian Tunjangan Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan (Lembaran Negara Republik

Data rasio perawat dirasiokan dengan jumlah penduduk tahun 2012 (estimasi dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010) menunjukkan rasio perawat yang mempunyai kisaran antara 31,3 –

4.2 Mempraktikkan variasi dan kombinasi pola gerak dasar lokomotor, non-lokomotor, dan manipulatif dalam permainan bola kecil yang dilandasi konsep gerak dalam berbagai permainan