• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

4. Faktor-faktor Penerimaan Diri

Hurlock dalam (Endah, 2013) mengemukakan tentang faktor-faktor yang berperan dalam penerimaan diri yang positif sebagai berikut: 1. Adanya pemahaman tentang diri sendiri

Timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mencoba menunjukkan

27

kemampuannya.Semakin individu memahaminya dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.

2. Adanya harapan yang realistik

Timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. dengan harapan realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan diri.

3. Tidak adanya hambatan didalam lingkungan

Harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik).

4. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan

Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.

5. Tidak adanya gangguan emosional yang berat

Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.

28

6. Pengaruh keberhasilan yang dialami

Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif). Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri.

7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik.

8. Adanya prespektif diri yang luas

Yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.

9. Pola asuh dimasa kecil yang baik

Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai yang dapat menghargai dirinya sendiri.

10.Konsep diri yang stabil

Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukkan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.

29

Menurut Hurlock (1978: 259), faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri, antara lain:

a) Aspirasi realistis

Supaya anak menerima dirinya, ia harus realisitis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Mereka harus menetapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang mereka cita-citakan.

b) Keberhasilan

Anak harus mengembangkan faktor keberhasilan supaya potensinya berkembang secara maksimal. Memiliki inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa yang harus dilakukan.

c) Wawasan diri

Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan meningkatkan penerimaan diri. Dengan bertambahnya usia dan pengalaman sosial, anak harus mampu menilai dirinya lebih akurat.

d) Wawasan sosial

Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat mereka dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan anak memenuhi harapan sosial. Sebagai kontras perbedaan

30

mencolok antara pendapat orang lain dan pendapat anak tentang dirinya akan menjurus ke perilaku yang membuat orang lain kesal, dan menurunkan penilaian orang lain tentang dirinya.

e) Konsep diri yang stabil

Bila anak melihatnya dengan suatu cara pada satu saat dan cara lain pada saat lain kadang-kadang menguntungkan dan kadang-kadang tidak, mereka menjadi ambivalen tentang dirinya. Untuk mencapai kestabilan seperti halnya dengan konsep diri yang menguntungkan, orang yang berarti dalam hidupnya harus menganggap anak secara peruntungan sebagian besar waktu. Pandangan mereka membentuk dasar bayangan cermin anak tentang dirinya.

Penerimaan diri individu dapat ditingkatkan dengan adanya faktor-faktor antara lain: aspirasi realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial dan konsep diri yang stabil. Akan tetapi adapun faktor yang dapat menghambat penerimaan diri seseorang, seperti yang dikemukakan oleh Sheerer dalam (Sutadipura, 1984) antara lain:

a. Sikap anggota masyarakat yang tidak menyenangkan atau kurang terbuka

b. Adanya hambatan dalam lingkungan c. Memiliki hambatan emosional yang berat d. Selalu berfikir negatif tentang masa depan

31 B. Cerebral Palsy

1. Pengertian Anak Cerebral Palsy

Heri Purwanto (2007: 1) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok yaitu: Tunanetra, Tunarungu/Wicara, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, anak gangguan belajar spesifik, slow learner, anak autis, dan anak ADHD. Ditinjau dari sudut statistika menurut Muljono, A & Sudjadi (1994) yang dimaksud dengan anak luar biasa ialah yang menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata. Kirk dan Gallagher dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 10) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima kelompok, yaitu:

1. kelainan mental, meliputi anak-anak

(a) yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually superior) dan

(b) yang lamban dalam belajar (mentally retarded) 2. kelainan sensoris, meliputi anak-anak dengan

(a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan (b) kerusakan penglihatan (visual impairments)

3. gangguan komunikasi, meliputi anak-anak dengan (a) kesulitan belajar (learning disabilities) dan

(b) gangguan dalam berbicara dan bahasa (speech and lenguage impairments)

32 4. gangguan perilaku, meliputi

(a) gangguan emosional (emotional disturbance) dan

(b) ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjustment) dan

5. tunaganda atau cacat berat, meliputi macam-macam kombinasi kecacatan, seperti : cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita, dan sebagainya.

Cerebral palsy menurut Heri Purwanta (2007) termasuk anak berkebutuhan khusus dalam kelompok anak dengan gangguan anggota gerak (Tunadaksa) yang mana gangguan terjadi pada fungsi syaraf otak (cerebral palsy). Tunadaksa sama sekali tidak sama dengan cerebral palsy menurut Tin Suharmini (2009). Sujihati Somantri dalam Tin Suharmini (2009) mengatakan bahwa cerebral palsy dan tunadaksa harus dibedakan. Tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami kerusakan, sedang cerebral palsy masih dapat menggerakkan tubuhnya yang terserang waluapun gerakannya terganggu karena ada kelainan pada otot.

Cerebral artinya otak, sedangkan palsy artinya ketidakmampuan motorik, sehingga cerebral palsy dimaksudkan sebagai ketidakmampuan motorik atau bergerak yang disebabkan karena tidak berfungsinya otak (Krik dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 80). Menurut academy of cerebral palsy (AACP) dalam A. Salim (1996: 13), bahwa CP adalah berbagai perubahan yang abnormal pada organ gerak atau fungsi motor

33

sebagai akibat dari adanya kerusakan/cacat, luka atau penyakit pada jaringan yang ada di dalam rongga tengkorak. Heri Purwanta (2007) menjelaskan bahwa Cerebral Palsy (CP) mengalami gangguan gerak karena kelayuan otot, atau gangguan fungsi syarat otak.

Jenis ini menurut Tin Suharmini (2009) mengalami kelambatan dalam perkembangan kognitif seperti halnya anak tunagrahita.

Tin Suharmini (2009: 47) menerangkan masalah perkembangan kognitif anak CP yaitu:

Deprivasi pengalaman ini menyebabkan struktur kognitif tidak dapat berkembang seperti halnya anak normal. Dalam teori Piaget dapat dikatakan anak mengalami gangguan untuk mengembangkan skema baru. Semakin besar hambatan anak untuk melakukan proses asimilasi dan akomodasi, maka akan mengalami hambatan yang besar pula dalam perkembangan kognitif.”

Masalah perkembangan sosial anak CP menurut Tin Suharmini (2009: 91) menjelaskan bahwa ;

“Pada anak CP hambatan sosial terjadi terutama dalam komunikasi. Hasil pemeriksaan terhadap anak CP menunjukkan gangguan pada artikulasi dan kemampuan bicara pada anak, bicara anak sulit dimengerti. Pada anak CP juga memerlukan sikap yang positif baik itu dari keluarga, teman-temannya, maupun masyarakat.”

2. Klasifikasi dan karakteristik Cerebral Palsy

Cerebral palsy adalah satu jenis gangguan atau kerusakaan fisik yang paling banyak dijumpai pada aak-anak usia sekolah (Heward & Orlansky dalam Muljono, A & Sudjadi (1994)). Cerebral Palsy dibedakan dalam 5 tipe yaitu:

a. Cerebral Palsy jenis spastik didapati pada sebagian besar anak CP. Spastik berarti mengejang. Anak yang spastic memiliki otot yang

34

keras dan kadang-kadang kaku serta tidak dapat menggerakkan anggota tubuh dengan baik, gerakannya sering tersentak-sentak (Heward & Orlansky).

Smith & Neisworth dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 82) memberikan ciri-ciri sebagai berikut :

1) Biasanya 40-60% dari anak-anak CP menderita spastik 2) Motor cortex dan pyramidal tract pada otak luka

3) Spastisitas ditandai dengna hilangnya kontrol terhadap kerja otot

4) Otot-otot flexor dan extensor mengkerut bersamaan 5) Gerakan tersentak-sentak dan tak ada koordinasi

b. Cerebral Palsy jenis Choreoathetoid, merupakan suatu istilah yang

Dokumen terkait