• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.3 Konflik Masyarakat Terhadap Organisasi Kepemudaan Pemuda

5.3.1 Faktor-Faktor Penolakan Masyarakat Terhadap Organisas

Bukit Lawang adalah daerah pariwisata yang memiliki banyak wisatawan setiap harinya, bukan hanya wisatawan lokal saja tapi juga wisatawan asing. Sudah sewajarnya daerah wisata memeberikan keamanan dan kenyamana bagi para pengunjung yang datang, tetapi keberadaan elemen masyarakat seperti organisasi kepemudaan tidak memberikan pelayanan yang mendukung keberadaan pariwisata Bukit Lawang baik pada pengunjung juga terhadap masyarakat yang mencari nafkah. Kondisi sosial yang tidak kondusif ini kemudian memicu adanya ketidaksepahaman masyarakat dengan organisasi kepemudaan, khususnya terhadap organisasi Pemuda Pancasila (PP). Faktor- faktor yang menyebabkan masyarakat menolak adanya organisasi kepemudaan (Pemuda Pancasila) yaitu:

1. Adanya rencana biaya parkiran dihitung per jam

2. Pemberian kong oleh petani dari hasil bumi cukup tinggi 3. Pungutan liar

4. Anggota Pemuda Pancasila yang terkesan premanisme

5. Keresahan dan ketidaknyamanan yang dirasakan masyarakat akibat sering terjadinya bentrokan

1. Rencana Biaya Parkiran Dihitung Perjam

Salah satu faktor pendukung keberhasilan pengembangan sebuah objek wisata adalah ketersediaan sarana penunjang pariwisata. Tanpa adanya sarana prasarana pendukung pariwisata yang memadai maka sangat mustahil pengembangan daerah tersebut dapat dilaksanakan. Salah satu sarana penunjang pariwisata adalah tempat parkir, tempat parkir merupakan salah satu pendukung pariwisata yang tidak kalah penting.

Bukit Lawang sebagai daerah pariwisata seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pengunjungnya salah satunya dengan tidak membebani biaya yang terlalu mahal tetapi tidak sesuai dengan pelayanan yang diberikan. Kegiatan yang dilakukan organisasi kepemudaan khususnya Pemuda Pancasila (PP) dengan menaikkan rencana biaya parkiran dihitung perjam, padahal sebelumnya biaya parkiran dihitung permalam. Berikut petikan wawancara dengan informan, GR (lk, 31 tahun) yaitu :

“…Waktu itu yang klimaksnya organisasi itu diusir dari sini karena waktu itu mereka ada rencana buat tarif pakiran kira per jam bukan kira nginap per malam.”

Demikian yang diungkapkan oleh informan, M.P.A (lk, 71 tahun) sebagai berikut:

“…kalau parkir motor-motor jumbo Rp 10.000, -, bus Rp 20.000. Tarifnya dihitung mulai kendaraan masuk hingga keluar, kalau

menginap biaya tariff parkir kendaraan kena Rp 50.000,- per malamnya. Dulu rencana PP mau buat tarif parkiran itu Rp 2.000,- per jamnya. Masyarakat tidak terima lah makanya jadi ribut.”

Rencana kenaikan harga parkir yang ditetapkan secara sepihak oleh Organisasi Pemuda Pancasila (PP) akan menambah beban yang diterima oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, sedangkan dalam pengelolaan atau tahap penambahan fasilitas yang tersedia tidak bertambah bahkan cenderung stagnan. Hal ini menjadikan beban ganda yang diterima oleh masyarakat karena disamping pengunjung yang datang turun yang mempengaruhi pendapatan masyarakat yag mengandalkan objek wisata sebagai mata pencaharian mereka. Uang yang dikutip tidak ada penjelasan akan dianggarkan. Masyarakat kemudian menilai rencana kenaikan parkir justru merugikan kepentingan pariwisata Bukit Lawang. Hal ini diungkapkan oleh informan, J.P.M (lk, 37 tahun) sebagai berikut:

“…Pemicu konflik yang terparah itu parkiran dibuat kira per jam. Daerah pariwisata itu kan kalau sempat resah pengunjung sama masyarakat setempat dibuat kan malas orang datang ke Bukit Lawang. Kalau kita ga welcome menerimanya, orang itu juga malas datang. Sementara orang itu kan datang kesini menghabiskan duit, sudah ada budget yang diperuntukkan mereka selama berada di Bukit Lawang. Gara-gara banyak ketidaknyamanan yang terjadi terakhirnya budget yang dikumpulkannya yang tidak dihabis disini dibawa pulang lagi kan. Semenjak ada organiasi PP disini, Bukit Lawang terasa tidak nyaman.”

Banyaknya kepentingan salah satu pihak tanpa memperhatikan keadaan kondisi sosial sekitar telah membuat masyarakat sadar bahwa daerah telah dimanfaatkan oleh organisasi PP sebagai salah satu unsur pendapatan mereka.

2. Pemberian kong oleh petani dari hasil bumi cukup tinggi

Keresahan masyarakat juga semakin bertambah dengan adanya aturan dari organisasi Pemuda Pancasila (PP) yaitu dengan melakukan pemberian kong dari setiap Tauke yang mengumpulkan hasil pertanian masyarakat Bukit Lawang. Masyarakat Bukit Lawang mengartikan kong sebagai pajak dari hasil ladang. Tentu saja hal ini memberatkan para tauke yang ingin membeli hasil pertanian dari masyarakat, penerapan kong ini jelas membuat para tauke menurunkan harga hasil pertanian dari masyarakat untuk menekan pengeluaran mereka yang sudah terkena dari kong tersebut. Hal ini diungkapkan oleh informan, D.L (lk, 36 tahun) sebagai berikut:

“Masyarakat menjadi resah dengan adanya kutipan liar juga kong, kong itu bisa dikatakan pajak getah. Masyarakat sangat dirugikan disini, masyarakat yang punya hasil ladang dipajakkan.”

Penerapan kong ini tidak saja menjadi hanya beban para tauke, melainkan beban semua masyarakat yang mengandalkan hasil bumi pertanian terutama petani karet sebagai mata pencaharian utama. Tauke tentu saja tidak mau rugi dengan penerapan aturan kong tersebut, tauke kemudian menurunkan harga hasil bumi pertanian khususnya karet ketika petani menjual hasil pertaniannya.

3. Pungutan Liar

Pengelolaan kegiatan pariwisata sangat diperlukan dalam rangka menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama di daerah tujuan wisata dan bagaimana agar wisatawan membelanjakan uangnya sebanyak-banyaknya selama melakukan perjalanan wisata. Makin lama wisatawan berada di suatu tempat akan meningkatkan pengeluaran mereka dan kemungkinan menambah dorongan makin

banyak orang akan ikut serta pada kunjungan berikutnya jika kesan yang dibawa adalah pengalaman wisata yang menarik, yang akan membangkitkan perusahaan jasa seperti jasa transportasi, hiburan, akomodasi , dan lainnya yang mendukung penyelenggaraan perjalanan wisata.

Namun hal yang berbeda terjadi di Bukit Lawang, anggota organisasi Pemuda Pancasila sering membuat kerusuhan. Kerusuhan tersebut disebabkan karena adanya kutipan liar terhadap pemilik kedai atau usaha lain, terhadap tukang kebun, bahkan wisatawan juga kena yang tentu saja menyebabkan wisatawan menjadi malas untuk datang berkunjung ke Bukit Lawang. Kerusuhan yang ditimbulkan anggota organisasi Pemuda Pancasila mengakibatkan para pemilik kedai atau usaha lain menjadi takut membuka usahanya, takut menjadi sasaran amukan mereka. Hal ini menyebabkan pendapatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya melalui wisatawan yang berkunjung ke tempat usahanya pun menjadi sangat berkurang.

Seperti menurut penuturan salah satu informan, AS (lk, 40 tahun) sebagai berikut:

“Gara-gara orang itu ‘ngutip-ngutip’, dari orang-orang tukang kebun juga mau dikutip, tamu-tamu juga dipajakin. Wisatawan pun jadi malas datang kesini, jadi ga ada lah penghasilan kami, berkurang.”

Hal ini diperkuat oleh informan, M.P.A (lk, 71 tahun) sebagai berikut: “Dulunya banyak pengutipan, pos dulu banyak kali, di Rambu ada, di Gapura ama di Palang juga Pondok yang dilewati pendatang harus dibayar kalau mau masuk ke Bukit Lawang ini. Kalau restribusi Rp 1500,- per kepala, kalau parkir motor-motor jumbo Rp 10.000, -, bus Rp 20.000. Tarifnya dihitung mulai

kendaraan masuk hingga keluar, kalau menginap biaya tariff parkir kendaraan kena Rp 50.000,- per malamnya.”

Kutipan-kutipan yang mereka lakukan terhadap para pengunjung juga bervariasi hal ini menyebabkan masyarakat berontak dan tidak terima kehadiran PP sebagai organisasi yang berazaskan Pancasila layaknya seperti nama organisasinya. Pengutipan yang mereka lakukan tidak tanggung-tanggung mulai dari perseorangan sampai terhadap kendaraan umum mereka juga melakukan pengutipan. Hal ini tidak saja mempengaruhi para pengunjung tetapi juga para masyarakat disekitar Bukit Lawang. Ketika pengutipan yang mereka lakukan, mereka juga sering terjadi bentrokan sesama organisasi kepemudaan karena sering memperebutkan pengutipan-pengutipan liar.

4. Anggota Pemuda Pancasila yang terkesan premanisme

Aksi yang paling menonjol diantara tindakan-tindakan yang dilakukan PP terhadap masyarakat sekitar adalah kesan Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang arogan tidak mempunyai visi dan misi dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat, tetapi justru membuat masyarakat resah, tidak jarang PP dalam mengatasi masalah dengan kekerasan didalam masyarakat dan bahkan cenderung ala premanisme, siapa yang tidak suka pada mereka, akan diserang. Berikut hasil wawancara di lapangan dengan informan, H.T (lk, 33 tahun) yaitu:

“Abang pribadi kurang setuju ada organisasi kepemudaan seperti PP disini karena identik dengan premanisme. Disini kan daerah wisata, jadi kurang cocok Abang rasa. Organisasi PP sebenarnya organisasi resmi yah, tapi oknumnya yang azas manfaat dengan pakaiannya mungkin.”

Hal yang sama diungkapkan oleh informan, LW (pr, 42 tahun) sebagai berikut:

“Organisasi ya? Organisasi itu sebenarnya niatnya baik ya, cuman itu.. kadang-kadang anggotanya ini yang… macam mana ya kakak bilang, ga enak lah liat kelakuan anggotanya. Kenapa organisasi PP atau IPK kesannya seperti preman, terkesan arogan, layaknya adu kekuatan.”

Demikian yang diungkapkan oleh informan, GR (lk, 41 tahun) sebagai berikut:

“Waktu organisasi PP ada disini meresahkan, karena dia menunjukkan premanismenya itu, merasa berkuasa itu, pokoknya meresahkan masyarakatlah.”

Keadaan inilah yang membuat masyarakat beralasan untuk menolak Pemuda Pancasila berada di wilayah mereka. Kegiatan yang mengatasnamakan organisasi Pemuda Pancasila tidak mencerminkan mereke sebagai organisasi yang mencerminkan sebagai pembawa perubahan yang baik bagi masyarakat. Masyarakat juga pada awalnya tidak menduga organisasi PP yang berharap dapat mewadahi atau perpanjangan tangan mereka untuk membangun Bukit Lawang ternodai oleh aksi premanisme yang dilakukan organisasi PP.

5. Keresahan dan ketidaknyamanan yang dirasakan masyarakat akibat sering terjadinya bentrokan

Masyarakat resah semenjak berdirinya organisasi Pemuda Pancasila di Bukit Lawang. Bagi mereka keberadaan organisasi ini mengancam masyarakat dalam hal mencari nafkah mengingat sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan daerah wisata ini. Tak jarang kerusuhan terjadi di

Bukit Lawang, baik itu bentrokan antara organisasi kepemudaan, bentrokan masyarakat dengan organisasi kepemudaan, maupun penyerangan organisasi pemuda pancasila yang tiba-tiba. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah satu informan, D.L (lk, 36 tahun) sebagai berikut:

“Selain masalah kong tadi juga masalah kenyamanan disini lah. Sering terjadi keributan antara masyarakat dengan anggota PP, tiba-tiba menyerang juga mereka pernah. Kebanyakan masyarakat Bukit Lawang tidak ada yang berani keluar dari rumah, masyarakat merasa ga nyaman akibat pertikaian itu. Ibu- ibu yang mau belanja pun jadi ga bisa karena takut keluar rumah. “

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan, LS (pr, 42 tahun) sebagai berikut:

“Masyarakat ketakutan akibat kerusuhan, seperti kakaklah sebagai pedagang, kalau adanya kerusuhan seperti itu, kita ga bisa jualan padahal kita makannya dari situ.”

Kerusuhan ataupun bentrokan yang terjadi menyebabkan masyarakat terpaksa menghentikan aktivitas dalam mencari nafkah. Banyak dari mereka yang membuka usaha seperti warung, toko-toko kecil, usaha aksesoris, usaha penyewaan tenda, tikar, ban, cafe-cafe terpaksa tutup saat bentrokan terjadi. Hal ini sangat mengganggu masyarakat dan mengurangi pendapatan mereka.

Masalah-masalah di ataslah yang menjadi pemicu masyarakat menolak adanya keberadaan organisasi tersebut berada di Bukit Lawang. Rasa tidak nyaman dan khawatir berlebih yang ditimbulkan yang sangat terasa dampaknya bagi wisatawan bahkan masyarakat Bukit Lawang sendiri. Merasa terintimidasi oleh hal tersebut masyarakat pun melakukan perlawanan terhadap anggota

organisasi yang menurut masyarakat sangat mengancam. Seperti yang dituturkan oleh salah satu informan, P.B.S (lk, 39 tahun) sebagai berikut:

“Organisasi PP sangat mengganggu perekonomian masyarakat Bukit Lawang karena mereka meminta saham, adanya kutipan- kutipan liar yang dilakukan anggota organisasi PP di Bukit Lawang sangat mengganggu. Intimidasi berbentuk ucapan maupun tindakan yang dilakukan oleh anggota organisasi PP terhadap masyarakat adalah yang menjadi permasalahan yang sangat besar.”

Namun hal lain yang menyebabkan konflik antara anggota organisasi Pemuda Pancasila dengan masyarakat Bukit Lawang juga dikarenakan anggota organisasi Pemuda Pancasila (PP) sering juga berkonflik dengan anggota organisasi kepemudaan lainnya, seperti dengan organisasi Ikatan Pemuda Karya (IPK) dengan organisasi Angkatan Muda Pancasila Indonesia (AMPI) kerap kali terjadi. Hal ini disebabkan karena antar sesama anggota organisasi kepemudaan terjadi perebutan sumber daya yang ada di Bukit Lawang seperti perebutan lahan, mereka juga mempertahankan eksistensi organisasi masing-masing dan juga rasa sakit hati. Hal ini diungkapkan oleh informan, H.T (lk, 33 tahun) sebagai berikut:

“…Pemicunya mungkin karena perebutan suatu wilayah dengan organisasi kepemudaan lainnya, cuman karena PP lebih besar dan lebih mengatasnamakan organisasinya. Kami selaku masyarakat Bukit Lawang lah ya kurang nyaman dengan keberadaan organisasi PP karena mereka sudah merambat pada penduduk-penduduk kecil seperti kutipan-kutipan liar, masyarakat mulai mengeluh.”

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh informan, M.P.A (lk, 71 tahun) sebagai berikut:

“Waktu PP disini itu aman-aman saja, tapi semenjak IPK masuk sekitar tahun 2001 mulai terjadi keguncangan. Kedua organisasi ini setiap bertemu pasti ribut dan sering bentrok, hal ini menyebabkan masyarakat khususnya Bukit Lawang merasa tidak nyaman.”

Anggota organisasi Pemuda Pancasila yang saat itu adalah organisasi kepemudaan yang lebih besar dibanding dengan organisasi kepemudaan lain lebih menguasai lahan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Bukit Lawang. Hal ini menyebabkan anggota organisasi kepemudaan lain tidak menerima keadaan tersebut dan akhirnya mulailah konflik antara organisasi kepemudaan ini dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Akibat hal ini, masyarakat Bukit Lawang terganggu dengan adanya keributan- keributan yang ditimbulkan dari anggota organisasi kepemudaan ini.

Dokumen terkait