• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi

Dalam dokumen III. KERANGKA TEORITIS (Halaman 21-37)

    * ...(3.21) Pxpl Xpl Y Py Xpl       * ...(3.22)

Sehingga dapat dikatakan bahwa keuntungan maksimum diperoleh jika nilai produk marginal sama dengan harga faktor lainnya (NPM =Py).

3.4. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi

Teori-teori yang memperkirakan atau menjelaskan deindustrialisasi merupakan diskusi intelektual yang panjang. Rowthorn (1992) berargumentasi bahwa teori Max tentang penurunan profit (industri) harus dipertimbangkan sebagai salah satu yang paling awal. Teori ini, umumnya ditolak oleh arus utama ekonomi saat ini yang menyatakan bahwa inovasi teknologi memungkinkan terjadinya proses produksi yang lebih efisien, yang menghasilkan peningkatan produktivitas, yaitu output yang lebih besar dari penggunaan nilai per unit kapital yang diinvestasikan. Secara paralel, inovasi teknologi menggantikan orang dengan mesin dan komposisi organik dari kapital meningkat. Dengan asumsi hanya tenaga kerja yang dapat memproduksi nilai tambahan baru, output fisik yang lebih besar ini mewujudkan suatu nilai yang lebih kecil dan nilai surplus. Tingkat rata-rata keuntungan industri selanjutnya menurun dalam jangka panjang.

Rowthorn dan Wells (1987) membedakan antara penjelasan deindusrialisasi yang melihatnya sebagai suatu proses yang positif, sebagai contoh, kematangan perekonomian, dan yang memandang deindustrialisasi sebagai faktor yang negatif

152

seperti kinerja ekonomi yang buruk. Mereka menyarankan bahwa deindustrialisasi mungkin kedua-duanya dan menyebabkan kinerja ekonomi yang jelek.

Pitelis dan Antonakis (2003) menyatakan bahwa untuk memperluas industri yang dicirikan oleh produktivitas yang lebih tinggi, hal ini akan mendorong, ceteris

paribus, suatu penurunan dalam biaya relatif produk-produk industri, kemudian

suatu penurunan dalam pangsa relatif sektor industri (industri dan jasa dicirikan oleh permintaan yang inelastis). Lebih jauh lagi, untuk memperluas manufaktur perusahaan-perusahaan melakukan pengecilan ukuran misalnya melalui

outsourcing, kontrak yang dapat menurunkan pangsa tanpa secara negatif

mempengaruhi perekonomian.

Penjelasan lain yang mungkin tentang deindustrialisasi berhubungan dengan struktur permintaan. Pada saat pendapatan meningkat, permintaan akan bergeser ke produk-produk jasa. Jasa-jasa diperkirakan mempunyai ciri-ciri elastisitas pendapatan yang lebih besar dari satu, yang berarti bahwa pertumbuhan permintaan jasa cenderung melebihi pendapatan, yang menyebabkan terjadinya peningkatan dalam bobot relatif jasa. Pandangan ini, tidak mendapat penerimaan yang luas dalam komunitas para ahli ekonomi karena cenderung membingungkan permintaan antara dan permintaan akhir. Elastisitas pendapatan, dalam sense mikroekonomi, berhubungan dengan preferensi konsumen akhir, bukan pada keputusan rantai pasokan dalam bisnis. Pada tahap berikutnya, melalui ekspansi jasa bisnis yang cepat saat ini, terdapat beberapa penyebab dominan terjadinya deindustrialisasi. Berikutnya, konsep elastisitas pendapatan dalam mikroekonomi berimplikasi pada tidak berubahnya harga-harga relatif; suatu jumlah yang signifikan dari peningkatan proporsi pendapatan nominal yang dibelanjakan pada jasa konsumen mencerminkan perubahan dalam harga-harga relatif dibandingkan

dengan volume. Pandangan seperti ini didukung oleh sejumlah studi empiris yang gagal untuk menolak hipotesis bahwa elastisitas pendapatan untuk (final, konsumen) jasa secara fakta sama dengan satu (unity).

Reisman (2002) mengidentifikasi bahwa inflasi sebagai salah satu kontributor terjadinya proses deindustrialisasi. Pada analisisnya, suatu proses inflasi fiat-money mendistorsi penghitungan ekonomi yang diperlukan untuk mengoperasikan perusahaan-perusahaan manufaktur yang padat kapital, dan membuat investasi yang diperlukan untuk operasi yang berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan yang tidak untung. Pengaturan institusional juga berkontribusi pada deindustrialisasi seperti restrukturisasi ekonomi. Dengan pemecahan dalam transportasi, komunikasi dan teknologi informasi, suatu perekonomian global yang mendorong investasi langsung asing (penanaman modal asing/PMA), mobilitas modal dan migrasi tenaga kerja, dan suatu teori ekonomi baru yang menekankan pada faktor-faktor pendukung terspesialisasi, industri bergeser ke pabrik-pabrik yang berbiaya lebih murah dan dalam tempat sektor jasa dan aglomerasi finansial yang berkonsentrasi dalam kawasan perkotaan (Logan dan Swanstrom, 1990).

Di 23 negara-negara maju, tenaga kerja di sektor industri mengalami penurunan dari sekitar 28 persen dari total angkatan kerja pada tahun 1970 menjadi sekitar 18 persen pada tahun 1994. Di antara beberapa negara, deindustrialisasi dimulai pada waktu yang berbeda dan mengalami kemajuan dengan kecepatan yang bervariasi. Deindustrialisasi dimulai lebih cepat di Amerika Serikat, dimana pangsa tenaga kerja di sektor industri turun dari nilai tertinggi 28 persen pada tahun 1965 menjadi hanya 16 persen pada tahun 1994. Di Jepang, secara kontras, proses

154

deindustrialisasi berlangsung kemudian dan tidak terjadi secara dramatis dengan tenaga kerja di sektor industri yang tertinggi 27 persen dari total angkatan kerja pada tahun 1973 (delapan tahun setelah waktu puncak di Amerika Serikat) dan secara perlahan turun menjadi 23 persen pada tahun 1994. Pada 15 negara Uni Eropa, pangsa tenaga kerja sektor industri secara komparatif pada tingkat yang lebih tinggi lebih dari 30 persen pada tahun 1970 dan kemudian turun menjadi hanya 20 persen pada tahun 1994 (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Rowthorn dan Ramaswamy (1997) menambahkan bahwa pada sisi yang lain, pangsa tenaga kerja yang dihitung pada sektor jasa pada negara-negara maju telah mengalami peningkatan yang hampir seragam, dimana seluruh negara maju mengalami pertumbuhan dalam tenaga kerja sektor jasa sejak tahun 1960. Amerika Serikat memimpin dengan sekitar 56 persen total angkatan kerja yang bekerja di sektor jasa pada tahun 1960 dan sekitar 73 persen pada tahun 1994, pangsa tenaga kerja yang lebih tinggi pada sektor jasa dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Peningkatan tenaga kerja di sektor jasa diikuti dengan penurunan tenaga kerja di sektor industri di seluruh negara-negara maju.

Selama deindustrialisasi, penurunan pangsa tenaga kerja di sektor industri nampak sejalan dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri dalam PDB. Secara sekilas, penurunan ini menyimpulkan bahwa pengeluaran domestik pada sektor industri telah menurun sementara itu pengeluaran pada jasa meningkat.

Pengeluaran pada jasa pada harga berlaku telah mengalami pertumbuhan di negara-negara maju. Pertumbuhan ini dapat dihitung sebagai fakta bahwa produktivitas tenaga kerja (output per tenaga kerja) telah mengalami pertumbuhan lebih lambat di sektor jasa dibandingkan dengan sektor industri, dengan mendorong harga relatif jasa dan membuat harga produk industri relatif lebih murah. Ketika

output sektor industri dan jasa diukur pada harga konstan bukan harga berlaku, maka pergeseran dalam pengeluaran dari industri ke jasa tidak seperti pergeseran tenaga kerja dari sektor industri ke jasa. Memang pada harga konstan, pangsa dalam PDB nilai tambah oleh sektor industri pada negara-negara maju diperkirakan tidak berubah antara tahun 1970 dan 1994. Namun demikian, berlawanan dengan kecenderungan yang terjadi pada negara-negara maju secara keseluruhan, pangsa harga konstan nilai tambah sektor industri dalam PDB nampaknya berbeda dengan kecenderungan di Jepang dan Amerika Serikat. Terdapat pergeseran yang signifikan pada pola pengeluaran domestik, dari jasa ke industri dalam kasus di Jepang, dan dari industri ke jasa dalam kasus di Amerika Serikat yang menawarkan suatu penjelasan dalam perbedaan evolusi pangsa tenaga kerja industri di negara-negara tersebut. Tetapi dalam kedua kasus tersebut, pergeseran dalam pengeluaran domestik bukan merupakan pendorong utama. Peningkatan dalam pangsa nilai tambah sektor industri dalam PDB di Jepang dan turunnya pangsa ini di Amerika Serikat secara aktual mencerminkan peningkatan surplus perdagangan industri di Jepang dan pertumbuhan defisit perdagangan di Amerika Serikat. Pola spesialisasi perdagangan dalam industri menjelaskan mengapa Amerika Serikat mengalami deindustrialisasi lebih cepat daripada Jepang (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Peningkatan pangsa tenaga kerja di sektor industri pada tahap pembangunan industrialisasi menunjukkan adanya pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke industri. Ada dua faktor yang menjelaskan pergeseran dalam tenaga kerja ini. Pertama, dari sisi permintaan, yang dikenal dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa jumlah pendapatan relatif yang dikeluarkan individu pada makanan menurun ketika pendapatannya meningkat. Hal ini berarti seseorang mengeluarkan

156

secara kurang proporsional untuk makanan dan lebih proporsional untuk produk-produk industri dan jasa. Kedua dari sisi penawaran. Pertumbuhan produk-produktivitas yang cepat dalam pertanian, sebagai suatu inovasi membuatnya memproduksi lebih banyak makanan bahkan dengan tenaga kerja yang lebih sedikit, yang mendorong penurunan tenaga kerja pada sektor itu. Kombinasi efek dari faktor sisi permintaan dan penawaran akan mendorong pergeseran tenaga kerja yang besar dari pertanian ke industri. Proporsi keseluruhan tenaga kerja di sektor pertanian pada negara-negara maju turun dari sekitar 20 persen pada permulaan 1960-an menjadi sekitar 11 persen pada permulaan 1970-an. Dengan kontraksi telah terjadi di sektor pertanian, ekspansi selanjutnya dalam pangsa tenaga kerja sektor jasa akan seiring dengan pengeluaran tenaga kerja sektor industri, sebagai pergeseran lebih awal pada sektor industri yang mengambil alih pengeluaran sektor pertanian (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Sangat sulit untuk mengukur secara persis produktivitas pada sektor jasa, dan beberapa pendapat menyatakan bahwa secara relatif lebih rendahnya pertumbuhan produktivitas di sektor jasa karena masih dalam pengukuran. Namun demikian, bukti empiris mendukung kesimpulan bahwa produktivitas sektor industri tumbuh lebih cepat daripada produktivitas sektor jasa. Dengan asumsi bahwa pola produktivitas seperti ini terus berlanjut, sektor jasa akan tidak dapat dihindarkan untuk tetap menyerap proporsi yang lebih besar angkatan kerja untuk menjaga output meningkat seiring dengan sektor industri.

Implikasi penting dari analisis ini bahwa deindustrialisasi bukan merupakan suatu kegagalan sektor industri suatu negara atau suatu perekonomian secara keseluruhan. Secara berlawanan, deindustrialisasi merupakan hasil alamiah suatu pembangunan ekonomi yang berhasil dan secara umum dihubungkan dengan

peningkatan standar hidup. Deindustrialisasi dapat dihubungkan dengan kesulitan dalam sektor industri atau perekonomian secara keseluruhan. Suatu negara dapat kehilangan pekerjaan-pekerjaan industri sebagai hasil dari beberapa guncangan pada sistem perekonomian seperti apresiasi yang tinggi nilai tukar riil. Pada keadaan ini, sektor jasa mungkin tidak dapat menyerap peningkatan yang tiba-tiba penawaran tenaga kerja, yang menyebabkan pengangguran yang tinggi atau turunnya pertumbuhan standar hidup.

Menurut Rowthorn dan Ramaswamy (1997), pengalaman deindustrialisasi nampaknya berbeda antar negara-negara maju. Di Amerika Serikat, jumlah absolut tenaga kerja di sektor industri diperkirakan tetap konstan sejak tahun 1970, sementara itu seluruh angkatan kerja telah tumbuh sangat besar. Di negara-negara Uni Eropa, secara berlawanan, jumlah absolut yang bekerja di sektor industri telah turun secara tajam, sementara total yang bekerja hanya meningkat secara marginal. Terdapat hubungan negatif dari proses di kedua tempat tersebut yaitu pendapatan yang stagnan dan ketimpangan pendapatan yang meluas di Amerika Serikat, dan munculnya pengangguran di Uni Eropa.

Deindustrialisasi juga bervariasi dalam waktu terjadinya dan lamanya antar negara-negara yang telah berkembang perekonomiannya. Di Korea dan Taiwan, terjadi pada pertengahan 1980an setelah pendapatan per kapita melampaui tingkat yang dicapai oleh negara-negara industri pada awal 1970an. Di Hong Kong, China, pangsa tenaga kerja di sektor industri mencapai 45 persen pada pertengahan 1970an dan turun secara kontinyu menjadi kurang lebih 20 persen pada tahun 1993. Di Singapura, tidak terdapat pola yang jelas, dengan tenaga kerja sektor industri berkisar antara 25 persen dan 30 persen sejak permulaan tahun 1970an. Satu

158

penjelasan yang mungkin adalah bahwa Hong Kong, China dan Singapura adalah dua kota ekonomi dan tidak mempunyai sektor pertanian yang besar dimana tenaga kerja mengambil tempat pertama.

Analisis regresi dapat digunakan untuk menguraikan lebih tepat berbagai faktor yang memberikan kontribusi terhadap deindustrialisasi. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa antara tahun 1970 dan 1994 output riil dalam sektor industri dan jasa tetap konstan, tetapi produktivitas masing-masing sektor tumbuh pada laju aktual yang diamati dalam ekonomi yang telah berkembang (produktivitas dalam industri tentu saja tumbuh lebih cepat). Hasil simulasi menunjukkan bahwa pangsa tenaga kerja sektor industri turun sekitar 6.3 persen selama periode ini yang menyebabkan perbedaan relatif dalam produktivitas tumbuh di antara dua sektor (sejak pekerja pada sektor industri lebih produktif, lebih sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan). Dengan kata lain, sekitar 2/3 dari penurunan aktual (10 persen) dalam pangsa tenaga kerja sektor industri dapat dijelaskan dengan pengaruh produktivitas. Hal ini juga mengakibatkan bahwa sisanya dapat dijelaskan melalui perubahan relatif output dimana sektor industri dan sektor jasa tidak tumbuh secara eksak dalam laju yang sama. Output sektor jasa tumbuh lebih cepat daripada output sektor industri pada perekonomian yang telah berkembang (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Hal ini karena beberapa alasan seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu konsumen memperluas pengeluarannya pada jasa. Permintaan untuk sektor industri domestik rendah karena perubahan dalam keseimbangan perdagangan (produk industri diimpor) atau melalui penurunan dalam investasi industri. Kemungkinan yang lain adalah bahwa beberapa aktivitas bisnis sebelumnya dilakukan sendiri oleh perusahaan industri yang menjadi subkontraktor spesialis,

dimana aktivitas-aktivitas ini diklasifikasikan kembali sebagai jasa. Analisis regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor perdagangan dan investasi adalah yang paling signifikan.

Perdagangan selalu merupakan elemen yang kontroversial dalam diskusi tentang turunnya tenaga kerja pada sektor industri. Hal tersebut disebabkan friksi antara Amerika Serikat dan Jepang. Kejadian yang lebih menarik perhatian adalah pertumbuhan perdagangan utara-selatan antara negara industri maju dan negara-negara berkembang. Sesuai dengan hipotesis satu, bahkan jika terjadi peningkatan perdagangan utara-selatan menjadi seimbang, maka akan menurunkan tenaga kerja sektor industri dalam negara maju. Hal ini dapat terjadi, sesuai dengan hipotesis, karena industri yang padat karya di negara-negara maju digantikan secara cepat oleh produk-produk impor yang kurang padat karya.

Penurunan dalam laju investasi selama periode ini juga nampaknya memainkan peranan dalam deindustrialisasi, kecuali kemungkinan di Amerika Serikat. Dampak perdagangan utara-selatan agak kurang dibandingkan dengan faktor-faktor lain, dimana secara keseluruhan hanya sekitar 18 persen dari penurunan tenaga kerja sektor industri. Faktor-faktor lain termasuk perubahan dalam pola pengeluaran (dari industri ke jasa), pengontrakan dari sektor industri ke jasa, dan pengaruh-pengaruh lain yang tidak teridentifikasi.

Temuan utama yang paling penting dari analisis ini tetap menyimpulkan bahwa perbedaan dalam pertumbuhan produktivitas relatif merupakan faktor yang paling signifikan dan dihitung lebih dari 60 persen penurunan dalam pangsa tenaga kerja industri dalam negara-negara industri secara keseluruhan. Hal ini, mendorong pertanyaan yang menarik untuk masa yang akan datang. Jika pola pertumbuhan

160

produktivitas berlanjut, pangsa tenaga kerja sektor industri turun menjadi 12 persen di negara-negara industri dalam 20 tahun berikutnya. Di Amerika Serikat, pangsanya turun menjadi rendah sekitar 10 persen. Di Uni Eropa dan Jepang, sekitar 14 persen (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Deindustrialisasi yang berlanjut mempunyai implikasi penting pada prospek pertumbuhan jangka panjang pada negara-negara yang perekonomiannya telah berkembang. Jika lebih banyak tenaga kerja berpindah ke sektor jasa, pertumbuhan produktivitas dalam jasa mungkin menentukan standar hidup secara keseluruhan.

Industri-industri tertentu menjadi lebih menerima kemajuan teknologi yaitu laju pertumbuhan produktivitas yang tinggi, biasanya karena potensi mereka untuk standarisasi. Sektor industri mempunyai sifat yang alaminya yaitu adanya kemajuan teknologi dengan suatu kecenderungan untuk menemukan cara memproduksi lebih banyak barang dengan tenaga kerja yang lebih sedikit. Di satu sisi, tidak seluruh industri jasa menunjukkan kemajuan teknologi yang lambat. Misalnya pada sektor industri jasa, telekomunikasi adalah contoh yang menarik, mempunyai sifat-sifat yang hampir sama dengan sektor industri dan dapat dipertimbangkan sebagai kemajuan teknologi. Sementara yang lainnya, seperti jasa perorangan tipe-tipe tertentu tidak dapat dengan mudah distandarisasi atau menjadi subjek untuk dilakukan teknik-teknik produksi massal seperti yang digunakan pada sektor industri. Tipe-tipe jasa seperti itu mengalami pertumbuhan produktivitas yang lambat.

Sepanjang waktu, laju rata-rata pertumbuhan jangka panjang akan ditentukan oleh aktivitas yang mengalami pertumbuhan paling lambat. Dasar dari teori ini dikenal dengan teori stagnansi asimptotik, dapat ditunjukkan dengan contoh dari industri komputer. Produksi hardware mempunyai kemajuan secara teknologi dan

produksi software adalah stagnan secara teknologi, industri komputer secara keseluruhan akan menjadi stagnan secara asimptotikal. Hal ini terjadi karena teori-teori menunjukkan bahwa rasio software terhadap hardware akan meningkat seiring dengan tingginya laju pertumbuhan produktivitas yang ekstem pada hardware. Produksi hardware mempunyai dampak yang relatif kecil pada pertumbuhan produktivitas dalam industri secara keseluruhan (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997).

Rowthorn dan Ramaswamy (1997) mengembangkan model sederhana yang menunjukkan bagaimana deindustrialisasi sebagai suatu hasil yang alamiah pertumbuhan ekonomi dalam suatu perekonomian yang sudah matang. Model yang dikembangkannya mengikuti asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Permintaan untuk pangan adalah inelastis terhadap pendapatan (Engel’s Law); 2. Permintaan riil untuk jasa meningkat secara cepat sejalan dengan pendapatan

riil nasional;

3. Produktivitas tenaga kerja meningkat lebih lambat di sektor jasa daripada di sektor industri.

Model menunjukkan bagaimana proposisi-proposisi tersebut dapat menjelaskan bagaimana peningkatan output industri dan tenaga kerja selama industrialisasi pada fase pembangunan ekonomi, dan pada akhirnya bertransisi pada suatu perekonomian jasa dimana terjadi penurunan pangsa tenaga kerja di sektor industri. Model yang dibuat mengikuti asumsi-asumsi berikut ini. Perekonomian adalah tertutup dan output riil adalah :

162

Dimana Ya, Yi dan Ys menunjukkan output yang diukur pada harga konstan pada pertanian, industri dan jasa. Konsumsi produk-produk pertanian, dalam hal ini pangan, per orang dalam populasi diasumsikan tetap. Populasi juga tetap dan sama dengan L; setiap orang adalah bekerja. Karena perekononomian adalah tertutup berimplikasi pada

Ya = bL ...(3.24)

Dimana b adalah konstan. Output jasa adalah fraksi konstan dari output riil.

Ys = cY ...(3.25)

Model mengasumsikan bahwa produktivitas tenaga kerja tumbuh lebih lambat di sektor jasa daripada sektor industri. Model juga mengasumsikan bahwa produktivitas tenaga kerja tumbuh pada laju yang sama antara sektor pertanian dengan sektor industri. Tingkat pertumbuhan produktivitas tetap konstan sepanjang waktu, dan output per pekerja sama untuk setiap sektor perekonomian pada waktu nol. Dari asumsi-asumsi ini dapat dituliskan sebagai berikut.

t o s t o i t o a

e

y

y

e

y

y

e

y

y

 

...(3.26)

dimana ya, yi dan ys adalah output per pekerja pada sektor pertanian, industri dan jasa, dan  > 1, yo > 0 dan  > 0 adalah konstan. Parameter  adalah suatu indeks untuk pertumbuhan produktivitas yang tidak terjadi.

Output per pekerja untuk setiap sektor mengikuti persamaan berikut ini.

Li Y y L Y y i i a a a   ...(3.27)

s s s

L

Y

y

dimana L menunjukkan tenaga kerja.Total tenaga kerja adalah

L = La + Li + Ls ...(3.28)

Dengan menggunakan persamaan 3.26 sampai 3.28 dapat ditunjukkan bahwa

t t

o

ce c e

y

Y

L

 (1 )

 ...(3.29)

yang berimplikasi pada

t t o

e

c

c

e

y

y

( 1)

)

1

( 

t s

e

c

c

y

) 1 (

)

1

( 

...(3.30)

dimana y = Y/L adalah produktivitas tenaga kerja rata-rata dalam perekonomian secara keseluruhan. Karena  > 0 dan  > 1, maka

c

y

y

s

1

...(3.31)

karena t cenderung tidak terbatas. Hal ini berimplikasi bahwa pertumbuhan produktivitas rata-rata secara perlahan akan menurun sampai pada tingkat pertumbuhan produktivitas yang dicapai dalam sektor jasa. Hal ini mengilustrasikan teori asymtotic stagnancy dimana pertumbuhan secara keseluruhan dibatasi oleh apa yang terjadi pada sektor dinamis yang terkecil dalam perekonomian (Baumol et al., 1989).

164

Pangsa tenaga kerja yang bekerja pada masing-masing sektor mengikuti persamaan berikut ini.

L

L

P

a a

L

L

P

i i

L

L

P

s s

...(3.32)

Selanjutnya dapat ditunjukkan bahwa

t o a

e

y

b

P

 t s

e

c

c

c

P

( 1)

)

1

( 

...(3.33)

Pangsa tenaga kerja industri adalah sebagai berikut.

Pi = 1 – Pa – Ps ...(3.34) dan selanjutnya t o t i

e

c

c

c

y

be

P

 ) 1 (

)

1

(

1

...(3.35)

Nampak jelas bahwa dari persamaan 3.23 dan 3.35 bahwa karena t cenderung tidak terhingga, maka Pa  0, Pi  0 dan Ps  1.

Dalam kasus pertanian dan jasa, konvergensi ke limit akhir adalah seragam dimana pangsa pertanian dalam total tenaga kerja jatuh dan mantap ke angka nol, sementara itu jasa meningkat dan mantap ke satu. Namun demikian, untuk kasus industri memerlukan analisis yang lebih jauh.

dt

dP

dt

dP

dt

dP

i

 

a

s ...(3.36)

dimana dari persamaan 3.36 dapat dituliskan sebagai berikut

)

1

(

)

1

(

s s a i

P P P

dt

dP

   

...(3.37) karena

 0

dt

dP

i

jika dan hanya jika

)

1

(

)

1

(

s s a

P P

P    



...(3.38) Istilah pada ruas sebelah kiri menunjukkan laju dimana pangsa tenaga kerja pada sektor pertanian menurun dan ruas sebelah kanan adalah laju dimana pangsa tenaga kerja sektor jasa meningkat. Dalam suatu negara miskin Pa adalah besar, dan ketidaksamaan di atas adalah memuaskan, dan pangsa tenaga kerja industri akan meningkat. Ketika Pa jatuh karena adanya pembangunan, titik akan dicapai ketika ketidaksamaan tersebut terbalik, dan pangsa tenaga kerja sektor industri akan mulai turun.

Hubungan antar tiga sektor dalam kaitannya dengan waktu ditunjukkan pada Gambar 19. Nampak jelas pada gambar tersebut bahwa pangsa tenaga kerja industri merupakan sesuatu kekuatan yang berlawanan. Pangsa pertanian dalam total tenaga kerja selalu menurun, sementara itu pangsa sektor jasa selalu meningkat. Keseimbangan antara dua kekuatan yang berubah sepanjang waktu, dan hal ini menjelaskan bagaimana pangsa tenaga kerja industri pada awalnya meningkat dan berikutnya menurun. Ketika pembangunan dimulai, banyak angkatan kerja di suatu negara masih bekerja memanfaatkan lahan, dan perpindahan tenaga kerja dari sektor ini secara besar-besaran ke sektor jasa, dengan

166

hasil terjadinya peningkatan pangsa industri dalam total tenaga kerja. Ketika pembangunan berjalan, keseimbangan berubah. Pertanian menurun sebagai sumber tenaga kerja, sementara sektor jasa secara terus menerus meluas dan menyerap tambahan tenaga kerja baru. Pada akhirnya, terdapat suatu titik dimana pergeseran pada sektor jasa lebih banyak daripada keluarnya tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada titik ini, pangsa industri mulai menurun.

Selanjutnya model dapat menunjukkan bahwa pangsa industri dalam output

Dalam dokumen III. KERANGKA TEORITIS (Halaman 21-37)

Dokumen terkait