• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Pemikiran Konseptual

Dalam dokumen III. KERANGKA TEORITIS (Halaman 48-53)

Menurut Palma (2008), dalam pembangunan ekonomi jangka panjang, perubahan dalan struktur tenaga kerja sejalan dengan peningkatan produktivitas pada sektor pertanian. Peningkatan produktivitas pada sektor pertanian menurunkan kebutuhan tenaga kerja untuk sektor tersebut, dan pada saat yang sama

meningkatkan baik permintaan input-input antara dan modal pada sektor pertanian, dan permintaan barang-barang konsumsi sebagai akibat dari peningkatan produktivitas pada sektor pertanian. Sebagai hasilnya adalah, terjadinya dua proses dalam suatu saat yang bersamaan. Pertama adalah tenaga kerja mulai keluar dari sektor pertanian dan kedua tenaga kerja secara progresif terserap ke sektor-sektor lain dalam perekonomian. Selama fase baru ini, umumnya disebut dengan fase industrialiasasi dimana tenaga kerja umumnya diserap oleh sektor industri dan jasa. Selama fase berikutnya, terjadinya kontraksi tenaga kerja pada sektor pertanian dan ekspansi tenaga kerja pada sektor jasa sehingga memunculkan kecenderungan pangsa tenaga kerja sektor industri dalam total tenaga kerja menjadi stabil. Akhirnya, suatu fase baru muncul dimana tenaga kerja pada sektor industri mulai menurun (baik dalam nilai relatif maupun nilai absolut). Sementara itu, di sisi lain, sektor jasa menjadi sumber penyerapan tenaga kerja. Fase inilah yang umumnya disebut sebagai fase deindustrialisasi.

Beberapa literatur mencoba untuk mengembangkan berbagai hipotesis untuk menjelaskan menurunnya tenaga kerja sektor industri di beberapa negara maju sejak akhir tahun 1960-an. Empat hipotesis yang paling banyak dikenal adalah sebagai berikut :

1. Penurunan tenaga kerja tersebut bukan lagi suatu “statistical illusion” (umumnya disebabkan oleh realokasi tenaga kerja dari sektor industri ke sektor jasa mengikuti peningkatan yang sangat cepat berbagai aktivitas yang dilakukan perusahaan-perusahaan manufaktur menjadi produsen jasa terspesialisasi, termasuk transpor, kebersihan, desain, keamanan, katering, perekrutan, dan pengolahan data).

180

2. Penurunan tenaga kerja sebagai akibat dari penurunan yang signifikan dalam elastisitas pendapatan terhadap permintaan barang-barang manufaktur.

3. Penurunan tenaga kerja sebagai konsekuensi dari pertumbuhan produktivitas yang cepat dalam sektor industri.

4. Penurunan tenaga kerja sebagai akibat dari pembagian tenaga kerja internasional (termasuk outsourcing) yang merugikan tenaga kerja sektor industri di negara-negara maju, khususnya yang berhubungan dengan tenaga kerja tidak terlatih (non-skilled labour).

Lebih lanjut Palma (2007), menjelaskan ada empat indikator terjadinya deindustrialisasi :

1. Bentuk hubungan “inverted-U” antara tenaga kerja manufaktur dan pendapatan per kapita. Titik awal pendekatan deindustrialisasi sebagai “inverted-U” dikembangkan oleh Rowthorn (1994) yang mendefinisikan deindustrialisasi sebagai penurunan dalam tenaga kerja manufaktur yang terjadi pada suatu negara jika mencapai level tertentu pendapatan per kapita; dalam regresi

cross-section-nya untuk tahun 1990 (dibangun dari sampel 70 negara), level ini

diperkirakan US $ 12 000 dalam dollar internasional 1991.

2. Hubungan yang menurun antara pendapatan per kapita dan tenaga kerja manufaktur. Fenomena pertama pada hubungan “inverted-U”-nya Rowthorn ternyata tidak stabil sepanjang waktu, tetapi mengikuti suatu bentuk slope yang menurun untuk negara-negara berpendapatan menengah dan tinggi.

3. Penurunan dalam pendapatan per kapita yang berhubungan dengan titik balik (turning point) suatu regresi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Eswaran dan Kotwal (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan

mendorong terjadinya peningkatan dalam konsumsi dan permintaan berbagai jasa sehingga menurunkan biaya pengeluaran barang-barang manufaktur. 4. Dutch disease. Fenomena dutch disease terjadi pada suatu negara ketika terjadi

penemuan dan eksplorasi sumber-sumber daya alam ekstraktif sehingga menurunkan pangsa output sektor industri di negara tersebut. Corden dan Neary (1982) fenomena Dutch Disease terjadi dalam banyak kasus seperti penemuan sumber-sumber mineral di Australia, penemuan gas alam di Belanda, minyak di Inggris, Norwegia dan beberapa negara anggota pengekspor minyak (OPEC).

Deindustrialisasi pada beberapa studi seperti Palma (2007); Rowthorn dan Ramaswamy (1997); Mickiewicz dan Zalewska (2002); Aiginger (2003); Watts dan Valadkhani (2001) lebih banyak disoroti dari penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri. Penurunan pangsa tenaga kerja biasanya seiring dengan turunnya pangsa output sektor industri terhadap total output nasional suatu perekonomian. Penurunan pangsa tenaga kerja dan pangsa sektor industri dalam pembentukan PDB mengarah pada deindustrialisasi. Dalam penelitian ini deindustrialisasi dilihat dari terjadinya penurunan pangsa nilai tambah sektor industri terhadap total PDB Indonesia.

Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya deindustrialisasi menjadi hal yang penting untuk melihat akar permasalahan dan merumuskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Faktor-faktor penyebab terjadinya deindustrialisasi dikaji dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pangsa output sektor industri baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Dari sisi permintaan, output nasional sektor industri sangat tergantung pada pangsa investasi di sektor industri, pangsa ekspor dan pangsa impor

produk-182

produk industri. Sementara itu, output nasional sektor industri dari sisi penawaran dipengaruhi tingkah upah sektor industri, harga energi (listrik dan BBM), dan produktivitas sektor industri yang bersangkutan. Perkembangan atau penurunan output sektor industri akan mempengaruhi pangsa sektor industri dan pangsa sektor-sektor yang lain.

Faktor-faktor signifikan yang menjadi penyebab deindustrialisasi akan berdampak pada perekonomian nasional secara makro seperti PDB riil, konsumsi rumah tangga, investasi, inflasi, kesempatan kerja, ekspor dan impor serta neraca perdagangan dan kinerja sektoral khususnya sektor industri non-migas baik menurut skalanya (industri kecil, industri menengah dan industri besar) maupun kelompoknya (kelompok industri agro, kelompok industri basis manufaktur, dan kelompok industri alat angkut) yang dilihat dari segi perkembangan output dan penyerapan tenaga kerja.

Untuk dapat keluar dari kondisi deindustrialisasi, maka selanjutnya dilakukan reindustrialisasi untuk meningkatkan kembali kontribusi sektor industri non-migas dalam perekonomian nasional. Simulasi dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro dan kinerja sektor industri non-migas dilakukan dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum terkomputasi (Computable General

Equilibrium/CGE). Dari hasil simulasi reindustrialisasi untuk mendorong kembali

peran sektor industri non-migas dalam perekonomian nasional selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu strategi reindustrialisasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Kerangka pemikiran konseptual faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dan dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro serta kinerja sektor industri non-migas di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 24.

Dampak Reindustrialisasi terhadap

Gambar 24. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Faktor-Faktor Penyebab

Deindustrialisasi dari Sisi Penawaran

(Supply Side)

Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi

Permintaan (Demand Side)

Kinerja Ekonomi Makro Kinerja Sektor Industri

Non-Migas

Pangsa Investasi pada Sektor Industri, Pangsa Ekspor dan Pangsa Impor Produk Industri

Non-Migas Input Sektor Industri Non-Migas

(Tingkat Upah, Harga BBM dan Listrik), dan Produktivitas Sektor

Industri Non-Migas Faktor-Faktor Signifikan Penyebab Deindustrialisasi Strategi Reindustrialisasi yang Direkomendasikan

Dalam dokumen III. KERANGKA TEORITIS (Halaman 48-53)

Dokumen terkait