• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.3 Rasio Keuangan

2.1.4.1 Faktor-Faktor Penyebab Kebangkrutan

Menentukan secara pasti mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kebangkrutan pada perusahaan tidaklah mudah. Sejauh ini terdapat konsenus bahwa sumber kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen perusahaan. Ketidakmampuan manajemen dapat diartikan dalam berbagai pengertian. Sebagian orang menafsirkan sebagai pengalaman yang kurang dalam jenis usaha yang dikelola atau kegagalan manajemen dalam mengatisipasi perkembangan ekonomi dan industri yang tidak menguntungkan (Aprilianasari Pudjiono : 2009).

Dalam Darsono dan Ashari (2005) dalam Daulat Sihombing (2008), secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaan. Sedangkan,

faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan operasional perusahaan atau perekonomian secara makro.

Faktor-faktor internal yang dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan meliputi :

1. Manajemen yang tidak efisien mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen. 2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah

piutang-hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.

3. Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan dapat berupa manajemen yang melakukan korupsi atau memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor.

Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah sebagai berikut:

1. Perubahan dalam keinginan perusahaan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari atau berpindah sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. Untuk menjaga hal tersebut perusahaan harus selalu mengantisipasi kebutuhan pelanggan dengan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu menjalin hubungan baik dengan supplier dan tidak menggantungkan kebutuhan bahan baku pada satu supplier sehingga resiko kekurangan bahan baku dapat diatasi.

3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan harus selalu memonitor piutang yang dimiliki dan keadaan debitor agar dapat melakukan perlindungan dini terhadap aktiva perusahaan. 4. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditor juga bisa berakibat

hal tersebut, perusahaan harus bisa mengelola hutangnya denga baik dan juga membina hubungan baik dengan kreditor.

5. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaingdengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik lagi kepada pelanggan.

6. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan.

Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dibagi menjadi dua (Arnab Bhattacharjee dan Jie Han, 2010) yaitu :

1. Mikro Ekonomi a. Profitabilitas

Rasio profitabilitas, digunakan untuk mengukur seberapa efektif pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan keuntungan. Rasio ini mengatur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu.

b. Struktur Modal

Menurut Martono dan Agus Harjito (2005:5), struktur modal (capital structur) adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Pemenuhan

kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan dan cadangan.

c. Aliran Kas (Cashflow)

Aliran kas merupakan tabel yang menunjukkan besarnya penerimaan kas serta pengeluaran kas pada suatu periode. Apabila perusahaan mengalami defisit terus-menerus, maka saldo kas semakin lama akan semakin kecil. Dalam keadaan semacam ini, manajemen perusahaan harus menetukan kebijakan pembelanjaan yang tepat, sehingga perusahaan dapat terhindar dari keadaan kekurangan uang kas. Melalui aliran kas ini manajemen perusahaan akan dapat mengetahui kapan perusahaan tersebut mempunyai saldo kas yang cukup besar serta kapan perusahaan tersebut kekurangan kas.

2. Makro Ekonomi

a. Nilai Tukar (Kurs)

Kurs merupakan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Mata uang internasional yang selalu dijadikan standar mata uang negara-negara di dunia adalah Dollar Amerika (USD). Salah satu alasannya, adalah karena USD memiliki nilai tukar yang relatif konstan terhadap mata uang negara manapun. Nilai tukar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal digunakan dalam sehari-hari seperti misalnya berapa Rupiah yang harus dikeluarkan untuk

mendapatkan satu Dollar Amerika, sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga diluar negeri.

b. Tingkat Suku Bunga

Menurut Nopirin (1996) , suku bunga adalah biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi dana atas investasinya.

Suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Suku bunga nominal adalah suku bunga dalam nilai uang. Suku bunga ini merupakan nilai yang dapat dibaca secara umum. Suku bunga ini menunjukkan sejumlah rupiah untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan.

2) Suku bunga riil adalah suku bunga yang telah mengalami koreksi akibat inflasi dan didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi laju inflasi.

c. Inflasi

Inflasi adalah peningkatan secara umum dari harga-harga barang dan jasa, yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, atau pengurangan daya beli dari mata uang negara tersebut. Salah satu peristiwa yang sangat penting dan dijumpai di hampir semua

negara di dunia adalah inflasi. Didalam perekonomian ada kekuatan tertentu yang menyebabkan tingkat harga melonjak sekaligus, tetapi ada kekuatan lain yang menyebabkan kembali harga berlangsung terus menerus secara perlahan. Peristiwa yang cenderung mendorong naiknya tingkat harga disebut gejolak inflasi (Lipsey. 1992). Secara keseluruhan, laju inflasi yang sedang berlangsung tergantung pada (i) permintaan, seperti yang ditujukan oleh senjang inflasi atau senjang resesi, (ii) kenaikan biaya yang diharapkan, (iii) serangkaian kekuatan luar yang datang terutama dari sisi penawaran. Laju inflasi dapat dipisahkan menjadi tiga komponen yaitu inflasi inti, inflasi permintaan dan inflasi gejolak (Nopirin, 2000). Inflasi Inti adalah inflasi yang komponen harganya dipengaruhi oleh faktor fundamental, Inflasi permintaan yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti kebijakan harga BBM Listrik, air minum, dan lainnya, sedangkan inflasi bergejolak adalah inflasi yang dipengaruhi oleh kelancaran produksi dan distribusi barang dan jasa.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta pruduk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equityeffect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000), yaitu

1. Efek terahadap Pendapatan (Equity Effect)

Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keutungan dengan inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. 2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects).

Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikanyang lebih besar dan barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu.

3. Efek terhadap Output (Output Effects).

Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper Inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi nilai uang riil turun dengan drastis masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter dan biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output, tetapi bisa dibarengi dengan kenaikan output, dan juga dibarengi dengan punurunan output.

Tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan investor mengharapkan tingkat return yang lebih tinggi untuk mendapatkan real return yang tetap, dimana real return adalah selisih dari return yang didapat oleh investor dengan inflasi yang terjadi di negara tersebut. Bila return yang didapat di negara tersebut dianggap sudah tidak lagi menguntungkan bagi investor maka akan menimbulkan kemungkinan larinya modal keluar negeri yang tentunya akan merugikan kondisi di dalam negeri. Ada juga

investor yang beranggapan bahwa investasi di Pasar Modal adalah perlindungan nilai uangnya terhadap inflasi, sehingga kenaikan inflasi akan meningkatkan investor tersebut dalam berinvestasi di Pasar Modal.

Dokumen terkait