• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Faktor – Faktor Penyebab Kelelahan Mata

1. Usia

Menurut Guyton (1991) menyebutkan bahwa daya akomodasi menurun pada usia 45 – 50 tahun. Hal ini disebabkan setiap tahun lensa semakin berkurang kelenturannya dan kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri.

Haeny (2009) menyebutkan bahwa semakin tua seseorang, lensa semakin kehilangan kekenyalan sehingga daya akomodasi makin berkurang dan otot-otot semakin sulit dalam menebalkan dan menipiskan mata. Sebaliknya, semakin muda seseorang maka kebutuhan cahaya akan lebih sedikit dibandingkan dengan usia yang lebih tua dan kecenderungan mengalami kelelahan mata lebih sedikit.

Selain itu, menurut Ilyas (2008) usia juga berpengaruh terhadap daya akomodasi. Semakin tua usia seseorang, daya akomodasi akan semakin menurun. Jarak terdekat dari suatu benda agar dapat dilihat dengan jelas dikatakan “titik dekat” atau punktum

proksimum. Pada saat ini mata berakomodasi sekuat-kuatnya atau berakomodasi

maksimum. Sedangkan jarak terjauh dari benda agar masih dapat dilihat dengan jelas dapat dikatakan bahwa benda terletak pada titik jauh atau punktum remotum dan pada

18

saat ini mata tidak berakomodasi atau lepas akomodasi. Berikut Tabel 2.1 Korelasi antara usia dan daya akomodasi.

Tabel 2.1 Korelasi antara usia dan daya akomodasi Usia (tahun) Titik Dekat (cm)

10 7 20 10 30 14 40 22 50 40 60 200 Sumber: (Ilyas, 2008)

Hasil penelitian yang dilakukan di Corporate Customer Care Center (C4) PT. Telekomunikasi Indonesia pada tahun 2009 didapatkan bahwa persentase hubungan antara usia pekerja ≥ 45 tahun dengan keluhan kelelahan mata lebih besar daripada usia pekerja < 45 tahun yaitu 94,1% (Nourmayanti, 2009).

2. Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus (Ilyas, 2004).

Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu

19

keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmat. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.

Menurut Ilyas (2008) terdapat empat tipe umum ametropia yaitu: 1) Miopia (rabun dekat)

Terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi (biasanya karena bola mata yang panjang) dan sinar cahaya pararel difokuskan di depan retina.

2) Hipermetropia atau Hyperopia (rabun jauh)

Kekuatan optik mata terlalu rendah (biasanya karena mata terlalu pendek) dan sinar cahaya pararel mengalamai konvergensi pada titik di belakang retina. 3) Astigmatisme

Kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya pararel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.

4) Presbiopia (penglihatan tua)

Terjadi akibat hilang akomodasi. Akibat gangguan akomodasi ini maka seseorang yang berusia lebih dari 40 tahun atau lebih, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering terasa perih.

Kelainan refraksi dilakukan dengan memeriksa tajam penglihatan mata satu per satu. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan kartu snallen. Kartu snallen adalah kartu yang terdiri dari deretan huruf atau angka dengan ukuran berjenjang sesuai

20

ukuran snallen dan dipakai untuk menguji tajam penglihatan. Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan kartu snallen pada jarak 6 meter di depan pasien. Pasien dengan kondisi mata normal akan mampu membaca dengan jelas baris ke-7 dari urutan baris huruf kartu snallen pada jarak 6 meter, baris ke-6 pada jarak 9 meter, dan akhirnya baris pertama pada jarak 60 meter. Pada jarak-jarak tersebut seluruh huruf membentuk sudut penglihatan sebesar 5 menit dan kaki-kaki huruf membentuk sudut penglihatan sebesar 1 menit. Mata normal diharapkan mempunyai tajam penglihatan 6/6, yaitu baris snallen yang ke- 7 dapat dilihat dengan jelas pada jarak 6 meter.

3. Istirahat Mata

Menurut Anshel (1996) dalam Nourmayanti (2009) ada tiga jenis istirahat bagi pengguna komputer, diantaranya:

1) Micro break yaitu mengistirahatkan mata selama 10 detik setiap 10 menit bekerja, dengan cara melihat jauh (minimal 6 meter) diikuti dengan mengedipkan mata secara relaks.

2) Mini break yaitu mengistirahatkan mata setiap setengah jam selama lima menit dengan cara berdiri dan melakukan peregangan tubuh. Selain itu, lakukan juga melihat jauh dengan objek yang berbeda – beda.

3) Maxi break yaitu mengistirahatkan mata dengan melakukan kegiatan seperti jalan-jalan, bangun dari tempat kerja, minum kopi atau teh dan makan siang.

Menurut Joseffina (1999) dalam Prasetyo (2006) lama istirahat yang diperlukan bagi pekerja yang menggunakan komputer dianjurkan adalah selama 10 menit/jam (dengan waktu kerja 8 jam kerja/hari atau 40 jam kerja/minggu).

21

Perubahan fokus pada mata adalah cara lain untuk memberikan otot mata kesempatan istirahat. Pekerja hanya membutuhkan memandang ruangan atau ke arah luar jendela beberapa saat dan melihat objek yang jaraknya kurang lebih 2 kaki (OSHA, 1997). Bila pekerja terlalu lama melihat dalam jarak dekat maka pekerja perlu mengalihkan pandangan ke arah yang jauh. Relaksasi atau istirahat mata selama beberapa saat setiap 30 menit dapat menurunkan ketegangan dan menjaga mata tetap basah (Zendi, 2009).

Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam (Murtopo dan Sarimurni, 2005) perlu dilakukan istirahat selama 15 menit terhadap pemakaian komputer selama dua jam. Frekuensi istirahat yang teratur berguna untuk memotong rantai kelelahan sehingga akan menambah kenyamanan bagi pengguna komputer. Selain itu, pekerja yang melakukan istirahat 5 menit selama 4 kali sepanjang waktu bekerja dapat mengurangi kelelahan mata.

2.2.2 Faktor Karakteristik Pekerjaan 1. Durasi Penggunaan Komputer

Melihat dalam waktu lama berisiko terkena mata lelah atau astenopia (Afandi, 2002). Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan, salah satu gangguan kesehatan yang terjadi adalah Computer Vision Syndrome (CVS). Parwati (2004) menyatakan gejala CVS timbul setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus dan penelitian Broumand et al (2008) juga menunjukkan perburukan gejala kelelahan mata pada pengguna komputer lebih dari 2 jam per hari. Berbagai gejala yang timbul pada pekerja komputer yang bekerja dalam waktu lama selain diakibatkan oleh cahaya yang

22

masuk ke mata, juga diakibatkan karena mata seorang pekerja komputer berkedip lebih sedikit dibandingkan pekerja mata normal pekerja biasa sehingga menyebabkan mata menjadi kering dan terasa panas (Wasisto, 2005). Durasi kerja bagi seseorang menentukan tingkat efisiensi dan produktivitas kerja. Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam. Memperpanjang jam kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan (Aryanti, 2006).

Berdasarkan survei yang dilakukan di Amerika tahun 2004 bahwa lebih dari 143 juta orang Amerika menghabiskan waktu di depan komputer setiap hari dan rata-rata waktu kerja yang digunakan untuk bekerja dengan komputer adalah 5,8 jam per hari atau 69% dari total jam kerja mereka (Wasisto, 2005).

2. Bentuk dan Ukuran Objek Kerja

Dalam ruang lingkup pekerjaan, faktor yang menentukan adalah ukuran objek, derajat kontras di antara objek dan sekelilingnya, luminansi dari lapangan penglihatan, yang tergantung dari penerangan dan pemantulan pada arah si pengamat, serta lamanya melihat (Suma’mur, 2009).

3. Jarak Monitor

Menurut Jaschinski (1991), melihat ke layar dengan jarak 20 inci dirasakan terlalu dekat. Jarak yang sesuai adalah 40 inci. Sedangkan menurut Grandjean (1991), menyebutkan bahwa jarak rata-rata ideal melihat ke layar adalah 30 inci. Menurut

Occupational Safety and Health Association (OSHA) (1997) pada saat menggunakan

23

atau sekitar 50-100 cm. Monitor yang terlalu dekat dapat mengakibatkan mata menjadi tegang, cepat lelah, dan potensi ganggguan penglihatan. Jarak ergonomis antara layar monitor dengan pengguna komputer berkisar antara 50 cm sampai dengan 60 cm (Hanun, 2008).

4. Beban Kerja

Beban kerja berat akan berpengaruh pada kelelahan mata seseorang karena jika beban kerja berat maka dibutuhkan penglihatan yang maksimal saat bekerja dalam jangka waktu yang lama (Mangunkusumo, 2002). The University of North Carolina di Asheville mengelompokkan beban kerja pekerja komputer atas dasar lama waktu kerja sebagai berikut:

1. Pekerja komputer dengan beban kerja berat adalah pekerja dengan lama waktu kerja 4 jam sehari secara terus – menerus.

2. Pekerja komputer dengan beban kerja sedang adalah pekerja dengan lama waktu kerja 2 – 4 jam sehari secara terus – menerus.

3. Pekerja komputer dengan beban kerja ringan adalah pekerja dengan lama waktu kerja kurang dari 2 jam sehari secara terus – menerus.

2.2.3 Faktor Lingkungan Kerja 1. Tingkat Pencahayaan

a. Pencahayaan

Suma’mur (1996) menyatakan bahwa pencahayaan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek-obyek yang dikerjakannya secara jelas,

24

cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu. Selain itu, penerangan yang buruk dapat berakibat pada kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja.

Pencahayaan tempat kerja yang memadai baik yang alami atau buatan memegang peranan yang cukup penting dalam upaya peningkatan kesehatan, keselamatan dan produktivitas tenaga kerja. Baik tidaknya pencahayaan di suatu tempat kerja selain ditentukan oleh kuantitas atau tingkat iluminasi yang menyebabkan objek dan sekitarnya terlihat jelas tetapi juga oleh kualitas dari pencahayaan tersebut diantaranya menyangkut arah dan penyebaran atau distribusi cahaya, tipe dan tingkat kesilauan. Demikian pula dekorasi tempat kerja khususnya mengenai warna dari dinding, langit-langit, peralatan kerja ikut menentukan tingkat penerangan di tempat kerja (Aryanti, 2006).

Fungsi utama pencahayaan di tempat kerja adalah untuk menerangi objek pekerjaan agar terlihat secara jelas, mudah dikerjakan dengan cepat, dan produktivitas dapat meningkat. Pencahayaan di tempat kerja harus cukup. Pencahayaan yang intensitasnya rendah (poor lighting) akan menimbulkan kelelahan, ketegangan mata, dan keluhan pegal di sekitar mata. Pencahayaan yang intensitasnya kuat akan dapat menimbulkan kesilauan. Penerangan baik rendah maupun kuat bahkan akan menimbulkan kecelakaan kerja (Santoso, 2004).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Berdasarkan KEPMENKES RI. No. 1405/MENKES/SK/XI/02, tingkat pencahayaan di ruang kerja pada lingkungan

25

kerja perkantoran yaitu minimal 100 lux. Sedangkan tingkat pencahayaan pada lingkungan kerja industri dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Intensitas Cahaya di Ruang Kerja

JENIS KEGIATAN TINGKAT

PENCAHAYAAN MINIMAL (LUX)

KETERANGAN

Pekerjaan kasar dan tidak terus menerus

100 Ruang penyimpanan & ruang peralatan/instalasi yang memerlukan pekerjaan yang kontinyu.

Pekerjaan kasar & terus menerus

200 Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar.

Pekerjaan rutin 300 R. administrasi, ruang kontrol, pekerjaan mesin & perakitan/ penyusun.

Pekerjaan agak halus 500 Pembuatan gambar atau berkerja dengan mesin kantor pekerja pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin.

Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna, pemrosesan

tekstil, pekerjaan mesin halus & perakitan halus

Pekerjaan amat halus 1500 Tidak menimbulkan

bayangan

Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang sangat halus

Pekerjaan terinci 3000

Tidak menimbulkan bayangan

Pemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus

26

b. Sumber Pencahayaan

Berdasarkan sumbernya pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu pencahayaan alami dan pencahayaan buatan (Aryanti, 2006).

1) Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber cahaya alami yaitu matahari dengan cahayanya yang kuat tetapi bervariasi menurut jam, musim dan tempat. Pencahayaan dari sumber matahari dirasa kurang efektif dibandingkan dengan pencahayaan buatan, hal ini disebabkan karena matahari tidak dapat memberikan intensitas cahaya yang tetap.

2) Pencahayaan Buatan

Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang dihasilkan oleh sumber cahaya selain cahaya alami. Apabila pencahayaan alami tidak memadai atau posisi ruangan sukar untuk dicapai oleh pencahayaan alami dapat dipergunakan pencahayaan buatan.

Pencahayaan buatan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Mempunyai intensitas yang cukup sesuai dengan jenis pekerjaan. b. Tidak menimbulkan pertambahan suhu udara yang berlebihan pada

tempat kerja.

c. Memberikan pencahayaan dengan intensitas yang tetap menyebar secara merata, tidak berkedip, tidak menyilaukan dan tidak menimbulkan bayang-bayang yang dapat mengganggu pekerjaan.

27

c. Sistem Pencahayaan

Sistem pencahayaan dibedakan menjadi dua bagian, yakni General lighting dan Local lighting. General lighting digunakan untuk pencahayaan menyeluruh atau sistem pencahayaan yang digunakan untuk mendapatkan pencahayaan yang merata. Contohnya seperti penerangan yang biasa dipasang di langit-langit ruangan kerja.

Sedangkan Local lighting digunakan untuk memberikan nilai aksen pada suatu bidang atau lokasi tertentu tanpa memperhatikan kerataan pencahayaan. Penerangan lokal biasa digunakan khusus untuk menerangi sebagian ruangan dengan sumber cahaya dan biasanya berada dekat dengan permukaan yang diterangi. Contohnya lampu yang terpasang pada meja pekerja (Haeny, 2009).

Sistem pencahayaan lokal ini diperlukan khususnya untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian. Kerugian dari sistem pencahayaan ini dapat menyebabkan kesilauan, maka local lighting perlu dikoordinasikan dengan general lighting (Aryanti, 2006).

d. Pengukuran Pencahayaan

Pencahayaan diukur dengan menggunakan alat lux meter dan dinyatakan dalam satuan lux (Suma’mur, 1996). Penilaian pencahayaan, menggunakan alat ukur

light meter atau lux meter untuk mengukur intensitas cahaya. Alat ini terdiri atas

sebuah fotosel sensitif yang menimbulkan arus listrik pada cahaya jatuh pada permukaan sel ini. Pengukuran intensitas penerangan perlu dilakukan meliputi intensitas penerangan umum dan lokal. Pada penerangan umum perlu dilakukan di seluruh ruangan tempat kerja termasuk mesin dan ruangan kosong. Pada penerangan

28

lokal dilakukan pengukuran di tempat (obyek) yang ingin diketahui intensitasnya (Santoso, 2004).

2. Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban menjadi faktor yang sangat penting dalam kulitas udara untuk kenyamanan kerja seseorang. (Santoso, 2009).

Tempat kerja yang nyaman merupakan salah satu faktor penunjang gairah kerja. Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan menurunkan produktivitas kerja, juga akan membawa dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. (Santoso, 2004).

Cuaca kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan, dan suhu radiasi. Efisiensi kerja sangat dipengaruhi cuaca kerja dalam lingkungan kerja yang nyaman, tidak dingin maupun panas. Suhu yang nyaman berkisar antara 24oC – 26oC bagi orang-orang Indonesia. Suhu panas terutama berakibat menurunnya prestasi kerja dan daya pikir. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Selain itu, suhu terlalu rendah dapat mengakibatkan keluhan-keluhan dan kadang-kadang diikuti meningkatnya penyakit pernafasan. (Suma’mur, 1996)

Tingkat kelembaban yang rendah akan berefek pada penguapan air mata. Menurut Herold, penguapan air mata bergantung pada uap air di sekitar mata. Roestijawati melaporkan sebanyak 60% karyawan yang bekerja di ruangan bertemperatur < 24ºC atau > 26ºC mengalami sindroma dry eye yang menyebabkan kelelahan mata.

Dokumen terkait