• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM SUATU PERKAWINAN

3. Faktor-faktor Penyebab Perceraian

Faktor-faktor perceraian merupakan alasan-alasan dari perceraian. Faktor perceraian dapat disebabkan oleh faktor ekonomi, perselingkuhan, percekcokan antara suami dan istri,

88 Ibid, hal. 153-154.

89 Ibid, hal. 152.

90 Soemiyanti, op.cit, hal. 119-120.

91 Ibid, hal. 147.

orang ketiga, dan faktor kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Faktor perceraian dibahas berdasarkan PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaaan UU.No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Hukum Islam yaitu melalui Kompilasi Hukum Islam dan dalam hal kedua peraturan ini biasanya menyebut faktor perceraian sebagai alasan-alasan dilakukannya perceraian atau penyebab-penyebab terjadinya perceraian tersebut.

Alasan-alasan perceraian merupakan alasan-alasan hukum dari perceraian. Alasan hukum perceraian dapat diartikan sebagai alas atau dasar bukti (keterangan) yang digunakan untuk menguatkan tuduhan dan atau gugatan atau permohonan dalam suatu sengketa atau perkara perceraian yang telah ditetapkan dalam hukum nasional, yaitu peraturan perundang-undangan, khususnya UU. No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP.No.9.Tahun 1975, hukum Islam yang kemudian telah dipositifkan dalam Kompilasi Hukum Islam. 92

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu :93

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain ;

92 Muhammad Syarifuddin,Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, op.cit., hal. 175.

93 Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri ;

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum nasional tersebut, dapat dijelaskan secara komparatif dengan alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum Islam yaitu sebagai berikut.

1. Zina, Pemabuk, Pemadat,Penjudi, dan Tabiat Buruk Lainnya Sukar Disembuhkan

Pasal 39 ayat (2) UU.No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a PP.No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan dapat menjadi alasan hukum perceraian.

Secara khusus pengertian zina (overspel) harus dilihat pada Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang intinya zina adalah suatu hubungan seksual yang dilakukan di luar perkawinan oleh pria dan wanita yang salah satu atau keduanya masih terikat tali perkawinan.94 Akibatnya berdasarkan Pasal 32 KUHPerdata ditegaskan bahwa

“Barangsiapa dengan putusan hakim telah dinyatakan salah karena zina, sekali-kali tidak diperbolehkan kawin dengan kawan berzinanya.” 95 Sikap nilai moral selanjutnyatercermin dalam Pasal 272 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa anak hasil zina tidak dapat ditingkatkan menjadi anak sah. 96

Pemabuk adalah suatu predikat (sebutan) negatif yang diberikan kepada seseorang (dalam konteks ini suami atau istri) yang suka meminum atau memakan bahkan mengalami

94 Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

95 Pasal 32 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

96 Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

ketergantungan terhadap bahan-bahan makanan dan minuman yang memabukkan yang umumnya mengandung alcohol melebihi kadar yang ditoleransi (over dosis) menurut indikator kesehatan, misalnya minuman keras, gadung, dan lain-lain. Pemabuk dalam kondisi yang lupa diri dapat berbuat zina dengan pria atau wanita lain yang bukan istri atau suaminya, karena dorongan birahi atau nafsu syahwat yang sangat kuat dalam dirinya yang dipengaruhi, oleh misalnya minuman keras yang over dosis. Sebaliknya, pemabuk juga dapat menjadi lemah pikiran dan tenaganya, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa, menjalankan hanya melamun atau asyik berangan-angan saja.97

Pemadat adah suatu predikat negatif yang diberikan kepada seorang (dalam konteks suami ataupun istri) yang suka atau biasa mengonsumsi (mengisap,memakan) bahkan mengalami kecanduan atau ketergantungan (adiktif) terhadap narkotika dan obatan-obatan terlarang (narkoba), misalnya morpin, ganja, opium, heroin, pil koplo, pil ekstasi ,dll. 98

Berjudi adalah kata kerja yang artinya mempertanhakan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula; bermain judi, bermain dadu (kartu dan sebagainya) dengan bertaruh uang.99

Alasan-alasan perceraian menurut hukum Islam sebagaimana diuraikan telah dipositifkan dalam Pasal 116 huru a Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian dengan suaminya. Sebaliknya, jika istri yang berbuat zina atau menjadi pemabuk,

97 Muhammad Syarifuddin, Sri Turatmiya, Annalisa Yahanan,op.cit, hal.184-185.

98 Ibid, hal. 185.

99 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hal.419.

penjudi, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, maka suami dapat mengajukan cerai talak kepada istrinya. 100

2. Meninggalkan Pihak Lain Tanpa Izin dan Alasan yang Sah atau Hal Lain di Luar Kemampuannya

Pasal 39 ayat (2) UU.No.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf b PP.No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat menjadi alasan hukum perceraian.101

Argumentasi hukum bahwa meninggalkan pihak tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya sebagai alasan hukum perceraian menurut hukum Islam sebagaimana yang telah dijelaskan kemudian dipositifkan dalam Pasal 116 huruf b Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau kerena hal lain di luar kemampuannya.102

3. Hukuman Penjara 5 Tahun Atau Hukuman Berat Lainnya

Pasal 39 ayat (2) UU.No.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf c PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung dapat menjadi alasan hukum perceraian103. Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan, karena suami atau istri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

100 Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

101Pasal 19 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan.

102 Pasal 16 huruf b Kompilasi Hukum Islam.

103 Pasal 19 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan.

tindak pidana tertentu yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun, misalnya tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.104

Argumentasi hukum bahwa perilaku buruk suami atau istri yang terbukti dari hukuman penjara atau hukuman berat lainnya yang dijalani oleh suami atau istri karena

“melakukan tindak pidana tertentu” sebagai alasan hukum perceraian menurut hukum Islam, kemudian telah dipositifkan dalam Pasal 116 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena salaha satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebi berat setelah perkawinan berlangsung.105

4. Perilaku Kejam dan Aniaya Berat yang Membahayakan

Pasal 39 ayat (2) UU.No.1.Tahun 1974 yang dijabarkan dalam Pasal 19 huruf d PP.No. 9 Tahun 1975 mengaskan bahwa salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dapat menjadi alasan hukum perceraian.106 Perilaku kejam dan penganiayaan berat adalah perilaku sewenang-wenang bengis dan zalim, yang membahayakan dan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis, yang bersifat menyiksa dan menindas, tanpa ada rasa belas kasihan. 107

Kekerasan terhadap perempuan saat ini tidak hanya merupakan masalah individual ataupun masalah nasional, tetapi sudah merupakan masalah global. Banyak istilah yang digunakan, seperti violence against woman, gender based violence, femaie focused, domestic violence, dan sebagainya. 108

104 Muhammad Syarifuddin, Sri Turatmiya, Annalisa Yahanan,op.cit, hal.195.

105 Pasal 16 huruf c Kompilasi Hukum Islam.

106 Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan.

107 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op.cit, hal. 462.

108 A. Reni Widyastuti, Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, hal.395.

Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan sebagai alasan dari perceraian menurut hukum Islam sebagaimana diuraikan di atas, kemudian telah dipositifkan dalam Pasal 116 huruf d Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.109

5. Cacat Badan atau Penyakit yang Menghalangi Pelaksanaan Kewajiban

Pasal 39 ayat (2) UU.No.1.Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf e PP.No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri dapat menjadi alasan hukum perceraian. 110

Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri suami atau istri, baik yang bersifat badaniah (misalnya cacat atau sakit tuli, buta, dan sebagainya) maupun bersifat rohaniah (misalnya cacat mental, gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami atau istri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri sehingga dengan keadaan yang demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. 111

6. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-Menerus

Pasal 39 ayat (2) UU.No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf e PP.No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa antar suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga sehingga dapat menjadi alasan hukum perceraian.112 Terlihat jelas bahwa Pasal 39 ayat (2) UU.No.1

109 Pasal 16 huruf d Kompilasi Hukum Islam.

110 Pasal 19 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan.

111 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit, hal. 164.

112 Pasal 19 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan.

Tahun 1974 jo. PP.No. 9 Tahun 1975 membedakan antara perselisihan dengan pertengkaran tetapi tidak memberikan penjelasan tentang pengertian perselisihan dan pertengkaran tersebut. 113

Perselisihan adalah perbedaan pendapat yang sangat prinsip, tajam dan tidak ada titik temu antara suami dan istri yang bermula dari perbedaan pemahaman tentang visi dan misi yang hendak diwujudkan dalam kehidupan berumah tangga. Misalnya, suami atau istri yang memahami perkawinan sebagai sarana untuk memenuhi hasrat seksual semata, atau mengutamakan/mementingkan kebutuhan materialistik saja. Adapun pertengkaran adalah sikap yang sangat keras yang ditampakkan oleh suami atau istri, yang tidak hanya berwujud nonfisik (kata-kata lisan/verbal yang menjurus kasar, mengumpat dan menghina), tetapi juga tindakan-tindakan fisik, yang terjadi karena adanya persoalan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh suami dan istri, bahkan tidak dapat diselesaikan oleh pihak keluarga dan kerabat dari masing-masing suami dan istri yang bersangkutan. 114

Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sebagai alasan hukum perceraian menurut hukum Islam sebagaimana diuraikan, kemudian dipositifkan dalam Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 115

Menurut kitab-kitab fiqih, setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu terjadinya nusyuz dari pihak istri, nusyuz suami terhadap istri, terjadi syiqaq, salah satu pihak

113 Pasal 19 huruf Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan

114 Muhammad Syarifuddin, Sri Turatmiya, Annalisa Yahanan,op.cit, hal.208-209.

115 Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.

melakukan perbuatan zina (fakhisyah) yang menimbulkan saling tuduh menuduh antar keduanya.

Alasan cerai pada pasal 209 KUHPerdata yaitu bersifat limitatif yaitu tidak diperkenankan bercerai dengan alasan di luar apa yang sudah ditetapkan oleh ketentuan itu.

Ketegasan pada Pasal 209 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwasanya alasan cerai hanyalah sebatas apa yang ditentukan oleh undang-undang yaitu 4 (empat) macam saja.

Menggunakan alasan untuk bercerai berdasar alasan yang tidak disebut oleh Pasal 209 BW, tidak dimungknkan inilah yang dikatakan bahwa alasan cerai dalam KUHPerdata bersifat limitatif.116