• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A.Kenakalan Remaja

6. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) penyebab timbulnya kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab kenakalan remaja antara lain:

a. Faktor intelegensi, anak-anak delinkuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik atau prestasi sekolah rendah.

b. Ciri kepribadian, ciri kepribadian nampak lebih ambivalen terhadap otoritas, mendendam, bermusuhan, curiga, destruktif dan impulsif. Kaplan (dalam Lunanta, 2005) kepribadian mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan menyimpang karena individu cenderung meminimalisir pengalaman dari sikap diri yang negatif dan memaksimalkan pengalaman dari sikap diri yang positif. Salah satu karakteristik kepribadian yang dimaskud adalah pemantauan diri, pemantauan diri merupakan kecakapan individu dalam membaca situasi dan lingkungannya, serta kemampuan untuk mengontrol diri dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam situasi sosial. Remaja yang mempunyai pemantuan diri yang rendah kurang mempunyai motivasi untuk memperbaiki diri

terutama dalam berinteraksi dengan lingkungan, sehingga mengakibatkan cenderung berperilaku nakal dan tidak mematuhi perintah (Lunanta & Ahkam, 2005).

c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya (Lunanta & Ahkam, 2005).

d. Sikap-sikap yang salah, remaja yang melakukan kenakalan tidak mengetahui tingkah laku yang dapat diterima masyarakat atau gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima masyarakat.

e. Fantasi, tidak mampu menerima kenyataan (Kartono, 1991)

f. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah dalam diri remaja.

g. Konflik batin, anak-anak delinkuen melakukan banyak kejahatan didorong oleh konflik batin sendiri. Mereka mempraktekan konflik batin untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laku agresif, impulsif dan primitif.

h. Emosi yang kontroversial, remaja delinkuen terganggu secara emosional, mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar sehingga menjadi eksplotif meledak-ledak dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berpikir panjang melakukan bermacam-macam tindak kenakalan. Pendorong kuat munculnya perilaku delinkuen adalah ketidakmatangan emosi terutama bila disertai kecemasan sehingga mengakibatkan pemikiran dan pertimbangan remaja akan memburuk, kinerja terganggu, tindakan menjadi tidak menentu dan dapat

membawa pada perilaku maladaptif (Sari, 2005). Ketegangan emosi tinggi, dorongan emosi sangat kuat dan tidak terkendali membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak- tidak rasional (Ekowarni dalam Sari, 2005).

i. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan (Sari, 2005).

Menurut Kartono (1991) sebab-sebab eksternal timbulnya kenakalan remaja, adalah:

a. Lingkungan rumah atau keluarga:

1) Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga besar dan rumah kotor.

2) Memiliki kebiasaan yang kurang baik, moralitas mereka merupakan tanda-tanya.

3) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru menerapkan disiplin yang salah.

4) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional. 5) Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.

6) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya. 7) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota. 8) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah.

9) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya.

b. Lingkungan sekolah

1) Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya kurang mampu.

2) Guru bersikaprejectatau menolak.

3) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak.

4) Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka membolos, segan atau malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah.

c. Lingkungan masyarakat

1) Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.

2) Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.

3) Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan teman-temannya.

Menurut Santrock (2003) pemicu kenakalan remaja yaitu: a. Identitas

Menurut Erikson (1968, dalam Santrock, 2003) masa remaja terdapat tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi dan kenakalan berhubungan dengan kemampuan remaja untuk mengatasi krisis secara positif. Menurut Erikson perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:

2) Tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya kenakalan remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas.

b. Kontrol Diri

Kenakalan remaja dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Penelitian menemukan bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orang tua yang efektif di masa kanak-kanak seperti penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif berhubungan dengan dicapainya keterampilan pengaturan diri. Dengan memiliki keterampilan ini sebagai atribut internal akan berhubungan dengan menurunnya tingkat kenakalan remaja.

c. Proses Keluarga

Penelitian yang dilakukan Petterson (dalam Santrock, 2003) menemukan bahwa pengawasan orang tua terhadap keberadaan remaja adalah faktor keluarga yang paling penting dalam meramalkan kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Patterson menunjukan bahwa pengawasan orang tua yang tidak memadai, meliputi rendahnya pengawasan terhadap remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan munculnya kenakalan.

d. Kelas Sosial atau komunitas

Kenakalan remaja tidak lagi terbatas sebagai masalah kelas sosial yang lebih rendah dibandingkan di masa sebelumnya, beberapa ciri kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya kenakalan (Jenkins & Bell, 1992 dalam Santrock, 2003). Remaja dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengambangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Penelitian terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan presentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan (Glueck & Glueck, 1950 dalam Santrock, 2003).

Dari pendapat-pendapat di atas penyebab kenakalan remaja terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian remaja yang ambivalen, motivasi diri yang rendah, pengembangan sikap yang salah, kurang mampu menerima kenyataan, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kegagalan remaja mencapai integritas mengenai identitas mereka dan kegagalan dalam melakukan kontrol diri. Faktor eksternal meliputi keluarga yang kurang kondusif bagi perkembangan remaja, lingkungan sekolah yang buruk dan lingkungan masyarakat kurang kondusif.

B. Self Efficacy 1. PengertianSelf Efficacy

Self efficacy berbeda dengan kepercayaan diri atauself confident, menurut Bandura (1997)self eficacylebih menekankan pada penilaian seseorang mengenai kemampuannya, sedangkan self confident tidak termasuk mengenai kekuatan kepercayaan terhadap tugas yang khusus, lebih merupakan semboyan daripada konstruk sebuah sistem teori. Self confident lebih luas dari self efficacy, self confident merupakan sebuah sifat kepribadian umum yang berhubungan dengan kepercayaan individu dan tindakan dalam semua situasi (Heslin, 2006).

Menurut Bandura (1997) self efficacy adalah kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan. Masih menurut Bandura (1977, dalam Baron, 2003) self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Self Efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk menghasilkan performance yang bagus dengan menggunakan pengaruh peristiwa yang mempengaruhi hidup mereka (Bandura, 1994).

Self efficacy merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannnya untuk bertindak dalam suatu tugas atau situasi tertentu (Pervin & John, 1997, dalam Yufita dkk. 2006). Lewicki (dalam Carlos, 2006) menjelaskan self efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber kognitif dan tindakan yang dibutuhkan untuk

mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2003) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.

Carlos (2006) menyimpulkan bahwa perilaku dan motivasi individu dipengaruhi oleh keyakinan mereka sendiri. Self efficacy menentukan bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri mereka dan berperilaku. Individu dengan kepercayaan yang tinggi mengenai kemampuannya memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tantangan untuk menjadi lebih baik daripada bersikap menghindar. Self efficacy memberi harapan yang membantu memunculkan ketertarikan intrinsik dan kesenangan yang mendalam terhadap kegiatan. Mereka menganggap tujuan yang telah mereka tetapkan sebagai tantangan dan bertahan kuat dengan komitmen mereka. Mereka mempertinggi dan mempertahanakan usaha mereka ketika berhadapan dengan kegagalan. Mereka dengan cepat kembali percaya pada kemampuannya setelah mengalami kegagalan. Mereka menghubungkan kegagalan dengan usaha yang tidak cukup atau pengetahuan dan keterampilan yang kurang. Mereka mendekati situasi yang mengancam dengan kepercayaan bahwa mereka dapat mengontrol situasi tersebut. Self efficacy menghasilkan pribadi yang berprestasi, dapat mengurangi stres dan tidak lebih mudah terkena depresi (Bandura, 1994)

Individu yang ragu-ragu mengenai kemampuan mereka akan menghindari tugas yang sulit. Mereka mempunyai cita-cita dan komitmen yang rendah mengenai tujuan yang mereka pilih untuk mereka capai. Ketika berhadapan dengan tugas yang sulit mereka terpenjara dalam kekurangan diri dan kesulitan

yang sedang mereka hadapi dan semua jenis kerugian yang muncul sedangkan mereka tidak berkonsentrasi bagaimana tampil dengan sukses. Mereka mengurangi usaha mereka dan menyerah dengan cepat terhadap kegagalan. Mereka lambat kembali percaya pada kemampuan mereka dan terbuai dalam kegagalannya (Bandura, 1994).

Berbagai pengertian self efficacy di atas, peneliti merujuk pendapat Bandura (1997) yang mendefinisikan self efficacy sebagai kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.

Dokumen terkait