• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN SELF EFFICACY DAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGANSELF EFFICACYDAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh: Dwi Nur Hasanah

G 0105018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

HUBUNGANSELF EFFICACYDAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP N 7 KLATEN

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh: Dwi Nur Hasanah

G 0105018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan sesungguhnya bahwa apa yang ada dalam skripsi ini, sebelumnya belum pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, sepanjang pengamatan dan sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, keculai yang secara tertulis dipergunakan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia untuk dicabut derajat kesarjanaan saya.

Surakarta, Maret 2010

(4)

MOTO

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Pemilik hari pembalasan

Hanya kepada Mu kami mengabdi dan hanya kepada Mu kami memohon Pertolongan

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat,

bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan pula jalan mereka yang sesat Amiin...

~ QS Al-Fatihah (Pembuka): 1-7 ~

Dan kesabaran merupakan cahaya yang terang.

(5)

UCAPAN TERIMAKASIH DAN PENGHARGAAN

Karya ini saya persembahan kepada:

Ibu & Bapak ku, sumber Kasih Sayang

Kakak ku, sumber motivasi

Teman-teman ku, sumber keindahan hidup

Guru-guru pengetahuan ku, sumber ilmu kehidupan dunia & akhirat

Dan almamater ku, batu pijakan untuk melompat lebih tinggi

(6)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim,

Puji syukur batas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayah Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Pendidikan Strata I Psikologi dengan judul “ Hubungan Self Efficacy dan Regulasi Emosi dengan kenakalan Remaja”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak oleh karena itu penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Dra. Suci Murti Karini, MSi selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Drs. Munawir Yusuf M.Psi selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukan untuk memberikan bimbingan, pengarahan, saran, kritik dan dukungan yang sangat bemanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

(7)

5. Ibu Dra. Machmuroch, M.Si selaku penguji I yang telah memberikan waktu, saran dan kritik sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Nugroho Arif Karyanto, S.Psi selaku penguji II dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu, saran, kritik dan motivasi bagi peneliti sehingga mampu untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Wariso selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Klaten yang telah memberikan ijin bagi peneliti sehingga dapat melakukan penelitian di SMP ini 8. Bapak Drs. Sunarto selaku Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan yang telah

memberikan banyak pengarahan dan bantuan selama penelitian.

9. Ibu Esti Raharjanti, S.Psi selaku pembimbing lapangan, peneliti berterimakasih atas waktu dan bantuan yang diberikan kepada peneliti sehingga penelitan menjadi lancar, dan kepada bu Is dan pak Habib terimakasih atas bantuan-bantuannya.

10. Seluruh staff Program Studi Psikologi, mas Dimas dan mas Ryan yang telah membantu peneliti dalam mengurus administrasi, dan kepada mbak Ana yang telah memberikan semangat dan saran-sarannya.

11. Seluruh staff SMP Negeri 7 yang telah memberikan bantuannya sehingga terselasaikannya skripsi ini.

12. Semua siswa siswi SMP Negeri 7 Klaten yang telah memberikan pengalaman dan bantuannya, terimaksih banyak.

(8)

14. Kakakku Ahmad Hartono terimakasih atas bantuan dan semua yang telah diberikan kepada peneliti sehingga skripsi ini mampu untuk diselesaikan. We can do more it.

15. Semua teman-teman kos Salamoen, Neni, Siti, Lilis, Tika, Tiwi, Fida dan semuanya yang telah menjadi keluarga ke dua peneliti yang selalu memberikan dukungan, tawa keceriaan dan kenangan yang indah, terimaksih telah mengisikan kebahagian dalam hidupku.

16. Terimaksih untuk Uwik, Risna, Dita, Retno, Maria, Desti, Tiara, Hastin, Diah, Amna, Vita, Maya dan semua teman-teman Psikologi angkatan 2005 yang telah banyak memberikan motivasi, bantuan, keceriaan dan Ilmu Kehidupan yang tidak didapatkan di tempat lain, semoga kenangan ini tidak akan terlupakan.

17. Terimakasih untuk kakak tingkat 2004 atas bantuannya dan angkatan 2006, 2007 yang telah memberikan semangat kepada peneliti.

18. Untuk berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Surakarta, Maret 2010

(9)

ABSTRAK

HUBUNGANSELF EFFICACYDAN REGULASI EMOSI DENGAN KENAKALAN REMAJA

Dwi Nur Hasanah G 0105018

Kenakalan remaja dewasa ini semakin mengkhawatirkan bagi para orang tua, pendidik juga masyarakat, karena mengingat kenakalan remaja semakin merebak diberbagai lingkungan. Lebih mengkhawatirkan lagi kenakalan juga dilakukan oleh anak SMP, usia yang tergolong dini dalam kategori kenakalan remaja. Pada usia remaja mereka mengalami berbagai perubahan baik dari dalam diri maupun tuntutan dari lingkungan menyebabkan ketegangan emosi semakin meninggi yang menyebabkan mereka mudah terjerumus dalam kenakalan remaja. Untuk mengatasi masalah ketegangan emosi tersebut remaja memerlukan regulasi emosi dan self efficacy agar mampu berperilaku adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII SMP N 7 Klaten, diambil dengan teknik cluster random sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala self efficacy, skala regulasi emosi dan skala kenakalan remaja. Analisis data menggunakan teknik analisis regresi ganda.

Hasil perhitungan menggunakan analisis regresi ganda menunjukkan korelasi rx1y sebesar - 0,249 pada taraf signifikan p < 0,05. Artinya ada korelasi negatif yang signifikan antara self efficacydengan kenakalan remaja, dan korelasi rx2y sebesar -0,301 pada taraf signifikan p < 0,05 memiliki arti ada korelasi negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan kenakalan remaja. Selain itu berdasarkan hasil analisis data diketahui ada hubungan yang signifikan secara statistik antara self efficay dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja ditunjukkan dengan nilai korelasi Ry12= 0,314 dan Fregresi3,06 dengan p < 0,05. Sumbangan efektif self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja dilihat dari koefisien determinan (R2) sebesar 0,99 atau 9,9 % yang berarti masih terdapat 80,1 % faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja selain self efficacydan regulasi emosi.

(10)

ABSTRACT

RELATION BETWEENSELF EFFICACYAND EMOTION REGULATION WITH JUVENILE DELINQUENCY

Dwi Nur Hasanah G 0105018

Juvenile delinquency is increasing worry for parents, educators and also the community, considering its spreading in various environment. Moreover, delinquency also carried out by junior high children, the very early ages considering the term of “delinquency”. In their teenage years undergone changes both from themselves as well as demands from the environment causing the rising of emotional tension so that they easily fall into delinquency. To overcome the problem of emotional tension, teenagers need emotional regulation and self-efficacyto be able to behave adaptively and do not fall into delinquency.

This research aims to determine the relationship between self-efficacy and regulation of emotion with juvenile delinquency. The method in this study uses a quantitative approach. The research’s subjects is 8th grade student of SMP N 7 Klaten, byrandom cluster samplingtechnique. Instruments of data collection are self-efficacy scale, emotion regulation scale and juvenile delinquency scale. Analysis of data is using multiple regression analysis techniques.

The results of calculations using multiple regression analysis showed correlation rx1y of – 0,249 at significant level p <0,05. This means that there is a significant negative correlation between self-efficacy and juvenile delinquency, and the correlation rx2y of -0,301 at a significant level of p <0,05 means there is a significant negative correlation between emotion regulation and juvenile delinquency. Based on the results of data analysis, there is a significant relationship between self efficacy and emotion regulation with juvenile delinquency, indicated by the correlation value R y12 = 0,314 and M regression 3,06

with p <0,05. Effective contributionof self efficacyand emotional regulation with juvenile delinquency is seen from the determinant coefficient (R2) of 0,99 or 9,9%, which means that there are still 80,1% other factors that affect delinquency in addition toself-efficacyand emotional regulation.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….…………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ……….. v

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN………... vi

KATA PENGANTAR ……….... vii

ABSTRAK ……….. x

DAFTAR ISI ………....…... xii

DAFTAR TABEL ……….….. xvi

DAFTAR GAMBAR ……….. xviii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xix

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. LANDASAN TEORI A. Kenalan Remaja ... 9

1. Remaja... 9

2. Pengertian Kenakalan Remaja ... 13

(12)

4. Tipe-Tipe Kenakalan Remaja ... 18

5. Karakteristik Kenakalan Remaja ... 20

6. Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 22

B. Self Efficacy………. 28

1. PengertianSelf Efficacy ………... 28

2. Aspek-aspekSelf Eficacy………. 30

3. Faktor-faktor PembentukSelf Efficacy……… 33

4. Faktor-faktor yang MempengaruhiSelf Efficacy... 35

5. DampakSelf Efficacy………... 36

C. Regulasi Emosi ………. 36

1. Pengertian Emosi ………. 36

2. Pengertian Regulasi Emosi ... 39

3. Aspek-aspek Regulasi Emosi ... 42

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi ... 44

5. Fungsi dan Proses Regulasi Emosi ... 45

D. HubunganSelf Efficacydengan Kenakalan Remaja ... 50

E. Hubungan regulasi Emosi dengan Kenakalan Remaja ... 51

F. HubunganSelf Efficacydan Regulasi Emosi dengan Kenakalan Remaja ... 52

G. Kerangka Pemikiran ... 55

H. Hipotesis ... 56

(13)

B. Definisi Operasional ... 57

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampel ... 58

D. Metode Pengumpulan Data ... 59

1. Skala Kenakalan remaja ... 60

2. SkalaSelf Efficacy... 61

3. Skala Regulasi Emosi ... 62

E. Validitas dan Reliabilitas ... 64

F. Teknik Analisis ... 65

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ………. 67

1. Orientasi Tempat Penelitian ……… 67

2. Persiapan Administrasi ……….... 70

3. Persiapan Alat Pengumpulan Data ………... 71

B. Pelaksanaan Penelitian ……….. 74

1. Review Professional Judgment ………... 74

2. Pengumpulan Data Uji Coba....……… 75

3. Daya Beda Aitem dan Reliabilitas ...……….. 75

4. Penyusunan Alat Ukur ... 81

5. Pelaksanaan Penskoran ... 83

C. Analisis Data ………. 83

1. Uji Asumsi Dasar……...………... 84

2. Uji Asumsi Klasik ……...………...………… 86

3. Uji Hipotesis ... 89

(14)

5. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif ………... 95

D. Pembahasan ………..……… 96

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………... 103

B. Saran ……… 104

DAFTAR PUSTAKA………. 106

(15)

DAFTAR TABEL

1. Penilaian Petanyaan ………... 61

2. Skala Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba ………... 62

3. SkalaSelf EfficacySebelum Uji Coba ………...…..…….. 63

4. Skala Regulasi Emosi Sebelum Uji Coba ……...………...………. 64

5. Kategorisasi Jenjang ...………...……… 66

6. Jumlah Siswa SMP N 7 Klaten …………....…………...………….... 69

7. Rata-rata Presentasi Kehadiran Siswa ………...……..………. 69

8. Sarana dan Prasarana ………...………...… 70

9. Skala Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba …...………... 72

10. SkalaSe;f EfficacySebelum Uji Coba …...………... 73

11. Skala Regulasi Emosi Sebelum Uji Coba ...……... 74

12. Distribusi Skala Kenakalan Remaja yang Valid dan Gugur………... 77

13. Distribusi SkalaSelf Efficacyyang Valid dan Gugur ……...…... 78

14. Distribusi Skala Regulasi Emosi yang Valid dan gugur …..………...….….... 79

15. Distribusi Skala Kenakalan Remaja untuk Penelitian ..………...….. 81

16. Distribusi SkalaSelf Efficacyuntuk Penelitian ... 81

17. Distribusi Skala Regulasi Emosi untuk Penelitian ... 82

(16)

19. Uji linieritas ... 86 20. Uji Anova ... 89 21. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda ... 90 22. Korelasi Masing-masing Variabel Bebas

dengan Variabel Tergantung ... 91 23. Deskripsi Data Penelitian ... 92 24. Kriteria Kategori Skala Kenakalan Remaja

Dan Distribusi Skor Subjek ... .... 93 25. Kriteria Kategori SkalaSelf Efficacy

dan Distribusi Skor Subjek ... 94 26. Kriteria Kategori Skala Regulasi Emosi

(17)

DAFTAR GAMBAR

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

A. Alat Ukur Penelitian ………. 109

1. Skala Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba………... 112

2. SkalaSelf efficacySebelum Uji Coba ………....………... 118

3. Skala Regulasi Emosi Sebelum Uji Coba ….………....…... 122

B. Data Uji Coba Skala Penelitian ……….………... 127

1. Data Uji Coba Skala Kenakalan Remaja ...………... 128

2. Data Uji Coba Skalaelf efficacy………... 136

3. Data Uji Coba Skala Regulasi Emosi ...………...……….... 142

C. Uji Validitas Aitem & Reliabilitas Skala Penelitian ………... 150

1. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala Kenakalan Remaja …...…….. 151

2. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas SkalaSelf Efficacy……....……...…. 156

3. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala Regulasi Emosi ...……… 160

D. Alat Ukur Penelitian ……… 165

1. Skala Kenakalan Remaja penelitian ...………... 168

2. SkalaSelf Efficacy………...……….. 173

3. Skala Regulasi Emosi ………...……….. 177

E. Data Penelitian ……….. 180

1. Data Skala Kenakalan remaja ….………... 181

2. Data SkalaSelf efficacy………...……….. 193

3. Data Skala Regulasi Emosi ………...………...201

F. Analisis Data Penelitian ……….... 211

(19)

2. Uji Normalitas ……...……… 213

3. Grafik Normalitas Kenakalan remaja………. 214

4. Grafik NormalitasSelf Efficacy... 215

5. Grafik Normalitas Regulasi Emosi ... 216

6. Uji Linieritas ………...………... 217

7. Uji Multikolinearitas ... 218

8. Uji Heteroskedastisitas ... 219

9. Uji Autokorelasi ... 220

10. Uji Hipotesis ... 221

11. Grafik Persamaan Regresi ... 223

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Monks (1991) masa remaja berlangsung pada rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun yang terbagi menjadi dua, yaitu adolesensi yang berlangsung pada umur 12 tahun sampai 18 tahun dan masa pemuda yang berlangsung pada umur 19 tahun sampai 21 tahun. Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Keadaan yang demikian, kemudian ditambah dengan tekanan sosial, perubahan minat, peran dan kondisi baru membuat ketegangan emosi pada remaja semakin bertambah tinggi (Hurlock, 1980). Keadaan tersebut membuat remaja mudah untuk terjerumus dalam kenakalan remaja.

(21)

sehingga remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja dapat segera ditangani dan mencegah remaja yang lain terlibat dalam kenakalan remaja.

Hawari (2000) telah melakukan penelitian yang menunjukan bahwa tidak kurang dari 1,3 juta penduduk Indonesia telah menjadi pelaku madat dan 90% diantarnya berusia antara 15-25 tahun, penelitian tersebut memperlihatkan mereka yang menjadi pelaku madat berada pada masa remaja atau baru melepaskan masa remaja. Hasil preliminary studyyang dilakukan oleh Astutik (2007) pada tanggal 21 Juni 2007 terhadap 75 siswa SMP di kabupaten Bantul diperoleh data 46 siswa tidak merokok dan 29 siswa yang merokok, dari 29 siswa yang merokok tersebut, 1 orang siswa mulai merokok pada usia 14 tahun, 11 siswa mulai merokok pada usia 11 tahun, 6 siswa mulai merokok pada usia 12 tahun, 5 siswa mulai merokok pada usia 13 tahun, serta 6 orang mulai merokok pada usia 9 tahun. Hasil yang dikemukakan oleh Astutik tersebut menggambarkan bahwa siswa yang merokok telah memulai kebiasaan buruk tersebut sejak awal mereka memasuki masa remaja, hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat bahaya merokok bagi kesehatan mereka.

(22)

dari 80 persen anak berusia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi telah mengakses materi pornografi, dan lebih parahnya lagi 97 persen dari remaja berusia 19-24 tahun juga telah mengakses materi pornografi (http://remaja.suaramerdeka.com). Hasil penelitian menunjukan, hampir semua remaja dalam survei pernah mengakses materi pornografi.

Fenomena yang telah dipaparkan di atas menjelaskan kenakalan yang dilakukan oleh remaja, dimana sebagian dari mereka adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan SMP, artinya banyak anak SMP saat ini telah melakukan kenakalan remaja. Selain yang telah dipaparkan di atas berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan oleh pelajar SMP, diantaranya seperti yang telah dijaring oleh peneliti berdasarkan wawancara dengan sebuah Sekolah Menengah Pertama di Klaten, berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan oleh siswa sekolah diantaranya tidak memakai seragam sekolah sesuai dengan yang telah ditetapkan, membolos saat pelajaran sekolah, pacaran di lingkungan sekolah dengan perilaku yang melanggar peraturan sekolah, dengan sengaja terlambat datang ke sekolah, menyontek saat ujian dan perkelahian antar siswa. Hasil wawancara tersebut memperlihatkan kenakalan remaja juga telah masuk dalam lingkup sekolah.

(23)

diberbagai lingkungan dari lingkungan perkotaan hingga pedesaan dan tidak mengenal kelas sosial mulai lingkungan kelas sosial yang tinggi sampai kelas sosial yang rendah. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat kenakalan remaja memberikan dampak yang serius bagi kehidupan, perkembangan dan masa depan remaja. Dengan demikian fenomena kenakalan remaja dewasa ini masih menjadi permasalahan besar yang perlu mendapat perhatian khusus untuk diupayakan penanganannya.

Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh beberapa faktor, menurut Kartono (1992) kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Hal ini berarti kenakalan remaja disebabkan oleh faktor dari dalam diri remaja dan pengaruh dari lingkungan remaja. Salah satu faktor internal penyebab kenakalan remaja diduga terkait kondisi ketegangan emosi dalam diri remaja akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologis masa perkembangan remaja. Ketegangan emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan emosi yang tidak terkendali membuat remaja lebih mudah meledakkan emosi dan bertindak tidak rasional, sehingga tidak jarang keadaan emosi yang demikian membuat remaja berperilaku yang termasuk dalam kenakalan remaja. Menghadapi kehidupan emosi yang penuh gejolak dan ketegangan emosi yang meninggi, remaja membutuhkan kemampuan regulasi emosi yang memadai agar tidak terjerumus pada tindakan yang tidak rasional.

(24)

ketidaknyamanan tersebut tidak jarang remaja bereaksi dengan perilaku maladjusment seperti menjadi agresif atau apatis (Yusuf, 2002). Perilaku agresif akan mengarah pada bentuk kenakalan seperti melawan, membangkang, berkelahi dan tawuran, sebaliknya perilaku maladjusment yang cenderung bereaksi apatis mengarahkan pada perilaku seks bebas, keterlibatan dalam obat-obat terlarang, lari dari kenyataan dan senang menyendiri.

Setiap individu dituntut untuk dapat mengekspresikan emosi secara sehat, adaptif dan dapat diterima oleh lingkungan, termasuk juga remaja. Keberhasilan mengungkapkan emosi secara adaptif ditentukan oleh kemampuan regulasi emosi yang memadai. Kemampuan regulasi emosi yang memadai akan mengarahkan remaja untuk dapat mengatasi masalah-masalah emosi yang dialami sehingga dapat berperilaku adaptif dan terhindar dari perilaku kenakalan remaja.

Penelitian yang menyatakan kenakalan remaja terkait dengan regulasi emosi antara lain penelitian yang dilakukan oleh Eisenberg (2000), berdasarkan penelitian tersebut menunjukan adakalanya regulasi emosi berhubungan dengan penyalahgunaan obat. Penelitian tersebut menunjukan bahwa penyalahgunaan obat yang termasuk ke dalam kenakalan kadang kala berhubungan dengan regulasi emosi atau pengendalian emosi.

(25)

menunjukan bahwa kenakalan remaja berhubungan dengan self efficacy yang dimiliki oleh remaja, semakin tinggi self efficacy yang dimiliki remaja semakin rendah kenakalan remaja. Bandura (1997) menjelaskan self efficacy merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Individu yang mempunyai self efficacy tinggi akan mempunyai motivasi yang tinggi, akan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, tidak mudah menyerah dan akan bertahan apabila menemui kesulitan dan akan berusaha lebih keras lagi. Remaja yang percaya terhadap kemampuannya akan lebih termotivasi dan tangguh dalam menghadapi berbagai perubahan serta tuntutan dari diri dan lingkungannya. Remaja dalam kondisi yang demikian, akan dapat dimungkinkan tidak berperilaku maladjusment, sebaliknya lebih adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

(26)

adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja. Remaja yang mampu mengelola emosi dan yakin mampu melakukan berbagai tugas serta menghadapi rintangan dari dalam diri ataupun dari lingkungan dimungkinkan dapat berperilaku lebih adaptif dan terhindar dari kenakalan remaja. Sehubungan dengan hal tersebut penulis ingin meneliti mengenai hubungan self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: ”Apakah terdapat hubungan self efficacydan regulasi emosi dengan kenakalan remaja?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antaraself efficacydengan kenakalan remaja. 2. Untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan kenakalan

remaja.

3. Untuk mengetahui hubungan self efficacy dan regulasi emosi dengan kenakalan remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis:

(27)

psikologi sosial dan psikologi klinis terutama yang berhubungan dengan kenakalan remaja,self efficacydan regulasi emosi.

2. Manfaat Praktis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja terkait peranan self efficacy dan regulasi emosi dalam menghadapi tugas-tugas perkembangan yang mereka emban, sehingga remaja dapat menghindari perilaku kenakalan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait seperti orang tua, pendidik, psikolog dan masyarakat sebagai upaya-upaya membantu remaja memiliki ketrampilan self efficacy dan regulasi emosi sehingga terhindar dari kenakalan remaja. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menangani kasus kenakalan remaja.

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI A.Kenakalan Remaja 1. Remaja

Masa remaja mempunyai suatu waktu dengan onset dan lama yang bervariasi adalah suatu periode antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masa ini ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis dan sosial yang menonjol. Onset biologis dari masa remaja ditandai dengan percepatan pertumbuhan skeletal yang cepat dan permulaan perkembangan seks fisik, onset psikologis ditandai dengan suatu percepatan perkembangan kognitif dan konsilidasi pembentukan kepribadian. Sedangkan perkembangan secara sosial, masa remaja merupakan suatu periode peningkatan persiapan untuk datangnya peranan masa dewasa muda (Kaplan, 1997). Dengan demikian individu yang memasuki masa remaja mengalami perkembangan biologis, psikologis dan sosial.

(29)

usia remaja berlangsung antara 10 tahun sampai 21 tahun, dan terbagi manjadi dua fase yaitu fase remaja awal dan remaja akhir.

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan periode perubahan, terdapat tiga perubahan dalam diri remaja, yaitu:

a. Perubahan fisik

Perubahan secara fisik selama masa remaja menurut Hurlock (1980) meliputi:

1) Tinggi badan, rata-rata anak perempuan mencapai tinggi antara usia tujuh belas dan delapan belas tahun dan rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun kemudian.

2) Berat badan, berat badan tersebar ke bagian-bagian tubuh yang sebelumnya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lemak sama sekali.

3) Proporsi tubuh, berbagai anggota tubuh lambat laun mencapai perbandingan tubuh yang baik, misal badan melebar dan memanjang sehingga anggota badan tidak lagi kelihatan terlalu panjang.

4) Organ seks, baik pria dan wanita mencapai ukuran yang matang pada akhir masa remaja, tetapi fungsi organ seks belum matang sampai beberapa tahun kemudian.

(30)

b. Perubahan emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi karena berada dibawah tekanan sosial dalam menghadapi kondisi baru. Ketidak stabilan emosi merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Perbedaan pola emosi anak remaja dengan kanak-kanak terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Remaja sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak meledakkan emosi mereka dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang tepat. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional (Hurlock,1980).

c. Perubahan sosial

(31)

usia dan jenis seks. Untuk pertama kali mereka merasa satu dan mereka saling mengisi. Disamping itu untuk pertama kali mereka merasa jelas tertarik pada lawan jenis. Hal tersebut memberikan pada mereka penghayatan yang belum pernah dikenal remaja lebih dahulu dan yang mereka alami sekarang sebagai tanda-tanda status dewasa yang diinginkan. Untuk itu mereka korbankan sebagian besar hubungan emosi mereka dengan orang tua dalam usaha untuk menjadi wakil kelompok teman sebaya mereka (Monks, 1991). Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut (Hurlock, 1980).

(32)

2. Pengertian Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja merupakan istilah yang sering digunakan orang awam untuk menyebut remaja yang tidak mau menuruti perintah orang lain, perilaku yang tidak normal di mata masyarakat, apakah seperti itu arti istilah kenakalan remaja? Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja atau juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial misalnya bersikap berlebihan di sekolah, pelanggaran status seperti melarikan diri, hingga tindak kriminal misalnya pencurian. Kenakalan adalah tingkahlaku atau perbuatan yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain dan melanggar nilai-nilai moral maupun nilai-nilai sosial (Gunarsa, 1980).

Menurut Kartono (1992) Juvenile berasal dari bahasa latin yaitu juvenilis yang mempunyai arti anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda atau sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursusila, dan lain-lain. Jadi menurut Kartono (1992) kenakalan remaja ialah perilaku jahat atau dursila yang melanggar norma sosial dan hukum, merupakan gejala sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

(33)

perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kepentingan orang lain serta perbuatan yang melanggar peraturan masyarakat. Kenakalan remaja bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dewasa ini sering terjadi seorang anak digolongkan sebagai delinkuen jika pada anak tersebut nampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang sangat memuncak sehingga perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan gangguan-gangguan terhadap keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Perbuatan yang termasuk dalam kenakalan remaja misal pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerasan, penipuan, penggelapan, gelandangan serta perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan oleh anak remaja yang meresahkan masyarakat (Sudarsono, 1995).

(34)

3. Bentuk-bentuk kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) bentuk-bentuk kenakalan remaja adalah sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalan yang menggangu keamanan lalu-lintas dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

b.Perilaku ugal-ugalan, brandalan atau urakan yang mengacaukan ketentraman masyarakat sekitar.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok dan antar sekolah.

d.Membolos sekolah kemudian bermain sepanjang jalan atau sembunyi di tempat-tempat terpencil.

e. Kriminalitas anak, seperti mengancam, mengintimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok dan menggarong. f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau

menimbulkan keadaan yang kacau balau yang mengganggu lingkungan. g.Perkosaan, agresivitas seksual hingga pembunuhan dengan motif seksual. h.Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan.

Menurut Jensen (dalam Sarwono, 2000) bentuk kenakalan remaja terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, perkosaan, perampokan dan pembunuhan.

(35)

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain seperti pelacuran, hubungan seks sebelum menikah dan penyalahgunaan obat.

d. Kenakalan yang melawan status misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengikari status orang tua mereka dengan cara minggat dari rumah dan membantah perintah orang tua.

Sedangkan menurut Mulyono (2001) bentuk-bentuk kenakalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Kenakalan yang tidak melanggar hukum, meliputi:

1) Berbohong atau memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutup kesalahan.

2) Membolos atau pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

3) Kabur atau meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua atau menentang keinginan orang tua.

4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan dan mudah menimbulkan hal yang negatif.

5) Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain, sehingga mudah terangsang untuk mempergunakan, misalnya membawa pisau, pistol atau senajta tajam lainnya.

6) Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, sehingga mudah terpengaruh dalam perkara yang benar-benar kriminal.

(36)

8) Membaca buku-buku cabul dan kebiasaan mempergunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak senonoh.

9) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomis maupun tujuan yang lain.

10) Berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak dirinya.

b. Kenakalan yang melanggar hukum dan mengarah kepada tindakan kriminal, meliputi:

1) Berjudi sampai mempergunakan uang dan taruhan benda yang lain.

2) Mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

3) Penggelapan barang. 4) Penipuan dan pemalsuan.

5) Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno dan film porno. 6) Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.

7) Tindakan-tindakan antisosial. 8) Percobaan pembunuhan.

9) Menyebabkan kematian orang lain atau turut tersangkut dalam pembunuhan.

10) Pengguguran kandungan.

11) Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.

(37)

kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, dan kenakalan yang melawan status, hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan bentuk kenakalan remaja menurut Jensen mencakup bentuk-bentuk kenakalan remaja dari pendapat tokoh-tokoh lain.

4. Tipe-tipe Kenakalan Remaja

Tipe-tipe kenakalan remaja menurut Kartono (1991):

a. Delinkuensi terang-terangan, kebanyakan adalah anak-anak yang ditolak, misalnya dikeluarkan dari sekolah. Sebaliknya ia juga menolak lingkungannya. Antara lain berupa perampokan, pencurian, perkosaan, pengrusakan, penganiayaan, dan pengroyokan.

b. Non-Konformis Ekstrim, anak yang berada diantara menerima nilai-nilai moral dan juga menolaknya, jadi membingungkan. Artinya kadang-kadang taat pada peraturan, tetapi kadang-kadang melawan. Emosi dan sikap sosialnya tidak stabil, sukar mengontrol diri, tidak disukai baik di rumah maupun di sekolah, tetapi tidak ditolak sama sekali. Kejahatan yang dilakukan antara lain pencurian kecil-kecilan,promescuitasatau pelacuran. c. Non-konformis ringan, memandang dirinya tidak sebagai delinkuen.

(38)

Ditinjau dari sudut pelaku delinkuensi atau kenakalan remaja Hilgard (dalam Kartono, 1991) mengelompokan kenakalan remaja ke dalam dua golongan:

a. Social delinquency yaitu delinkuensi yang dilakukan oleh sekelompok remaja misalnya gang.

b. Individual delinquency yaitu delikuensi yang dilakukan oleh seorang remaja sendiri tanpa teman.

Menurut Dryfoos (dalam Santrock, 2003) berdasarkan alasan hukum, dilakukan pembedaan kenakalan yaitu pelanggaran indeks dan pelanggaran status. Pelanggaran indeks atau index offenses adalah tindak kriminal, baik yang dilakukan oleh remaja maupun orang dewasa, seperti perampokan, tindak penyerangan, perkosaan, pembunuhan. Pelanggaran status atau status offenses adalah tindakan yang tidak seserius pelanggaran indeks, seperti melarikan diri, membolos, minum-minuman keras di bawah usia yang diperbolehkan, hubungan seks bebas dan anak yang tidak dapat dikendalikan. Tindakan ini dilakukan remaja di bawah usia tertentu, yang membuat mereka dapat digolongkan sebagai pelaku pelanggaran remaja. Menurut Bandura (2003) perilaku yang termasuk dalam kenakalan antara lain agresi, mencuri, menyontek, berbohong, merusak, membolos, mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan.

(39)

ekstrim seperti pencurian kecil-kecilan, dan kenakalan non konformis ringan seperti mengambil barang tanpa ijin. Berdasarkan jumlah pelakunya dibedakan menjadi social delinquency atau kenakalan yang dilakukan secara berkelompok atau lebih dari satu orang,individual delinquency atau kenakalan yang dilakukan oleh seoang saja. Berdasarkan hukum terbagi menjadi dua yaitu pelanggaran indeks atau kenakalan yang termasuk dalam perbuatan kriminal dan pelanggaran status atau kenakalan yang belum termasuk tindak kriminal.

5. Karakteristik Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) anak-anak delinkuen mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan anak-anak nondelinkuen, yaitu mengenai:

a. Struktur intelektual

Pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan anak-anak normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda. Biasanya anak delinkuen mendapat nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal. Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius, kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain, bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai “gambar cermin” diri sendiri.

b. Perbedaan fisik dan psikis

(40)

mesomorfs, yaitu relatif berotot, kekar, kuat dan pada umumnya bersifat lebih agresif.

c. Perbedaan karakteristik individual

Anak-anak nakal menurut Kartono (1992) mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti:

1) Hampir semua anak muda jenis ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini. Mereka tidak mau mempersiapkan bekal hidup bagi hari esok. Mereka tidak mampu membuat rencana bagi hari depan.

2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

3) Mereka terisosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan dan tidak bertanggung jawab secara sosial. 4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan yang merangsang rasa

kejantanan tanpa berpikir sebelumnya, walaupun mereka menyadari resiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

5) Pada umunya mereka sangat impulsif dan suka menyerempet bahaya. 6) Hati nurani tidak berfungsi atau kurang lancar berfungsi.

7) Mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sebab mereka memang tidak pernah dituntun atau dididik untuk melakukan hal tersebut. Tanpa pengekangan diri itu mereka menjadi liar, ganas dan tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa.

(41)

kenakalan remaja pada umumnya lebih bersifat agresif, impulsif, terganggu secara emosional, kurang menghargai pribadi orang lain, berorientasi pada masa sekarang, kurang memiliki disiplin diri, kurang memiliki kontrol diri dan karena perilaku yang mereka lakukan mereka terisolir dari masyarakat sekitar.

6. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (1992) penyebab timbulnya kenakalan remaja terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal penyebab kenakalan remaja antara lain:

a. Faktor intelegensi, anak-anak delinkuen ini pada umumnya mempunyai intelegensi verbal rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik atau prestasi sekolah rendah.

(42)

terutama dalam berinteraksi dengan lingkungan, sehingga mengakibatkan cenderung berperilaku nakal dan tidak mematuhi perintah (Lunanta & Ahkam, 2005).

c. Motivasi, motivasi yang rendah dalam mengontrol perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya (Lunanta & Ahkam, 2005).

d. Sikap-sikap yang salah, remaja yang melakukan kenakalan tidak mengetahui tingkah laku yang dapat diterima masyarakat atau gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima masyarakat.

e. Fantasi, tidak mampu menerima kenyataan (Kartono, 1991)

f. Internalisasi diri yang keliru, berada pada lingkungan yang melakukan kenakalan menyebabkan remaja menanamkan nilai-nilai yang salah dalam diri remaja.

g. Konflik batin, anak-anak delinkuen melakukan banyak kejahatan didorong oleh konflik batin sendiri. Mereka mempraktekan konflik batin untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laku agresif, impulsif dan primitif.

(43)

membawa pada perilaku maladaptif (Sari, 2005). Ketegangan emosi tinggi, dorongan emosi sangat kuat dan tidak terkendali membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak- tidak rasional (Ekowarni dalam Sari, 2005).

i. Kecenderungan psikopatologis, adanya sikap yang tidak bertanggung jawab dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya sehingga cenderung akan bersifat manipulatif dan tidak menunjukan penyesalan (Sari, 2005).

Menurut Kartono (1991) sebab-sebab eksternal timbulnya kenakalan remaja, adalah:

a. Lingkungan rumah atau keluarga:

1) Status ekonomi orang tua rendah, banyak penghuni atau keluarga besar dan rumah kotor.

2) Memiliki kebiasaan yang kurang baik, moralitas mereka merupakan tanda-tanya.

3) Tidak melaksanakan tata-tertib dan kedisiplinan atau justru menerapkan disiplin yang salah.

4) Tidak mampu mengembangkan ketenangan dan emosional. 5) Anak tidak mendapat kasih sayang orang tua.

6) Anak diasuh bukan oleh orang tuanya. 7) Tidak ada rasa persekutuan antar anggota. 8) Ada penolakan baik dari ibu maupun ayah.

9) Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya.

(44)

b. Lingkungan sekolah

1) Sekolah yang berusaha memandaikan anak yang sebenarnya kurang mampu.

2) Guru bersikaprejectatau menolak.

3) Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak.

4) Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka membolos, segan atau malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah.

c. Lingkungan masyarakat

1) Tidak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya.

2) Tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk melaksanakan kehidupan sosial dan tidak mampu menyalurkan emosi anak.

3) Lingkungan tempat anak dibesarkan dan dengan siapa anak berteman, anak terkadang tanpa disadari meniru perbuatan teman-temannya.

Menurut Santrock (2003) pemicu kenakalan remaja yaitu: a. Identitas

Menurut Erikson (1968, dalam Santrock, 2003) masa remaja terdapat tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi dan kenakalan berhubungan dengan kemampuan remaja untuk mengatasi krisis secara positif. Menurut Erikson perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:

(45)

2) Tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya kenakalan remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas.

b. Kontrol Diri

Kenakalan remaja dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Penelitian menemukan bahwa kontrol diri memainkan peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orang tua yang efektif di masa kanak-kanak seperti penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif berhubungan dengan dicapainya keterampilan pengaturan diri. Dengan memiliki keterampilan ini sebagai atribut internal akan berhubungan dengan menurunnya tingkat kenakalan remaja.

c. Proses Keluarga

(46)

d. Kelas Sosial atau komunitas

Kenakalan remaja tidak lagi terbatas sebagai masalah kelas sosial yang lebih rendah dibandingkan di masa sebelumnya, beberapa ciri kebudayaan kelas sosial yang lebih rendah cenderung memicu terjadinya kenakalan (Jenkins & Bell, 1992 dalam Santrock, 2003). Remaja dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengambangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa mereka bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial. Penelitian terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan presentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan (Glueck & Glueck, 1950 dalam Santrock, 2003).

(47)

B. Self Efficacy 1. PengertianSelf Efficacy

Self efficacy berbeda dengan kepercayaan diri atauself confident, menurut Bandura (1997)self eficacylebih menekankan pada penilaian seseorang mengenai kemampuannya, sedangkan self confident tidak termasuk mengenai kekuatan kepercayaan terhadap tugas yang khusus, lebih merupakan semboyan daripada konstruk sebuah sistem teori. Self confident lebih luas dari self efficacy, self confident merupakan sebuah sifat kepribadian umum yang berhubungan dengan kepercayaan individu dan tindakan dalam semua situasi (Heslin, 2006).

Menurut Bandura (1997) self efficacy adalah kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan. Masih menurut Bandura (1977, dalam Baron, 2003) self efficacy adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Self Efficacy adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan mereka untuk menghasilkan performance yang bagus dengan menggunakan pengaruh peristiwa yang mempengaruhi hidup mereka (Bandura, 1994).

(48)

mengendalikan peristiwa dalam kehidupan mereka. Santrock (2003) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif.

Carlos (2006) menyimpulkan bahwa perilaku dan motivasi individu dipengaruhi oleh keyakinan mereka sendiri. Self efficacy menentukan bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri mereka dan berperilaku. Individu dengan kepercayaan yang tinggi mengenai kemampuannya memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tantangan untuk menjadi lebih baik daripada bersikap menghindar. Self efficacy memberi harapan yang membantu memunculkan ketertarikan intrinsik dan kesenangan yang mendalam terhadap kegiatan. Mereka menganggap tujuan yang telah mereka tetapkan sebagai tantangan dan bertahan kuat dengan komitmen mereka. Mereka mempertinggi dan mempertahanakan usaha mereka ketika berhadapan dengan kegagalan. Mereka dengan cepat kembali percaya pada kemampuannya setelah mengalami kegagalan. Mereka menghubungkan kegagalan dengan usaha yang tidak cukup atau pengetahuan dan keterampilan yang kurang. Mereka mendekati situasi yang mengancam dengan kepercayaan bahwa mereka dapat mengontrol situasi tersebut. Self efficacy menghasilkan pribadi yang berprestasi, dapat mengurangi stres dan tidak lebih mudah terkena depresi (Bandura, 1994)

(49)

yang sedang mereka hadapi dan semua jenis kerugian yang muncul sedangkan mereka tidak berkonsentrasi bagaimana tampil dengan sukses. Mereka mengurangi usaha mereka dan menyerah dengan cepat terhadap kegagalan. Mereka lambat kembali percaya pada kemampuan mereka dan terbuai dalam kegagalannya (Bandura, 1994).

Berbagai pengertian self efficacy di atas, peneliti merujuk pendapat Bandura (1997) yang mendefinisikan self efficacy sebagai kepercayaan individu mengenai kemampuan-kemampuannya untuk mengatur atau menjalankan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.

2. Aspek-aspekSelf Efficacy

Tiga dimensiself efficacymenurut Bandura (1997), yakni: a. Magnitude

Berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit. Efficacy yang dimiliki individu dalam melakukan tugas yang sederhana sampai tugas yang cukup sulit termasuk tugas yang membebani. Jika dalam tugas tidak ada halangan kegiatan tersebut merupakan hal yang mudah dan maka setiap orang mempunyaiself efficacyyang seragam (Bandura, 1997).

(50)

Bandura (1997).Self efficacy dalam suatu kegiatan dapat digeneralisasikan ke kegiatan lain yang sama atau semua kegiatan (Holladay, 2003).

c. Strength, kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Individu yang mempunyai kepercayaan yang kuat dalam kemampuan mereka akan tekun dalam usahanya meskipun banyak sekali kesulitan dan halangan. (Bandura, 1997).

Para peneliti menyatakan terdapat tiga aspek self efficacy yang menjadi prediktor penting pada tingkah laku yang dipertanyakan (Baron & Byerne, 2003) yaitu:

(51)

b.Self efficacy sosial berhubungan dengan keyakinan mereka akan kemampuannya membentuk dan mempertahankan hubungan, asertif, dan melakukan kegiatan di waktu senggang.

c. Regulasi diri berhubungan dengan kemampuan menolak tekanan teman sebaya dan mencegah kegiatan beresiko tinggi. Menekankan pada kepercayaan remaja dalam efikasi mereka untuk menghindari bujukan untuk melakukan perbuatan diluar norma sosial, meliputi kemampuan untuk melawan tekanan teman yang mengajak dalam kegiatan yang beresiko tinggi seperti penggunaan alcohol, obat-obatan, aktivitas seksual, pencurian dan tipe kegiatan lainnya yang dapat membawa remaja dalam masalah yang serius.

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan aspek self efficacy menurut Bandura (1997), yaitu magnitude mengenai keyakinan individu mengenai kemampuannya terhadap tugas dari yang mudah hingga yang sulit,generalityatau mengenai keyakinan individu dari satu tugas hingga tugas yang kompleks dan strength mengenai seberapa kuat keyakinan terhadap kemampuan dirinya. Menurut peneliti aspek-aspek tersebut lebih luas dalam mengungkap kemampuan remaja dalam menyelesaikan tugas-tugas yang mereka emban.

3. Faktor-faktor PembentukSelf Efficacy

Bandura, 1997 mengungkapkanself efficacyterbentuk dari empat faktor yaitu: a. Enactive mastery experiences adalah penguasaan suatu keahlian atau

(52)

dan berulang-ulang merupakan dasar yang penting bagi terbentuknya self efficacy.Enactive mastery experiencesadalah sumber informasiefficacy yang paling berpengaruh.Enactive mastery experiences memberikan bukti autentik apakah sesuatu dapat diterima sebagai kesuksesan. Kesuksesan membangun efficacy seseorang, dan kegagalan merusak efficacy tersebut. Jika seseorang berpengalaman sukses dengan mudah, mereka cenderung mengharapkan hasil yang cepat dan mudah putus asa karena kegagalan. Naik turun efficacy dalam mengatasi hambatan memerlukan pengalaman dan usaha yang tekun. Kesulitan yang sering dialami individu adalah belajar bagaimana mengembalikan kegagalan ke dalam kesuksesan, dengan cara mengasah kemampuan dengan latihan mengontrol suatu peristiwa. Setelah individu percaya bahwa mereka mempunyai apa yang membuat mereka sukses mereka gigih menghadapi kesengsaraan dan secara cepat membalikan kesengsaraan tersebut. Membangun efficacy melalui Mastery experiences tidak hanya dengan perilaku tetapi termasuk juga kognitif dan self regulatory untuk menghasilkan dan menjalankan pengaturan perubahan kehidupan secara efektif.

(53)

efficacy seseorang. Melihat seseorang yang sukses menaikan efficacy pengamat dan pengamat merasa memiliki kemampuan yang sebanding (Bandura 1982, Schunk, Hanson & Cox, 1987 dalam Bandura, 1997). Individu yang melihat orang lain sukses akan meyakinkan diri mereka untuk meningkatkan kemampuan. Mengamati orang lain yang mempunyai kemampuan yang sama gagal meskipun telah berusaha keras membuat mereka menilai lebih rendah kemampuan yang mereka miliki dan merusak usaha yang telah dilakukan mereka (Brown & Inouye, 1978 dalam Bandura, 1997).

c. Verbal persuasion adalah bujukan atau dorongan secara verbal dari orang lain merupakan cara yang dapat membuat kita melakukan suatu hal yang lebih baik dari yang biasanya kita kerjakan (Crain, 1992 dalam Carlos dkk, 2006). Orang-orang yang dibujuk secara verbal bahwa mereka memiliki kemampuan untuk diberikan tugas kemungkinan besar mereka akan berusaha lebih keras dan mempertahankan keyakinan tersebut daripada jika mereka menyembunyikan keragu-raguan dan terlalu lama merenungi kekurangannya ketika kesulitan datang.

(54)

1997). Hal penting dari keadaan fisiologis dan emosional bukanlah tingkat intensitasnya, tetapi bagaimana cara individu memandang keadaan-keadaan tersebut (Crain, 1992 dalam Carlos, 2006).

Dari pendapat Bandura di atas self eficacyterbentuk dari empat hal, yaitu enactive mastery experience atau kemampuan yang dimiliki individu, vicarious experiences atau pembelajaran dari pengalaman orang lain, verbal persuasion atau dorongan verbal dari orang lain dan physiological and emotional states atau keadaan fisiologis dan emosi seseorang.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhiself efficacy

Menurut Bandura (dalam Yufita, 2006) self efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a. Sifat tugas yang dihadapi, tingkat kesulitan dan kompleksitas tugas yang dihadapi. Semakin kompleks dan sulit tugas yang dihadapi individu, akan semakin menilai rendah kemampuannya, sebaliknya jika individu dihadapkan pada tugas yang sederhana dan mudah individu akan menilai tinggi kemampuan mereka.

b. Insentif eksternal atau reward, insentif atau reward yang diberikan oleh orang lain dalam menguasai atau melaksanakan tugas tertentu.

(55)

d. Informasi tentang kemampuan diri, self efficacy individu akan meningkat jika mendapatkan informasi yang positif tentang kemampuan yang mereka miliki.

Berdasarkan pendapat Bandura (dalam Yufita, 2006) self efficacy seseorang akan dipengaruhi oleh sifat tugas yang dihadapi semakin sulit tugas yang diterima individu akan cenderung menilai dirinya tidak mampu, insentif atau hadiah jika dalam melakukan tugas individu diberikan imbalan individu tersebut akan merasa mampu, status atau peran individu seseorang yang mempunyai status yang lebih tinggi dalam suatu kelompok cenderung lebih yakin terhadap kemampuannya dan yang mempengaruhi self efficacy terakhir adalah informasi tentang diri jika seseorang mempunyai informasi lebih mengenai dirinya maka individu tersebut akan lebih percaya terhadap kemampuannya dalam melakukan sebuah tugas.

5. DampakSelf EfficacyPada Perilaku

Keyakinan self efficacy berdampak pada perilaku dalam beberapa hal yang penting (Pajares, 2002), yaitu:

(56)

b.Self efficacy menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu, seberapa lama individu akan bertahan ketika menghadapi rintangan dan seberapa tabah dalam mengahadapi situasi yang tidak menguntungkan. c. Self efficacy mempengaruhi tingkat stres dan kegelisahan yang dialami

individu ketika sedang melaksanakan tugas dan mempengaruhi tingkat pencapaian prestasi individu.

C. Regulasi Emosi 1. Pengertian Emosi

Planalp (1999, dalam Astiningrum & Johana, 2008) mendefinisikan emosi sebagai proses yang terjadi karena beberapa komponen bekerja bersama untuk menghasilkan emosi. Komponen tersebut diantaranya adalah objek atau penyebab, penilaian, perubahan fisiologis, kecenderungan perilaku atau ekspresi, dan pengaturan atau regulasi. Berdasarkan pandangan ini, maka emosi dapat terjadi karena adanya suatu penilaian terhadap suatu kejadian yang kemudian penilaian tersebut mempengaruhi keadaan fisiologis, sehingga menghasilkan perilaku tertentu, dan adanya usaha untuk mengelola perilaku tersebut.

(57)

aspek-aspek intensif dari emosinya agar dapat mengungkapkan perasaannya dengan cara yang sehat (Daud & Asniar, 2005).

Menurut Huffman dalam (Semiun, 2006) emosi mengandung tiga komponen dasar, yakni:

a. Komponen kognitif meliputi pikiran, kepercayaan, dan harapan yang menentukan tipe dan intensitas dari respons emosional

b. Komponen fisologis yang melibatkan perubahan-perubahan fisik pada tubuh. Missalnya apabila tubuh secara emosional terangsang oleh ketakutan atau kemarahan, maka detak jantung semakin cepat, biji mata membelalak, pernapasan semakin cepat.

c. Komponen tingkah laku, bermacam-macam bentuk ekspresi emosi. Ekspresi-ekspresi wajah, sikap-sikap, gerak isyarat tubuh dan nada suara berbeda-beda antara marah, gembira, sedih dan emosi-emosi lainnya.

Emosi-emosi kita harus ada dalam jumlah yang benar, yang proporsional dengan peristiwa yang ditimbulkan, emosi-emosi itu harus diekspresikan pada waktu yang benar, dalam suatu cara yang sesuai dengan pemicu emosional dan lingkungan dimana hal itu terjadi dan emosi juga harus diekspresikan dengan cara yang benar dalam suatu cara yang tidak menimbulkan kerugian (Ekman, 2003). Apabila emosi dikendalikan dengan tepat dan dengan cara yang dianggap baik oleh masyarakat, maka emosi bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia (Semiun, 2006).

(58)

kemudian penilaian terhadap objek, terjadi perubahan fisiologis, pengaturan atau regulasi kemudian muncullah reaksi emosi.

2. Pengertian Regulasi Emosi

Thompson (1994, dalam Putnam, 2005) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai suatu tujuan. Thompson (1990, dalam Strongman, 2003) regulasi emosi dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan menggambarkan, mempertimbangkan dan fokus individu dalam menganalisis tekanan emosi. Proses lebih lanjut difasilitasi oleh perkembangan mengontrol emosi negatif.

(59)

negatif dan emosi positif, dengan menggunakan proses-proses kognitif seperti rasionalisasi, penilaian kembali (reappraisal) dan penekanan (suppression).

Sedangkan Eisenberg (2000) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses permulaan, pemeliharaan, modulating, intensitas atau lamanya perasaan dan proses emosi yang berhubungan dengan fisiologis, hal-hal tersebut berperan dalam mencapai suatu tujuan. Eisenberg (2000) regulasi emosi adalah mencapai sesuatu melalui usaha mengatur perhatian meliputi mengubah gangguan dan memfokuskan perhatian dan menyadari situasi yang mengarah ke emosi dengan membangun pemikiran positif dengan baik melalui proses neuropsikologis. Menurut Campos (2004, dalam Putnam, 2005) mendefinisikan regulasi emosi sebagai modifikasi beberapa proses yang membangkitkan emosi atau proses menifestasi emosi dalam perilaku.

(60)

Regulasi emosi adalah melatih emosi dengan cara mengubah ekspresi dan penyaluran emosi melalui saluran-saluran yang berguna dan dianggap baik. Cara regulasi emosi, antara lain mempelajari arti dan menggunakan secara efektif keadaan santai baik mental maupun fisik, berusaha memperoleh ketrampilan-ketrampilan dan kecakapan supaya bisa mendapat kepercayaan diri menangguhkan dan meninjau kembali respon emosi sampai muncul kesempatan yang lebih cocok, memperoleh penilaian diri yang lebih realistik tentang kemampuan-kemampuan dan kelamahan-kelemahan supaya dapat menghadapi kenyataan (Semiun, 2006).

(61)

Berdasarkan Thompson (1994, dalam Putnam, 2005) dan Hurlock (1978) regulasi emosi adalah proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif, dan dapat diterima secara sosial untuk menyelesaikan suatu tujuan.

3. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Indikator regulasi emosi menurut Thompson (1994, dalam Putnam, 2005) adalah sebagai berikut:

a. Memonitor (emotions monitoring) yaitu individu menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya (Thompson, 1994 dalam Safaria, 2007). Individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul (Thompson, 1994 dalam Safaria, 2007). Proses perhatian yaitu mengatur informasi yang membangkitkan emosi dengan memindahkan fokus perhatian (Thompson,1994; dalam Putnam, 2005).

(62)

seperti tempat dan situasi yang biasa ditemui. (Thompson,1994, dalam Putnam, 2005).

c. Memodifikasi (emotions modifications) yaitu individu merubah emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah (Thompson, 1994 dalam Safaria, 2007). Memodifikasi meliputi pemilihan respon yang adaptif yaitu pemilihan ekspresi emosi dengan cara yang sesuai dengan tujuan dan situasi. (Thompson,1994, dalam Putnam, 2005).

Hurlock (1978) regulasi emosi merupakan pengarahan energi emosi ke saluran saluran yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Ketika seseorang mengendalikan ekspresi emosi mereka, mereka juga berusaha untuk merubah energi tersebut dengan mempersiapkan perilaku yang berguna dan bentuk perilaku yang dapat diterima secara sosial.

(63)

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Menurut Fox & Calkin (2003, dalam Daud, & Asniar, 2005) pengendalian dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, antara lain:

a. Temperamen

Dari beberapa penelitian longitudinal ditemukan bahwa temperamen pada masa bayi memegang peranan dalam perkembangan pengendalian emosi. b. Perhatian atauattension

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa anak memiliki kemampuan atensi yang baik memiliki fisiologis yang baik yang kemudian berpengaruh pada temperamen dan kemampuan anak dalam mengelola emosinya.

Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap pengendalian emosi antara lain:

a. Caregivers

(64)

b. Saudara dan teman sebaya

Saudara dan teman sebaya memiliki peran sebagai pendukung dan model bagi ekspresi emosi anak. Individu belajar mengekspresikan emosi dengan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, kemudian individu tersebut akan bereaksi dengan ekspresi yang sama dengan orang yang diamatinya.

c. Lingkungan

Lingkungan sosial seperti sekolah dan media masa berperan dalam mensosialisasikan cara ekspresi yang dapat diterima oleh masyarakat.

Regulasi emosi dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, faktor intrinsik meliputi temperamen dan perhatian. Faktor ekstrinsik meliputicaregivers khususnya ibu, identifikasi orang yang dekat secara emosional, meniru saudara atau teman sebaya dan lingkungan individu tinggal

.

5. Fungsi dan Proses Regulasi Emosi

(65)

Menurut Thompson (1994, dalam Putnam, 2005) proses regulasi emosi penting untuk memperoleh emosi yang adaptif dan perilaku yang terorganisir. Thompson memandang regulasi emosi merupakan fungsi yang utama karena peran efektif regulasi emosi antara lain menanggapi emosi secara fleksibel, merespon sesuai dengan situasi, menaikkan penampilan dan merubah secara cepat dan efektif respon emosi untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. Campos (2004, dalam Putnam, 2005) tujuan implisit dari regulasi emosi adalah untuk memepertinggi emosi positif seperti kebahagiaan dan kegembiraan dan mengurangi emosi negatif seperti marah dan sedih.

Proses model regulasi emosi menurut Gross (1998) adalah sebagai berikut:

Situasi Aspek Pengartian Respon

A1 Pengalaman

S1 S1x A2 m1 Tendens +

S2y A3 m2 Respon Perilaku

S2 S3z A4 m3 Emosi

-A5 Fisiologis

Regulasi Awal Regulasi Akhir

Antecedent-Focused Response-Focused Emotion Regulation Emotion Regulation

Gambar 1.

Proses Model Regulasi Emosi

(66)

Gambar di atas menunjukkan lima strategi regulasi emosi, yaitu pemilihan situasi, modifikasi situasi, penyebaran perhatian, perubahan kognitif, dan modulasi respon. Pemilihan situasi adalah memilih situasi yang cenderung akan dilakukan (dalam gambar terlihat situasi S1dipilih daripada S2). Situasi yang telah dipilih perlu disesuaikan dengan memodifikasi dampak emosionalnya (S1x, S2y, S3z). Situasi mempunyai aspek yang berbeda dan penyebaran perhatian digunakan untuk memlih aspek mana yang akan diperhatikan lebih fokus. Setelah memusatkan perhatian pada satu aspek situasi, perubahan kognitif mengarah pada pemilihan dari banyaknya kemungkinan pengartian (m1, m2, m3) yang akan didekati. Akhirnya modulasi respon menunjuk pada pengaruh tendensi respon yang telah dipilih, yang pada gambar tersebut ditunjukkan dengan pengurangan pengungkapan perilaku.

Proses regulasi emosi menurut Gross (1998; dalam Putnam, 2005): 1.Antecedent focused,

Menurut Gross (1998, dalam Richard & Gross, 2000) dalam situasi yang menekan, antecendent-focused mengambil peranan menafsirkan situasi yang menekan dengan cara menurunkan emosi, proses tersebut disebut dengan penilaian kembali atau reappraisal. Tahap-tahap dalam antecendent focused antara lain:

a. Pemilihan situasi, yaitu mendekati atau menjauhi beberapa orang, tempat, atau objek sebagai usaha untuk mengatur emosi.

(67)

c. Penyebaran perhatian, yaitu bagaimana individu menunjukan perhatian mereka terhadap situasi yang mempengaruhi emosi mereka. Merubah fokus perhatian dengan strategi:

1). Distractionatau selingan, yaitu fokus perhatian pada situasi yang tidak emosional.

2). Consentration, yaitu fokus perhatian pada alternatif aktivitas yang tidak emosionil.

3). Rumination atau perenungan, yaitu fokus perhatian langsung pada perasaan dan konsekuensinya.

d. Perubahan kognisi, yaitu merubah bagaimana kita menilai situasi, mengubah situasi yang emosional dengan cara mengubah bagaimana kita berpikir tentang situasi atau kemampuan kita untuk mengatur tuntutan emosi. Memodifikasi nilai-nilai kognisi dari stimulus emotional dengan cara:

1). Menilai kemampuan yaitu menilai kemampuan untuk mengatur situasi yang dirasakan.

2). Pertahanan psikologi yaitu penolakan, isolasi, dan intelektualisasi.

3). Interpretasi positif yaitu menginterpretasikan kejadian secara lebih positif. 4). Downward social comparison yaitu membandingkan satu situasi dengan

situasi lain yang tidak menguntungkan.

(68)

6). Reappraisal yaitu merubah situasi secara kognitif sebagai usaha untuk mengurangi pengaruh emosional.

2.Response Focused

Dalam proses timbulnya emosi Respponse-focused relatif belakangan, ketika reaksi emosi hampir siap untuk diaktifkan, kemudian individu mengatur emosi dengan mengurangi atau menambah (Ekman & Friesen, 1969, dalam Gross & Munoz, 1995). Response focused mempengaruhi secara langsung respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku dengan cara:

1). Zat-zat kimia yaitu menggunakan obat-obatan, makanan, atau zat lain untuk mengenai sasaran psikologi dan pengalaman.

2). Kegiatan yaitu menggunakan latihan atau relaksasi untuk mengurangi aspek psikologi dan pengalaman emosi negatif.

3). Mengatur ekspresi emosional yaitu menggunakan kebiasaan menyatakan perasaan untuk meningkatkan atau menurunkan pengalaman emosional.

4). Self-harm yaitu melukai diri untuk mengurangi aspek psikologi dan pengalaman emosi negatif.

(69)

D. HubunganSelf Efficacydengan Kenakalan Remaja

Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan ketegangan akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, dalam keadaan yang sulit menghadapi berbagai perubahan diri, perubahan fisik, perubahan minat dan peran, mereka juga dihadapkan dengan berbagai tuntutan dari dalam diri dan lingkungan. Keadaan yang penuh dengan tuntutan merupakan kondisi yang sulit bagi remaja, sehingga remaja diharapkan mampu menghadapi kondisi sulit tersebut. Keberhasilan remaja mengatasi kondisi sulit yang dialaminya, memungkinkan mereka akan cenderung berperilaku adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

Remaja untuk mampu mengatasi dan menghadapi berbagai kesulitan dalam menghadapi perubahan dan tuntutan dari dalam diri ataupun lingkungan, remaja memerlukan kepercayaan terhadap kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Kepercayaan individu terhadap kemampuan-kemampuan yang dimiliki untuk menjalankan kegiatan sehingga mencapai keberhasilan menurut Bandura (1997) disebut dengan self efficacy. Individu dengan self efficacy yang tinggi memandang tugas sebagai suatu tantangan untuk menjadi individu yang lebih baik, sedangkan mereka yang memiliki self efficacy rendah jika berhadapan dengan tugas yang sulit akan cenderung untuk bersikap menghindar (Bandura, 1994).

(70)

menghadapi konflik akibat berbagai tuntutan dari dalam diri dan lingkungannya serta perubahan-perubahan yang mereka alami selama masa remaja. Remaja dengan self efficacy tinggi akan lebih besar usahanya untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam dirinya dan lebih tangguh dalam menghadapi konflik yang sedang mereka hadapi, sehingga remaja dapat terhindar dari kenakalan remaja.

E. Hubungan Regulasi Emosi dengan Kenakalan remaja

Salah satu faktor internal penyebab kenakalan remaja menurut Kartono (1992) adalah kondisi emosi remaja yang kontroversial, dimana kondisi emosi yang meninggi merupakan akibat dari perubahan fisik dan psikologis remaja, dalam kondisi emosi demikian remaja membutuhkan kemampuan regulasi emosi, sehingga remaja mampu bereaksi secara sehat dan adaptif serta terhindar dari kenakalan remaja, jika tidak memiliki kemampuan regulasi emosi remaja akan bereaksi sebaliknya yaitu secara maladjusment dan terlibat dalam kenakalan remaja.

Gambar

Gambar 1.Proses Model Regulasi Emosi
Gambar 2.Kerangka Pemikiran
Tabel 1.
Tabel 2.Skala kenakalan Remaja sebelum diuji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang positif antara kelekatan remaja awal dengan ibu dan kecerdasan emosi.. Remaja awal yang memiliki kelekatan yang tinggi

Variabel citra dengan indikator nilai diwakili oleh empat item pertanyaan antara lain, Bank Syariah yang menerapkan program CSR mempunyai banyak nilai lebih dari

Setelah penelitian ini dilakukan, diharapkan akan memberikan manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah memberikan masukan dan informasi terhadap praktisi perbankan

Meskipun sama-sama membahas tentang tindakan tembak mati terhadap terduga teroris, namun dalam hal ini peneliti lebih berfokus kepada tindakan tembak mati

Dengan model pembelajaran time token, diharapkan dapat membantu siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal dan mengembangkan keaktivan siswa dalam berpartisipasi

Staf Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, khususnya mbak Lusi yang telah banyak membantu dalam proses administrasi selama penulis belajar di Fakultas

D an untuk lebih sistematisnya, maka penulis merumuskan sikap pendidikan Islam dalam masyarakat plural adalah sebagai berikut:. 1)

Judul : Evaluasi Keberhasilan Program Mentoring Agama Islam Pada Forum Silaturahmi Remaja Masjid Tanjungharjo (FSMT) di Desa Tanjungharjo Nanggulan Kulon Progo.. telah