• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN A. Persiapan Penelitian

C. Analisis Data

5. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif

(MH+1,0σ)≤X 123≤X Tinggi 74 51,7 (MH-1,0σ)≤X < (MH+1,0σ) 82≤X < 123 Sedang 69 48,3 122,38 X < (MH-0,6σ) X < 82 Rendah - -Jumlah 143 100

Dari kategori skala regulasi emosi seperti terlihat pada tabel, dapat diambil kesimpulan bahwa 51,7% siswa SMP 7 Klaten memiliki regulasi emosi yang tinggi dan 48,3% siswa memiliki regulasi emosi yang sedang.

5. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif

Sumbangan Relatif (SR) dan sumbangan efektif (SE) akan memberikan informasi tentang prediktor mana yang paling besar sumbangannya terhadap terbentuknya variasi dalam satuan-satuan kriterium regesi. Perbedaan antara SR dengan SE adalah SR menunjukkan ukuran besarnya sumbangan suatu prediktor terhadap jumlah kuadrat regresi, sedangkan SE merupakan ukuran sumbangan suatu prediktor terhadap keseluruhan efektifitas garis regresi yang digunakan sebagai dasar prediksi. Hasil analisis menunjukkan:

a. Sumbangan relatif (SR) self efficacy terhadap kenakalan remaja sebesar 28,22 % dan sumbangan relatif (SR) regulasi emosi terhadap kenakalan

remaja sebesar 71, 78 %. Hasil tersebut menunjukkan besarnya sumbangan masing-masing prediktor terhadap kuadrat regresi.

b. Sumbangan efektif (SE) self efficacy terhadap kenakalan remaja sebesar 2,78 % dan sumbangan efektif (SE) regulasi emosi terhadap kenakalan remaja sebesar 7, 08 %. Total sumbangan efektif self efficacy dan regulasi emosi terhadap kenakalan remaja sebesar 9,96 % yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) yaitu dengan nilai 0,099.

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukan hipotesis yang menyatakan adanya hubungan self efficacy dan regulasi emosi secara bersama-sama memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kenakalan remaja, diterima. Hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda diperoleh p-value 0,001 yang < dari 0,05 dan F hitung sebesar 7,664 nilai F tersebut > dari F tabel sebesar 3,06. Hasil tersebut berarti self efficacy dan regulasi emosi dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kenakalan remaja pada siswa SMP 7 Kleten, semakin tinggi self efficacy dan regulasi emosi yang dimiliki siswa, maka semakin rendah kenakalan remaja. Sebaliknya semakin rendah self efficacydan regulasi emosi siswa maka semakin tinggi kenakalan remaja.

Berdasarkan uji hipotesis diketahui bahwa hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara self efficacy dengan kenakalan remaja, diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rx1y sebesar –0,249 dengan p-value0,003 dimana p-valuae < 0,05. Nilai tersebut menunjukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara self efficacy dengan kenakalan remaja. Semakin tinggi self

efficacy maka semakin rendah kenakalan remaja, begitu juga sebaliknya semakin rendahself efficacymaka semakin tinggi kenakalan remaja.

Hubungan antara self efficacy dengan kenakalan remaja hasil penelitian di atas sejalan dengan pernyataan Bandura (1997) yang menyatakan self efficacy tinggi dapat menghindarkan remaja dari perilaku yang beresiko seperti minum-minuman beralkohol, merokok, dan perilaku seks bebas. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik serta perubahan psikologis yang sangat pesat, hal ini mengarahkan remaja akan tuntutan dalam diri maupun dari lingkungan secara berbeda, sehingga menempatkan remaja dalam kondisi yang sulit (Hurlock,1980). Pada situasi ini remaja memerlukan self efficacy yang memungkinkan remaja mampu untuk menghadapi kondisi yang sulit ini sehingga remaja mampu berperilaku lebih adaptif dan tidak terjerumus dalam kenakalan remaja.

Menurut Pajares (2002) dengan self efficacy yang tinggi akan mempengaruhi seberapa besar usaha yang dilakukan remaja dalam menghadapi kondisi yang sulit ini. Remaja dengan self efficacy tinggi akan lebih besar usahanya untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam dirinya dan lebih tangguh dalam menghadapi konflik yang sedang mereka hadapi, sehingga remaja dapat terhindar dari kenakalan remaja. Menurut Kartono (1992) kenakalan remaja dapat disebabkan oleh motivasi remaja yang rendah dalam mengontrol perilaku yang sesuai dengan lingkungan sosialnya. Remaja yang mempunyai self efficacy tinggi mampu untuk berusaha memotivasi diri menghadapi perubahan yang terjadi baik dalam diri maupun tuntutan dari lingkungan, sehingga remaja

tersebut mampu berperilaku yang sesuai dengan lingkungan, dapat diterima oleh lingkungan sosialnya dan tidak terlibat dalam kenakalan.

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa skor self efficacy remaja berada pada kategori sedang dengan prosentase 71,3 % , 66 ≤ X ≤ 99 dengan rerata empirik 92,42 dan rerata hipotetik 82,5. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwaself efficacy siswa pada SMP N 7 Klaten termasuk dalam kategori sedang. Self efficacy mampu membuat individu tersebut menguasai situasi sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang positif (Santrock, 2003). Self efficacy yang tinggi pada remaja membuat mereka mampu mengatasi keadaan sulit yang sedang dihadapi sehingga menghasilkan sesatu yang positif dan dapat diterima oleh lingkungan sekitar, dengan hal tersebut remaja mampu terhindar dari kenakalan. Upaya peningkatan self efficacy dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang mempengaruhinya, menurut Bandura (dalam Yufita, 1997) hal-hal yang mempengaruhi self efficacy antara lain dengan memberikan reward kepada remaja karena penguasaan tugas, memberikan informasi diri yang positif tentang kemampuan yang mereka miliki dan peran remaja dalam kelompoknya.

Hipotesis terakhir yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara regulasi emosi dengan kenakalan remaja diterima, hal tersebut dapat dilihat dari nilai rx2y sebesar -0,301 denganp-value 0,000 dimanap-value< dari 0,05. Nilai tersebut mempunyai arti semakin tinggi regulasi emosi maka semakin rendah kenakalan remaja, begitu juga sebaliknya semakin rendah regulasi emosi maka kenakalan remaja semakin tinggi.

Seperti yang dijelaskan oleh Hurlock (1980) bahwa secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode ”badai dan tekanan”, suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Keadaan yang demikian, ditambah dengan tekanan sosial, perubahan minat, peran dan kondisi baru membuat ketegangan emosi pada remaja semakin bertambah tinggi (Hurlock, 1980). Ketegangan emosi tinggi yang dialami oleh remaja menyebabkan dorongan emosi sangat kuat dan tidak terkendali yang membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional (Ekowarni dalam Sari, 2005). Keadaan tersebut membuat remaja mudah untuk terjerumus dalam kenakalan remaja.

Keadaan emosi yang tegang tersebut memerlukan kemampuan remaja untuk memahami dan mengerti emosi yang sedang dirasakan, mengevaluasi emosi tersebut dan memilih reaksi emosi yang adaptif sehingga dapat diterima oleh lingkungannya. Keberhasilan remaja untuk mengatur, mengelola emosi sehingga dapat memunculkan reaksi yang adaptif merupakan fungsi kerja regulasi emosi yang memadai. Regulasi emosi yang berfungsi baik akan menghasilkan emosi yang adaptif dan perilaku yang terorganisir (Thompson, 1994 dalam Putnam, 2005).

Menurut Strongman (2003) individu yang memiliki regulasi emosi yang rendah pada umumnya berhubungan dengan perilaku yang tidak terkontrol, perilaku yang tidak konstruktif, agresi yang tinggi dan perilaku prososial yang rendah, begitu juga sebaliknya individu yang memiliki regulasi emosi yang tinggi berhubungan dengan perilaku yang terkontrol, perilaku yang konstruktif dan

perilaku prososial yang tinggi. Sehingga regulasi emosi diperlukan remaja untuk menghasilkan emosi yang adapatif, perilaku konstruktif dan terorganisir sehingga mereka tidak terlibat dalam kenakalan remaja.

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa skor regulasi emosi remaja berada pada kategori tinggi 51,7% dengan X ≥123 dengan rerata empirik 122,38 dan rerata hipotetik 102,5. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi siswa SMP 7 Klaten termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Fox & Calkin (2003, dalam Daud, & Asniar, 2005) egulasi emosi seseorang dapat dipengaruhi antara lain oleh caregivers (khususnya ibu) individu akan belajar mengekspresikan emosi melalui identifikasi terhadap orang terdekat dan lingkungan termasuk didalamnya teman sebaya yang berperan dalam mensosialisasikan cara mengekspresikan emosi.

Skor kenakalan remaja pada sisiwa SMP 7 Klaten adalah rendah berada pada kategori rendah (88,8%) dengan X < 84 dengan mean empirik 63,35 dan mean hipotetik 105. Menurut Kartono (1992) kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian remaja yang ambivalen, motivasi diri yang rendah, pengembangan sikap yang salah, kurang mampu menerima kenyataan, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kegagalan remaja mencapai integritas mengenai identitas mereka dan kegagalan dalam melakukan kontrol diri. Faktor eksternal meliputi keluarga yang kurang kondusif bagi perkembangan remaja, lingkungan sekolah yang buruk dan lingkungan masyarakat kurang kondusif.

Sumbangan relatif regulasi emosi terhadap kenakalan remaja dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan self efficacy, hal tersebut bisa disebabkan karena pada masa remaja mengalami ketegangan emosi. Keadaan tersebut ditambah dengan perubahan-perubahan yang dialami remaja serta tuntutan dari dalam diri dan lingkungan, menyebabkan ketegangan emosi semakin meninggi. Akibat dari kondisi tersebut remaja mudah meledakkan emosi, bertindak secara tidak rasional dan terjerumus dalam kenakalan remaja (Hurlock, 1980). Mengatasi kondisi tersebut remaja memerlukan regulasi emosi agar mampu mengelola dan mengekspresikan emosi agar diterima oleh masyarakat. Apabila kondisi ketegangan emosi mampu diatasi maka remaja akan merasa nyaman dengan kondisinya sehingga mampu untuk bertindak rasional dan terhindar dari kenakalan remaja.

Berdasarkan dari nilai koefisien determinasi (R2) diketahui besarnya sumbangan efektif kedua variabel bebas (self efficacy dan regulasi emosi) terhadap variabel tergantung (kenakalan remaja) sebesar 9,9%, artinya sebesar 9,9% kenakalan remaja dapat dijelaskan oleh variabel self efficacy dan regulasi emosi sedangkan sisanya sebesar 80,1% dipengaruhi oleh beberapa variabel lainnya, antara lain pengaruh teman sebaya, pengaruh media masa, konsep diri, kualitas komunikasi orang tua dengan anak, keharmonisan keluarga dan penyesuaian diri. Sumbangan effektif self efficacy dan regulasi emosi terhadap kenakalan remaja yang terlalu kecil bisa disebabkan karena beberapa kelemahan dalam penelitian ini, diantaranya teknik pengambilan data karena variabel kenakalan merupakan hal yang sensitif maka diperlukan strategi khusus agar data

yang didapatkan merupakan jawaban sesungguhnya sesuai kondisi subjek dan kelemahan lainnya terkait jumlah aitem dalam skala yang terlalu banyak sehingga subjek merasa kesulitan dalam memberikan jawaban.

Mengingat penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, maka bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengatasi kelemahan tersebut dan memperhatikan variabel-variabel lain yang terkait dengan kenakalan remaja seperti pengaruh teman sebaya, locus of control, konsep diri, kualitas komunikasi orang tua dengan anak, keharmonisan keluarga dan penyesuaian diri. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menemukan hasil yang lebih baik dengan perubahan dan penyempurnaan dalam penyusunan alat ukur, prosedur pengambilan data, serta menambahkan ruang lingkup penelitian menjadi lebih luas.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait