• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Risiko Konstipasi

KAJIAN PUSTAKA

2.1.7 Faktor-Faktor Risiko Konstipasi

Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat membantu untuk mencegah konstipasi. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konstipasi pada anak telah diteliti yaitu ketidakcukupan asupan serat dan cairan harian, riwayat penyakit kronis, riwayat keluarga konstipasi, psikologis, alergi susu sapi dan riwayat asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang berhubungan kolon dan rektum seperti irritable bowel syndrome, hirschsprung

disease, dan fisura ani (Borowizt dkk., 2003).

2.1.7.1 Asupan serat harian

Asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi pada anak. Asupan serat harus ditingkatkan secara bertahap di masa kanak-kanak, karena diet serat penting bagi kesehatan anak terutama dalam hal menormalkan BAB. Penelitian yang dilakukan oleh Ip dkk. (2005) menunjukkan bahwa gejala konstipasi pada anak sangat berkaitan dengan asupan serat makanan yang rendah. Penelitian serupa dilakukan oleh Lee dkk. (2008) yang menyatakan bahwa asupan

31

serat yang rendah berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak sekolah taman kanak-kanak di Hongkong. Penelitian di Hong Kong dan Maldives (India) menunjukkan bahwa konsumsi serat pada anak lebih rendah dari nilai yang dianjurkan (Lee dkk., 2008).

Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dalam tubuh. Berdasarkan analisis kimia, serat dalam makanan digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah selulosa yang merupakan polisakarida. Selulosa adalah serat yang paling banyak dijumpai pada sayuran dan buah-buahan. Kelompok kedua adalah pektin, gum dan mucilago, yang merupakan polisakarida non-selulosa. Pektin mempunyai sifat membentuk gel jika bergabung dengan air. Gum pada tanaman biasanya diproduksi saat kulit tanaman tergores, dan ditemukan juga dalam biji-bijian, seperti buncis, kacang polong dan kapri (Gremse dkk., 2002).

Berdasarkan sifat larutan, serat dibedakan menjadi dua golongan yaitu serat yang larut dalam air, seperti pektin, gum, mucilago, dan serat yang tidak larut dalam air seperti selulosa, hemi-selulosa dan lignin (Pashankar dkk., 2003). Serat makanan bersifat hidrofilik atau pembentuk masa. Kemampuan serat makanan sebagai laksansia tergantung dari kemampuannnya menghindari pencernaan dan absorpsi di usus halus dan menghindari metabolisme bakteri di kolon. Peningkatan volume di usus yang berkaitan dengan bahan padat dan air diduga menstimulasi motilitas dan peningkatan transit isi usus melalui kolon, sehingga meningkatkan feses yang dikeluarkan. Konsistensi feses juga dipengaruhi oleh serat makanan sehingga mempermudah defekasi. Efektivitas

32

serat makanan sebagai bahan pembentuk masa tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh proses fermentasi bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan efek laksatif (Pijpers dkk., 2010).

Pada anak asupan serat makanan harian yang direkomendasikan oleh

American Academy of Pediatrics Committee On Nutrition adalah 0,5 gram/kilogram berat badan sampai dengan 35 gram per hari. Kebutuhan serat berdasarkan rekomendasi tersebut terlalu besar bagi anak usia muda sehingga diperbaharui kembali berdasarkan usia, namun beberapa penelitian menyatakan saat ini asupan serat makanan pada anak di negara maju dan berkembang tidak sesuai dengan rekomendasi, sedangkan menurut American Health Foundation untuk anak di atas usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan maksimal usia + 10 g/hari (Lee dkk., 2008).

Diet serat harus dilakukan bertahap yaitu dengan mulai menambah satu atau lebih jenis makanan tiap harinya. Jenis makanan yang dapat diberikan berupa buah segar yang tinggi serat (seperti apel, blueberry, pisang, kurma, pir, jeruk), sayuran segar atau telah diproses (seperti brokoli, tauge, wortel, jagung, kacang polong dan kentang dengan kulitnya, atau salad dalam jumlah banyak. Setiap sediaan buah segar memberikan serat sebanyak 2-3 gram dan sayuran memberikan serat 2-2,5 gram. Diet serat akan menyebabkan retensi air dalam kolon yang mengakibatkan masa feses bertambah dan lebih lunak sehingga asupan air juga ditingkatkan (Van Der Plas dkk., 2000).

33 2.1.7.2 Asupan cairan harian

Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah lunak diperkirakan 6-8 gelas per hari (Tabel 2.2). Jumlah cairan yang dikonsumsi mempengaruhi konsistensi tinja. Penambahan cairan pada kolon dan masa tinja membuat pergerakan usus menjadi lebih lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini penderita yang mengalami konstipasi sebaiknya mengkonsumsi banyak cairan setiap hari yaitu sekitar tujuh gelas setiap hari. (Lee dkk., 2008).

Tabel 2.2 Jumlah cairan minimal yang dianjurkan

Usia Jumlah cairan Usia Jumlah cairan

6-12 bulan 800cc/hari 9-13 tahun L: 2400 cc/hari

P : 2100 cc/hari

>1-3 tahun 1300 cc/hari 14-18 tahun L: 3300 cc/hari

P : 2300 cc/hari

4-8 tahun 1700 cc/hari

(Sumber: Lee dkk., 2008) 2.1.7.3Riwayat keluarga dengan konstipasi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa riwayat konstipasi pada keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini selain karena faktor genetik, perilaku orang tua mengajarkan toilet training merupakan hal penting. Toilet training dapat terabaikan atau bahkan orangtua terlalu berlebihan mengajarkan pada anak sehingga terdapat sikap menolak dari anak ketika diajak defekasi (Ip dkk., 2005; Rajindrajith dkk., 2010).

2.1.7.4Riwayat Penyakit Kronis

Hubungan antara riwayat penyakit kronis dengan konstipasi belum diketahui secara pasti dari beberapa tinjauan pustaka. Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan hubungan riwayat penyakit kronis seperti tuberkulosis dan

34

penyakit neurologis (cerebral palsy, epilepsi). Penelitian lainnya didapatkan anak dengan penyakit kronis seperti asma dan neoplasma, berhubungan dengan konstipasi (Devanarayana dkk., 2010; Van Dijk dkk., 2007).

2.1.7.5Psikologis

Penelitian Inan dkk. (2007) didapatkan bahwa trauma fisik dan psikologis berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak usia sekolah. Penelitian di Sri Lanka yang mengambil sampel pada anak sekolah usia 10-16 tahun didapatkan bahwa stres yang berhubungan dengan sekolah seperti kegagalan ujian, orangtua kehilangan pekerjaan dan hukuman yang sering oleh orang tua merupakan faktor risiko yang menyebabkan konstipasi (Devanarayana dan Rajindrajith, 2011; Van Der Plas dkk., 2000; Voskuilj dkk., 2004).

2.1.7.6Riwayat alergi susu sapi dan pemberian susu formula berlebihan

Beberapa penelitian tentang alergi susu sapi menunjukan bahwa anak yang mengkonsumsi susu sapi atau susu formula pada usia pertama kehidupan memiliki konsistensi tinja yang padat dan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini disebabkan susu sapi mengandung mineral dan lemak yang lebih banyak dan lebih sedikit mengandung karbohidrat, serta mengandung asam palmitat pada posisi Sn1 dan Sn3 sehingga asam palmitat membutuhkan hidrolisis oleh lipase pankreas. Proses hidrolisis ini menghasilkan asam palmitat bebas yang akan bereaksi dengan kalsium sehingga membentuk calcium fatty acid soaps yang sulit diserap. Pembentukan calsium soaps ini berhubungan bermakna dengan tingkat kepadatan feses sehingga anak yang mengkonsumsi susu formula

35

memiliki tinja yang lebih padat dan dapat menimbulkan konstipasi (Iacono dkk., 2005; Daher dkk., 2001).

Dokumen terkait