• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.1 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah anak sekolah taman kanak-kanak berusia 4 sampai 6 tahun merupakan kelompok usia rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Salah satu masalah yang sering dihadapi anak sekolah taman kanak-kanak yaitu pola pergeseran pola makan yang cenderung mengkonsumsi makanan rendah serat dan kurangnya asupan cairan yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti konstipasi. Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan adanya konstipasi, yaitu frekuensi buang air besar, konsistensi tinja, dan temuan pada pemeriksaan fisis. Pada anak berusia sama atau lebih dari 4 tahun adanya konstipasi ditentukan berdasarkan ditemukan minimal salah satu gejala klinis berikut (1) frekuensi buang air besar kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa menggunakan laksatif, (2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu, dan (3) teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan fisik.

Seluruh responden yang berjumlah 316 anak, sebagian besar subjek termasuk dalam frekuensi BAB lebih dari 2 kali/minggu (84.9%). Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebagian besar frekuensi BAB anak sekolah taman kanak-kanak normal, subjek yang mengalami konstipasi yaitu frekuensi BAB kurang atau sama dengan 2 kali/minggu ditemukan sebanyak 48(15,1%).

59

Konstipasi pada anak normal atau populasi normal bervariasi dari negara ke negara. Penelitian di Indonesia didapatkan sebanyak 4,4%. Di Amerika berkisar 3-15%, sedangkan di Eropa berkisar 3%. Pada negara yang sedang berkembang prevalensi konstipasi ini lebih kecil dan berkisar 2% dari populasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya didapatkan prevalensi konstipasi pada anak usia 2-14 tahun sebanyak 15% oleh Benninga dkk. (2004). Penelitian lain yang dilakukan menunjukkan prevalensi yang berbeda, salah satunya penelitian pada anak taman kanak-kanak di wilayah Senin, Jakarta sebesar 4,4% (Firmasyah, 2007) menunjukkan prevalensi lebih rendah dibanding penelitian ini, namun penelitian pada anak sekolah taman kanak-kanak di Hongkong sebesar 29% (Ip dkk., 2005). Penelitian di Italia didapatkan prevalensi sebesar 17,6% (Iacono dkk., 2005). Penelitian tersebut memiliki prevalensi konstipasi yang lebih tinggi dibanding penelitian ini karena populasi sampel dalam penelitian tersebut mencakup 516 subjek lebih banyak dibandingkan penelitian ini sehingga kemungkinan ditemukan kejadian konstipasi yang lebih kecil pada penelitian ini. Perbedaan prevalensi ini mungkin disebabkan karena penyebab konstipasi sendiri sangat beragam sehingga pengaruh keadaan negara serta kebiasaan penduduknya akan memberikan perbedaan dalam kejadian konstipasi.

Karekteristik subjek penelitian didapatkan kejadian konstipasi lebih tinggi pada usia 5 tahun. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya pada anak usia 2 sampai 14 tahun didapatkan prevalensi konstipasi tertinggi pada anak usia 5 tahun (Devanarayan dkk., 2010; Borowitz dkk., 2003; Urugalp dkk., 2003) dan

60

penelitan lainya didapatkan prevalensi tertinggi sebanyak 35,4% pada anak usia 5 sampai 6 tahun. (Bu dkk., 2007; Ludvigson, 2006; Van Den Berg, 2007 ). Hasil ini menunjukkan bahwa pada usia anak prasekolah sering terjadi konstipasi. 6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konstipasi pada Anak 6.2.1 Hubungan riwayat keluarga konstipasi dengan konstipasi

Pola pengasuhan orang tua yang kurang tepat diketahui dapat mengganggu kesehatan anak. Penelitian Van Djik dkk. (2010) didapatkan bahwa cara dan sikap orang tua dalam mendidik merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap anak yang mengalami masalah kesulitan buang air besar atau konstipasi. Sikap orang tua serta hubungan orang tua dan anak telah diakui sebagai pemicu utama keseluruhan perkembangan perilaku, emosional dan kognitif anak.

Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan pengetahuan tentang kesehatan dalam keluarga di Indonesia sudah lebih baik bila dibandingkan dengan negara lain, Riwayat konstipasi pada keluarga yang ditemukan pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian konstipasi pada anak. Hal sesuai dengan penelitian sebelumnya dikatakan bahwa riwayat konstipasi pada keluarga sebagai salah satu risiko terjadinya konstipasi (Degen dkk., 2005; Rajindrajith dkk., 2010; Devanarayana dkk., 2011; Ritterband dkk., 2003). Pada penelitian Pashankar dkk. (2003) didapatkan bahwa prevalensi terjadinya konstipasi sebanyak 48,5% pada anak dengan riwayat ke dua orangtua mengalami konstipasi, 10,3 % jika hanya salah satu orang tua yang mengalami konstipasi dan 3,4% jika tidak ada riwayat orang tua yang mengalami konstipasi. Di samping itu kemungkinan lain yang dapat menjelaskan riwayat konstipasi pada keluarga

61

berhubungan dengan konstipasi pada penelitian kami adalah karena individu dengan riwayat konstipasi pada keluarga seringkali mengikuti pola kebiasaan makan yang terbentuk dalam keluarga seperti asupan serat dan cairan yang kurang, faktor lainnya adalah proses belajar dalam keluarga (intra familial learning), diduga kedua faktor ini saling berperan dalam mekanisme terjadinya konstipasi. Perbedaan etiologi yang belum diketahui diduga mendasari konstipasi yang diderita pasien dengan riwayat keluarga juga menderita konstipasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan konstipasi menunjukkan hubungan dengan kejadian konstipasi {RP 196,6 (IK95% 7,5 sampai 524,0)}.

6.2.2 Hubungan riwayat pemberian susu formula dengan konstipasi

Penelitian ini menunjukkan hubungan antara riwayat pemberian susu sapi dengan konstipasi {RP 9,6 (IK95% 1,5 sampai 56,2)}. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Iacono dkk. (2005) didapatkan sebanyak 44% orang tua memberikan susu formula sejak anak baru lahir dan menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian konstipasi pada anak. Hubungan antara pemberian susu formula dengan kejadian konstipasi didukung dengan adanya alergi pada saluran cerna pada penderita konstipasi. Gejala klinis konstipasi hilang pada sebagian anak setelah mendapat makan yang bebas protein susu formula dan kambuh setelah diberikan kembali, namun penelitian tersebut dilakukan pada sampel yang minimal sebanyak 25 anak dengan mekanisme dan penyebab yang belum jelas sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut (Daher dkk. (2001) dan Degen dkk. (2005).

62

6.2.3 Hubungan jumlah asupan cairan dengan konstipasi

Faktor lain yang dapat memperlancar proses defekasi selain serat adalah asupan air. Air memiliki banyak fungsi, salah satu fungsi air adalah media eliminasi sisa metabolisme. Tubuh menghasilkan berbagai sisa metabolisme yang tidak diperlukan termasuk toksin. Berbagai sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui saluran kemih, saluran nafas, kulit dan saluran cerna yang memerlukan media air (Kant dan Graubard., 2010).

Data asupan air pada anak-anak masih terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh Kant dan Graubard (2010) menggunakan data National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) tahun 2005-2010, menunjukkan bahwa rata-rata asupan air pada anak di Amerika lebih rendah daripada kebutuhan tubuhnya. Asupan rata-rata air sebesar 1,6 liter untuk perempuan dan sebesar 1,7 liter untuk laki-laki. Penelitian Loening Baucke (2004) dan Lee ddk. (2008) didapatkan bahwa rata-rata asupan cairan sehari-hari sedikitnya 1,5-2 liter per hari atau 7-8 gelas per hari diperlukan untuk menjaga dan mempertahankan konsistensi feses agar lebih lunak/lembek, pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Rasquin dkk. (2006) bahwa kecukupan asupan cairan sedikitnya 2 liter sehari diperlukan untuk mempertahankan pola usus dan mempertahankan konsistensi dari feses apabila asupan cairan kurang maka konsistensi feses akan keras.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan cairan yang tidak cukup menunjukkan kaitan dengan kejadian konstipasi {RP 6,5 (IK95% 1,02 sampai 41,5)}. Penelitian ini kurang sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarita dkk. (2014) yang menyatakan bahwa jumlah asupan cairan yang kurang

63

dengan konstipasi tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan karena jumlah asupan cairan sangat beragam sehingga pengaruh keadaan negara serta kebiasaan penduduknya akan memberikan perbedaan dalam hubungan jumlah asupan cairan dengan kejadian konstipasi pada anak.

6.2.4 Hubungan jumlah asupan serat dengan konstipasi

Asupan serat makanan anak-anak yang direkomendasikan saat ini adalah usia (tahun) ditambah lima gram (Van Dijk dkk., 2010; Van Der Plas dkk., 2000), namun beberapa penelitian menyatakan konsentrasi asupan serat makanan pada anak di negara maju dan berkembang tidak sesuai dengan rekomendasi.

Penelitian di Indonesia sebelumnya mengenai hubungan asupan serat makanan dan air dengan pola defekasi pada anak sekolah dasar didapatkan hubungan yang bermakna anatara asupan serat dengan frekuensi bab dan konsistensi feses (Ambarita dkk., 2014). Penelitian di Eropa didapatkan bahwa hanya 45% anak usia 4-6 tahun yang mengkonsumsi serat makanan yang cukup sesuai dengan kaidah perhitungan jumlah asupan serat makanan usia (tahun) ditambah 5 gram (Gremse dkk., 2002; Van den Berg dkk., 2006; Voskuijl dkk., 2005). Penelitian ini menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi yaitu diperoleh 76,3% anak usia 4-6 tahun yang mengkonsumsi serat makanan yang cukup sesuai dengan kaidah perhitungan jumlah asupan serat makanan usia (tahun) ditambah 5 gram.

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan konsentrasi asupan serat yang rendah dengan kejadian konstipasi. Penelitian Loening-Baucke (2007)

64

dan Inan dkk. (2007) didapatkan hubungan antara ketidakcukupan asupan serat makanan dengan konstipasi. Hasil penelitian sebelumnya sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa konsentrasi asupan serat makanan yang tidak cukup menunjukkan hubungan dengan kejadian konstipasi {RP 36,2 (IK95% 3,5 sampai 366,9)}. Hipotesis pada penelitian ini terbukti. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pijpers dkk. (2009) yang menyatakan bahwa ketidakcukupan konsentrasi asupan serat makanan berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian konstipasi. Hal ini membuktikan bahwa asupan serat makanan yang cukup sesuai dengan kaidah perhitungan jumlah asupan serat makanan usia (tahun) ditambah 5 gram mengurangi risiko konstipasi, tetapi peningkatan lebih lanjut dalam asupan serat tidak memiliki nilai terapeutik Kokke dkk. (2008). Dampak negatif dari konstipasi telah di laporkan Youssef dkk. (2005). Hasil penelitian menunjukkan anak yang mengalami konstipasi mengalami penurunan kualitas hidup baik dari segi fisik, emosional, sosial maupun sekolah. Perlunya mengatur pola konsumsi pangan anak dalam masyarakat sangat penting dilakukan agar tercapai tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain dengan baik sesuai dengan angka kecukupan yang dianjurkan khususnya serat dan air agar tercapai kesehatan masyarakat yang optimal khususnya menurunkan prevalensi kejadian konstipasi pada anak, namun penelitian ini kurang sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rajindrajith dkk. (2009) yang menyatakan bahwa konstipasi dengan asupan serat yang rendah tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik. Perbedaan yang timbul antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Rajindrajith

Dokumen terkait