• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Epidemiologi Hipertensi

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

WHO (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan, pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan

faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi.

a. Jenis Kelamin

Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk. (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik wilayah rural maupun urban.

Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293 mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007). Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).

Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse (Robertson, 2012).

Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan

(laki-laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-laki berusia <50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.

Hasil penelitian Peer dkk. (2013) juga menjelaskan prevalensi hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung (Peer dkk., 2013).

b. Umur

Umur sering dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini karena seiring dengan pertembahan usia, elastisitas pembuluh darah arteri semakin berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya

penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis, berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah arteri orang tua (Black dkk., 2007).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006; Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)

Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu, penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia

c. Pendidikan

Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013) membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika

Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7

tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat

terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas (Aung dkk., 2012). Hasil penelitian Aung dkk. (2012) pada masyarat desa etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang

memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.

Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H. D. J., 2009).

d. Pekerjaan

Penelitian Peer dkk. (2013), Kannan L. dan Satyamoorthy (2009) dan Yang dkk. (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan dengan yang tidak bekerja (Moreira dkk., 2013). Sedangkan di Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah., 2009).

Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku, termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.

Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).

Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Selain itu, jenis pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas

pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014).

Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).

e. Kemiskinan

WHO (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi, cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit hipertensi (Mion dkk., 2004). Hasil penelitian Mion dkk. (2004) di Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali.

Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi. Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.

Bagan 2.1

Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak Menular

Sumber: WHO, 2010

Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu, pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan.

Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk.,

2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di

Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk. (2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial ekonomi dengan hipertensi.

f. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular. Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).

Hasil systematic review Maimaris dkk. (2013) menunjukkan bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi, dimana dalam penelitian Ambaw dkk (2012) jarak >30 menit meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit (34,4-37,7%) untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu < 15 menit (60-80%) untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu, praktik dokter/klinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos

Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat

adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama > 60 menit (Kemenkes RI, 2013).

Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (BPJS, 2014). Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Namun, berdasarkan hasil penelitian Handayani (2012) pemanfaatan Posbindu oleh para lansia di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23%. Jarak, dukungan keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu (Handayani, 2012).

g. Genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).

Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri, 2011).

Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).

Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T(-344)C adalah salah satu polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan polimorfisme single nucleotide varian T(-344)C dan satu-satunya penyandi aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada

ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).

Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T) substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3% individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2 varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan etiologi hipertensi esensial.

Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami hipertensi.

Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2 (412C→T, 419delG) yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun, penelitian Rachmadi dkk. (2011) tidak menemukan adanya hubungan antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu contohnya (Carretero, 2000).

h. Stres

Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Kemenkes RI, 2006).

Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002). Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres dengan hipertensi.

Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk. (2015) dan Cui dkk. (2012) menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay, dkk., 2014). Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota Medan (Hasnida dan Kemala, 2005).

i. Obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2 (Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas

sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2

(WHO, 2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang, 2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk., 2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).

Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008). Penderita obesitas juga dapat

menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010).

j. Riwayat Diabetes

Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin. Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43 kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009).

Penelitian Basuki dan Setianto (2001) pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

k. Konsumsi Alkohol

Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006). Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk., 2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko 3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006) di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi

l. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para simpatis (Mohler dan Townsend, 2006). Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas

fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).

Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon, 2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung

selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya

waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas fisik (Kemenkes RI, 2013).

1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500

MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat adalah 8 kalori

2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015) 3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat

maupun sedang.

Hasil penelitian Peer N. (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang (<150 menit)

dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga 0,87 kali dibandingkan yang <1 hari per minggu. Sedangkan di Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Moreira dkk., 2013).

Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (P = 0,046) (Pooja dan Mittal, 2013). Hasil penelitian South dkk. (2014) di Minahasa Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan hipertensi (P = 0.000, r = 0,584). Hasil penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali. m. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya hipertensi karena rokok mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti nikotin dan karbon dioksida. Nikotin akan meningkatkan asam lemak dan mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan karbon monoksida akan membuat hemoglobin dalam darah rusak

sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006).

Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007). Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk., 2013).

Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang

Dokumen terkait