• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN

INDONESIA TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh: Dina Adlina Amu

1111101000036

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2015

(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 18 Agustus 2015

Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

xv + 159 halaman, 14 tabel, 4 bagan, 4 lampiran ABSTRAK

Latar Belakang: Prevalensi hipertensi di perkotaan Indonesia lebih besar dibandingkan di pedesaan, yaitu 26,1% versus 25,5%. Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan globalisasi berperan dalam perbedaan prevalensi hipertensi tersebut. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami hipertensi. Sedangkan, diet tradisional dan gaya hidup aktif melindungi masyarakat desa dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013. Metode: Penelitian ini adalah analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013 sehingga desain studi yang digunakan pun mengikuti Riskesdas, yaitu cross sectonal. Jumlah sampel penelitian ini adalah 616.986 masyarakat berusia ≥ 15 tahun. Hubungan antara faktor risiko dengan hipertensi ditentukan melalui nilai Prevalence Odds Ratio (POR) dan 95% confidence interval (CI). Hasil: Aktivitas fisik < 600 MET/minggu [PORkota 1,051

(1,025-1,078)] [PORdesa 1,184 (1,152-1,217)], pernah merokok [PORkota 2,133

(2,06-2,31)] [PORdesa 2,024 (1,95-2,10)], konsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari

[PORkota 0,970 (0,950-0,991)] [PORdesa 1,028 (1,008-1,048)] dan konsumsi buah

< 2 porsi/hari [PORkota 0,821 (0,771-0,847)] [PORdesa 0,883 (0,808-0,965)] adalah

faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan Indonesia. Sedangkan, konsumsi sayur < 3 porsi/hari [POR 0,952 (0,933-0,970)] hanya berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan konsumsi

makanan berlemak ≥ 1 kali/hari [POR 1,046 (1,027-1,064)] hanya berhubungan dengan hipertensi di pedesaan. Simpulan: Hampir tidak ada perbedaan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian hipertensi sangat penting dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia.

(4)

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION Undergraduate Thesis, 18th August 2015 Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

Factors that Related to Hypertension in Urban and Rural Indonesia 2013 xv + 159 pages, 14 tables, 4 charts, 4 attachments

ABSTRACT

Background: The prevalence of hypertension in urban areas of Indonesia is greater than in the rural areas, i.e. 26.1% versus 25.5%. Lifestyle changes due to urbanization and globalization has different roles in the hypertension prevalence. The lifestyles in urban communities, such as unhealthy diet and the lack of physical activity make urban communities has the higher risk for hypertension. Meanwhile, traditional diet and physically active lifestyles tend to protect the rural communities from hypertension. Therefore, this study aims to determine the associated factors of hypertension in urban and rural Indonesia in 2013. Methods: This study is an advanced Riskesdas 2013 data analysis, so that the study design is the same as Riskesdas, cross sectional. The number of samples of this study is

616,986 individuals aged ≥ 15 years. The relationship between risk factors and

hypertension is determined by the value of Prevalence Odds Ratio (POR) and 95% confidence intervals (CI). Results: Physical activity <600 MET/week [PORurban 1.051 (1.025 to 1.078)] [PORrural 1.184 (1.152 to 1.217)], ex-smoker

[PORurban 2.133 (2.06 to 2.31)] [PORrural 2.024 (1.95 to 2.10)], salty foods consumption ≥ 1 time/day [PORurban 0.970 (0.950 to 0.991)] [PORrural 1,028

(1,008- 1.048)] and fruit consumption <2 servings/day [PORurban 0.821 (0.771 to

0.847)] [PORrural 0.883 (0.808 to 0.965)] are the factors that associated with

hypertension in urban and rural areas. Meanwhile, vegetable consumption <3 servings/day [POR 0.952 (0.933 to 0.970)] are only associated with hypertension

in urban areas and fatty foods consumption ≥ 1 time/day [POR 1.046 (1.027 to 1.064)] is only associated with hypertension in rural areas. Conclusion: There are almost no differences between the factors associated with hypertension in the urban and rural areas. Therefore, prevention and control of hypertension are essential to decrease the prevalence and risk of hypertension in urban and rural area in Indonesia.

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013

Disusun Oleh: Dina Adlina Amu NIM. 1111101000036

Telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 18 Agustus 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Catur Rosidati, SKM, MKM NIP. 197502102008012018

(6)

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 18 Agustus 2015

Penguji I

dr. Yuli Prapanca Satar, MARS NIP. 19530730 198011 1 001

Penguji II

Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes NIP. 19750215 200901 2 003

Penguji III

(7)

Kupersembahkan Skripsi ini untuk Mama dan Papa yang tak henti berdoa

untukku hingga selalu ada semangat dan harapan baru untukku bangkit dari

segala kesedihan dan kelelahan dalam

menuntut ilmu…

(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Jenis Kelamin : Perempuan Kewarganegaraan : Indonesia

Suku : Gorontalo

No. Telp : 081244714014/081527412391 Alamat email : dina.amu@gmail.com

Alamat : Linawan, RT 001, Desa Linawan, Kecamatan Pinolosian, Kabupaten Bolmong Selatan, Sulawesi Utara

Hobi : Membaca, traveling, penelitian

Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa Inggris, enumerator, analisis data (SPSS, Epidata) Nama Orang Tua : Ayah : Drs. Sofyan Amu, M.Si

TK Al-Hasanah, Yogyakarta (1998-1999)

SDN 1 Sagan, Yogyakarta SDN 05 Manado

SDN 1 Tataaran, Tondano Selatan

(1999-2001) (2001) (2001-2005)

Mts. Pondok Pesantren Assalam Manado (2005-2008)

MAN Insan Cendekia Gorontalo (2008-2011)

Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013 sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan penanggulangan dan pengendalian yang tepat.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral dan materi sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D selaku Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan motivasi.

3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan penelitian

(10)

5. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Teman-teman seperjuangan Epidemiologi 2011 tercinta yang selalu memberikan dukungan semangat, perhatian dan saran untuk perbaikan skripsi ini. “Kalian luar biasa!”

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 PSKM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberi dukungan semangat sehingga memotivasi penulis agar bisa wisuda bersama

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.

Jakarta, 18 Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ... 7

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia ... 8

3. Manfaat bagi Peneliti Lain ... 8

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

(12)

1. Definisi Hipertensi ... 9

2. Pengukuran Tekanan Darah ... 10

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi ... 12

4. Gejala Klinis ... 13

B. Epidemiologi Hipertensi ... 14

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 15

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 22

D. Kerangka Teori ... 46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 49

A. Kerangka Konsep ... 49

B. Definisi Operasional ... 53

C. Hipotesis ... 57

BAB IV METODE PENELITIAN ... 59

A. Desain Penelitian ... 59

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 59

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 59

1. Populasi Penelitian ... 59

D. Metode Pengumpulan Data ... 61

E. Instrumen Pengumpulan Data ... 63

F. Manajemen Pengumpulan Data ... 71

1. Filter ... 71

2. Cleaning Data ... 71

(13)

G. Analisa Data ... 75

BAB V HASIL ... 77

A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 77

B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 81

E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 83

F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 84

BAB VI PEMBAHASAN ... 87

A. Keterbatasan Penelitian ... 87

B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 89

1. Faktor Sosiodemografi ... 89

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit ... 99

3. Faktor Gaya Hidup ... 103

BAB VII PENUTUP ... 117

A. Simpulan ... 117

(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 121

LAMPIRAN 1 ... 132

LAMPIRAN 2 ... 134

LAMPIRAN 3 ... 136

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa ... 10

Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia . 21 Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013 ... 50

Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian ... 53

Tabel 4.1 Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik ... 69

Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuesioner ... 71

Tabel 4.3 Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data ... 73

Tabel 4.4 Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013 ... 74

Tabel 5.1 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 77

Tabel 5.2 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

Tabel 5.3 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

Tabel 5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 82

Tabel 5.5 Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 83

(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak

Menular ... 30

Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 48

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 50

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang menjadi isu kesehatan global saat ini. Data World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun di dunia adalah sekitar 38,4%. Data tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Asia Tenggara mencapai 36,6%. Indonesia adalah negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi kedua setelah Myanmar untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu sekitar 41% (WHO, 2013; Krishnan dkk., 2013).

Trend kasus hipertensi pun terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan terjadinya transisi epidemiologi. Berdasarkan data WHO diketahui terjadi peningkatan kasus sebanyak 400 kasus dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2008 dan diprediksikan kasus hipertensi akan mencapai 1,56 miliar di tahun 2025 (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia menunjukkan bahwa 7,2% responden pernah didiagnosis dokter mengalami hipertensi di tahun 2007 dan meningkat menjadi 9,4% di tahun 2013 (Kemenkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2013).

(18)

ginjal dan kebutaan (WHO, 2014). Hasil penelitian Walker di Tanzania, penderita hipertensi berisiko 2,14 kali terkena stroke (Walker, 2013). Hasil meta-analisis Fowkes di seluruh negara di dunia menunjukkan bahwa orang dengan hipertensi juga memiliki risiko 1,47 kali menderita penyakit arteri periferal (Fowkes dkk., 2013).

Hipertensi juga menyebabkan kehilangan sekitar 3 tahun kesempatan hidup pada penderita penyakit kardiovaskular (Rapsomaniki, 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Cina, hipertensi merupakan risiko terjadinya disability-adjusted life-years (DALYs), dimana terjadi peningkatan kasus DALYs lebih dari 40% dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010 (Yang dkk., 2013).

Dampak terburuk dari hipertensi adalah kematian dimana saat ini hipertensi diperkirakan dapat menyebabkan 7,5 miliar kematian atau 12,8% dari seluruh kematian (WHO, 2014). Penelitian Lim SS et al tahun 2012 juga menunjukkan bahwa komplikasi akibat hipertensi menyebabkan 9,4 miliar kematian di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Asia Tenggara, hipertensi menyebabkan 1,5 miliar kematian setiap tahun (WHO, 2011).

(19)

Penelitian Musinguzi dan Nuwaha pada masyarakat Uganda tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan, yaitu 23,6% di perkotaan dan 21% di pedesaan (Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Hasil analisis Riskesdas di Indonesia tahun 2013 juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan, yaitu 26,1% di perkotaan dan 25,5% di pedesaan.

Dampak dari urbanisasi dan globalisasi paling nyata terjadi di perkotaan dimana gaya hidup masyarakat kota yang tidak sehat berisiko menyebabkan hipertensi (Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Peer dkk., 2013). Masyarakat kota memiliki gaya hidup modern yang diikuti dengan perubahan pola konsumsi makanan yang mengandung garam dan lemak tinggi. Pola konsumsi makanan tersebut dapat mempengaruhi berat badan, dimana biasanya disertai dengan konsumsi rokok, kurangnya aktivitas fisik dan stres sehingga meningkatkan risiko terkena hipertensi (The Lancet, 2012).

(20)

Penelitian Moreira dkk. (2013) menunjukkan bahwa jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan riwayat diabetes berisiko merupakan faktor risiko hipertensi di wilayah perkotaan Brazil. Sedangkan, jenis kelamin, usia, pendapatan rumah tangga yang rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan merupakan faktor risiko hipertensi di pedesaan.

Penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, obesitas dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada masyarakat perkotaan. Sedangkan, penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) pada masyarakat desa memperlihatkan bahwa faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan terkait risiko hipertensi berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah peredesaan.

(21)

B. Rumusan Masalah

Kecenderungan prevalensi hipertensi secara global maupun nasional terus meningkat seiring dengan terjadinya transisi epidemologi. Di samping itu, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan. Urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor yang berperan penting karena keduanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti pola konsumsi makanan yang tidak sehat dan aktivitas fisik yang kurang membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami hipertensi. Sebaliknya, diet tradsional dan budaya berjalan kaki membuat masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan di Indonesia pada tahun 2013 perlu dilakukan.

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

2. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

(22)

makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

4. Apakah ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

5. Apakah ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

6. Apakah ada hubungan antara faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia pada tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

(23)

b. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

c. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013 d. Diketahuinya hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,

umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

e. Diketahuinya hubungan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

f. Diketahuinya hubungan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

E. Manfaat Penelitian

Berikut ini adalah berbagai manfaat dari penelitian ini.

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

(24)

khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak pengetahuan masyarakat, baik penderita hipertensi maupun bukan penderita hipertensi, terkait berbagai faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Selanjutnya, masyarakat diharapkan mampu untuk mencegah dan menanggulangi masalah hipertensi baik secara individu maupun komunitas.

3. Manfaat bagi Peneliti Lain

Peneliti lain dapat melakukan analisis lanjutan berupa analisis multivariat untuk melihat faktor gaya hidup apa yang lebih dominan dalam mempengaruhi kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia.

F. Ruang Lingkup Penelitian

(25)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi ketika pembuluh darah terus-menerus mengalami peningkatan tekanan (WHO, 2015). Tekanan darah adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk mendorong atau memompa darah agar dapat mengalir di dalam pembuluh darah (Gunawan, 2001). Semakin tinggi tekanan, semakin kuat jantung memompa darah (WHO, 2015).

Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter merkuri (mmHg) dan dinyatakan dalam dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah tekanan tertinggi pada pembuluh darah dan terjadi ketika jantung berkontraksi atau berdetak. Sedangkan, diastol adalah tekanan terendah ketika otot-otot jantung mengalami relaksasi (WHO, 2013).

(26)

Tabel 2.1

Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa

Klasifikasi Tekanan Darah SBP* (mmHg) DBP** (mmHg)

Normal <120 <80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Level 1 140-159 90-99

Level 2 ≥160 ≥100

*Systolic Blood Pressure **Diastolic Blood Pressure Sumber: Joint National Comitee (JNC), 2004

Beberapa referensi menyebutkan bahwa hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik ≥140 dan tekanan darah diastolik ≥90 seperti yang dijelaskan dalam JNC 7. Namun, nilai tekanan darah tersebut merupakan hasil rata-rata dari dua kali pengukuran tekanan darah pada setiap dua atau lebih kunjungan setelah skrining awal. Selain itu, kenaikan tekanan darah ini harus mempertimbangkan kondisi pasien, dimana terdapat kondisi yang menyebabkan kenaikan tekanan darah sesaat (Aiyagari, 2011; Kaplan dan Michael, 2010; Klabunde, 2005). 2. Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah sebaiknya memperhatikan jenis alat yang digunakan, ukuran dan penempatan manset, penempatan stetoskop, posisi tubuh dan lengan, keahlian pengukur serta frekuensi pengukuran (Pickering dkk., 2005). Berikut ini adalah cara mengukur tekanan darah yang sebaiknya dilakukan (Pickering dkk., 2005).

(27)

ini maka penggunaannya masih diperbolehkan dengan syarat harus dilakukan pemeliharaan yang baik untuk menghindari kontaminasi merkuri ke lingkungan. Selain itu petugas yang mengukur tekanan darah pun harus: (1) terlatih; (2) mengetahui keadaan pasien yang dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti kecemasan dan baru mengonsumsi nikotin, sebaiknya pasien tidak mengonsumsi rokok 30 menit sebelum pengukuran (Aiyagari, 2011); (3) mengatur posisi pasien dengan benar (4) pemilihan dan penempatan manset yang tepat dan (5) mengukur dengan metode oskilometrik auskulasi atau otomatis serta merekam hasilnya dengan akurat.

b. Pasien harus duduk dengan nyaman menggunakan sandaran punggung dan lengan atas dibiarkan terbuka tanpa tertupi oleh pakaian yang tebal (Kaplan dan Michael, 2010). Lengan baju tidak boleh digulung semedikan rupa sehingga memberikan efek torniket. Kaki tidak perlu disilangkan.

c. Lengan harus disejajarkan dengan posisi jantung dan kantung manset harus mengelilingi minimal 80% dari lingkar lengan (Kaplan dan Michael, 2010). Apabila pengukuran dilakukan pada pasien dengan posisi berbaring maka sebaiknya lengan ditopang dengn bantal. d. Jarak antara fossa antecubital dengan ujung bahwah manset harus

(28)

e. Kolom merkuri harus turun hingga 2 sampai 3 mm/s, suara pertama yang terdengar akan menjadi tekanan sistolik dan suara yang didengar terakhir kali akan menjadi tekanan diastolik. Kolom harus dibaca dengan ketelitian 2 mmHg.

f. Baik pasien maupun pengamat harus berbicara selama pengukuran. g. Pengukuran sebaiknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 1-2

menit (Kaplan dan Michael, 2010). Rata-rata dari kedua hasil tersebut kemudian menjadi hasil akhir tekanan darah pasien. Namun, ketika ada perbedaan 5 mmHg atau 10 mmHg antara pengukuran pertama dengan kedua maka dilakukan pengukuran ulang kemudian hasilnya dirata-ratakan (Kaplan dan Michael, 2010; Kemenkes RI, 2013). Hasil rata-rata dari semua pengukuran tersebut kemudian menjadi tekanan darah akhir pasien.

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi

(29)

Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder lebih jelas penyebabnya, yaitu karena adanya penyakit atau gangguan tertentu. Contohnya, penyakit renovaskular yang terjadi karena aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri renalis dikarenakan berkurangnya perfusi ginjal. Selain itu ada juga hipertensi akibat peningkatan volume darah (Baradero, 2005).

4. Gejala Klinis

Gejala klasik dari hipertensi adalah sakit kepala, epistaksis, perdarahan hidung, dan pusing. Namun, berbagai studi mengindikasikan frekuensi yang rendah atas gejala-gejala tersebut di populasi. Gejala lain yang lebih umum di populasi adalah kemerahan, berkeringat, dan pandangan kabur. Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang asimtomatik (tidak menunjukkan gejala) (Lilly, 2011).

Peningkatan tekanan, termasuk hipertropi ventrikel kiri dan retinopati adalah beberapa tanda-tanda dari hipertensi. Selain itu, hipertensi dengan komplikasi aterosklerosis akan menyebabkan arterial bruits, khususnya pada karotid dan arteri femoral (Lilly, 2011).

5. Pencegahan Hipertensi

(30)

a. Makan gizi seimbang, yaitu dianjurkan untuk mengonsumsi sayur dan buah 5 porsi/hari, melakukan pembatasan konsumsi gula, garam dan makanan berlemak.

b. Mengatasai obesitas.

c. Olahraga teratur, yaitu disarankan senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per minggu. d. Berhenti merokok. Saran untuk berhenti merokok mungkin sulit

untuk dilakukan, tetapi konseling terkait rokok harus dilakukan agar perokok dapat terus mendapatkan dorongan untuk berhenti merokok. Selain itu, metode lain yang dapat digunakan adalah menyarankan perokok untuk mennganti rokok dengan permen yang mengandung nikotin dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu kebiasaan merokok perlahan-lahan dapat ditinggalkan.

B. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi telah menjadi masalah global. Data WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25 tahun atau lebih adalah sekitar 38,4% (WHO, 2014). Penelitian Rapsomaniki dkk. (2014) terhadap 1,25 miliar orang di Inggris diketahui bahwa 87% di antaranya mengalami hipertensi.

(31)

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

Urbanisasi dan globalisasi merupakan faktor penyebab tidak langsung dari hipertensi (WHO, 2014; Peer, 2013; Sobngwi, 2004). Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor penting yang menyebabkan adanya perbedaan prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi dibandingkan wilayah rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Chang, 2003; Paibul, 2003).

Urbanisasi sendiri didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Berbagai alasan masyarakat desa memilih untuk migrasi ke kota di antaranya adalah (Santy dan Buhari, 2015):

a. Masyarakat ingin hidup modern dan mewah. Media masa cetak dan eloktronik memberikan informasi terkait kehidupan modern dan mewah di kota sehingga mempengaruhi masyarakat desa untuk bisa menikmatinya juga.

b. Kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perkembangan industri di kota mempengaruhi masyarakat desa berpikir akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik jika mereka tinggal di kota. c. Pendidikan. Kualitas pendidikan di desa yang minim menjadi alasan

(32)

masyarakat desa pindah ke kota agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti universitas. d. Fasilitas dan infrastruktur di kota lebih lengkap, seperti pelayanan

kesehatan, lapangan pekerjaan dan pendidikan. Selain itu, ada juga fasilitas lain seperti tempat hiburan (bioskop, pusat perbelanjaan modern, dan lain-lain).

e. Kesempatan untuk menjadi lebih maju dan hebat.

f. Memperoleh kebebasan personal. Beberapa orang menghindari kehidupan di desa yang penuh kontrol sosial yang ketat.

Saat ini, kondisi urbanisasi di Indonesia semakin berkembang. Pertambahan penduduk kota Indonesia yang diperkirakan mencapai 95% dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Selain itu, perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia tahun 2010-2015 adalah 17,26%. Perbedaan tersebut diprediksikan akan terus meningkat setiap 5 tahun, yaitu mencapai 20,98% di periode tahun 2030-2035 (BPS, 2013).

(33)

yang memiliki akses internet. Artinya, sebagian besar masyarakat kota maupun desa memperoleh informasi dari media televisi (Kemenkominfo, 2011).

Dampak buruk dari kemudahan memperoleh informasi di antaranya adalah masyarakat tergiur dengan pengaruh iklan. Contohnya iklan makanan cepat saji dan produk tekonologi yang mendorong masyarakat, terutama remaja untuk mengonsumsinya dan menjadikannya gaya hidup (Hutagalung I., 2004; Emalia R. D. dkk., 2009; Arief E. dkk., 2011; APJII, 2013).

Selain itu, gadget atau smartphone yang tersambung dengan jaringan internet sedang digemari oleh para generasi muda saat ini. Hal ini membuat mereka menjadi jarang bergerak dan berolahraga karena digunakan terlalu sering. Hasil penelitian Syamsoedin W. K. P. dkk (2015) diketahui 30,6% remaja SMA Negeri 9 Manado mengakses internet 5-6 jam/hari. Artinya, hampir seperempat dari kehidupan sehari-hari mereka digunakan untuk mengakses internet.

(34)

dimaksud adalah diet tidak sehat, aktvitas fisik kurang, merokok dan konsumsi alkohol (WHO, 2014).

Penelitian di India menunjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural. Penelitinya berpendapat bahwa urbanisasi berperan penting dalam hal ini karena urbanisasi mengubah siklus kehidupan dan secara otomatis mengubah gaya hidup, terutama terkait pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan lebih cenderung pada makanan yang mengandung lemak dan garam dibandingkan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan (Prabhakaran dkk., 2007).

Sebuah penelitian di Afrika juga menununjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural disebabkan oleh adanya perbedaan gaya hidup di antara kedua wilayah tersebut. Tingkat obesitas yang tinggi, konsumsi makanan berlemak dan bergaram yang berlebih serta komitmen dengan jenis pekerjaan yang menyebabkan kurangnya aktivitas fisik menjadi alasan mengapa prevalensi hipertensi lebih tinggi di wilayah urban (Addo dkk., 2007). Keberadaan dan ketersediaan sistem transportasi, mesin pencuci piring, mesin cuci dan remote control di era globalisasi mengurangi aktivitas fisik masyarakat kota (Ekezie dan Anthony, 2011).

(35)

yang tidak jauh berbeda, yaitu 21% dan 20,1% (Moreira dkk., 2013). Hal ini karena golabalisasi tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P. dkk., 2010).

Selain itu, sebenarnya sulit untuk melakukan pembedaan antara masyarakat perkotaan dengan pedesaan. Seberapa kecilnya suatu desa masih bisa terpengaruh oleh masyarakat kota. Hal ini karena adanya hubungan antara konsentrasi masyarakat dengan gejala-gejala sosial berupa urbanisme. Urbanisme merupakan kondisi dimana adanya masyarakat desa yang tinggal di kota sesekali kembali ke desa dan membawa gaya hidup di kota sehingga sebagian masyarakat desa ada yang menirunya (Soekanto, 2009). Penduduk desa yang datang ke kota bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony, 2011)

Berdasarkan peraturan No. 37 Tahun 2010, pengertian perkotaan dan pedesaan adalah sebagai berikut.

a. Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.

(36)

Kriteria klasifikasi wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia terdapat dalam Tabel 2.3. Sedangkan, berikut ini adalah perbedaan antara masyarakat kota dan desa (Soekanto, 2009).

a. Masyarakat Perkotaan

1) Jumlah penduduk tidak tentu 2) Masyarakat bersifat individualis

3) Perubahan sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik antara golongan muda dengan golongan orang tua

4) Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor pribadi

5) Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang dikaitkan dengan masalah gengsi

6) Kehidupan keagamaan lebih longgar

7) Banyaknya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, persoalan rumah dan lain-lain yang merupakan dampak negatif dari kedatangan para migran yang berasal dari daerah

b. Masyarakat Pedesaan

1) Antarwarga memiliki hubungan yang lebih erat

2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan

3) Umumnya hidup dari pertanian 4) Golongan orang tua berperan penting

(37)

6) Masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok 7) Kehidupan keagamaan lebih kental

8) Banyak yang berurbanisasi ke kota

Dalam penentuan wilayah sesungguhnya tidak dapat langsung digolongkan menjadi desa atau kota. Hal ini karena tidak semua desa merupakan daerah tertinggal. Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian Timur. (Kemendesa, 2013). Oleh karena itu, sebaiknya ada tingkatan dalam pengkategorian wilayah desa atau kota.

Tabel 2.2

Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia

No. Variabel/Klasifikasi Skor

Total Skor 2. Persentase rumah tangga pertanian

70,00 <

a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) 1) Ada atau ≤ 2,5 km

2) > 2,5 km

(38)

No. Variabel/Klasifikasi Skor b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1) Ada atau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

1 0 c. Sekolah Menengah Umum (SMU)

1) Ada atau ≤ 2,5 km i. Persentase Rumah Tangga Telepon

1) 8,00 2) < 8,00

1 0 j. Persentase Rumah Tangga Listrik

1) 90,00 2) < 90,00

1 0 Total Skor ≥ 10 = Desa/Kelurahan Perkotaan (Urban)

Total Skor < 10 = Desa/Kelurhan Pedesaan (Rural) Sumber: BPS, 2010

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

(39)

faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi.

a. Jenis Kelamin

Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk. (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik wilayah rural maupun urban.

Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293 mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007). Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).

Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse (Robertson, 2012).

(40)

(laki-laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-laki berusia <50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.

Hasil penelitian Peer dkk. (2013) juga menjelaskan prevalensi hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung (Peer dkk., 2013).

b. Umur

(41)

penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis, berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah arteri orang tua (Black dkk., 2007).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006; Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)

Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu, penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia

(42)

c. Pendidikan

Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013) membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika

Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7

tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

(43)

memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.

Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H. D. J., 2009).

d. Pekerjaan

(44)

Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku, termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.

Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).

(45)

pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014).

Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).

e. Kemiskinan

(46)

Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan

yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin

rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi.

Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial

ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya

pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres

emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.

Bagan 2.1

Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak Menular

Sumber: WHO, 2010

Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi

faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan

menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu,

pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih

giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar

(47)

Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian

hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk.,

2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di

Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan

dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk.

(2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial

ekonomi dengan hipertensi.

f. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular. Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).

(48)

Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat

adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama > 60 menit (Kemenkes RI, 2013).

(49)

g. Genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).

Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri, 2011).

Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).

(50)

ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).

Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T) substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3% individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2 varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan etiologi hipertensi esensial.

Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami hipertensi.

(51)

h. Stres

Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Kemenkes RI, 2006).

Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002). Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres dengan hipertensi.

(52)

i. Obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2 (Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas

sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2

(WHO, 2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang, 2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk., 2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).

Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

(53)

menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010).

j. Riwayat Diabetes

Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin. Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43 kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009).

(54)

k. Konsumsi Alkohol

Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006). Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk., 2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko 3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006) di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi

l. Aktivitas Fisik

(55)

fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).

Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon, 2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung

selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya

waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas fisik (Kemenkes RI, 2013).

1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat adalah 8 kalori

2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015) 3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat

maupun sedang.

(56)

dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga 0,87 kali dibandingkan yang <1 hari per minggu. Sedangkan di Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Moreira dkk., 2013).

Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (P = 0,046) (Pooja dan Mittal, 2013). Hasil penelitian South dkk. (2014) di Minahasa Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan hipertensi (P = 0.000, r = 0,584). Hasil penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali. m. Kebiasaan Merokok

(57)

sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006).

Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007). Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk., 2013).

Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali dari hipertensi (Hou, 2008). Durasi merokok juga berperan dalam meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. (2010) menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok.

(58)

Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut, hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan, jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi.

n. Konsumsi Makanan Asin

Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah (Depkes RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun

ke atas adalah sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) (Kemenkes

RI, 2010).

(59)

sendok teh per hari) berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah (WHO, 2014).

Hasil penelitian He (2005) diketahui bahwa pengurangan konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah (P = 0,002). Penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi (x2 = 12,42). Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009) menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi (P = 0,001) walaupun tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin dengan yang tidak pernah makan makanan asin.

Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Oleh karena itu, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi. o. Konsumsi Makanan Berlemak

(60)

kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi (Depkes RI, 2006).

Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1 kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis konsumsi lemak pada penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu 25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO yaitu 10% (Hardiansyah, 2011). Penelitian Stefhany (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara (P = 0,010) dan pra lansia dan lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko 2,785 kali mengalami hipertensi.

Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan hipertensi (P = 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 2,08 kali (Ramirez dkk., 2010). Penelitian Indrawati dkk. (2009) juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Namun, sering mengonsumsi lemak justru memberikan efek protektif terhadap hipertensi

p. Konsumsi Sayur dan Buah

(61)

menyebabkan hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, buah mengandung polifenol yang dapat melindungi jantung. Selain itu, beberapa jenis buah memiliki beban glikemik yang rendah sehingga tidak berisiko menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris, 2012).

Konsumsi buah < 3 kali (porsi)/hari dan sayur < 2 kali (porsi)/hari dapat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular. Sedangkan, DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) menganjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5 porsi/hari (Grodner dkk., 2004).

Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang banyak berhubungan dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari Bazzano dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015)

(62)

bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi.

D. Kerangka Teori

WHO (2013-2014), Kemenkes RI (2013) dan Rahajeng serta Tuminah (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan prevalensi hipertensi adalah faktor sosiodemografi, faktor fisik dan riwayat penyakit serta faktor gaya hidup. Faktor sosiodemografi di antaranya adalah jenis kelamin, usia, kemiskinan, akses pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Faktor fisik dan riwayat penyakit di antaranya adalah genetik, stres, obesitas, riwayat diabetes. Faktor gaya hidup di antaranya adalah kurang aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan berlemak berlebih serta kurang konsumsi sayur dan buah. Namun, faktor-faktor tersebut tidak secara langsung menyebabkan hipertensi.

(63)
(64)

48

Sumber: WHO, 2014; Santy, 2015; Robertson dkk., 2012; Black dkk., 2007; Anggara dkk., 2013; Mion dkk., 2004; Depkes RI, 2006; Goran dan Sothern, 2006; Holt, 2011; Cahyono, 2008; Schnitzer, 2000; Mohler dan Townsend, 2006; Lin dan Laura, 2012; McFarlane dan Bakris, 2012

= Biological Plausibility

= Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

(65)

49 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka teori menggambarkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dengan hipertensi di antaranya adalah faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, kemiskinan dan pelayanan kesehatan), faktor fisik dan riwayat penyakit (stres, genetik, obesitas dan riwayat diabetes) serta faktor gaya hidup (konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, sering konsumsi makanan asin, sering konsumsi makanan berlemak dan kurang konsumsi sayur dan buah). Namun, tidak semua faktor-faktor tersebut diteliti. Untuk faktor sosiodemografi, hanya jenis kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk faktor fisik dan riwayat penyakit, faktor yang diteliti adalah obesitas dan riwayat diabetes. Sedangkan, untuk faktor gaya hidup, faktor-faktor yang diteliti adalah kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, sering konsumsi makanan asin, sering konsumsi makanan berlemak dan kurang konsumsi sayur dan buah.

Adapun faktor kemiskinan, akses pelayanan kesehatan, genetik, stres dan konsumsi alkohol tidak diteliti dalam penelitian ini karena keterbatasan dari data Riskesdas 2013. Berikut uraiannya:

(66)

2. Faktor akses pelayanan kesehatan juga tidak diteliti karena data yang tersedia kurang reliabel sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis penelitian ini. Tabel 3.1 menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas data Riskesdas 2013

3. Faktor genetik, stres dan konsumsi alkohol tidak bisa menjadi variabel penelitian karena tidak diukur dalam Riskesdas tahun 2013.

Tabel 3.1

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013

No. Kelompok Variabel Validasi Kesimpulan Keterangan Proses Isi

2. Akses dan Pelayanan

Kesehatan 79,0 73,2

Bagan 3.1 menjelaskan bahwa faktor sosiodemografi, faktor fisik dan riwayat penyakit serta faktor gaya hidup berhubungan dengan hipertensi. Berikut penjelasannya:

1. Faktor sosiodemografi

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa
Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, PHP telah menyediakan fasilitas koneksi untuk hampir semua program database popular baik yang komersial maupun gratis, contohnya MySQL yang merupakan suatu

3. Harap pembayaran di lakukan jika harga sudah di sepakati dan sudah kami ajukan Invoice / Faktur resmi 4. Pesanan Barang yang lunas / belum DP maka untukstok barang yang

Pada hari pertama pemberian jus tomat terhadap penurunan tekanan darah diastolik, terlihat sama dengan penurunan tekanan darah sistolik, bahwa penurunan terbesar pada menit ke 30

Pada hasil penelitian ini terlihat tidak sesuai dengan hasil penelitian diatas, pada data table satu diatas kita lihat bahwa pada sebagian besar terapi sikloposfamide

Kasus yang mula-mula meledak di Amerika Serikat adalah Enron, perusahaan yang memiliki kontrak bisnis dengan pemerintahan Amerika Serikat melakukan praktik rekayasa akuntansi

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002

tentang musik gereja jemaat dapat bernyanyi dengan tempo dan not yang benar. Pemusik juga harus memperhatikan lagu dan dapat diaransement dengan baik,.. sehingga

[r]