• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan

Minimnya penghasilan dari bercocok tanam oleh sebagian besar petani berlahan sempit membuat mereka semakin terhimpit dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Kondisi ini membuat banyak petani yang mengamalkan prinsip pola nafkah ganda, dalam hal ini tidak hanya kepala keluarga yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Istri atau anak juga diminta untuk mencari nafkah dengan menjadi buruh (buruh tani) demi menutupi

kekurangan dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga mereka. Namun, usaha tersebut dirasa sia-sia karena biaya hidup sekarang semakin meningkat. Oleh karena itu, konversi lahan menjadi lahan pertambangan pasir dan batu dirasa dapat menjadi solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Dalam hal ini, mereka mengkonversi lahan demi mempertahankan hidup mereka dengan asumsi bahwa konversi lahan yang mereka lakukan akan lebih menghasilkan.

Konversi lahan yang mereka lakukan pada awalnya bukanlah untuk mengejar kekayaan semata, melainkan mencari sumber penghasilan yang dapat menyokong kehidupan mereka. Fakta sekarang menunjukkan tidak demikian. Kini para petani yang mengkonversi lahan lebih bermaksud mengejar kekayaan (lifestyle). Banyak petani yang telah berhasil mengeruk keuntungan dari konversi lahan yang mereka lakukan, kini mengamalkan budaya konsumtif. Artinya, gaya hidup kini menjadi motif utama para petani yang mengkonversikan lahan mereka.

Kondisi tersebut pada hakekatnya merupakan faktor utama mengapa para petani di Desa Candimulyo khususnya petani-petani berlahan sempit. Faktor ini kemudian didukung dengan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal petani itu sendiri dan faktor eksternal. Faktor internal petani adalah karakteristik petani yang dalam penelitian ini mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

6.2.1 Faktor Internal

Faktor internal petani merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Dalam kasus ini, aspek-aspek karakteristik petani yang berhubungan dengan konversi lahan adalah umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan luas kepemilikan lahan. Sedangkan aspek yang tidak berhubungan adalah tingkat ketergantungan pada lahan.

6.2.1.1 Umur Petani

Umur merupakan salah satu faktor penentu para petani Desa Candimulyo mengkonversikan lahan mereka. Seperti yang telah diketahui, konversi lahan yang terjadi pada kasus ini adalah perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi tambang pasir dan batu. Menambang pasir dan batu merupakan sebuah pekerjaan yang sangat membutuhkan tenaga. Oleh karena itu, pekerjaan ini banyak dilakukan oleh kaum muda. Dari hasil wawancara kepada beberapa petani yang tidak mengkonversi lahan, alasan mereka adalah sudah tidak kuat lagi untuk melakukan penggalian pasir dan batu tersebut sehingga memilih untuk tetap bertahan menjadi petani. Berikut penjelasan salah seorang petani, sebut saja Pak Mahuri, 75 tahun, berkaitan hal tersebut:

“Sebenarnya saya pengen juga sih punya galian pasir itu. Soalnya, kalo dilihat dari penghasilan, sepertinya lebih menguntungkan. Tapi mau gimana lagi, wong saya sudah tua gini, kayaknya sih nggak kuat. Kalo nyuruh orang buat gali lahan saya, percuma saja, saya harus bayar orang lagi. Sekarang masalah galian ini sudah jadi ribet. Orang-orang yang nggak punya lahan galian kadang-kadang suka ngiri. Sampai-sampai, mereka meminta bagian dari hasil galian bagi yang lahannya bersebelahan dengan lahan galian. Bisa-bisa, ada yang meminta semeter persegi lahan galian sebagai bagiannya.”

Mereka menambahkan bahwa, hal yang membuat mereka semakin enggan untuk mengkonversi adalah kebiasaan masyarakat yang selalu ingin mengambil

keuntungan dari orang lain. Menurut mereka, ketika lahan galian tersebut bersebelahan dengan lahan yang tidak digali, milik orang lain, maka yang memiliki lahan yang tidak digali tersebut dapat meminta bagian dari hasil galian dengan alasan lahan mereka jadi rusak karena sering dilewati para penggali. Dari fenomena tersebut, banyak juga petani yang sebenarnya mampu dan berkeinginan untuk mengkonversi lahannya menjadi tambang pasir dan batu berubah pikiran untuk melakukan hal tersebut setelah memperhitungkan untung dan ruginya.

Hubungan pada penjelasan di atas akan dibuktikan dengan menggunakan perhitungan statistik. Tabel 5 menunjukkan hubungan antara umur petani dengan konversi lahan.

Tabel 5. Jumlah Responden Menurut Umur dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

Konversi Lahan Umur

Konversi Tidak Konversi Total

30 – 39 8 1 9

40 – 49 0 12 12

> 49 0 9 9

Total 8 22 30

Tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur petani dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel, dari sembilan petani golongan umur 30-39 tahun, delapan di antaranya mengkonversi lahan, namun tidak ada satupun dari golongan umur 40-49 dan 50-59 yang mengkonversi lahan.

Nilai hubungan tersebut diperkuat dengan menggunakan analisis chi-square. Analisis chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar

0,00 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kasus konversi lahan di desa ini, petani akan cenderung mengkonversi lahan ketika umur mereka masih muda. Hal terjadi karena kasus konversi lahan di desa ini merupakan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi tambang pasir dan batu yang pada proses penggaliannya membutuhkan tenaga lebih besar dari bertani. Jadi, diduga bahwa petani golongan umur muda lebih mampu untuk melakukan pekerjaan menambang pasir dan batu tersebut sehingga akan lebih cenderung melakukan konversi lahan.

6.2.1.2 Tingkat Pendidikan

Demikian halnya dengan tingkat pendidikan. Pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo, tingkat pendidikan diduga berhubungan dengan konversi lahan. Tabel 6 menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan konversi lahan.

Tabel 6. Jumlah Responden menurut Tingkat Pendidikan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

Konversi Lahan Tingkat Pendidikan

Konversi Tidak Konversi Total

Tidak sekolah 7 5 12

Tidak tamat SD 0 5 5

Tamat SD 1 12 13

Total 8 22 30

Dapat dilihat pada Tabel 6, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya merupakan petani yang tidak sekolah, sedangkan hanya satu orang yang tamat SD. Berbeda halnya dengan petani yang tidak mengkonversi lahan. Dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan tersebut, hanya lima orang

petani yang tidak sekolah, sedangkan 17 lainnya berpendidikan sampai dengan tamat SD walaupun lima lainnya tidak tamat SD.

Analisis kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis chi-square pada tabulasi silang di atas yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,006 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Hal ini menunjukkan bahwa, pada kasus konversi lahan di desa ini, konversi lahan lebih banyak dilakukan oleh petani yang belum pernah mengenyam pendidikan. Hal ini diduga karena, petani yang berpendidikan akan lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk mengkonversi lahan atau tidak. Pada hakekatnya, konversi lahan sebenarnya mengkonversi sumber penghasilan para petani. Petani yang bijak tentu akan lebih memilih tidak mengkonversi lahan mereka karena mereka belum tentu bisa berhasil dalam melakukan pekerjaan yang belum mereka kuasai.

Namun berbeda halnya jika ditinjau dari analisis kualitatif. Sebenarnya pendidikan bukanlah faktor penentu petani mengkonversi lahan. Menurut informasi masyarakat setempat, pendidikan tidak ada hubungannya dengan konversi lahan, tetapi berhubungan dengan latar belakang ekonomi keluarga. Pada umumnya, petani yang tidak berpendidikan tersebut berasal dari keluarga yang tergolong kurang mampu. Dengan ketidakmampuan tersebut, sekarang lebih memilih mengkonversi lahan karena menurut mereka, dengan mengkonversi akan lebih bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Berikut penjelasan seorang warga, sebut saja pak Ashuri, 54 tahun, berkaitan hal ini.

“Memang petani-petani di sini, yang mengubah lahan mereka menjadi galian pasir dan batu kebanyakan tak berpendidikan. Ya itu sih sebenarnya cuma kebetulan saja. Yang jadi masalah sebenarnya bukan pendidikannya, tapi latar belakang ekonominya. Menurut saya sih, mereka mengkonversi karena kepepet.”

Dari penjelasan tersebut dapat simpulkan bahwa, petani yang berasal dari keluarga tidak mampu lebih cenderung untuk mengkonversi lahan. Sedangkan faktor pendidikan merupakan faktor kebetulan karena tingkat pendidikan tersebut ditentukan oleh latar belakang ekonomi keluarga.

6.2.1.3 Jumlah Tanggungan Keluarga

Selain faktor umur dan tingkat pendidikan, konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo jika ditinjau dari perspektif petani, juga disebabkan oleh beban jumlah tanggungan keluarga. Logikanya, semakin banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung petani tersebut, maka semakin banyak pula kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi sedangkan lahan mereka tetap tidak semakin luas. Dengan penghasilan yang didapat dari lahan pertanian yang sempit tersebut dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin membengkak. Akhirnya, masalah ini menekan mereka untuk tidak lagi bercocok tanam melainkan menjadikan lahan mereka sebagai pertambangan pasir dan batu. Berikut penjelasan salah seorang petani Desa Candimulyo, Pak Warisman, 30 tahun, yang mengaku sebagian dari lahannya dikonversi menjadi tambang pasir dan batu.

“"Sekarang kalau lahan saya ditanami jagung atau kobis, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi tanggungan saya banyak. Belum lagi anak yang minta sekolah. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang, Kobis nggak ada harganya. Namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu, hanya duduk saja, saya bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari. Tentu saja ini lebih dari cukup."

Hal ini menunjukkan bahwa, akibat tekanan ekonomi, petani-petani ini tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan sehari-hari rumahtangga mereka sehingga para petani ini merasa bahwa, hal yang paling baik dilakukan adalah

dengan tidak bertani lagi. Penjelasan tersebut memperkuat dugaan bahwa ada hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan keluarga dengan konversi lahan yang dilakukan oleh para petani di Desa Candimulyo.

Keakuratan hubungan tersebut dapat dibuktikan melalui perhitungan statistik. Dari hasil survei pada 30 responden, nilai hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 akan menjelaskan hubungan antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan konversi lahan.

Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

Konversi Lahan Jumlah Tanggungan Keluarga

Konversi Tidak Konversi Total

≤ 4 orang 2 18 20

> 4 orang 6 4 10

Total 8 22 30

Berdasarkan informasi masyarakat setempat, seorang kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak adalah kepala keluarga yang jumlah tanggungannya lebih dari empat orang termasuk dirinya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, kepala keluarga tersebut memiliki lebih dari dua orang anak. Dari 30 responden yang diteliti, terdapat perbedaan jumlah responden yang mengkonversi lahan dan tidak, dilihat dari jumlah tanggungan anggota keluarganya. Dari delapan orang yang mengkonversi lahan, enam di antaranya merupakan petani yang jumlah tanggungan keluarganya banyak (> 4 orang), sedangkan dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, 18 orang di antaranya memiliki jumlah tanggungan keluarga yang sedikit (≤ 4 orang). Hal ini menunjukkan bahwa, konversi lahan lebih cenderung dilakukan oleh petani yang jumlah tanggungan keluarganya banyak atau lebih dari empat orang.

Analisis chi-square kemudian dilakukan pada tabel 7 yang hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,004 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α =0.05). Analisis ini memperkuat dugaan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani di Desa Candimulyo ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarganya. Hal ini diduga karena, dengan pekerjaan hanya sebagai petani dirasa tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga apa lagi jumlah yang ditanggungnya semakin banyak. Dengan demikian, konversi lahan dirasa dapat memecahkan masalah tersebut dengan asumsi bahwa melakukan konversi lahan lebih menguntungkan dibanding kegiatan pertanian.

6.2.1.4 Luas Kepemilikan Lahan

Luas kepemilikan lahan juga menjadi faktor penentu petani mengkonversi lahan. Petani di Desa Candimulyo memiliki lahan yang luasnya sangat beragam. Namun, kepemilikan lahan oleh para petani ini didominasi oleh petani yang memiliki lahan dengan luasan antara 0,25 hektar sampai dengan 0,5 hektar. Oleh karena itu, masyarakat setempat menggolongkan petani di Desa Candimulyo ke dalam tiga golongan yaitu; petani yang memiliki lahan lebih dari 0,5 hektar tergolong ke dalam petani yang berlahan luas, petani yang memiliki lahan antara 0,25 sampai dengan 0,5 hektar tergolong petani yang berlahan sedang, sedangkan untuk petani yang memiliki lahan kurang dari 0,25 hektar tergolong ke dalam petani yang berlahan sempit. Dengan demikian, penggolongan ini digunakan untuk menguji dugaan bahwa ada hubungan yang nyata antara luas kepemilikan

lahan dengan koversi lahan. Tabel 8 akan menjelaskan hubungan antara luas lahan yang dimiliki petani dengan konversi lahan.

Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Luas Kepemilikan Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

konversi lahan Luas Kepemilikan Lahan

konversi tidak konversi Total

Sempit 7 4 11

Sedang 1 10 11

Luas 0 8 8

Total 8 22 30

Dapat dilihat dari tabulasi silang di atas bahwa, sebagian besar dari petani yang mengkonversi lahan merupakan petani berlahan sempit. Dari delapan petani yang mengkonversi lahan, tujuh di antaranya merupakan petani berlahan sempit. Sebaliknya, sebagian besar petani yang tidak mengkonversi lahan merupakan petani berlahan sedang dan luas yaitu, hanya satu dari 11 petani berlahan sedang yang mengkonversikan lahannya sedangkan tidak ada satupun petani berlahan luas yang mengkonversikan lahannya.

Analisis Chi Square pada Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara luas lahan yang dimiliki petani dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,002 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini memperkuat dugaan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani ada hubunganya dengan luas lahan yang dimiliki. Dalam hal ini, konversi lahan sangat potensial dilakukan oleh petani berlahan sempit. Hal ini diduga karena, hasil panen dari pengolahan lahan yang sempit tersebut tidak sebanding dengan modal usahatani (pupuk, bibit) yang dikeluarkan petani yang secara tidak langsung menimbulkan masalah dalam hal mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika

mengkonversi lahan yang dalam hal ini mengalih fungsi lahan pertanian mereka menjadi tambang pasir dan batu tersebut lebih menguntungkan, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tetap bertahan di bidang pertanian yang ditambah masalah kecukupan kebutuhan sehari-hari mereka yang terus meningkat yang akhirnya memicu mereka untuk beralih sumber mata pencaharian. Dengan demikian, petani berlahan sempit tersebut lebih memilih untuk mengkonversikan lahannya dengan asumsi bahwa konversi lahan tersebut lebih menguntungkan.

Salah seorang warga setempat menjelaskan bahwa, petani-petani yang mengkonversi lahan pada umumnya berlahan sempit. Menurut mereka, lahan sempit yang mereka miliki sama sekali tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka yang semakin meningkat. Dengan alasan itu, mereka mencoba mencari usaha lain di bidang non pertanian yaitu dengan mengubah lahan mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Alasan mereka adalah, setelah mendapatkan hasil dari penambangan pasir dan batu dari lahan yang mereka konversi, mereka ingin membeli tanah lagi yang kemudian akan diusahakan untuk kegiatan pertanian. Mereka beranggapan demikian karena menyadari bahwa keuntungan yang berlimpah ini tidak akan berlangsung lama. Berikut penjelasan petani tersebut (Pak Warisman, 30 tahun) terkait pengakuan ini:

“Sebenarnya cita-cita saya nanti pengen membeli tanah lagi untuk usaha pertanian. Walaupun saya tahu sekarang saya lebih berhasil ketika tanah saya dijadikan tambang pasir dan batu, tetapi kalo sudah tua, saya mau makan apa kalo tanah saya sudah habis digali.”

6.2.1.5 Tingkat Ketergantungan pada Lahan

Petani pada umumnya sangat tergantung pada lahan demi mempertahankan hidupnya. Namun, tingkat ketergantungan tersebut berbeda-beda sesuai kebutuhannya dalam mengolah lahan tersebut. Ada yang sepenuhnya

menggantungkan hidupnya pada lahan, tetapi ada pula yang hanya menjadikan pertanian sebagai sumber penghasilan sampingan. Logikanya, perbedaan tingkat ketergantungan pada lahan ini akan mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan. Artinya, ketika petani tidak terlalu tergantung pada lahannya, kemudian memiliki usaha lain, kecenderungan petani tersebut untuk mengkonversi lahan lebih tinggi. Begitu juga sebaliknya, petani yang sangat tergantung pada lahannya akan berfikir berkali-kali sebelum mengkonversikan lahan mereka.

Kenyataan menunjukkan hal yang berbeda yaitu pada kasus konversi lahan di Desa Candimulyo. Sebagian besar petani di desa ini sangat menggantungkan hidupnya pada lahan mereka. Logikanya, ketika seorang petani tersebut sangat tergantung pada lahannya, kemungkinan petani tersebut mengkonversi lahan sangatlah kecil. Tetapi yang terjadi adalah, sebagian besar petani yang mengkonversi lahan di desa ini adalah petani yang sangat bergantung pada lahannya di bidang pertanian. Ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pada lahan ini tidak ada hubungannya dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan.

“Saya sudah lama menjadikan lahan saya sebagai galian pasir dan batu. Sebelum saya melakukan ini, saya memang sangat menggantungkan hidup saya pada lahan ini (pertanian). Wong dari dulu saya cuma bisa bertani. Tapi sekarang kan saya sudah berkeluarga, tanggungan nambah, lahan tetep segini-segini aja. Akhirnya terpaksa saya korbankan lahan saya demi keluarga saya.” (Pak Ngadiman)

Ungkapan seorang petani yang kini menjadikan lahannya sebagai tambang pasir dan batu tersebut membuktikan bahwa, sebenarnya tingkat ketergantungan pada lahan bukanlah faktor pendorong para petani tersebut mengkonversi lahan, melainkan ada faktor lain yang lebih mendesak, misalnya jumlah tanggungan keluarga, dan himpitan ekonomi.

Kesimpulannya, dugaan bahwa tingkat ketergantungan pada lahan berhubungan dengan konversi lahan, tidak berlaku untuk kasus konversi lahan di Desa Candimulyo. Hal ini turut dibuktikan dengan melihat hasil survei dari 30 responden yang hasilnya tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Tingkat Ketergantungan pada Lahan dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

Konversi Lahan Tingkat Ketergantungan

pada Lahan konversi tidak konversi Total

Rendah 1 1 2

Tinggi 7 21 28

Total 8 22 30

Tabulasi silang di atas menunjukkan hubungan antara tingkat ketergantungan petani pada lahan dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan pada lahan dengan konversi lahan. Dari delapan petani yang mengkonversi lahan, hanya satu orang yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah pada lahannya. Begitu juga dengan petani yang tidak mengkonversi lahan. Dari 22 petani yang tidak mengkonversi lahan, hanya satu di antaranya yang memiliki ketergantungan yang rendah pada lahannya.

Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis chi-square pada Tabel 9 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan pada lahan dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai probabilitas sebesar 0,44 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0.05). Analisis ini menolak dugaan yang menyatakan bahwa konversi lahan yang dilakukan oleh petani ada hubunganya tingkat ketergantungan pada lahan. Memang pada faktanya tingkat ketergantungan pada lahan tidak ada kaitannya dengan konversi lahan yang

banyak terjadi di Desa Candimulyo. Secara umum, petani sangat menggantungkan hidupnya pada lahan pertaniannya baik petani berlahan sempit maupun luas. Jadi, konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini bukanlah karena petani memiliki tingkat ketergantungan yang rendah pada lahannya, melainkan ada faktor lain yang menekan mereka misalnya kesulitan ekonomi dan tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

6.2.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal juga merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan konversi lahan. Dalam kasus ini, aspek-aspek faktor eksternal yang berhubungan dengan konversi lahan kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan pertanian, sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah pengaruh investor dan tetangga. 6.2.2.1 Pengaruh Tetangga

Jumlah petani Desa Candimulyo yang telah mengkonversikan lahan mereka semakin banyak dari tahun ke tahun. Menurut informasi perangkat desa, fenomena konversi lahan ini diperkirakan akan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang. Tidak hanya di Desa Candimulyo, bahkan di desa-desa sekitarnya. Sangat dimungkinkan bahwa, pesatnya perkembangan konversi lahan di desa ini disebabkan karena pengaruh tetangga yang telah mengkonversikan lahan mereka. Melihat jumlah petani yang mengkonversikan lahannya semakin banyak, tidak menutup kemungkinan, petani-petani yang lain akan ikut mengkonversi juga, apa lagi mereka yang telah mengkonversi tadi telah terlihat keberhasilannya.

Analisis statistik dilakukan untuk menguji kebenaran dari fenomena ini yaitu dengan melakukan survei pada 30 responden yang hasilnya tertuang pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Pengaruh Tetangga dan Konversi Lahan di Desa Candimulyo Tahun 2008.

Konversi Lahan Pengaruh Tetangga

Konversi Tidak Konversi Total

Rendah 5 18 23

Tinggi 3 4 7

Total 8 22 30

Tabulasi silang di atas menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah tetangga yang mengkonversi dengan konversi lahan. Dapat dilihat pada tabel bahwa, dari delapan petani yang mengkonversi lahan, hanya tiga petani yang pengaruh tetangganya tinggi. Begitu juga dengan petani yang tidak mengkonversi lahan, dari 22 petani, hanya empat petani yang pengaruh tetangganya tinggi.

Analisis chi-square juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh tetangga dengan konversi lahan, yaitu dengan nilai

Dokumen terkait