• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja 1.Pelatihan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelasan

2.7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja 1.Pelatihan

Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan di tempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik dan lebih dalam serta memperbaharui pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996).

Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama, pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan aman dan mengapa hal itu penting. Kedua, pelatihan menunjukkan bahwa manajamen memiliki komitmen terhadap keselamatan. Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman

Latihan keselamatan adalah penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja baru yang belum terbiasa bekerja dengan selamat. Sebabnya adalah ketidaktahuan cara mencegahnya, sekalipun tahu tentang adanya suatu risiko bahaya tersebut. Ada pula tenaga kerja baru yang sebenarnya menaruh perhatian tehadap

adanya bahaya, tetapi ia tidak mau disebut takut dan akhirnya menderita kecelakaan. Pentingnya segi keselamatan harus ditekankan kepada tenaga kerja oleh pelatih, pimpinan kelompok atau isntruktur (Suma’mur 2009).

2.7.2. Peraturan

Dalam penelitiannya Pratiwi (2009) mengemukakan pendapat beberapa ahli seperti Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar, norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Roughton, 2002).

Notoatmodjo (1993) dalam Syaaf (2008) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.

Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut (Goestch, 1996):

1. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

2. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami peraturan tersebut.

3. Manajamen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten.

Manajemen yang tidak memenuhi kriteria di atas dianggap teledor. Memiliki peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkonsumsikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut di tempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan (Goestch, 1996).

Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja dari mulai pekerja baru hingga kepada eksekutif. Konsistensi maksudnya adalah peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti hukuman diberikan kepada setiap pelanggaran. Gagal untuk menjadi objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya perusahaan untuk mempromosikan keselamatan (Goestch, 1996).

Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. Hubungan antar peraturan keselamatan dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran dapat didiskusikan bersama dengan pekerja. Pekerja kemudian diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja ikut dilibatkan dalam perumusan peraturan, mereka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut (Roughton, 2002).

Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan (Goestch, 1996) antara lain: 1. Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan dapat menimbulkan

overload.

2. Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ambigu atau sulit dipahami.

3. Tulis hanya peraturan penting untuk memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

4. Libatkan pekerja dalam perumusan peraturan yang berlaku bagi area operasi tertentu.

5. Rumuskan hanya peraturan yang dapat dan akan ditegakkan. 6. Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan.

2.7.3. Pengawasan

Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja.

Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja yaitu :

1. Pengawas (Supervisor)

Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui dan juga pengendaliannya.

2. Pekerja

Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard.

3. Safety Professional

Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program pencegahan dan pengendalian bahaya.

2.7.4. Ketersediaan Fasilitas

Penggunaan APD merupakan penyambung dari berbagai upaya pencegahan kecelakaan lainnya atau ketika tidak ada metode atau praktek lain yang mungkin untuk dilakukan (Roughton, 2002).

Aneka alat-alat APD adalah kaca mata (goggles), safety shoes, sarung tangan, topi pengaman, pelindung telinga, pelindung paru-paru, dan lain-lain. Desain dan pembuatan APD harus memenuhi standar-standar tertentu dan sudah diuji terlebih dahulu kemampuan perlindungannya (Suma’mur, 2009).

Melindungi Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) perilaku dapat terbentuk dari tiga faktor, salah satunya faktor pendukung (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku

otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya sikap tersebut

Pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar dapat dimengerti arti pentingnya penggunaan APD dan bagaimana cara menggunakan serta merawatnya dengan baik. Pekerja juga harus diberitahu mengenai keterbatasan dari APD. APD tidak selalu cocok untuk digunakan dalam setiap situasi karena memang didesain secara khusus untuk suatu pekerjaan saja. Selain pelatihan, penguatan positif dan peraturan yang mengatur tentang penggunaan APD juga sangat dibutuhkan.

2.7.5. Hukuman dan Penghargaan

Menurut Geller (2011) hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk meghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden (Roughton, 2002).

Sedangkan penghargaan menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk parasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimistisme, dan rasa memiliki.

Menurut Wilde dalam Syaaf (2008) penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektifitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :

1. Efek Atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.

2. Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi batas kecepatan kerja daripada menekankan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didesain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.

3. Hukuman membawa efek samping negatif. Hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang tidak ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin akan muncul.