• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel

B. Deskripsi Temuan Penelitian

2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel

Salah satu jenis karya sastra yang paling banyak menampilkan unsur-unsur sosial masyarakat adalah novel. Hal ini dikarenakan secara sosiologi sastra, novel dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat atau dokumen sosial. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat akan berusaha menciptakan karya yang terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata di masyarakat yang kemudian diimajinasikan menjadi kejadian fiktif.

Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2005: 552) bahwa untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan karya sastra, khususnya novel, caranya adalah: pertama, menganggap novel sebagai aktivitas kreatif, novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Kedua, novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Cara yang pertama menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti tokoh, peristiwa, dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang diciptakan semata-mata melalui imajinasi. Cara yang kedua mengkondisikan karya sebagai alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya.

Berdasarkan pendapat di atas, maka secara sosiologi sastra, faktor yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut ini.

a. Penulisan novel Ranah 3 Warna ini berawal dari kegemaran sang penulis yaitu Fuadi (2011) dalam menulis diary. Kegiatan menulis diary ini dimulainya ketika masih SMP yang terinspirasi dari ibunya yang juga suka menulis diary. Ternyata lama-kelamaan kegiatan menulis diary menjadi kebiasaannya ketika menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor dan melanjutkan kuliahnya di Unpad. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

“Semuanya berasal dari diary,” tutur Ahmad Fuadi saat memulai perbincangan di rumahnya di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan (6/10). “Sejak saat itu, SMP, saya mulai ikut-ikutan Ibu saya menulis

commit to user

diary,” katanya lagi. Catatan harian pun kemudian menjadi sahabat setia Fuadi. Hampir setiap hari buku tersebut terkena goresan pena-nya. Sesampai di Ponorogo, saat ia melanjutkan studi di Pondok Modern Darussalam Gontor, buku itu masih setia. Bahkan, di Pesantren Gontor yang mewajibkan santrinya untuk menggunakan dua bahasa pengantar, Arab dan Inggris, sehari-hari, diary Fuadi meliputi tulisan-tulisan dalam dua bahasa tersebut, ditambah dengan Bahasa Indonesia tentunya. Kemudian ia bertolak ke Universitas Padjajaran (Unpad) di Bandung, hingga akhirnya berhasil menggenggam setidaknya 8 “tiket” studi ke luar negeri, seperti ke Kanada, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat (CLHW N0. 2).

b. Alasan Fuadi (2011) mengambil judul Ranah 3 Warna untuk novel keduanya ini adalah bentuk representasi 3 setting yang terdapat dalam novel ini. Ranah 3 Warna menggambarkan tiga tempat yang meliputi Bandung (Indonesia), Yordania, dan Kanada. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

"Ada 3 setting dalam Ranah 3 Warna. Ada setting Indonesia, Jordania dan Kanada. Cover buku ini merupakan representasi dari cerita besarnya. Ada gambar daun maple yang represent Kanada, pasir yang represent Jordania dan rumput represent Indonesia. Pemilihan rumput untuk represent Indonesia karena teringat kalo pagi-pagi di Bandung itu banyak rumput hijau yang dujungnya ada embun yang sejuk. Ada sepasang sepatu diatas itu yang merupakan representasi perjalanan anak rantau yang penuh cobaan namun terus berusaha coba berjalan. Makanya sepatunya itu bulukan dan nanti akan menjadi sebuah karakter dalam cerita ranah 3 warna yang disebut Si Hitam" (CLHW No. 4).

Bandung merupakan tempat Fuadi (2011) ketika kuliah di Unpad sedangkan Kanada adalah negara yang dikunjunginya ketika mengikuti program pertukaran pemuda. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Masih di Bandung, Fuadi kemudian memberanikan diri untuk menjadikan tulisannya sebagai “senjata” untuk terbang ke Quebec, Kanada, dalam rangka mengikuti Youth Exchange Program. Padahal, sesuai ketetapan panitia waktu itu, mahasiswa yang berhak mendapatkan kesempatan tersebut adalah mereka yang bisa melakukan keterampilan seni, seperti menyanyi atau menari. Kisah ini juga ditorehkan dalam novel Ranah 3 Warna, dan ketika saya mengonfirmasi mengenai peristiwa tersebut, Fuadi mengatakan,“Ya, seingat saya memang begitu kejadiannya. Jadi, saya bingung, saya enggak bisa nyanyi apalagi nari. Ya udah, saya tunjukin aja itu tulisan-tulisan,” kenangnya. Alasan Fuadi memberanikan diri untuk berbuat yang agak menentang panitia itu beralasan, “Karena menulis itu adalah sebuah kelebihan yang jarang orang punya. Apalagi tulisan yang diterbitkan. Dan, itu seharusnya juga

commit to user

dihargai. Buat anak muda seharusnya itu juga salah satu yang bisa

dibanggakan,” ia menerangkan (CLHW No. 2).

c. Sumber inspirasi Fuadi (2011) dalam pembuatan novel Ranah 3 Warna adalah pengalaman nyata dirinya sendiri yang ia alami. Pengalaman-pengalaman tersebut lebih banyak ia alami ketika memasuki bangku kuliah di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Selama perantauan di Bandung inilah kegiatan menulis Fuadi menemui momentumnya. Diceritakan dalam novel ke-2 nya, Ranah 3 Warna, saat itu tokoh Alif yang merupakan adaptasi dari dirinya sendiri, harus berpisah selama-lamanya dengan sang ayah di kampung halaman. Nasib pendidikan tokoh Alif pun hampir-hampir di ujung tanduk. Ibunya harus memikirkan sekolah kedua adiknya di kampung. Tinggallah kemudian tokoh Alif harus bertahan hidup agar studinya di Bandung tak sampai berhenti di tengah jalan.

Di tengah desakan hidup seperti itu, tokoh Alif mencoba peruntungan di dunia dagang, namun sayangnya tak berhasil. Kegagalan dalam berdagang tersebut kemudian membawa konsekuensi yang lain, dimana ia akhirnya jatuh sakit. Semakin terdesak, Alif pun mau tak mau memutar otak untuk memikirkan cara bagi dirinya untuk menghasilkan uang. Ketemu jawabannya, yakni dengan menulis. Ia menulis artikel-artikel opini untuk dikirim ke berbagai media massa dan berhasil diterbitkan. Caranya, ia menganalisa isu-isu hangat seperti konflik Palestina-Israel dengan menggunakan pelajaran yang ia terima dari kelas kuliah seputar hubungan (sosial-politik) internasional (CLHW No. 2).

d. Alasan Fuadi (2011) menulis trilogi Negeri 5 Menara dengan buku keduanya yang berjudul Ranah 3 Warna adalah agar tulisan yang ia tulis dan berasal dari kisahnya bermanfaat bagi orang lain. Meski dia tidak berasal dari keluarga penulis, namun ia berhasil menuliskan pengalamannya dalam bentuk novel berbekal pengalamannya sebagai wartawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor. Ada hadist Rasulullah yang berbunyi kurang lebih bermakna sebaik-baiknya manusia adalah membawa manfaat bagi orang lain. “Ada pencarian ke dalam bagaimana supaya saya bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita tidak punya kelebihan, tidak punya jabatan sehingga saya merasa sangatlah terbatas. Kemudian saya ingat kebiasaan menulis yang mungkin bisa

commit to user

memberi manfaat lebih banyak. Ada keinginan menulis novel, tapi tidak bisa. Saya terbiasa menulis, maka mungkin dengan menulislah saya bisa memberikan manfaat itu,” tuturnya (CLHW No. 3).

Meski sudah tercatat sebagai pengarang terkenal, Fuadi mengaku tak satupun dari keluarga besar mereka yang pengarang. Kakeknya dari Matur memang pernah menulis beberapa lembar kisah hidupnya, tapi tidak teratur dan tak kunjung kelar. Ayahnya, kata Fuadi, sangat ahli membuat naskah pidato. “Darah yang benar-benar menulis itu tidak ada. Kedua garis ayah dan Amak adalah pendidik. Orang tua Amak di Matua, guru agama. Di pihak Ayah, kakek di Maninjau juga punya pesantren. Keluarga besar kami dari dunia pendidikan,” ucapnya (CLHW No. 3). e. Dalam menulis novel Ranah 3 Warna ini, Fuadi (2011) tidak banyak mendapat kendala karena isinya berasal dari kisah nyata yang sebagian dialami oleh penulisnya sendiri. Pendidikannya selama di pesantren menjadikan Fuadi memperoleh banyak filosofi hidup yang ia jadikan sebagai penyemangat dan inspirasi bagi orang lain. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Jika dalam buku pertama ia menginspirasi pembaca lewat Man Jadda Wa Jadda (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan), maka dalam R3W anda dapat merasakan ampuhnya mantra Man Shabara Zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). “Kalau kita terus bersabar, Tuhan itu Maha Mendengar. Tuhan itu bersama orang yang sabar,” cetus Fuadi. Selama proses pembuatan R3W, pria berkacamata tersebut mengaku tak menemukan kendala berarti. “Struktur utamanya kisah nyata. Jadi semuanya ada di kepala saya, nggak susah,” sambungnya (CLHW No. 1).

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa latar belakang yang dominan dalam penciptaan novel Ranah 3 Warna adalah pengalaman nyata yang dialami penulisnya yang kemudian dituangkan dalam bentuk novel.

3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi

Dalam sebuah karya sastra, seorang pengarang tentunya tak lupa menyelipkan unsur nilai-nilai pendidikan agar karya tersebut bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat dimunculkan pengarang secara langsung dan tidak langsung dalam cerita lewat perbuatan tokoh, dialog, perwatakan tokoh, dan lain-lain. Pengarang sebagai seorang umat manusia secara otomatis akan membuat karya yang menceritakan pengalaman dan perjalanan

commit to user

hidupnya atau orang lain dengan bahasa figuratif dan menjadikan karya tersebut sebagai karya yang mendidik dizamannya. Mudyaharjo (2001: 47) menyatakan bahwa pendidikan sebagai pengalaman yang tidak terbatas dalam waktu, tempat, dan bentuk adalah bersifat random, yaitu terjadi kapan pun sepanjang kurun waktu usia hidup, di mana pun dalam lingkungan hidup, dan kapan pun dalam perjalanan hidup seorang manusia, serta siapa pun dari umat manusia adalah pelajarnya, dengan pengalaman hidup sebagai guru, dan lingkungan adalah hidup tempat belajar atau sekolah umat manusia.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka nilai pendidikan dalam novel yang ditemukan adalah nilai pendidikan moral, religius, dan sosial. Ketiga temuan tersebut akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya. Analisis yang akan dideskripsikan meliputi penjabaran mengenai contoh-contoh nilai pendidikan moral, religius, dan sosial yang terdapat dalam novel. Adapun hasil pembahasannya adalah sebagai berikut.

a. Nilai Pendidikan Moral

Nilai didik moral adalah perilaku seseorang yang berkaitan dengan hati nurani, akhlak baik atau buruk, kewajiban menjalankan tugasnya dan juga tanggung jawab. Nilai didik moral yang terkandung di dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut.

1) Dalam menuntut ilmu, kita tidak boleh mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Seperti pepatah carilah ilmu sampai ke negeri Cina yang menandakan betapa berharganya sebuah ilmu. Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban manusia terhadap sang penciptanya. Dengan ilmu pengetahuan diharapkan manusia dapat berfikir akan tanda-tanda kebesaran Tuhan sehingga antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat dapat berjalan seimbang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Tapi hatiku mencoba menenangkan perasaanku yang panas. Mungkin ini bagian dari perjuangan menuntut ilmu. Bukankah Imam Syafi’i pernah menasihati bahwa menuntut ilmu itu perlu banyak hal, termasuk tamak dengan ilmu, waktu yang panjang, dan menghormati guru. Kalau dia guruku, aku harus hormat padanya dan bersabar menuntut ilmu darinya (R3W: 76).

commit to user

2) Jangan pernah putus asa dan menyerah sebelum mencoba. Setiap orang harus berani mencoba tanpa kenal menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Selain itu, kita juga harus menjaga semangat dan memotivasi diri untuk menggapai impian setinggi apapun itu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Aku sentuh halaman diary yang kesat ini dengan mata terpejam untuk meresapi maknanya. Aku tutup diary ini dengan semangat yang bergelora sampai ubun-ubun. Walau aku tidak bisa menari dan bernyanyi, kalau aku berusaha dengan sungguh, lambat laun aku akan berhasil mengatasi hambatan. Bolehlah aku bagai sebuah golok berkarat dalam hal kesenian ini, tapi kalau aku mau bersabar dan mencoba berulang-ulang, hambatan akan aku patahkan akhirnya. Aku akan buktikan! (R3W: 195).

3) Kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua. Artinya setiap anak wajib bersikap baik kepada kedua orang tuanya atas jasa-jasa mereka selama ini membesarkan anak-anaknya tanpa pamrih. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas mengorbankan masa mudah yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku. Karena itu aku tidak boleh lemah. Aku harus keras pada diriku sendiri. Pedih harus aku rasai untuk tahu benar rasanya senang. Harus berjuang melebihi rata-rata orang lain. Man jadda wajada! (R3W: 117).

4) Jangan meremehkan perilaku meminjam karena terkadang tanpa kita sadari perilaku tersebut dapat menjadikan hubungan dengan orang lain retak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya gara-gara pinjam- meminjam. Yang jelas, aku kini punya sebuah pelajaran baru dalam hidupku. Sungguh, jangan pernah remehkan meminjam karena bisa mengubah persahabatan. Bahkan persahabatan yang kuat dan lama sekalipun. Bahwa meminjam itu bisa lebih berbahaya daripada meminta. Begitu kita meminta, apa pun objeknya, pasti telah diputuskan untuk diberikan oleh yang punya. Semua terang benderang. Ada ijab dan kabul. Ada yang ikhlas memberi dan ada yang ikhlas menerima. Tapi ketika sesuatu dalam status dipinjam, tidak ada kata putus di sana. Mungkin selalu ada benih konflik yang ikut tertanam bersama

commit to user

meminjam. Dia bisa beracun dan laten. Sejak itu, meminjam menjadi salah satu hal yang paling aku hindari (R3W: 172).

5) Menjaga nama baik diri, keluarga, bangsa, dan negara dimanapun kita berada. Sebisa mungkin kita berkelakuan baik dan bertutur kata yang santun dimanapun tempatnya dan kapanpun. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Di ujung langkah, Ayah mengajak kami sekeluarga berkumpul. “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama baik dan kelakuan. Elok-elok menyeberang. Jangan sampai titian patah. Elok-Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” (R3W: 41)

b. Nilai Pendidikan Religius

Nilai religius adalah nilai keagamaan atau lebih luas yaitu nilai yang menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani, harkat, martabat dan kebebasan seseorang. Sedangkan nilai didik religius adalah nilai yang mengajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai didik religius yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut.

1) Man jadda wajada. “Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”. Mantra ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang mempunyai tekad kuat dan selalu meyakini bahwa Allah SWT akan selalu menolong hamba-Nya yang berada dalam kesulitan maka ia akan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Di atas segala macam tempelan pelajaran ini, aku tempel sebuah kertas karton merah, bertuliskan tulisan Arab tebal-tebal: Man jadda wajada! Mantra ini menjadi motivasiku kalau sedang kehilangan semangat. Bahkan aku teriakkan kepada diriku, setiap aku merasa semangatku melorot. Aku paksa diriku lebih kuat lagi. Aku lebihkan usaha. Aku lanjutkan jalanku beberapa halaman lagi, beberapa soal lagi, beberapa menit lagi (R3W: 12).

Aku ingat semalam bermimpi jadi pemain Denmark dan menyepak-nyepak selama tidur. Pagi-pagi yang dingin itu aku mendapat semangat baru, aku punya tekad baru, aku punya doa baru. Aku akan menjadi seperti Denmark dalam menghadapi UMPTN. Aku bisa menjadi dinamit seperti Denmark. Kan aku ledakkan sebuah prestasi. Akan aku bungkam semua keraguan. Man jadda wajada (R3W: 25).

commit to user

2) Setiap manusia harus ikhlas menerima semua yang ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT untuknya baik itu berupa kesenangan, kesusahan, cobaan hidup, dan lain-lain. Allah SWT selalu menetapkan yang terbaik untuk hamba-Nya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Aku coba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan segenap upaya, di atas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya (R3W: 28).

Wajah Ayah tenang, tapi berawan. Tangan itu telah kelu dan semakin lama semakin dingin. Dingin yang perih. Aku belai muka Ayah dengan kedua tanganku. Lalu aku rapatkan kelopak matanya yang setengah terbuka dengan ujung telunjuk dan jempolku. Sambil memicingkan mata, aku genggam tangan beku Ayah. Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillahi wainna ilaihi rajiun. Semua yang ada di dunia hanya punya Dia, dititipkan sementara dan semuanya akan kembali ke Dia (R3W: 96).

3) Selama masih hidup, manusia akan selalu mendapat cobaan dari Tuhan untuk menguji keimanannya. Untuk itu, ia harus selalu bersabar dalam menghadapi cobaan itu. Siapa yang bersabar maka akan beruntung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

SABAR? Telingaku bagai berdiri. Terasa asing. Padahal kata ini dulu sangat familier bagiku. Aku pikir-pikir lagi, kapan aku terakhit bersabar. Aku mencoba bersabar ketika mengantarkan jasad Ayah sampai ke lahat. Aku sabar ketika harus ikut ujian tanpa persiapan memadai. Aku sabar ketika kembali ke Bandung sebagai anak yatim. Itu sejauh yang aku ingat aku masih sabar. Setelah itu sabar aku ganti dengan kesal dan gerutu. Apalagi ketika upayaku mencari duit tidak gampang, dan semakin menjadi-jadi ketika aku jatuh sakit 3 minggu yang lalu. Kosakata sabar seperti hilang dalam kamus hidupku. Aku bahkan mulai mempertanyakan nasib (R3W: 129).

Akhirnya aku sampai pada suatu simpulan yang selalu diajarkan di PM: ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar aku bisa menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini. aku ikhlaskan mereka bertuangan. Aku telah bersabar, telah mengamalkan man shabara zhafira, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik buat aku, buat Randai, dan buat Raisa (R3W: 460-461).

Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini terang di

commit to user

mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku (R3W: 135).

4) Kesuksesan seseorang dapat tercapai hanya dengan kerja keras dan diiringi doa. Kerja keras tiada artinya tanpa doa. Setiap Orang tua di dunia ini pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya . Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

“Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkan-Nya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak (R3W: 41).

Di lepas dengan doa dari Amak dan Ayah aku merasa siap maju ke medan perang. Aku tidak boleh kalah dengan keadaan dan keraguan orang lain (R3W: 13).

5) Sebagai umat muslim kita harus berprasangka baik kepada siapapun terutama kepada Allah SWT, sehingga dengan berprasangka baik yang kita dapatkan juga kebaikan pula. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Ya Tuhan, aku berprasangka baik untuk semua keputusanMu. Lambat laun, hatiku pun menjadi sejuk dan tenteram. Aku menengadah ke langit Bandung yang kembali mendung sore itu. Gerumbul awan sore di mataku masih berbentuk benua Amerika. Hanya Tuhan yang tahu apa ini hanya akan jadi mimpi atau nanti jadi nyata. Biarkan Tuhan yang memutuskan mana yang terbaik buatku. Dia Maha Tahu, Dia Maha Mengerti, Dia Maha Adil. Insya Allah, Tuhan tahu yang terbaik buatku. Dan sungguh Dia selalu memberi yang terbaik (R3W: 208).

6) Apapun hasil kerja keras kita, itulah yang terbaik untuk kita. Kita juga harus selalu bersyukur atas hasil yang kita peroleh dari usaha tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

Walau bukan Teknik Penerbangan ITB, seperti impian awalku, Jurusan Hubungan Internasional adalah sebuah rezeki besar bagi diriku. Beralaskan koran pengumuman, aku sujud syukur untuk keajaiban ini. Keajaiban tekad dan usaha, keajaiban restu orang tua, keajaiban doa. Di sebelahku, Ayah juga sujud lama sekali (R3W: 30).

7) Man yazra’ yahsud. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam. Mantra ini mengajarkan pada kita untuk berhati-hati dalam melakukan segala hal. Apapun yang kita perbuat maka kita kan menuai hasil perbuatan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.

commit to user

Bangkit dari sujud, ingin rasanya aku meneriakkan ke seluruh dunia apa yang menggelegak di dadaku. Semua pandangan sebelah mata serta ucapan meremehkan dan belas kasihan kini telah aku bayar tuntas.

Dokumen terkait