• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Teori

2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan salah satu cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif karena memotret sastra sebagai cerminan kehidupan sosial masyarakat. Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1893. Istilah tersebut dikemukakan oleh seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Aguste Comte. Ia telah mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama “sosiologi, yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan”, dan kata Yunani logos, yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat” (Soekanto, 2002: 4).

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/ socius berarti masyarakat, logi/ logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ratna, 2003:1).

Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) yang akan dijabarkan sebagai berikut ini.

1) Sosiologi komunikasi sastra menempatkan kembali sang pengarang dalam konteks sosialnya (status, pekerjaan, keterikatannya akan suatu kelas, ideologi dan sebagainya) lalu meneliti sejauh itu semua mempengaruhi karyanya. Proses produksi pada umumnya, misalnya peranan penerbit (ingat akan peranan Balai Pustaka dulu) akan diteliti.

commit to user

2) Penafsiran teks secara sosiologis menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah karya, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Dengan demikian kentaralah di mana diadakan manipulasi. Sambil meneliti fungsi manakah yang dominan dalam sebuah teks (hiburan, informasi, sosialisasi) maka dapat dilacak peranan sastra dalam masyarakat ( Hartoko dan Rahmanto, 1986: 129). Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan masyarakat). Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Keyataan tersebut buakanlah jiplakan kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara, 2003: 78).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Soekanto (2002: 14-15) mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah:

a) Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

b) Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.

c) Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori yang lama.

commit to user

d) Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah baik-buruknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

b. Struktur Sosial

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren, 1990: 109). Pernyataan tersebut mempunyai pengertian bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial yang disesuaikan dengan norma masyarakat. Sastra yang baik merupakan cerminan sebuah masyarakat. Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Sejalan dengan pendapat di atas, Saparie (2007) menyatakan hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa. Namun, bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat.

Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2009:335-336) bahwa di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.

Atas dasar hubungan bermakna antara karya yang diciptakan dengan masyarakat dimana pengarang mencipta, dapatlah diketahui kelas sosial mana yang dominan, pandangan dunia apa yang dimilikinya. Dalam studi kultural

commit to user

mekanisme seperti ini jelas bermanfaat dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai konflik kelas, yang pada gilirannya juga bermanfaat untuk menemukan indikator-indikator tertentu dalam rangka mewujudkan stabilitas sosial. Kesulitan pokok yang dihadapi dalam hubungan ini adalah menemukan jenis pandangan dunia itu sendiri. Berbeda dengan tema, amanat, dan pesan-pesan lain yang dapat diidentifikasi secara tekstual, pandangan dunia harus dicari dengan cara mengungkap pandangan kelas sosial, menelusurinya ke masa lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin (Ratna, 2005: 165-166).

Pendapat di atas diperkuat pendapat Taine (Simpulan dikutip dalam Anwar, 2010: 21) bahwa sifat karya sastra adalah dokumen pelengkap sebab karya sastra adalah sebuah monumen. Perbedaan periode sejarah dalam sastra justru menciptakan hubungan yang harmonis antara kecerdasan dan zaman. Pertama-tama, sastrawan melakukan penetrasi kecerdasannya dalam memahami zaman dalam karya sastranya, selanjutnya sastrawan melakukan penetrasi yang lebih jauh ke dalam kecerdasan zaman dan rasnya. Apapun hasil cipta suatu karya sastra, menurut taine, mempunyai validitas yang sama untuk dijadikan sebagai dokumen sosial, sekalipun karya sastra tersebut, tidak ekspresif dan representatif secara sosial.

Menurut Ratna (2003: 100), pola-pola hubungan antara sastra dengan masyarakat, dipandang sebagai pola-pola yang selalu berada dalam proses perubahan, bukan pola-pola hubungan yang monolitis. Dinamika pola-pola hubungan mengimplikasikan pengaruh artistik seni sastra atas struktur sosial dalam kondisi-kondisi struktur intrinsik karya yang juga berubah. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa struktur sosial dalam suatu masyarakat turut mengondisikan struktur suatu karya sastra. Perubahan struktur sosial melalui proses-proses tertentu dapat menjadi sebuah refleksi bagi seorang pengarang untuk memindahkan kejadian-kejadian nyata menjadi kejadian fiktif yang berbentuk karya sastra.

Basrowi (2005: 67) memaparkan bahwa struktur sosial adalah hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Struktur sosial tidak hanya mengandung

commit to user

unsur kebudayaan saja, tetapi tetap mencakup seluruh prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil. Pengertian lain dipaparkan oleh Taneko (1993: 47) yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Bertolak dari pengertian tersebut, peranan struktur dalam sosial kemasyrakatan adalah memelihara kontinuitas yang bersifat struktural dari peranan-peranan individu-individu yang tergabung di dalamnya.

Hakikat struktur sosial diperkuat Taneko (1993: 47) yang mengemukakan bahwa unsur-unsur pokok struktur sosial suatu masyarakat terdiri dari: (1) kelompok-kelompok sosial; (2) lembaga-lembaga sosial atau institusi-institusi sosial; (3) kaidah-kaidah atau norma sosial; dan (4) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial.

1) Kelompok-kelompok Sosial

Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama (Taneko, 1993: 49). Suatu kelompok sosial terbentuk karena adanya pergaulan hidup di antara individu-individu pada waktu dan tempat tertentu. Setiap individu membutuhkan interaksi dengan individu yang lain. Oleh karena itu, individu memiliki rasa ketergantungan dengan individu lain dan berinteraksi sehingga muncul kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat.

2) Lembaga-lembaga Sosial atau Institusi Sosial

Lembaga sosial termasuk unsur sosial yang pokok. Bertrand menyatakan bahwa institusi-institusi sosial pada hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur sosial) yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat (dalam Taneko, 1993: 72). Di bawah ini adalah pemaparan fungsi dan struktur dari beberapa institusi, yakni keluarga, institusi pemerintahan, institusi ekonomi, dan institusi religi.

a) Keluarga

Keluarga merupakan fokus umum dari pola-pola institusional (Taneko, 1993: 75). Aspek umum yang terdapat dalam pola institusi keluarga

commit to user

adalah seperti pola pelamaran, perkawinan, kekerabatan, dan sebagainya. Pola-pola seperti itu mengindikasikan bahwa keluarga merupakan pusat kehidupan secara individual yang didalamnya terdapat suatu hubungan yang intim dan dalam derajat yang tinggi. Keluarga adalah institusi yang meneruskan keturunan. Berdasarkan pengertian ini, dijabarkan bahwa keluarga mempunyai fungsi sebagai penanggungjawab, pemelihara, pengasuh, dan pendidik anak. Selain itu, keluarga juga berfungsi sebagai unit ekonomi. Artinya, keluarga merupakan unit produksi untuk menghasilkan pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan material lainnya itu, dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar keluarga (Taneko, 1993: 75-76).

Horton dan Hunt (1996: 274-279) menjabarkan beberapa fungsi keluarga, yaitu fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis.

b) Institusi pemerintahan

Institusi pemerintahan adalah institusi yang mempunyai kewenangan untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan, dan melindungi warga masyarakat dari bahaya luar (Taneko, 1993: 77). Instistusi pemerintahan memerlukan suatu organisasi yang spesifik, yaitu negara. Horton dan Hunt (1996: 379) berpendapat bahwa kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan. Di lain pihak, Weber (dalam Sunarto, 2004: 74) memberi pandangan bahwa kekuasaan perlu dibedakan dengan dominasi. Suatu dominasi memerlukan suatu keabsahan, yaitu pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap dominasi tersebut agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah.

commit to user

c) Institusi ekonomi

Institusi ekonomi berpusat pada kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa. Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institusi ekonomi. Jika ada suatu masyarakat, pasti di dalamnya terdapat institusi ekonomi. Taneko (1993:81) berpendapat bahwa masyarakat sangat kompleks dan menurut kompleksitasnya tipe organisasi yang menjalankan aktivitas ekonomi. Wallek dan Warren (1990: 115) berpendapat bahwa sosiologi sastra bertugas menelusuri status sosial kelas, meneliti ketergantungannya pada kelas penguasa, serta mempelajari sumber ekonomi dan prestisenya dalam masyarakat. d) Institusi religi

Institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi di dalam masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supranatural (Taneko, 1993: 83). Lembaga agama termasuk institusi religi. Agama merupakan sesuatu yang sering didefinisikan sebagai anggapan teratur terhadap unsur supranatural (Horton dan Hunt, 1996: 326). Masyarakat yang heterogen memungkinkan adanya suatu golongan masyarakat yang tidak menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai sistem ritual atau kepercayaan yang serupa dan agama yang di dasarkan atas unsur supranatural.

3) Kaidah-kaidah atau Norma Sosial

Norma-norma sosial merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh jadi merupakan pedoman yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan suatu larangan (Taneko, 1993: 66). Sistem kebudayaan yang dianut suatu masyarakat menumbuhkan norma-norma sosial di dalam masyarakat tersebut. Norma-norma sosial dianggap suatu konsep yang berkaitan dengan semua keteraturan sosial yang berhubungan dengan evaluasi dari objek-objek, individu-individu, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan.

commit to user

Keberadaan norma-norma sosial mendesak seorang individu yang ada dalam suatu sistem kemasyarakatan untuk menjalankan norma-norma yang sudah dibuat. Aplikasi norma-norma dalam suatu masyarakat pada akhirnya dijadikan patokan terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tersebut.

4) Lapisan-lapisan Sosial atau Stratifikasi Sosial

Gejala stratifikasi sosial dapat ditemukan pada setiap masyarakat karena gejala tersebut tumbuh dengan sendirinya seiring pertumbuhan dalam masyarakat. Soekanto (1993: 247) memaparkan bahwa stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat yang nantinya akan memunculkan strata tertentu. Definisi lain tentang stratifikasi dikemukakan oleh Sunarto (2004: 83) mengemukakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam sosiologi.

Senada dengan pendapat di atas, Parson (Simpulan dikutip dalam Soekanto, 1993: 259) menyatakan bahwa stratifikasi sosial diperlukan dan juga dikehendaki pada suatu masyarakat kompleks yang berorientasi pada kemajuan. Pada dasarnya munculnya stratifikasi sosial disebabkan oleh keheterogenan manusia dalam masyarakat yang di antaranya memiliki tujuan yang sama. Suatu stratifikasi sosial memperlihatkan suatu pola hidup yang sama dari anggota-anggotanya. Stratifikasi sosial secara tidak langsung akan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis.

c. Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat (Wiyatmi, 2006: 97).

Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2005: 552) yang menyatakan untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan karya sastra, khususnya

commit to user

novel, caranya adalah: pertama, menganggap novel sebagai aktivitas kreatif, novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Kedua, novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Cara yang pertama menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti tokoh, peristiwa, dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang diciptakan semata-mata melalui imajinasi. Cara yang kedua mengkondisikan karya sebagai alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya.

Dari Wellek dan Waren (1990: 111), ada setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Menurut Endraswara (2003: 77), sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yang mampu merefleksikan semuanya.

Sosiologi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang analisis ini akan terbentur pada kendala jika pengarang telah meninggal dunia,

commit to user

sehingga tidak bisa ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2003: 80).

Sejalan dengan pendapat di atas, Ratna (2009: 60) mengemukakan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Silbermann (dalam Segers, 2000: 68-69) menerangkan bahwa objek sosiologi seni (sastra) adalah: (1) Studi terhadap pengaruh seni pada kehidupan sosial, (2) Studi pengaruh seni pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok, konflik kelompok, dan sebagainya, (3) Studi perkembangan dan keragaman sikap sosial dan model-model yang ditentukan oleh seni, (4) Studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga sosioartistik, (5) Studi faktor-faktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi seni.

Apa yang diuraikan oleh Silbermann tersebut tidak jauh berbeda dengan Junus yang memberikan batasan di dalam penelitian sosiologi sastra dengan membaginya menjadi dua corak (dalam Sangidu, 2004: 27), yaitu sebagai berikut.

1) Corak yang pertama disebut pendekatan sociology of literature (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dan melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu masa tertentu.Jadi, pendekatan ini melihat faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai minornya. Dengan demikian, peneliti bergerak dari faktor-faktor sosial (sosiologi) untuk memahami faktor-faktor sosial yang terdapat (tekandung) dalam karya sastra.

2) Corak yang kedua disebut pendekatan literary sociology (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan untuk memahami fenomena sosial yang ada di luar teks sastra. Jadi, pendekatan ini melihat

commit to user

dunia sastra atau karya sastra sebagai mayornya dan fenomena sosial sebagai minornya.

Selain pendapat para pakar di atas, Waluyo (1994: 64-65) mengungkapkan bahwa faktor sosiologis dalam cerita rekaan diuraikan berdasarkan asumsi bahwa cerita rekaan adalah potret/ cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial adalah profesi/ institusi, problem hubungan sosial, adat-istiadat, antar hubungan manusia satu dengan yang lainnya, dan sebagainya (misalnya: group, kelas, dan waktu). Faktor sosiologis ini sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan sejarah menunjukkan perbedaan situasi masyarakat.

Pendapat tentang hubungan antara sosiologi dan sastra juga diungkapkan oleh Ian Watt (Simpulan dikutip dalam Saraswati, 2003: 11-12). Dia berpendapat bahwa ada empat hal yang dipelajari dalam sosiologi sastra. Secara singkat empat hal tersebut adalah sebagai berikut.

a) Konteks sosial pengarang meliputi: (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom dari masyarakat atau kerja rangkap), (b) profesionalisme kepengarangan, dan (c) masyarakat apa yang dituju.

b) Sastra sebagai cermin masyarakat meliputi: (a) sastra mungkin dapat mencerminkan masyarakat dan (b) menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat.

c) Genre sastra sering merupakan suatu sikap kelompok tertentu.

d) Sastra yang menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya meliputi: (a) sastra sama derajatnya dengan karya nabi, (b) sastra bertugas menghibur belaka (karya populer), dan (c) sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

3. Hakikat Nilai Pendidikan

Dokumen terkait