• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN

DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI

SKRIPSI

Oleh:

NANING PRAHESTI

K1208105

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN

DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI

Oleh:

NANING PRAHESTI

K 1208105

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

(5)

commit to user

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Naning Prahesti. K1208105. KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA

KARYA AHMAD FUADI. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Agustus 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi; (2) faktor-faktor yang mendorong penulis menciptakan novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra; dan (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode content analysis dan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi teori dan sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis mengalir.

(7)

commit to user

vii MOTTO

Tugas kita bukanlah untuk berhasil.

Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun

kesempatan untuk berhasil. (Mario Teguh)

“Lihatlah orang yang di bawahmu, dan jangan melihat orang yang di atasmu. Karena hal yang demikian itu lebih tepat, supaya kamu tidak meremehkan nikmat

Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah orang yang rugi. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah orang

yang celaka.” (al-Hadist)

Man Jadda Wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses Man Shabara Zhafira: Siapa yang bersabar akan beruntung

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

1. Bapakku (Paimin Sudaryo) dan Ibuku (Kusniah) tercinta. Terima kasih atas doa

restu dan pengorbanan tanpa pamrih kalian. Doa kalian di setiap sujud, kerja keras

dan pengorbanan, serta kasih sayang kalian untukku tidak akan pernah mampu

kubalas. Tiada hal yang lebih indah dan lebih tulus dari hal yang telah kalian

berikan dan lakukan demi keberhasilan dan kebahagiaanku;

2. Adik-adikku tersayang, Yeni Sekwanti dan Putri Nilasari. Terima kasih atas

dukungan yang kalian tunjukkan padaku selama ini. Kebersamaan kita selama ini

membuatku bangga memiliki kalian;

3. Nenekku yang di Jakarta. Terima kasih atas kasih sayangmu yang berlimpah

selama ini. Kita memang terpisah oleh jarak dan waktu namun setiap waktu aku

selalu menyayangimu;

4. Sahabat-sahabatku (Nina, Rohmani, Ratna, Sinta, Suci, TM, Diska, dan Dani).

Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku. Suka dan duka yang kita lalui

bersama membuatku lebih memahami arti hidup ini. Semoga persahabatan kita tak

lekang oleh waktu;

5. Keluarga besar Pesmi Ar-Royyan. Terima kasih selama empat tahun tak

henti-hentinya memotivasiku untuk memperbaiki amalan akhiratku dan senantiasa

berlomba-lomba berjuang di jalan-Nya. Kenangan bersama kalian adalah

kenangan terindah dan terbaik; dan

6. Teman-temanku Bastind 2008. Terima kasih atas semangat dan motivasi yang

telah kalian berikan dalam selama empat tahun kebersamaan kita. Semoga ini

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah memberi ilmu, inspirasi, kemuliaan, karunia, dan hidayah-Nya kepada kita semua, terutama penulis dan keluarga. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk

mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini;

3. Dr. Kundharu Saddhono, S.S, M.Hum., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memberikan izin dalam penulisan skripsi ini;

4. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku Pembimbing akademik yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswa;

5. Drs. Edy Suryanto, M.Pd., selaku Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

(10)

commit to user

x

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama ini;

8. Saudara-saudara, sahabat-sahabat, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa selama ini; dan

9. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, 17 Juli 2012

(11)
(12)

commit to user

xii

c. Struktur Novel ... 2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra………... a. Pengertian Sosiologi Sastra………... b. Struktur Sosial………... c. Pendekatan Sosiologi Sastra……….. 3. Hakikat Nilai Pendidikan………...

a. Pengertian Nilai Pendidikan………... b. Macam-macam Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra………..

1) Nilai Pendidikan Moral………... B. Bentuk atau Strategi Penelitian………...

C. Sumber Data………...

1. Tinjauan Pengarang dalam Susastra Indonesia ... 2. Karya-karya Pengarang ...

B. Deskripsi Temuan Penelitian………... 1. Struktur Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi ... 2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel Ranah 3 Warna Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologi Sastra ... 3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Novel Ranah 3 Warna

(13)

commit to user

xiii BAB V

Karya Ahmad Fuadi ... C.Pembahasan ... SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN………...

A.Simpulan……….

B. Implikasi………...

C.Saran………...

97 105 114 114 115 117 118

122

DAFTAR PUSTAKA……….

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 42

(15)

commit to user

xv TABEL

Tabel Halaman

(16)

commit to user

xvi

DAFTARLAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Sinopsis Novel Ranah 3 Warna ... 122

2. Artikel tentang Pengarang ... 123

3. Artikel tentang Karya Pengarang dengan Penulis Lain ... 126

4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara ... 129

5. Surat Permohonan Izin Penyusunan Skripsi ... 159

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR SINGKATAN

R3W : Ranah 3 Warna

CLHW : Catatan Lapangan Hasil Wawancara

(18)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern ini kedudukan sastra dianggap mempunyai peran penting. Hal ini dikarenakan sastra merupakan bagian hidup dari sebagian besar pencipta dan penikmat karya sastra. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan bahasa

sebagai media penyampaiannya. Hasil dari sastra berupa karya sastra. Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang dihasilkan dari kemampuan seorang pengarang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dengan bahasa yang indah. Pengalaman pribadi dan pengalaman batin pengarang yang diimbangi dengan pengetahuan dan imajinasinya akan terlihat jelas dalam karya sastra yang diciptakannya.

Karya sastra yang merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa tidak selalu berupa khayalan atau imajinasi saja, melainkan dapat berupa wawasan pengarang terhadap kenyataan hidup dan melalui proses kreatif berupa penghayatan dan perenungan yang dilakukan secara sadar sehingga tercipta suatu karya. Luapan pemikiran dari sikap dan perasaan pengarang juga dapat dicerminkan lewat karya sastra yang dihasilkannya. Lebih dari itu, sebuah karya sastra seringkali merupakan pengalaman batin pengarang mengenai kehidupan dirinya maupun masyarakat di mana pengarang itu berada yang kemudian dipadu dengan pengimajinasian.

Seperti diungkapkan Waluyo (2008: 1) bahwa hakikat karya sastra atau karya seni pada umumnya adalah imajinatif, artinya metode yang digunakan untuk menciptakannya dengan imajinasi (hasil fantasi) penciptanya. Hal ini berarti

(19)

commit to user

yang amat penting, karena ia hampir selalu mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan dan bukannya formulasi mengenai nilai-nilai kemanusian seperti yang terdapat di dalam filsafat atau agama. Karena sifatnya tidak normatif, sastra lebih mudah berkomunikasi dan nilai-nilai yang disampaikannya dapat lebih fleksibel, baik isi maupun cara penyampaiannya.

Karya sastra bersifat dulce et utile yang artinya karya sastra itu harus indah dan berguna. Kata “indah” dapat diartikan sebagai sastra yang dapat menjadi hiburan. Kata “berguna” berarti bahwa sastra mampu memberi nilai tambah terhadap pembacanya. Jadi, karya sastra itu indah dan berguna. Dengan imajinasi dan kreativitas yang tinggi, seorang pengarang mampu menciptakan karya dengan bahasa yang figuratif dan indah karena perumpamaan dan kiasan-kiasan. Nurgiyantoro (2005: 6) mengemukakan bahwa pengarang dapat mengatasi, memanipulasi, dan menyiasati berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan hakiki dan universal dalam karya fiksinya. Pengarang dapat mengemukakan sesuatu yang mungkin dapat terjadi, mungkin benar-benar terjadi, atau mungkin pernah terjadi. Melalui cara itu karya fiksi tersebut dapat mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dijalani dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. Pauley (2011) menambahkan bahwa pengarang besar adalah mereka yang bisa membayangkan dunia lebih nyata dari yang sebenarnya, lebih jelasnya pengarang membuat dunia mereka beresonansi dengan realitas dunia nyata.

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat menawarkan suatu pesona kehidupan yang diangankan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti: peristiwa, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan amanat. Unsur pembangun itu menyebabkan karya sastra menjadi faktual atau hidup di hadapan pembaca.

(20)

commit to user

dalamnya. Hal ini dilakukan seolah-olah untuk menampakkan peristiwa yang ada di dalam cerita sungguh ada dan terjadi.

Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 30-31) bahwa sebuah novel yang hadir ke hadapan pembaca adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna dan hidup. Di pihak lain, tiap-tiap unsur pembangun novel itu pun hanya akan bermakna jika ada dalam kaitannya dengan

keseluruhannya. Dengan kata lain, dalam keadaan terisolasi dan terpisah dari totalitasnya, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya atau tidak berfungsi. Hal ini tentu saja masih berkaitan dengan usaha pemahaman dan apresiasi terhadap karya sastra bersangkutan.

Membahas karya sastra ada beberapa bagian yang muncul, antara lain: kurangnya kemampuan pembaca dalam memahami karya sastra yang bersifat kompleks, unik, dan tidak langsung dalam mengungkapkannya. Hal ini yang menyebabkan sulitnya pembaca dalam menafsirkan karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (2005: 31-32), salah satu penyebab sulitnya dalam menafsirkan karya sastra yaitu dikarenakan novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.

Pendapat di atas didukung pendapat Semi (1993: 1) bahwa tugas peneliti sastra sudah barang tentu tidak hanya terbatas pada menafsirkan makna perlambangan teks sastra, tetapi juga harus dapat membantu mempermudah masyarakat pembaca dalam memahami sastra, memberikan penilaian terhadap mutu penciptaan sastra, memberikan sumbangan pemikiran terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra, dan selanjutnya dapat membantu menyediakan bahan-bahan dalam penyusunan teori-teori sastra. Dengan adanya kegiatan penelitian

sastra diharapkan dunia penciptaan sastra lebih bermutu, kemampuan masyarakat pembaca sastra menjadi meningkat, dunia teori dan keilmuan sastra menjadi meningkat pula.

(21)

commit to user

masyarakat dengan berbagai permasalahan yang menyangkut banyak aspek seperti sosial, moral, psikologi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat yang melalui batinnya mengalami suatu peristiwa ataupun menyaksikan peristiwa yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Darma (1984: 52) bahwa salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan manusia sebagaimana adanya. Karya sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Dengan jalan menimbulkan “panthos”, yaitu simpati terhadap dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya tersebut, dapat terjadi dengan intens apabila pembaca dapat mengadakan hubungan langsung dengan karya tersebut. Pembaca akan lebih mudah menangkap gagasan dan maksud pengarang dan sekaligus menangkap amanat atau moral karya tersebut.

Karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Kehidupan dan realitas yang ada dalam karya sastra memiliki cakupan hubungan antara manusia dengan keadaan sosial yang menjadi inspirasi penciptaan. Dari sinilah karya sastra menyumbangkan tata nilai untuk figur dan tuntunan masyarakat. Sangidu (2004: 43) berpendapat bahwa karya sastra adalah tanggapan pencipta (pengarang) terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra merupakan pencerminan karya sastra. Dengan demikian dalam karya sastra tidak hanya sebuah imajinasi yang dapat dinikmati, tetapi bisa dipelajari mengenai: sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Selaras dengan pendapat di atas, Damono (2006) menambahkan hakikat sastra adalah segala sesuatu yang dalam masyarakat tertentu pada masa tertentu dianggap sebagai sastra. Pandangan

(22)

commit to user

Karena karya sastra merupakan cermin sosial yang ada dalam masyarakat tertentu dalam masanya maka perlu dilakukan penelitian sastra. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ratna (2003: 332-333) bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sehingga perlu diteliti. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga

difungsikan oleh masyarakat. Ketiga, medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. Keempat, berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Kelima, sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Dunia sastra berkembang sesuai dengan kehidupan kehidupan dan perubahan zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak bermunculan pengarang-pengarang muda berbakat yang menghasilkan karya. Nama Fuadi merupakan satu nama yang turut menghiasi jejak sastra di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini. Fuadi adalah pengarang novel yang menceritakan tentang kehidupan pengarang pada masa lalu yang serba kesulitan dan tertekan. Salah satu karyanya adalah novel Ranah 3 Warna. Novel ini menceritakan kehidupan seorang anak bernama Alif yang mempunyai mimpi setinggi langit dan berusaha dengan keras untuk mencapainya. Alif yang baru saja tamat dari Pondok Madani mempunyai impian ingin belajar teknologi tinggi

di Bandung seperti Habibie lalu merantau sampai ke Amerika.

(23)

commit to user

akhirnya berhasil mewujudkan impiannya dengan berpegang teguh pada mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira.

Berdasarkan uraian di atas, maka akan diteliti lebih lanjut tentang struktur novel, faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Penelitian ini berjudul Kajian Sosiologi Sastra dan

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Fuadi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?

2. Apakah yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra?

3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra.

3. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis

(24)

commit to user

2. Manfaat Praktis a. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia ketika harus membimbing siswanya untuk menganalisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra.

b. Bagi siswa

Dapat memahami dan mengapresiasi novel serta dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai pendidikan sehingga dapat

mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Bagi peneliti lain

(25)

commit to user

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu ragam karya sastra yang merupakan hasil imajinasi dari pengalaman batin sastrawan yang mempunyai peranan penting

dalam kehidupan ini. Nurgiyantoro (2005: 9) berpendapat novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia. Kata novel juga berasal dari bahasa Itali novella dalam bahasa Jerman novelle.

Sejalan dengan pengertian di atas, Waluyo (1994: 37) berpendapat bahwa istilah novel di sini mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah (cermen) seperti karya-karya Idrus sekitar tahun 1942 sampai 1949. Karena istilah roman sudah dijelaskan maka pengertian novel di sini berarti cerita menengah, walaupun tidak terbatas pada cerita sejenis karya-karya Idrus (sebab karya-karya-karya-karya Idrus yang dikumpulkan dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma banyak yang mirip cerita pendek atau novelet). Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek

dan roman.

(26)

commit to user

roman menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Pendapat lain diungkapkan oleh Baribin yang menyatakan dalam istilah novel tercakup roman, sebab roman hanyalah istilah untuk zaman sebelum Perang Dunia II di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia pada waktu itu umumnya berorientasi ke negeri Belanda. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan. Artinya, setelah sastrawan Indonesia beralih ke bacaan-bacaan berbahasa Inggris. Di Inggris dan

Indonesia istilah yang dikenal adalah novel, bukan roman (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010: 46-47).

Selaras dengan pendapat pakar-pakar di atas, Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja juga bersifat imajinatif. Pada dasarnya sebuah cerita yang terdapat dalam novel mempunyai tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup yang kompleks yang dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Melalui novel, pengarang dapat menceritakan semua aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk tentang berbagai perilaku manusia di dalamnya. Novel memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. Novel juga dapat berfungsi untuk mempelajari kehidupan manusia pada zaman tertentu (dalam

Nurgiyantoro, 2005: 3). b. Jenis-jenis Novel

(27)

commit to user

para pengamat sastra mengklasifikasikan novel ke dalam dua jenis, yaitu novel serius dan novel pop.

1) Novel Serius

Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan. Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar,

novel sastra tidak bersifat mengabdi kepada pembaca. Nurgiyantoro (2005: 18) mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu.

Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Nurgiyantoro, 2005: 21).

Selaras dengan pendapat di atas, Platt (2003) menambahkan bahwa “novel populer menjadi tempat ekspresi, langsung dan bentuk penyesalan dari cita-cita, impian, kecemasan, dan frustrasi dari pembacanya. Ini berarti bahwa konvensional fiksi populer bekerja untuk menghasilkan pandangan utopianis kehidupan”.

2) Novel Pop

Novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan atau rendah

(28)

commit to user

berkembang pada masa sebelum perang dengan pusat penerbitan di Medan. Setelah mengalami masa kosong cukup lama, genre tersebut muncul kembali dan seolah-olah mengalami zaman keemasan pada periode tahun 1970-an. Para pelopornya, diantaranya: Marga T, dengan karyanya yang terkenal Karmila, Badai Pasti Berlalu, dan Gema sebuah Hati dan Ashadi Siregar dengan karyanya Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir.

Selain dua jenis novel di atas, Lubis (simpulan dikutip dalam Tarigan, 1993: 167-169) menyebutkan bahwa jenis novel meliputi: (1) novel avontur, (2)

novel psikologis, (3) novel detektif, (4) novel sosial, dan (5) novel kolektif. 1) Novel Avontur

Novel avontur adalah novel lakon atau hero utama. Pengalaman pertama dimulai pada awal cerita, melalui pengalaman-pengalaman lain hingga ke akhir cerita. Dalam novel avontur tersebut juga terdapat tokoh yang mempunyai sifat-sifat romantis, yaitu heroisme atau lakon wanita. Pengalaman-pengalaman itu sering merupakan rintangan-rintangan bagi lakon untuk mencapai tujuan.

2) Novel Psikologis

Novel psikologis mengutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku atau tokoh.

3) Novel Detektif

Novel detektif merupakan novel yang menceritakan cara membongkar rahasia kejahatan pelaku. Dalam novel detektif dibutuhkan bukti-bukti kejahatan yang kuat agar dapat menangkap si pelaku kejahatan.

4) Novel Sosial

Dalam novel sosial pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelas atau golongannya. Tiap-tiap golongan suatu waktu akan bentrok, berbenturan, pemogokan dan revolusi.

5) Novel Kolektif

(29)

commit to user

c. Struktur Novel

Struktur dalam sebuah karya sastra baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam novel, cerpen, puisi dan drama adalah suatu keharusan untuk dimasukkan dalam karya-karya tersebut. Dalam hal ini struktur intrinsiklah yang paling sering dimasukkan dalam karya sastra, karena unsur intrinsik adalah hal utama dalam membangun sebuah cerita. Pendapat lain, Nurgiyantoro (2005: 23) menyebutkan

ada tujuh unsur pembentuk novel, yaitu: (1) plot/ alur cerita, (2) tema, (3) penokohan, (4) latar/setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7)

suasana cerita.

Novel sebagai sebuah karya fiksi dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan/ perwatakan, alur, latar, dan sudut pandang. Penelitian ini akan menerangkan mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut di atas.

1) Tema

Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tak ada gunanya dan artinya. Walaupun misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya (Tarigan, 1993: 125).

Sejalan dengan pendapat di atas, Waluyo dan Wardani (2009: 10-11) mengemukakan, “tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin

(30)

commit to user

sebelumnya sehingga berbagai peristiwa atau konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 70).

Berbeda dengan pendapat di atas, Brooks, Purser, dan Waren menyatakan, “tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra” (dalam Tarigan,

1993: 125). Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan sebagai berikut ini.

a) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah- yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik utama-pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.

b) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.

c) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya.

(31)

commit to user

kata-kata itu dapat ditemukan dalam novel, maupun tak langsung, artinya

“hanya” berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada (dalam

Nurgiyantoro, 2005: 87-88).

Pendapat lain dikemukakan oleh Paris (2003) bahwa, “tema bukan nasihat, bukan subyek, bukan sebuah makna yang disembunyikan dari cerita. Apakah tema? Tema adalah makna yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui sebuah cerita. Dengan tema, pembaca memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan sesuatu yang terpisahkan dari bagian cerita”.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang diambil dari khasanah kehidupan yang ada.

2) Penokohan/ Perwatakan

Bagian cerita fiksi ini membicarakan tokoh-tokoh cerita (penokohan) dan watak-watak tokoh-tokoh itu (perwatakan). Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita (Waluyo dan Wardani, 2009: 27). Selaras dengan pendapat tersebut, Abrams mengemukakan, “tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”(dalam Nurgiyantoro, 2005: 165).

Tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Adapun beberapa tokoh cerita tersebut, antara lain:

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah

(32)

commit to user

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 176-177).

b) Tokoh protagonis dan antagonis

Mengenai pembagian tokoh ini, Altenbernd dan Lewis berpendapat jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh

dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 178).

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 2005: 181-183).

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang

(33)

commit to user

cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2005:188).

Tokoh berkembang, dipihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

e) Tokoh tipikal dan tokoh netral

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata, Altenbernd dan Lewis (1966) berpendapat bahwa tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, dan penunjukan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata (Nurgiyantoro, 2005: 190).

Tokoh netral, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir atau dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2005: 191).

Menurut Waluyo (1994: 171), deskripsi watak tokoh biasanya meliputi tiga dimensi, yakni: (1) dimensi fisik (fisiologis); (2) dimensi psikis atau

psikologis; dan (3) dimensi sosial atau sosiologis.

(34)

commit to user

wajah (cantik, jelek, keriput, dan sebagainya); dan (5) ciri khas yang spesifik.

b) Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat, dan karakternya, seperti misalnya: (1) mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan; (2) temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi; (3) kecakapan dan keahlian khusus.

c) Dimensi sosiologis menunjuk latar belakang kedudukan tokoh tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya.

Misalnya: (1) status sosial: kaya, miskin, menengah; (2) pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat; (3) pendidikan; (4) pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi; (5) aktivitas sosial, organisasi dan kesenangan; dan (6) suku, bangsa, dan keturunan. Setiap dimensi sosiologis memberikan konsekuensi, misalnya dalam melukiskan watak, pakaian, latar belakang, kebiasaan, bahasa yang digunakan, dan sebagainya.

3) Alur

Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo dan Wardani, 2009: 14). Nurgiyantoro (2005: 111) berpendapat bahwa untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori- teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet (plot). Penyamaan begitu saja antara plot dengan jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya: peristiwa demi peristiwa yang

susul-menyusul- namun ia lebih dari sekedar rangkaian peristiwa.

(35)

commit to user

datang”. Hal ini senada dengan pendapat Foster yang memberikan pengertian plot dengan bahasa Inggris sebagai berikut: “Plot is a narative of events, the emphasis falling on causality. Causality overshadows time sequence”. Di dalam sebuah plot

(alur cerita terdapat hubungan sebab-akibat dari suatu cerita yang mengembangkan konflik cerita. Dalam plot itu ada serangkain peristiwa (dalam Waluyo dan Wardani, 2009: 14-15).

Tidak jauh berbeda dengan pendapat para pakar di atas, Abrams mengemukakan plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa,

yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-peristiwa itu, atau secara lebih khusus aksi ‘actions’ tokoh baik yang verbal maupun nonverbal, dalam sebuah karya bersifat linear, namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113-114).

Alur cerita meliputi: (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat terjadi); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denouement (penyelesaian) (Waluyo, 1994: 147-148).

a) Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Jika pengarang menulis cerpen maka eksposisi berjalan singkat seperlunya saja, mungkin tidak lebih dari satu dua alinea (bayangkan tamu yang hanya sebentar saja bertemu, maka ia akan berbicara seperlunya). Dalam novel dan roman, cerita dapat lebih rinci.

b) Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai

ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan.

(36)

commit to user

e) Falling action, artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. f) Denouement, artinya penyelesaian. Unsur ini dapat dipaparkan oleh

pengarang dapat juga kita (karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita). Cerita-cerita jaman Balai Pustaka sampai Pujangga Baru melukiskan denouement, sedangkan cerita-cerita mutakhir tidak.

Pada prinsipnya, alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni: (1) alur awal;

(2) alur tengah; dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax). Akhir alur cerita terdiri dari peleraian (falling action) dan penyelesaian (denouement).

Berdasarkan kriteria urutan waktu, Nurgiyantoro (2005: 153-156) membagi plot menjadi tiga, yaitu:

a) Plot lurus atau progresif

Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian).

b) Plot sorot-balik, flash-back/ regresif

Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang

berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing.

c) Plot campuran

(37)

commit to user

progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya.

4) Latar

Dalam menjelaskan istilah latar, Abrams berpendapat latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2005: 217) menyatakan, “latar memberikan pijakan cerita

secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis pada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi”.

Pendapat di atas diperkuat pendapat Waluyo dan Wardani (2009: 34) bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun sering juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan dengan tempat dapat dirinci dari tempat yang luas, misalnya negara, provinsi, kota, desa, di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, di tepi laut, dan sebagainya. Berkaitan dengan waktu, dapat dulu, sekarang, tahun berapa, bulan apa, hari apa, dan jam berapa, siang atau malam, dan seterusnya. Pelukisan waktu erat kaitannya dengan anakronisme, yaitu penggambaran situasi yang tidak sesuai dengan zamannya.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat para pakar di atas, Hartoko dan Rahmanto (1986: 78) menjelaskan, “latar sama dengan setting. Penempatan dalam ruang dan waktu seperti terjadi dengan karya naratif atau dramatis. Penting untuk menciptakan suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan tematis”. Menurut Nurgiyantoro (2005: 227), unsur latar dapat dibedakan ke

dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut. a) Latar tempat

(38)

commit to user

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

b) Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa -peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2005: 230).

c) Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2005: 233-234).

Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, Kenney menyebutkan tiga fungsi setting, yaitu:

a) Sebagai metafora yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.

b) Sebagai atmosphere atau sebagai kreasi, yang lebih memeberi kesan dan tidak hanya sekedar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran kamar gelap dengan ilustrasi musik tertentu, misalnya, dapat menciptakan suasana menakutkan. Sinar matahari yang

cemerlang dapat mewakili suasana penuh kegembiraan, sedang kabut/ awan dan hujan rintik-rintik dapat mewakili suasana hati yang gelap dan sebagainya.

(39)

commit to user

dapat dalam hal (b) tempat. Waktu dapat berarti zaman saat terjadinya peristiwa, dapat juga waktu penceritaan. Tempat dapat berarti warna lokal (kedaerahan), tempat peristiwa berlangsung, dapat juga adegan saat peristiwa itu terjadi. Waktu dan tempat tidak hanya lukisan fisik, tetapi terlebih adalah lukisan dunia batin (dalam Waluyo, 1994: 198-199).

5) Sudut Pandang

Dalam sebuah cerita, pengarang akan memanfaatkan sudut pandang

untuk menggambarkan perannya dalam cerita tersebut. Abrams mengemukakan bahwa sudut pandang atau point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (dalam Nurgiyantoro, 2005: 248). Pendapat tersebut diperkuat pendapat Genette bahwa sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau, ia harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri. Ia harus telah mengambil sikap: menuliskan ceritanya dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga, masing-masing dengan berbagai kemungkinannya, atau bahkan keduanya sekaligus (dalam Nurgiyantoro, 2005: 250).

Waluyo dan Wardani (2009: 37) mengemukakan point of view dinyatakan sebagai sudut pandang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai bergaya diaan.

Sebagai orang pertama pengarang juga dapat ditanya bagaimana ia berperan sebagai orang pertama. Demikian juga jika ia berperan sebagai orang ketiga, bagaimanakah ia berperan sebagai orang ketiga.

(40)

commit to user

pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Dari titik pandangan pengarang ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan.

a) Pengarang sebagai tokoh cerita

Pengarang sebagai tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut diri tokoh. Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya mempunyai kesempatan yang luas untuk

menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya, tentang perasaan dan pikirannya, tetapi tidak banyak yang diketahui atau dapat diceritakannya tentang peristiwa yang berlangsung pada tempat lain di saat pelaku itu sendiri tidak berada disana. Oleh sebab itu, tipe cerita semacam ini lebih banyak dipilih pengarang bila ia bermaksud menciptakan karya atau novel psikologi. b) Pengarang sebagai tokoh sampingan

Orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentangdirinya sebagai pencerita. Cara penyampaian cerita itu juga menggunakan sapaan “aku” pada dirinya dalam menceritakan tentang peristiwa yang menyangkut tentang dirinya sebagai tokoh pendamping, namun sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita.

c) Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat)

Pengarang sebagai orang ketiga yang berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai nerator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. Pengarang sebagai orang ketiga ini pada dasarnya dapat dibagi pula atas dua jenis, yang

(41)

commit to user

menggambarkan suasana perasaan mereka, menyampaikan dan memperlihatkan cara berpikir dan cara bertindak pelaku-pelaku cerita. Ia sebagai narator yang merdeka dan dapat bercerita lebih banyak hal tentang beberapa pelaku cerita.

d) Pengarang sebagai pemain dan narator

Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita. Suatu ketika ia terlibat dalam cerita,

tetapi ketika yang lain, ia bertindak sebagai pengamat yang berada di luar cerita.

Waluyo (1994: 183) menyatakan bahwa point of view adalah sudut dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas sebagai pencerita yang tahu segala-galanya seakan-akan ia mahatahu. Point of view juga berarti dengan cara bagaimanakah pengarang berperan apakah melibatkan langsung dalam cerita sebagai orang pertama, apakah sebagai pengobservasi yang berdiri di luar tokoh-tokoh sebagai orang ketiga.

Ada tiga jenis point of view, yakni: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”; teknik ini disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”; teknik ini disebut teknik diaan; (3) teknik yang disebut “omniscient narratif” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam berceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan (Waluyo, 1994: 184).

Selaras dengan pendapat di atas, Hartoko dan Rahmanto (1986:108)

berpendapat point of view merupakan istilah dari teori cerita atau naratologi yang menunjukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita terhadap ceritanya. Macam-macam kombinasi dan variasi dapat dijadikan tiga pokok kemungkinan, antara lain:

(42)

commit to user

b) Dilihat dengan kaca mata seorang atau berbagai tokoh dalam cerita. c) Seorang juru cerita yang objektif mencatat apa yang terjadi

(misalnya kutipan dari surat kabar).

Selain unsur intrinsik, unsur pembangun dalam novel adalah unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun

tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Bertolak dari pendapat di atas, Wellek dan Warren mengemukakan walau membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang dan memandang unsur itu sebagai sesuatu yang agak negatif dan kurang penting, namun pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu dalam hal pemahaman makna karya karena mengingat bahwa karya itu tidak muncul dari situasi kekosongan budaya (dalam Nurgiyantoro, 2005:24). Unsur-unsur ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur, antara lain sebagai berikut.

a) Unsur biografi pengarang yaitu keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.

b) Unsur psikologi yang mencakup psikologi pengarang (berupa proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya.

c) Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.

(43)

commit to user

2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan salah satu cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif karena memotret sastra sebagai cerminan kehidupan sosial masyarakat. Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1893. Istilah tersebut dikemukakan oleh seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Aguste Comte. Ia telah mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama “sosiologi, yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan”, dan kata Yunani logos, yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat” (Soekanto, 2002: 4).

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/ socius berarti masyarakat, logi/ logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ratna, 2003:1).

Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) yang akan dijabarkan sebagai berikut ini.

(44)

commit to user

2) Penafsiran teks secara sosiologis menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah karya, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Dengan demikian kentaralah di mana diadakan manipulasi. Sambil meneliti fungsi manakah yang dominan dalam sebuah teks (hiburan, informasi, sosialisasi) maka dapat dilacak peranan sastra dalam masyarakat ( Hartoko dan Rahmanto, 1986: 129). Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan masyarakat). Kendati

demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Keyataan tersebut buakanlah jiplakan kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara, 2003: 78).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Soekanto (2002: 14-15) mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah:

a) Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

b) Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.

(45)

commit to user

d) Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah baik-buruknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

b. Struktur Sosial

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren, 1990: 109). Pernyataan tersebut mempunyai pengertian bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial yang disesuaikan dengan norma masyarakat. Sastra yang baik merupakan cerminan

sebuah masyarakat. Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Sejalan dengan pendapat di atas, Saparie (2007) menyatakan hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa. Namun, bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat.

Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2009:335-336) bahwa di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre

yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.

(46)

commit to user

mekanisme seperti ini jelas bermanfaat dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai konflik kelas, yang pada gilirannya juga bermanfaat untuk menemukan indikator-indikator tertentu dalam rangka mewujudkan stabilitas sosial. Kesulitan pokok yang dihadapi dalam hubungan ini adalah menemukan jenis pandangan dunia itu sendiri. Berbeda dengan tema, amanat, dan pesan-pesan lain yang dapat diidentifikasi secara tekstual, pandangan dunia harus dicari dengan cara mengungkap pandangan kelas sosial, menelusurinya ke masa lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin (Ratna, 2005: 165-166).

Pendapat di atas diperkuat pendapat Taine (Simpulan dikutip dalam Anwar, 2010: 21) bahwa sifat karya sastra adalah dokumen pelengkap sebab

karya sastra adalah sebuah monumen. Perbedaan periode sejarah dalam sastra

justru menciptakan hubungan yang harmonis antara kecerdasan dan zaman.

Pertama-tama, sastrawan melakukan penetrasi kecerdasannya dalam memahami

zaman dalam karya sastranya, selanjutnya sastrawan melakukan penetrasi yang

lebih jauh ke dalam kecerdasan zaman dan rasnya. Apapun hasil cipta suatu karya

sastra, menurut taine, mempunyai validitas yang sama untuk dijadikan sebagai

dokumen sosial, sekalipun karya sastra tersebut, tidak ekspresif dan representatif

secara sosial.

Menurut Ratna (2003: 100), pola-pola hubungan antara sastra dengan masyarakat, dipandang sebagai pola-pola yang selalu berada dalam proses perubahan, bukan pola-pola hubungan yang monolitis. Dinamika pola-pola hubungan mengimplikasikan pengaruh artistik seni sastra atas struktur sosial dalam kondisi-kondisi struktur intrinsik karya yang juga berubah. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa struktur sosial dalam suatu masyarakat turut mengondisikan struktur suatu karya sastra. Perubahan struktur sosial melalui proses-proses tertentu dapat menjadi sebuah refleksi bagi seorang pengarang

untuk memindahkan kejadian-kejadian nyata menjadi kejadian fiktif yang berbentuk karya sastra.

(47)

commit to user

unsur kebudayaan saja, tetapi tetap mencakup seluruh prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil. Pengertian lain dipaparkan oleh Taneko (1993: 47) yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Bertolak dari pengertian tersebut, peranan struktur dalam sosial kemasyrakatan adalah memelihara kontinuitas yang bersifat struktural dari peranan-peranan individu-individu yang tergabung di dalamnya.

Hakikat struktur sosial diperkuat Taneko (1993: 47) yang mengemukakan bahwa unsur-unsur pokok struktur sosial suatu masyarakat terdiri dari: (1) kelompok-kelompok sosial; (2) lembaga-lembaga sosial atau institusi-institusi sosial; (3) kaidah-kaidah atau norma sosial; dan (4) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial.

1) Kelompok-kelompok Sosial

Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama (Taneko, 1993: 49). Suatu kelompok sosial terbentuk karena adanya pergaulan hidup di antara individu-individu pada waktu dan tempat tertentu. Setiap individu membutuhkan interaksi dengan individu yang lain. Oleh karena itu, individu memiliki rasa ketergantungan dengan individu lain dan berinteraksi sehingga muncul kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat.

2) Lembaga-lembaga Sosial atau Institusi Sosial

Lembaga sosial termasuk unsur sosial yang pokok. Bertrand menyatakan bahwa institusi-institusi sosial pada hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur sosial) yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat (dalam Taneko, 1993: 72). Di bawah ini

adalah pemaparan fungsi dan struktur dari beberapa institusi, yakni keluarga, institusi pemerintahan, institusi ekonomi, dan institusi religi.

a) Keluarga

(48)

commit to user

adalah seperti pola pelamaran, perkawinan, kekerabatan, dan sebagainya. Pola-pola seperti itu mengindikasikan bahwa keluarga merupakan pusat kehidupan secara individual yang didalamnya terdapat suatu hubungan yang intim dan dalam derajat yang tinggi. Keluarga adalah institusi yang meneruskan keturunan. Berdasarkan pengertian ini, dijabarkan bahwa keluarga mempunyai fungsi sebagai penanggungjawab, pemelihara, pengasuh, dan pendidik anak. Selain itu, keluarga juga berfungsi sebagai unit ekonomi. Artinya, keluarga

merupakan unit produksi untuk menghasilkan pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan material lainnya itu, dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar keluarga (Taneko, 1993: 75-76).

Horton dan Hunt (1996: 274-279) menjabarkan beberapa fungsi keluarga, yaitu fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis.

b) Institusi pemerintahan

Institusi pemerintahan adalah institusi yang mempunyai kewenangan untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan, dan melindungi warga masyarakat dari bahaya luar (Taneko, 1993: 77). Instistusi pemerintahan memerlukan suatu organisasi yang spesifik, yaitu negara. Horton dan Hunt (1996: 379) berpendapat bahwa kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan. Di lain pihak, Weber (dalam Sunarto, 2004: 74) memberi pandangan bahwa kekuasaan perlu dibedakan dengan dominasi. Suatu dominasi

memerlukan suatu keabsahan, yaitu pengakuan atau pembenaran masyarakat terhadap dominasi tersebut agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah.

(49)

commit to user

c) Institusi ekonomi

Institusi ekonomi berpusat pada kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa. Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institusi ekonomi. Jika ada suatu masyarakat, pasti di dalamnya terdapat institusi ekonomi. Taneko (1993:81) berpendapat bahwa masyarakat sangat kompleks dan menurut kompleksitasnya tipe organisasi yang menjalankan aktivitas ekonomi. Wallek dan Warren (1990: 115) berpendapat bahwa sosiologi sastra bertugas menelusuri

status sosial kelas, meneliti ketergantungannya pada kelas penguasa, serta mempelajari sumber ekonomi dan prestisenya dalam masyarakat. d) Institusi religi

Institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi di dalam masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supranatural (Taneko, 1993: 83). Lembaga agama termasuk institusi religi. Agama merupakan sesuatu yang sering didefinisikan sebagai anggapan teratur terhadap unsur supranatural (Horton dan Hunt, 1996: 326). Masyarakat yang heterogen memungkinkan adanya suatu golongan masyarakat yang tidak menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai sistem ritual atau kepercayaan yang serupa dan agama yang di dasarkan atas unsur supranatural.

3) Kaidah-kaidah atau Norma Sosial

Norma-norma sosial merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh jadi merupakan pedoman yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan suatu larangan (Taneko, 1993: 66). Sistem kebudayaan yang dianut suatu

Gambar

Gambar
Tabel
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis struktur dan nilai edukatif yang terkandung dalam novel Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi penelitian ini menggunakan teknik dialektik yang dilakukan dengan

bahwa pendidikan ESQ dapat ditelaah melalui pesan moral yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna yang mencakup kemampuan dalam mengolah emosi sehingga dapat

Berdasarkan beberapa kajian pustaka yang telah ada, peneliti belum menemukan judul yang sama dengan yang akan peneliti ajukan yaitu Pengoptimalan

“ Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Sebagai Alat Pendidikan Dalam Penanaman Nilai Akhlak Siswa ” telah terselesaikan dengan baik.. Sholawat dan salam senantiasa penulis

Membaca sebuah novel, pada hakikatnya seseorang berhadapan dengan sebuah dunia, dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni beserta dengan permasalahannya. Namun,

Karya sastra dalam perkembangannya memiliki berbagai unsur, salah satunya unsur keindahan. Keindahan sebuah karya sastra dapat dilihat dari sudut manapun tergantung dari sudut mana

Nilai moral adalah perilaku seseorang yang berkaitan dengan hati nurani, akhlak baik dan buruk, kewajiban menjalankan tugasnya dan juga tanggung jawab. Adapun

Sesuai dengan yang disampaikan oleh Nurgiyantoro (2005: 227) bahwa ada tiga unsur pokok dalam latar yang meliputi latar tempat, waktu, dan sosial. Penyampaian latar