BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.4. Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP) 2.4.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB Ada beberapa faktor yang memengaruhi suami dalam memilih alat kontrasepsi MOP, antara lain : 1. Umur Umur adalah jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang. Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup (life style). Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi, jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005). Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi, khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi/MOP). Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun. Pada umur tersebut kemungkinan calon peserta sudah memiliki jumlah anak yang cukup dan tidak menginginkan anak lagi. Apabila umur calon seandainya masih menginginkan anak lagi. Umur istri tidak kurang dari 20 tahun dan tidak lebih dari 45 tahun. Pada umur istri antara 20-45 tahun bisa dikatakan istri dalam usia reproduktif sehingga masih bisa hamil. Sehingga suami bisa mengikuti kontrasepsi mantap (BKKBN, 1993). Menurut Suprihastuti (2000), bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti dalam kehidupan keluarga. Sementara menurut Singarimbun (1996), usia suami menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor kontrasepsi MOP atau tidak. Hal disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun, sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7 tahun. Dan menurut Simanullang (2011) ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan penggunaan kontrasepsi MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang. 2. Pendidikan Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi masalah- masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan. Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan Litbangkes (penelitian pengembangan kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB (BKKBN, 2010). Namun dari hasil analisis lanjut SDKI 1997, pendidikan ternyata berpengaruh negatif terhadap pemakaian vasektomi, yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah kesertaan suami dalam program KB MOP. 3. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan adalah satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang (Notoatmodjo, 2005). Tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan suami dalam berKB. Nampaknya, bila PUS keduanya bekerja, berarti istri tidak bekerja atau memiliki pendapatan sendiri. Wijayanti (2004) akibat ketidaktahuan masyarakat di desa Timpik tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai alasan, salah satunya biaya MOP atau vasektomi yang mahal. Alasan tersebut dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap tidak akan mampu menjangkau metode ini. Pernyataan responden bahwa biaya pelaksanaan MOP ini mahal, bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya sebetulnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali selamanya. Sedangkan untuk metode lain, misalnya IUD yang sekali pasang hanya untuk jangka waktu tertentu, yang mana setelah itu harus dilepas dan tentunya dipasang lagi bila masih menginginkan metode kontrasepsi yang tentunya membutuhkan biaya lagi. Inilah yang membuktikan bahwa metode lain justru lebih mahal dari pada MOP. 4. Jumlah Anak Jumlah anak dapat didefenisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki oleh pasangan. Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi, pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga. 5. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni : indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat, dan sebagainya. Pengetahun dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau menolak inovasi. Roger (1974) dalam Notoadmodjo 2012 mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri seseorang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu : 1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) . 2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus tersebut, disini sikap subjek mulai timbul. 3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau pun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden kedalam pengetahuan yang ingin diketahui (Notoatmodjo, 2012). Dari penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh BKKBN tahun 2001 menunjukkan pengetahuan menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB. Hal ini didukung dalam penelitian Anggraeni (2007) juga menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi keikutsertaan pria dalam ber-KB adalah akses pengetahuan yang masih rendah tentang keluarga berencana, sosial ekonomi keluarga, stigma di masyarakat bahwa KB adalah urusan terhadap masalah kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan tanggung jawab keluarga. 6. Sikap Sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Sikap sering diperoleh dengan orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau obyek lain. Sikap-sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat (Notoatmodjo, 2007) bahwa sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang stimulus atau obyek. Karena itulah adalah logis untuk mengharapkan bahwa seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendesi perilaku terhadap obyek. Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung pada obyek tertentu. 7. Nilai Budaya Sejumlah faktor budaya dapat mempengaruhi klien dalam memilih metode kontrasepsi. Faktor -faktor ini meliputi salah pengertian dalam masyarakat mengenai berbagai metode, kepercayaan religius, serta budaya, tingkat pendidikan persepsi mengenai resiko kehamilan dan status wanita. Penyedia layanan harus menyadari dan harus memantau perubahan-perubahan yang mungkin mempengaruhi pemilihan metode. Sosial budaya adalah suatu keadaan/kondisi yang diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, yang mencakup semua bidang (Proverawati, 2009). Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki atau perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan. Beberapa pandangan budaya terhadap perkawinan dalam keluarga dapat digambarkan sebagai berikut (Endang, 2002) : a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga dan menurunkan anak cucu. Menurunkan anak cucu dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang setinggi- tingginya. Sebaliknya, putusnya keturunan dianggap sebagai hal yang mengecewakan bahkan ada yang menganggap suatu kebinasaan. b. Di dalam keluarga nilai anak laki-laki sering dianggap lebih penting dibanding perempuan. Hal ini berarti bahwa walaupun sudah beranak banyak dipandang kurang sempurna tanpa hadirnya anak laki-laki. c. Adanya pandangan mengenai keluarga yang tidak memiliki anak merupakan d. Tidak pernah terpikirkan bahwa anak yang banyak akan mendatangkan kesengsaraan atau kemelaratan, berkurangnya pendapatan akan menimbulkan penderitaan berupa gangguan kesehatan ibu. Tiap anak dianggap membawa rejeki, tidak terpikirkan bahwa dengan terbatasnya jumlah anak seorang ibu akan mempunyai kondisi kesehatan yang lebih baik daripada ibu yang mempunyai banyak anak. Masih adanya pandangan bahwa perkawinan mengharapkan banyak anak, tanpa pembatasan, banyak anak dianggap sebagai tanda kemakmuran keluarga (bukan dari segi material saja). 8. Jarak dengan fasilitas kesehatan Menurut Wijono (1999) dalam Manuaba (2008), bahwa akses berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, budaya, organisasi atau hambatan bahasa. Keterjangkauan ini dimaksudkan agar pria dapat memperoleh informasi yang memadai dan pelayanan KB yang memuaskan. Keterjangkauan ini meliputi : 1) Keterjangkauan fisik Keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran, khususnya pria. 2) Keterjangkauan ekonomi Keterjangkauan ekonomi ini dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya untuk memperoleh pelayanan menjadi bagian penting serta nilai yang akan diperoleh klien. Untuk itu dalam mengembangkan pelayanan gratis atau subsidi perlu pertimbangan biaya pelayanan dan biaya klien. 3) Keterjangkauan psikososial Keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan partisipasi pria dalam KB secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider, pengambil kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat. 4) Keterjangkauan pengetahuan Keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar pria mengetahui tentang pelayanan KB serta dimana mereka dapat memperoleh pelayanan tersebut dan besarnya biaya untuk memperolehnya. 5) Keterjangkauan administrasi Keterjangkauan administrasi dimaksudkan agar ketetapan administrasi medis dan peraturan yang berlaku pada semua aspek pelayanan berlaku untuk pria dan wanita. Selama ini dirasakan faktor aksesabilitas atau keterjangkauan pelayanan KB bagi pria masih sangat terbatas. Aksesabilitas informasi KB baik media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), konseling yang tersedia, informasi yang diberikan oleh petugas, tempat pelayanan yang ada masih bias gender. 9. Dukungan istri Menurut Friedmen (1998) dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku positif. Peran dukungan keluarga sendiri terbagi menjadi peran formal yaitu peran yang tampak jelas, bersifat eksplisit Dukungan keluarga mengacu pada dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga. Dukungan keluarga (suami/ istri) memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota anggotanya. Dukungan sosial keluarga dapat berupa : a) Dukungan sosial keluarga internal : seperti dukungan dari suami, istri/dukungan dari keluarga kandung b) Dukungan sosial keluarga eksternal, yaitu dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi angota-anggotanya Dalam dokumen Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi (Halaman 45-55)