• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.6. Pengaruh Faktor Predisposisi terhadap Kesediaan Suam

4.6.3. Pengaruh Pendapatan terhadap Kesediaan Suam

Tabel 4.16. Tabulasi Silang antara Pendapatan dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP

Pendapatan

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

> Rp. 2.500.000,-

6

15,8

32

84,2

38

100,0

≤ Rp. 2.500.000,-

11

21,2

41

78,8

52

100,0

Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa dari 38 orang yang memiliki

pendapatan >Rp. 2.500.000,- dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak

32 orang (84,2%), dan dari 52 orang yang memiliki pendapatan ≤Rp. 2.500.000,- dan

tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP ada sebanyak 41 orang (84,5%). Pengaruh

pendapatan terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada

Tabel 4.17. Pengaruh Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Pendapatan

Bersedia

2.314.706

790.522

-1.076

0.293

Tidak

Bersedia

2.543.836

793.372

Diketahui bahwa responden yang bersedia sebagai akseptor KB MOP

memiliki pendapatan lebih rendah (mean 2.314.706) dari pada responden yang tidak

bersedia (mean 2.543.836). Namun dari hasil Independent Samples t test diperoleh p-

value sebesar 0,293 (p-value > 0.05), yang berarti bahwa pendapatan tidak

memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP).

4.6.4. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP

Tabel 4.18. Tabulasi Silang antara Jumlah Anak dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP

Jumlah Anak

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

> 2 orang

6

31,6

13

68,4

19

100,0

≤ 2 orang

11

15,5

60

84,5

71

100,0

Hasil tabulasi silang (crosstabulation) menunjukkan bahwa dari 19 orang

yang memiliki jumlah anak > 2 orang dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP

sebanyak 13 orang (68,4%), dan dari 71 orang yang memiliki jumlah anak ≤ 2 orang

dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP ada sebanyak 60 orang (84,5%).

Pengaruh jumlah anak terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat

dilihat pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Jumlah Anak

Bersedia

4.35

0.702

2.624

0.014

Tidak

Bersedia

3.84

0.850

Dari Tabel 4.19. diketahui bahwa responden yang bersedia sebagai akseptor

KB MOP memiliki jumlah anak lebih banyak (mean 4-5 orang) daripada responden

yang tidak bersedia (mean 3-4 orang). Namun dari hasil independent samples t test

diperoleh p-value sebesar 0,014 (p-value

≤ 0.05), yang berarti bahwa jumlah anak

memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP).

4.6.5. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP

Tabel 4.20. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

Pengetahuan

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

8

14,3

48

85,7

56

100,0

Kurang Baik

4

28,6

10

71,4

14

100,0

Tidak Baik

5

25,0

15

75,0

20

100,0

Berdasarkan hasil tabulasi silang (crosstabulation) diketahui bahwa dari 56

orang yang memiliki pengetahuan baik dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP

dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP ada sebanyak 10 orang (71,4%), dan

dari 20 orang yang memiliki pengetahuan tidak baik dan tidak bersedia menjadi

akseptor KB MOP ada sebanyak 15 orang (75,0%). Pengaruh pengetahuan terhadap

kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada Tabel 4.23.

Tabel 4.21. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Pengetahuan

Bersedia

7.82

1.879

1.131

0.264

Tidak

Bersedia

7.14

3.425

Dari Tabel 4.23. diketahui bahwa pengetahuan responden yang bersedia

sebagai akseptor KB MOP sedikit lebih tinggi (mean 7.82) daripada pengetahuan

responden yang tidak bersedia (mean 7,14). Namun dari hasil independent samples t

test diperoleh

p-value sebesar 0,264 (p-value > 0.05), yang berarti bahwa

pengetahuan tidak memengaruhi suami sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria

(MOP).

4.6.6. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP

Tabel 4.22. Tabulasi Silang antara Sikap dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP

Sikap

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

15

20,5

58

79,5

73

100,0

Kurang Baik

2

12,5

14

87,5

16

100,0

Tidak Baik

0

0,0

1

100,0

1

100,0

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 73 orang yang memiliki

sikap baik dan tidak bersedia sebagai akseptor KB MOP sebanyak 58 orang (79,5%),

dan dari 16 orang yang memiliki sikap kurang baik dan tidak bersedia menjadi

akseptor KB MOP ada sebanyak 14 orang (87,5%). Pengaruh sikap terhadap

kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada Tabel 4.21.

Tabel 4.23. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Sikap

Bersedia

32.65

3.181

2.352

0.026

Tidak

Bersedia

30.52

4.028

Responden yang bersedia sebagai akseptor KB MOP memiliki sikap lebih

baik (mean 32,65) daripada responden yang tidak bersedia (30,52). Dari hasil

independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,026 (p-value

≤ 0.05), yang

berarti bahwa faktor sikap memengaruhi suami sebagai akseptor KB Medis Operasi

Pria (MOP).

4.6.7. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB

MOP

Tabel 4.24. Tabulasi Silang antara Nilai Budaya dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP

Nilai Budaya

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

5

38,5

8

61,5

13

100,0

Kurang Baik

12

16,4

61

83,6

73

100,0

Tidak Baik

0

0,0

4

100,0

4

100,0

Berdasarkan hasil tabulasi silang (crosstabulation) diketahui bahwa dari 13

orang yang menilai budaya dalam masyarakat terhadap KB MOP adalah baik tetapi

tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 8 orang (61,5%), dari 73 orang

61 orang (83,6%), dan semua responden yang menilai tidak baik (4 orang) dan tidak

bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 8 orang (61,5%). Pengaruh nilai

budaya terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada Tabel

4.25.

Tabel 4.25. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Nilai Budaya

Bersedia

25.24

3.289

5.111

0.001

Tidak

Bersedia

19.97

5.563

Diperoleh bahwa responden yang bersedia (mean 25,24) menjadi akseptor KB

MOP memiliki kepercayaan tentang KB MOP jauh lebih baik daripada responden

yang tidak bersedia (mean 19,97) menjadi akseptor KB MOP. Hasil analisis

menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,001 (p-value

0.05), yang berarti bahwa nilai budaya yang diyakini suami memengaruhinya untuk

4.7.

Pengaruh Faktor Pemungkin terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

4.7.1. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Tabel 4.26. Tabulasi Silang antara Sarana dan Prasarana dengan Kesediaan

Suami sebagai Akseptor KB MOP

Sarana dan Prasarana

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

7

31,8

15

68,2

22

100,0

Kurang Baik

6

13,3

39

86,7

45

100,0

Tidak Baik

4

17,4

19

82,6

23

100,0

Hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari 22 orang yang menilai bahwa

sarana dan prasarana yang baik tetapi tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP

sebanyak 15 orang (68,2%), dari 45 orang yang menilai sarana dan prasarana kurang

baik dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 39 orang (86,7%), dan

dari 23 orang yang menilai sarana dan prasarana tidak baik dan tidak bersedia

menjadi akseptor KB MOP sebanyak 19 orang (82,6%). Pengaruh sarana dan

prasarana terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada

Tabel 4.27.

Tabel 4.27. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Sarana

dan

prasarana

Bersedia

6.53

2.831

1.923

0.006

Tidak

Bersedia

5.04

3.052

Diperoleh bahwa responden yang bersedia (mean 6,53) menjadi akseptor KB

MOP menilai bahwa sarana dan prasarana yang mereka nilai sudah lebih baik

daripada responden yang tidak bersedia (mean 5,04) menjadi akseptor KB MOP. Dari

hasil analisis menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar

0,006 (p-value≤ 0.05), yang berarti bahwa sarana dan prasarana memengaruhi suami

untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP).

4.8.

Pengaruh Faktor Penguat terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP

4.8.1. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP

Tabel 4.28. Tabulasi Silang antara Dukungan Istri dengan Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP

Dukungan Istri

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

8

25,8

23

74,2

31

100,0

Kurang Baik

9

33,3

18

66,7

27

100,0

Tidak Baik

0

0,0

32

100,0

32

100,0

Hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari 23 orang yang menilai bahwa

dukungan istri yang baik tetapi tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak

23 orang (74,2%), dari 27 orang yang menilai dukungan istri kurang baik dan tidak

bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 18 orang (66,7%). Sedangkan

mengatakan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP. Pengaruh dukungan istri

terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada Tabel 4.29.

Tabel 4.29. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Dukungan Istri

Bersedia

14.12

1.654

5.709

0.001

Tidak

Bersedia

9.53

5.942

Diperoleh bahwa responden yang bersedia (mean 14,12) menjadi akseptor KB

MOP menilai bahwa dukungan istri yang mereka dapatkan jauh lebih baik daripada

responden yang tidak bersedia (mean 9,53) menjadi akseptor KB MOP. Hasil analisis

menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,001 (p-value

0.05), yang berarti bahwa dukungan istri memengaruhi suami untuk menjadi akseptor

KB Medis Operasi Pria (MOP).

4.8.2. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Tabel 4.30. Tabulasi Silang antara Dukungan Keluarga dengan Kesediaan

Suami sebagai Akseptor KB MOP

Dukungan Keluarga

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

14

30,4

32

69,6

46

100,0

Kurang Baik

3

18,8

13

81,2

16

100,0

Tidak Baik

0

0,0

28

100,0

28

100,0

Hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari 46 orang yang menilai bahwa

dukungan keluarga yang baik tetapi tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP

kurang baik dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 13 orang

(81,2%). Sedangkan responden yang menilai bahwa dukungan keluarga tidak baik

(28 orang), semuanya mengatakan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP.

Pengaruh dukungan keluarga terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP

dapat dilihat pada Tabel 4.31.

Tabel 4.31. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Dukungan

Keluarga

Bersedia

13.29

2.568

5.151

0.001

Tidak

Bersedia

8.08

6.812

Diperoleh bahwa responden yang bersedia (mean 13,29) menjadi akseptor KB

MOP menilai bahwa keluarga memberikan dukungan yang lebih baik daripada

responden yang tidak bersedia (mean 8,08) menjadi akseptor KB MOP. Hasil analisis

menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,001 (p-value

0.05), yang berarti bahwa dukungan keluarga memengaruhi suami untuk menjadi

akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP).

4.8.4.

Pengaruh Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Tabel 4.32. Tabulasi Silang antara Dukungan Teman dengan Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP

Dukungan Teman

Kesediaan Menjadi

Akseptor KB MOP

n

%

Bersedia

Tidak

Bersedia

f

%

f

%

Baik

13

44,8

16

55,2

29

100,0

Kurang Baik

4

7,4

50

92,6

54

100,0

Tidak Baik

0

0,0

7

100,0

7

100,0

Hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari 29 orang yang menilai bahwa

dukungan teman yang baik tetapi tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak

16 orang (55,2%), dan dari 54 orang yang menilai dukungan teman kurang baik dan

tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP sebanyak 50 orang (92,6%). Sedangkan

responden yang menilai bahwa dukungan teman tidak baik (7 orang), semuanya

mengatakan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP. Pengaruh dukungan teman

terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP dapat dilihat pada Tabel 4.33.

Tabel 4.33. Pengaruh Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP

Kesediaan

Mean

SD

t

Sig.

Dukungan

Teman

Bersedia

12.06

2.331

3.539

0.001

Tidak

Bersedia

9.60

3.439

Diperoleh bahwa responden yang bersedia (mean 12,06) menjadi akseptor KB

MOP menilai bahwa dukungan teman yang mereka dapatkan lebih baik daripada

responden yang tidak bersedia (mean 9,60) menjadi akseptor KB MOP. Hasil analisis

menggunakan independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,001 (p-value

0.05), yang berarti bahwa dukungan teman memengaruhi suami untuk menjadi

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Faktor Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP

Umur merupakan salah satu faktor seseorang untuk menjadi akseptor KB,

sebab umur berhubungan dengan potensi reproduksi dan juga untuk menentukan

perlu tidaknya seseorang menggunakan kontrasepsi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa rata-rata umur suami yang bersedia sebagai akseptor KB MOP lebih tinggi

(mean 40,00) daripada suami yang tidak bersedia (mean 38,58). Namun dari hasil

independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,077 (p-value > 0.05), yang

berarti bahwa faktor umur tidak memengaruhi suami sebagai akseptor KB Medis

Operasi Pria (MOP). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Simanullang (2011),

ada hubungan yang signifikan antara umur suami dengan penggunaan kontrasepsi

MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa meskipun umur tidak

memengaruhi suami sebagai akseptor KB MOP. Namun terlihat bahwa umur suami

yang bersedia sebagai akseptor KB MOP memiliki rata-rata umur yang lebih tinggi

daripada suami yang tidak bersedia. Menurut hasil wawancara, responden yang tidak

bersedia menjadi akseptor KB MOP masih berencana ingin menambah anggota

keluarga lagi, sebagian besar disebabkan karena responden belum memiliki anak laki-

laki dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan Suratun (2008), yang mengatakan bahwa

kurang dari 30 tahun. Hasil tersebut senada dengan Suprihastuti (2000), bila dilihat

dari segi usia, umur pemakai alat kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang

lain. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi

untuk saling mengerti dalam kehidupan keluarga. Demikian juga dengan

Singarimbun (1996), menjelaskan bahwa usia suami menjadi salah satu faktor

penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor kontrasepsi MOP atau tidak. Hal

disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat berhubungan dengan umur. Rata-rata

usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun, sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7

tahun.

5.2. Faktor Tingkat Pendidikan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP

Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang

rendah karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak

dan akan menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja

menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat

melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai

pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang

baik. Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang

terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak

berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suami yang memiliki tingkat pendidikan

tingkat pendidikan menengah dan tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP ada

sebesar 73,5%, dan yang memiliki tingkat pendidikan dasar dan tidak bersedia

sebagai akseptor KB MOP sebesar 83,3%. Hasil analisis uji chi square diperoleh

p-value sebesar 0,349 (p-value > 0,05), artinya bahwa faktor pendidikan tidak

memengaruhi suami sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP). Hal ini berbeda

dengan penelitian Ekawati dalam Kolibu (2004), yang menyatakan bahwa pendidikan

pria berpengaruh positif terhadap persepsi pria untuk ber KB.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan suami paling banyak

adalah pendidikan tinggi (48,9%). Sedangkan untuk pendidikan menengah dan dasar

masing-masing 37,8% dan 13,8%. Meskipun sebagian besar suami memiliki

pendidikan tinggi, namun latar belakang pendidikan suami tersebut bukan dari

kesehatan. Sehingga hal tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan

pengetahuan suami tentang kontrasepsi MOP. Hal ini kemungkinan disebabkan di

dunia pendidikan formal juga tidak ada materi khusus yang membahas tentang

kesehatan reproduksi khususnya tentang keluarga berencana sehingga disini

seseorang mengetahui tentang partisipasi pria dalam KB bukan dari sektor pendidikan

formal melainkan dari teman dan media massa terutama dari surat kabar dan televisi.

Hal berbeda diungkapkan oleh Purwoko (2000), pendidikan merupakan salah

satu faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan dan sikap tentang metode

kontrasepsi. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih

rasional daripada mereka yang berpendidikan rendah, lebih kreatif dan lebih terbuka

perubahan-perubahan sosial. Secara langsung maupun tidak langsung dalam hal

Keluarga Berencana (KB). Semakin tinggi tingkat pendidikan pasangan yang ikut

KB, makin besar pasangan suami istri memandang anaknya sebagai alasan penting

untuk melakukan KB, sehingga semakin meningkatnya pendidikan semakin tinggi

proporsi mereka yang mengetahui dan menggunakan kontrasepsi untuk membatasi

jumlah anaknya.

5.3. Faktor Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP

Suami yang bersedia sebagai akseptor KB MOP memiliki pendapatan lebih

rendah (mean 2.314.706) dari pada suami yang tidak bersedia (mean 2.543.836).

Namun dari hasil independent samples t test diperoleh

p-value sebesar 0,293

(p-value > 0.05), yang berarti bahwa pendapatan tidak memengaruhi suami untuk

menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP). Hal ini bisa dilihat dari hasil

penelitian bahwa responden yang tidak bersedia menjadi akseptor KB MOP dengan

tingkat pendapatan > 2.500.000,-. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pendapatan suami

yang rendah justru memengaruhinya untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria

(MOP). Menurut Geswaty (2009) salah satu alasan akseptor MOP dalam mengikuti

pelaksanaan MOP. Dengan diiming-imingi uang atau istilahnya uang rehat sebesar ±

Rp. 150.000,- per orang, bagi mereka yang membutuhkan uang untuk memenuhi

kehidupan sehari-hari tanpa harus bekerja pada hari itu, tentu saja mereka akan ikut

walaupun mereka tidak mengetahui apa itu MOP dan apa yang akan dilakukan

Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian Nurwanti (2007),

dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi MOP di

Desa Jatitengah Kecamatan Sukodono Kabupaten Sragen, diperoleh hasil bahwa

faktor ekonomi dan pendidikan berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi MOP.

Menurut BKKBN (2007), keterjangkauan ekonomi merupakan salah satu faktor

dalam mempermudah untuk memperoleh pelayanan KB.

5.4. Faktor Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP

Jumlah anak hidup memengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan

pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup

rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan

efektivitas rendah. Pilihan ini disebabkan oleh kemungkinan untuk memperoleh anak

lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak terdapat kecenderungan

untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi, pilihan ini disebabkan oleh

rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa suami yang bersedia sebagai

akseptor KB MOP memiliki jumlah anak lebih banyak (mean 4-5 orang) daripada

suami yang tidak bersedia (mean 3-4 orang). Namun dari hasil independent samples t

test diperoleh p-value sebesar 0,014 (p-value≤ 0.05), yang berarti bahwa jumlah anak

memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP). Jumlah

anak yang dimiliki oleh responden pada umumnya ≤ 2 orang yaitu sebanyak 71 orang

(78,9 %), dan sebanyak 60 orang diantaranya menyatakan tidak bersedia menjadi

akseptor KB MOP, sementara 11 orang (15,5%) responden dengan jumlah anak

≤ 2 orang bersedia menjadi akseptor KB MOP. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden yang mengatakan bahwa mereka tidak lagi memikirkan kuantitas anak,

tetapi kualitas dari anak tersebut di masa depan. Harapan keluarga yang sangat besar

agar anak mereka lebih baik dari segi kualitas pendidikannya, sehingga mereka

merasa cukup memiliki 1 atau 2 orang anak saja. Responden yang bersedia menjadi

akseptor KB Mop sebanyak 17 orang sebaiknya dilakukan pendampingan sehingga

menjadi akseptor KB MOP yang aktif.

Suratun (2008), mengatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi calon

akseptor KB MOP adalah bahwa keluarga merasa sudah memiliki anak yang cukup

minimal 2 orang dan umur yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun. Hal ini

juga sejalan dengan program BKKBN dengan konsep “Dua anak lebih baik”.

Menurut asumsi peneliti disamping jumlah anak yang dianggap masih sedikit menjadi

faktor penghambat bagi suami untuk mengambil keputusan, faktor jenis kelamin anak

belum seperti yang diharapkan oleh keluarga pun bisa memberatkan bagi suami untuk

membuat keputusan. Responden yang pada umumnya adalah bersuku batak yang

menganut patrilianisme, dimana penting bagi keluarga keberadaan anak laki-laki

dalam keluarga sebagai penerus keturunan.

Siregar, F. (2003), melakukan penelitian pada penduduk di sekitar Yogyakarta

menunjukkan bahwa jumlah anak yang dianggap ideal 4 dan 5 orang anak. Motivasi

untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan nilai-nilai tentang anak merupakan

daripada jumlah anak yang mampu dirawat dengan baik. Demikian juga hasil

penelitian Ginting (2012) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu penggunaan alat

kontrasepsi suami yang punya anak ≥ 3 orang jauh lebih banyak daripada suami yang

menggunakan alat kontrasepsi yang punya anak < 3 orang yang memberikan arti

bahwa penerimaan terhadap norma keluarga kecil bahagia sejahtera yang

dipromosikan BKKBN belum berjalan secara baik dalam masyarakat.

5.5.

Faktor Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP

Pengetahuan suami yang bersedia sebagai akseptor KB MOP sedikit lebih

tinggi (mean 7.82) daripada pengetahuan suami yang tidak bersedia (mean 7,14).

Namun dari hasil independent samples t test diperoleh p-value sebesar 0,264 (p-value

> 0.05), yang berarti bahwa pengetahuan tidak memengaruhi suami sebagai akseptor

KB Medis Operasi Pria (MOP).

Stigma KB MOP berkaitan dengan faktor seksual, KB MOP dianggap dapat

membuat pria menjadi tidak jantan sehingga dapat menghilangkan potensi sebagai

laki-laki. Hal tersebut tidak benar karena jika dilihat dari proses tindakan, yaitu : KB

MOP hanya memutus kontinuitas vas deferens yang berfungsi menyalurkan

spermatozoa dari testis, maka yang terjadi adalah hambatan penyaluran spermatozoa

melalui saluran tersebut. Proses spermatogenesis yang memakan waktu antara 70-90

hari tetap berlangsung. Sumbatan pada vas deferens tidak memengaruhi jaringan

seperti biasa. Oleh karena produksi hormon testosteron tidak terganggu, maka libido

juga tidak berubah (Taher dalam Ekarini, 2008).

KB MOP juga tidak menyebabkan laki-laki menjadi impoten karena saraf-

saraf dan pembuluh darah yang berperan dalam proses terjadinya ereksi berada di

batang penis, sedangkan tindakan KB MOP hanya dilakukan di sekitar buah

zakar/testis, jauh dari persarafan untuk ereksi sehingga KB MOP sama sekali tidak

akan menganggu kemampuan penis untuk ereksi (BKKBN, 2012). Selain itu, KB

MOP tidak memengaruhi fungsi dari kelenjar-kelenjar asesoris maka produksi semen

tetap berlangsung dan pria yang diKB MOP tetap berejakulasi (Taher, 2003).

Hasil penelitian Barus (2010) memperlihatkan bahwa responden tidak

mengetahui kontraindikasi pelaksanaan dari MOP. Padahal secara jelas BKKBN

Dokumen terkait