FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI
SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)
DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI
TESIS
Oleh
MASTIUR SIHOMBING
127032206/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI
SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)
DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MASTIUR SIHOMBING
127032206/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis
: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KESEDIAAN SUAMI SEBAGAI AKSEPTOR KB
MEDIS OPERASI PRIA (MOP) DI KECAMATAN
SITINJO KABUPATEN DAIRI
Nama Mahasiswa
: Mastiur Sihombing
Nomor Induk Mahasiswa : 127032206
Program Studi
: S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi
: Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si
Ketua
)
(dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S
)
Telah diuji
Pada Tanggal : 05 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si
Anggota
: 1. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
PERNYATAAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI
SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)
DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2014
ABSTRAK
Medis Operasi Pria merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk
pria. Rendahnya keikutsertaan pria dalam menggunakan metode kontrasepsi Medis
Operasi Pria disebabkan oleh banyak faktor. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan suami sebagai akseptor KB
Medis Operasi Pria di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.
Jenis penelitian survei dengan pendekatan
explanatory research
. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat
tinggal di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi sebanyak 1389 orang, dan dijadikan
sampel sebanyak 90 orang. Teknik pengumpulan data, yang meliputi : umur,
pendidikan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, nilai budaya, sarana dan
prasarana, dukungan istri, dukungan keluarga, dukungan teman, dan kesediaan
sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
analisis statistik
independent samples t test
dan uji
Chi-Square
.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor nilai budaya (
p-value
0,001),
dukungan istri (
p-value
0,001), dukungan keluarga (
p-value
0,001), dan dukungan
teman (
p-value
0,001), sarana dan prasarana (
p-value
0,006), faktor jumlah anak
dalam keluarga (
p-value
0,014), sikap (
p-value
0,026). Sementara faktor umur (
p-value
0,077), pengetahuan (
p-value
0,264), pendapatan (
p-value
0,293), tingkat
pendidikan (
p-value
0,349) tidak memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB
Medis Operasi Pria (MOP).
Disarankan bagi Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), tenaga
kesehatan Puskesmas dan petugas di kantor Pemberdayaan Perempuan, Anak dan
Keluarga Berencana (PPAKB) agar melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan
menyamakan persepsi tentang keluarga berencana khususnya KB MOP bersama
tokoh masyarakat dan tokoh agama, sehingga diharapkan nantinya para tokoh ini
yang akan menyebarluaskan informasi kepada publik, serta melibatkan suami yang
sudah menjadi akseptor KB MOP sebagai
role model
dan juga berperan sebagai
narasumber dalam kegiatan penyuluhan tentang keluarga berencana yang
dilaksanakan.
ABSTRACT
Male Medical Surgery is one of the modern contraceptive methods for men.
Less participation of men in using the Male Medical Surgery was caused by many
factors. The purpose of this study was to find out the factors influencing the
willingness of husband to be acceptor of family planning through Male Medical
Surgery in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric.
The population of this explanatory survey study was all of the 1.389 husbands
from couples of reproductive age living in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric and 90 of
them were selected to be the samples for this study. The data including age,
education, income, parity, knowledge, attitude, cultural value, facility and
infrastructure, wife’s support, family support, peer support, and willingness to be the
acceptor of family planning through Male Medical Surgery were obtained through
questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through statistical
analysis of independent samples t-test and Chi-square test.
The result of this study showed that the factors of cultural value (p = 0.001),
wife’s support (p = 0.001), family support (p = 0.001), peer support (p = 0.001),
facility and infrastructure (p = 0.006), number of parity ( p = 0.014), attitude (p =
0.026) influenced the husband to be the acceptor of family planning through Male
Medical Surgery. While the factor of age (p = 0.077), knowledge (p = 0.264), income
(p = 0.293), level of education (p = 0.349) did not influence the husband to be the
acceptor of family planning through Male Medical Surgery.
Family planning extension worker, Puskesmas health workers, and the staff in
the Office of Women Empowerment, Child and Family Planning are suggested to
attempt to improve their knowledge and to have the same perception together with
ommunity and religious leaders on Family Planning especially on Family Planning
through Male Medical Surgery. Later, it is expected that these leaders will socialize
this information to the public and involve the husbands who have been the acceptors
of Family Planning through Male Medical Surgery as the role model or speaker in
extension activity on Family Planning implemented.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan dan Putra-Nya,
Yesus Kristus karena berkat, anugerah, penyertaan, dan bimbingan-Nya, Penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “
Faktor-faktor yang Memengaruhi
Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di
Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi
”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, Penulis mendapat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1.
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2.
Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
3.
Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
4.
Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr.
Yusniwarti Yusad, M.Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan
penuh perhatian dan kesabaran, mengarahkan dan senantiasa meluangkan waktu
untuk membimbing Penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5.
Drs. Tukiman, M.K.M dan Drs. Eddy Syahrial, M.S., selaku komisi penguji yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan
tesis ini.
6.
Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu
yang sangat berarti selama Penulis mengikuti pendidikan.
7.
Bupati Dairi yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8.
Camat Sitinjo yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di wilayah
Kecamatan Sitinjo
9.
Teristimewa kepada ayahanda P. Sihombing (Alm.) dan ibunda R. br.
Simanjuntak yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada
10.
Terkhusus buat suamiku Martua Simarmata, ST, dan putraku Marcel Oktovius
Ferdinan Simarmata, terimakasih kuucapkan buat kebesaran hati kalian, penuh
sukacita memberangkatkan Penulis menjalani pendidikan dan setia menunggu
untuk berkumpul bersama kembali. Demikian juga adek-adek tersayang Purwanto
Sianturi, SE dan Alvide Sihombing, SE ; Rita Sihombing, SE ; Lamhot
Sihombing, AMd ; Nenny Sihombing, S.Pd dan Hastuti Sihombing, terimakasih
buat dukungan, motivasi dan yang terpenting telah menjadi tim pendoa buat
Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
11.
Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat terutama Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Angkatan 2012, yang telah membantu Penulis selama pendidikan dan proses
penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu Penulis selama penyusunan tesis ini.
Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan
tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Agustus 2014
RIWAYAT HIDUP
Mastiur Sihombing dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1982 di Parongil
Kabupaten Dairi. Anak pertama dari 6 (enam) bersaudara, dari pasangan ayahanda P.
Sihombing (Alm.) dan ibunda R. br. Simanjuntak. Menikah pada tanggal 24 Oktober
2007 dengan Martua Simarmata, ST, dan dikaruniai 1 (satu) anak, yaitu Marcel
Oktovius Ferdinan Simarmata.
Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1988-1994 di SD Negeri 030285
Sidikalang, pendidikan SMP tahun 1994-1997 di SMP Negeri 1 Sidikalang,
pendidikan SLTA tahun 1997-2000 di SMU Negeri 1 Sidikalang, pendidikan S1
tahun 2000-2004 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Medan, dan tahun 2012 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas
Kesehatan Masyarakat USU.
Tahun 2006 sampai dengan sekarang bekerja sebagai PNS pada Akademi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...
i
ABSTRACT
...
ii
KATA PENGANTAR ...
iii
RIWAYAT HIDUP ...
vi
DAFTAR ISI ...
vii
DAFTAR TABEL ...
xi
DAFTAR GAMBAR ...
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...
xv
BAB 1.
PENDAHULUAN ...
1
1.1. Latar Belakang ...
1
1.2. Permasalahan ...
11
1.3. Tujuan Penelitian ...
11
1.4. Hipotesis ...
11
1.5. Manfaat Penelitian ...
12
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA ...
13
2.1. Keluarga Berencana (KB) ...
13
2.2. Partisipasi Pria Dalam Program KB ...
15
2.2.1. Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB ...
16
2.3. Kontrasepsi ...
18
2.3.1. Metode Kontrasepsi Pria ...
19
2.4. Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP) ...
20
2.4.1. Syarat Menjadi Akseptor MOP ...
21
2.4.2. Efektivitas MOP ...
21
2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan MOP ...
22
2.4.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB
MOP ...
23
2.5. Teori Perilaku ...
33
2.5.1. Determinan Perilaku Manusia ...
34
2.5.2. Determinan Perilaku Kesehatan ...
35
2.6. Landasan Teori ...
41
2.7. Kerangka Konsep ...
43
BAB 3.
METODE PENELITIAN ...
44
3.1. Jenis Penelitian ...
44
3.2.1. Lokasi Penelitian ...
44
3.2.1. Waktu Penelitian ...
44
3.3. Populasi dan Sampel ...
45
3.3.1. Pupolasi Penelitian ...
45
3.3.2. Sampel Penelitian ...
45
3.4. Metode Pengumpulan Data ...
46
3.5. Validitas dan Reliabilitas ...
46
3.6. Variabel dan Definisi Operasional ...
47
3.6.1. Variabel Bebas ...
47
3.6.2. Variabel Terikat ...
48
3.7. Metode Pengukuran ...
48
3.7.1. Variabel Bebas ...
48
3.7.2. Variabel Terikat ...
55
3.8. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...
56
BAB 4.
HASIL PENELITIAN ...
58
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Sitinjo ...
58
4.1.1. Gambaran Letak dan Geografis ...
58
4.1.2. Kependudukan ...
58
4.1.3. Fasilitas Kesehatan ...
59
4.2. Faktor Predisposisi ...
59
4.2.1. Umur ...
59
4.2.2. Pendidikan ...
60
4.2.3. Pendapatan ...
60
4.2.4. Jumlah Anak ...
61
4.2.5. Pengetahuan ...
61
4.2.6. Sikap ...
61
4.2.7. Nilai Budaya ...
62
4.3. Faktor Pemungkin ...
63
4.3.1. Sarana dan Prasarana...
63
4.4. Faktor Penguat ...
63
4.4.1. Dukungan Istri ...
63
4.4.2. Dukungan Keluarga ...
64
4.4.3. Dukungan Teman ...
64
4.5. Kesediaan Menjadi Akseptor KB MOP ...
65
4.6. Pengaruh Faktor Predisposisi terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
65
4.6.1. Pengaruh Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
65
4.6.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
66
4.6.4. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
68
4.6.5. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
69
4.6.6. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
70
4.6.7. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
71
4.7. Pengaruh Faktor Pemungkin terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
73
4.7.1. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan
Suami sebagai Akseptor KB MOP ...
73
4.8. Pengaruh Faktor Penguat terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
74
4.8.1. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
74
4.8.2. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan
Suami sebagai Akseptor KB MOP ...
75
4.8.3.
Pengaruh Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
76
BAB 5.
PEMBAHASAN ...
78
5.1. Faktor Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB
MOP ...
78
5.2. Faktor Tingkat Pendidikan terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
79
5.3. Faktor Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
81
5.4. Faktor Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
82
5.5. Faktor Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
84
5.6.
Faktor Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB
MOP ...
86
5.7. Faktor Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
88
5.8. Faktor Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
90
5.9. Faktor Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
92
5.10. Faktor Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai
5.11. Faktor Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami Sebagai
Akseptor KB MOP ...
94
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ...
96
6.1. Kesimpulan ...
96
6.2. Saran ...
96
DAFTAR PUSTAKA ...
98
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Halaman
3.1.
Metode Pengukuran Umur ...
49
3.2.
Metode Pengukuran Tingkat Pendidikan ...
49
3.3.
Metode Pengukuran Pendapatan ...
50
3.4.
Metode Pengukuran Jumlah Anak dalam Keluarga ...
50
3.5.
Metode Pengukuran Pengetahuan ...
51
3.6.
Metode Pengukuran Sikap ...
52
3.7.
Metode Pengukuran Nilai Budaya ...
52
3.8.
Metode Pengukuran Sarana dan Prasarana ...
53
3.9.
Metode Pengukuran Dukungan Istri ...
54
3.10. Metode Pengukuan Dukungan Keluarga ...
54
3.11. Metode Pengukuran Dukungan Teman ...
55
3.12. Metode Pengukuran Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB MOP ...
55
4.1.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ...
59
4.2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...
60
4.3.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan ...
60
4.4.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Anak ...
61
4.5.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan ...
61
4.7.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Budaya ...
62
4.8.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sarana dan Prasarana ...
63
4.9.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Istri ...
63
4.10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga ...
64
4.11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Teman ...
64
4.12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesediaan sebagai
Akseptor KB MOP ...
65
4.13. Tabulasi Silang antara Umur dengan Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
65
4.14. Pengaruh Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP .
66
4.15. Tabulasi Silang antara Pendidikan dengan Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
66
4.16. Tabulasi Silang antara Pendapatan dengan Kesediaan sebagai Akseptor
KB MOP ...
67
4.17. Pengaruh Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB
MOP ...
68
4.18. Tabulasi Silang antara Jumlah Anak dengan Kesediaan sebagai
Akseptor KB MOP ...
68
4.19. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor
KB MOP ...
69
4.20. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Kesediaan sebagai
Akseptor KB MOP ...
69
4.22. Tabulasi Silang antara Sikap dengan Kesediaan Menjadi Akseptor KB
MOP ...
70
4.23. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP .
71
4.24. Tabulasi Silang antara Nilai Budaya dengan Kesediaan sebagai
Akseptor KB MOP ...
71
4.25. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor
KB MOP ...
72
4.26. Tabulasi Silang antara Sarana dan Prasarana dengan Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
73
4.27. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
73
4.28. Tabulasi Silang antara Dukungan Istri dengan Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
74
4.29. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor
KB MOP ...
75
4.30. Tabulasi Silang antara Dukungan Keluarga dengan Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
75
4.31. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai
Akseptor KB MOP ...
76
4.32. Tabulasi Silang antara Dukungan Teman dengan Kesediaan Suami
sebagai Akseptor KB MOP ...
76
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
2.1.
Determinan Perilaku Manusia ...
34
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Halaman
1.
Kuesioner Penelitian ... 103
2.
Hasil Uji Validitas dan Reabilitas ... 112
3.
Master Data Penelitian ... 123
4.
Hasil Uji Statistik ... 127
5.
Surat Izin Survei Pendahuluan ... 137
6.
Surat Izin Penelitian ... 138
ABSTRAK
Medis Operasi Pria merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk
pria. Rendahnya keikutsertaan pria dalam menggunakan metode kontrasepsi Medis
Operasi Pria disebabkan oleh banyak faktor. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan suami sebagai akseptor KB
Medis Operasi Pria di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.
Jenis penelitian survei dengan pendekatan
explanatory research
. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat
tinggal di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi sebanyak 1389 orang, dan dijadikan
sampel sebanyak 90 orang. Teknik pengumpulan data, yang meliputi : umur,
pendidikan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, nilai budaya, sarana dan
prasarana, dukungan istri, dukungan keluarga, dukungan teman, dan kesediaan
sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
analisis statistik
independent samples t test
dan uji
Chi-Square
.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor nilai budaya (
p-value
0,001),
dukungan istri (
p-value
0,001), dukungan keluarga (
p-value
0,001), dan dukungan
teman (
p-value
0,001), sarana dan prasarana (
p-value
0,006), faktor jumlah anak
dalam keluarga (
p-value
0,014), sikap (
p-value
0,026). Sementara faktor umur (
p-value
0,077), pengetahuan (
p-value
0,264), pendapatan (
p-value
0,293), tingkat
pendidikan (
p-value
0,349) tidak memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB
Medis Operasi Pria (MOP).
Disarankan bagi Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), tenaga
kesehatan Puskesmas dan petugas di kantor Pemberdayaan Perempuan, Anak dan
Keluarga Berencana (PPAKB) agar melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan
menyamakan persepsi tentang keluarga berencana khususnya KB MOP bersama
tokoh masyarakat dan tokoh agama, sehingga diharapkan nantinya para tokoh ini
yang akan menyebarluaskan informasi kepada publik, serta melibatkan suami yang
sudah menjadi akseptor KB MOP sebagai
role model
dan juga berperan sebagai
narasumber dalam kegiatan penyuluhan tentang keluarga berencana yang
dilaksanakan.
ABSTRACT
Male Medical Surgery is one of the modern contraceptive methods for men.
Less participation of men in using the Male Medical Surgery was caused by many
factors. The purpose of this study was to find out the factors influencing the
willingness of husband to be acceptor of family planning through Male Medical
Surgery in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric.
The population of this explanatory survey study was all of the 1.389 husbands
from couples of reproductive age living in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric and 90 of
them were selected to be the samples for this study. The data including age,
education, income, parity, knowledge, attitude, cultural value, facility and
infrastructure, wife’s support, family support, peer support, and willingness to be the
acceptor of family planning through Male Medical Surgery were obtained through
questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through statistical
analysis of independent samples t-test and Chi-square test.
The result of this study showed that the factors of cultural value (p = 0.001),
wife’s support (p = 0.001), family support (p = 0.001), peer support (p = 0.001),
facility and infrastructure (p = 0.006), number of parity ( p = 0.014), attitude (p =
0.026) influenced the husband to be the acceptor of family planning through Male
Medical Surgery. While the factor of age (p = 0.077), knowledge (p = 0.264), income
(p = 0.293), level of education (p = 0.349) did not influence the husband to be the
acceptor of family planning through Male Medical Surgery.
Family planning extension worker, Puskesmas health workers, and the staff in
the Office of Women Empowerment, Child and Family Planning are suggested to
attempt to improve their knowledge and to have the same perception together with
ommunity and religious leaders on Family Planning especially on Family Planning
through Male Medical Surgery. Later, it is expected that these leaders will socialize
this information to the public and involve the husbands who have been the acceptors
of Family Planning through Male Medical Surgery as the role model or speaker in
extension activity on Family Planning implemented.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Medis Operasi Pria (MOP) atau yang sering dikenal vasektomi adalah
merupakan salah satu teknik kontrasepsi mantap. MOP merupakan suatu metode
kontrasepsi operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif,
hanya butuh waktu operasi yang sangat singkat dan tidak memerlukan anastesi umum
(Hartanto, 2004).
Prinsipnya sama dengan tubektomi pada perempuan, yaitu menutup saluran
bibit laki-laki (
vas deferens
) dengan melakukan operasi kecil pada kantong zakar
sebelah kanan dan kiri. Operasi ini tergolong ringan, bahkan lebih ringan dari khitan
(sunat) dan bisa dilakukan tanpa pisau (Meilani, ddk., 2010). Seorang pria yang
sudah divasektomi, volume air maninya sekitar 0,15 cc yang tertahan tidak ikut
keluar bersama ejakulasi karena skrotum yang mengalirkannya sudah buntu. Sperma
yang sudah dibentuk tidak akan dikeluarkan oleh tubuh, tetapi diserap dan
dihancurkan oleh tubuh (Mulyani, 2013).
MOP secara umum dianggap lebih efektif daripada sterilisasi wanita atau
sering dikenal dengan tubektomi (Glasier, 2006). Angka kegagalan hanya 0,1-0,5%
dalam tahun pertama. Kegagalan metode ini biasanya disebabkan oleh rekanalisasi
dapat ditemukan dalam semen segera setelah vasektomi, pria yang menjalani
vasektomi harus diberitahu untuk menggunakan metode kontrasepsi lain sampai
pemeriksaan memperlihatkan bahwa tidak ada sperma yang diejakulasikan atau
mereka telah berejakulasi paling sedikit 20 kali (Pendit, 2007).
MOP merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk pria, disamping
ada metode lain seperti kondom, metode kontrasepsi tradisional pria adalah dengan
senggama terputus. Sementara metode kontrasepsi modern untuk wanita antara lain :
Metode Operasi Wanita (MOW), pil, IUD, suntik, dan susuk KB, sementara metode
kontrasepsi tradisional wanita adalah dengan pantang berkala (SDKI, 2012). Di
Indonesia peserta MOP masih tergolong rendah yaitu 0,4% (SDKI, 1997) bila
dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya seperti Pakistan tahun 1999
(5,2%), Bangladesh tahun 1997 (13,9%) dan Malaysia tahun 1988 (16,8%) (BKKBN,
2007).
Pemakaian alat kontrasepsi di Indonesia juga bervariasi. Persentase
pemakaian metode kontrasepsi modern pada wanita seperti suntik (31,9%), pil
(13,6%), IUD (3,9%), susuk (3,3%), MOW (3,2%) dan untuk metode kontrasepsi
tradisional yaitu pantang berkala (1,7%). Sementara pemakaian metode kontrasepsi
modern pada pria seperti kondom (0,7%), MOP (0,2%) dan untuk metode kontrasepsi
tradisional yaitu senggama terputus (2,3%) (SDKI, 2012).
Rendahnya minat masyarakat terhadap sterilisasi dimungkinkan karena
program KB di waktu yang lalu yang ”bias gender”, dan belum adanya keputusan
tidaknya sterilisasi. Di sisi lain sikap pemerintah sendiri dinilai masih kurang tegas
mengenai sterilisasi. Sementara BKKBN beranggapan bahwa sterilisasi sudah
menjadi program pemerintah, terbukti dengan tersedianya dukungan dana dan sarana
untuk kegiatan operasionalnya. Selain menyediakan dana yang tidak sedikit untuk
pelayanan sterilisasi, BKKBN juga telah melatih dokter pemberi pelayanan,
memberikan dukungan sarana pelayanan serta dana penggerakan di lapangan.
Namun, hal ini tidak diikuti dengan pencapaian yang menggembirakan (BKKBN,
2011).
Sumatera Utara merupakan propinsi keempat yang terbesar jumlah
penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hasil
Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 jumlah penduduk Sumatera Utara 10,26 juta jiwa,
SP tahun 2000 sebesar 11,51 juta jiwa dan SP tahun 2010 sebesar 12.982.204 jiwa.
Dengan kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa/Km
2, tahun
2000 meningkat menjadi 161 jiwa/ Km
2, dan selanjutnya tahun 2010 menjadi 188
jiwa/ Km
2Besarnya jumlah penduduk Sumatera Utara tidak diimbangi dengan
keikutsertaan dalam hal ber-KB. Hal ini dapat dilihat dari data Pasangan Usia Subur
(PUS) dan peserta KB aktif bahwa jumlah peserta KB aktif di Indonesia sebanyak
35.276.105 orang (75,88% dari jumlah PUS) dan Bengkulu menempati urutan teratas
. Laju pertumbuhan penduduk kurun waktu tahun 1990-2000 adalah
1,20%/tahun dan tahun 2000-2010 menjadi 1,22%/tahun. Dan pada tahun 2012,
jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13.215.401 jiwa (BPS Sumatera Utara,
dengan jumlah peserta KB aktif 89,79% dari jumlah PUS, yang disusul oleh
Gorontalo (85,76%), Bali (85,67%), dan Sulawesi Utara (84,46%), sedangkan
Propinsi Sumatera Utara berada di urutan 28 dari 33 provinsi .
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ada di Sumatera Utara sekitar
2.204.567 pasangan, sementara peserta KB yang aktif hanya sekitar 68,45% yaitu
sekitar 1.509.109 pasangan. Presentase pemakaian metode kontrasepsi juga
bervariasi, untuk kontrasepsi modern untuk wanita seperti suntik (32,9%), pil
(32,7%), IUD (10,6%), susuk (9,35) dan MOW (7,48%), sementara metode
kontrasepsi modern untuk pria seperti kondom (6,65%) dan MOP (0,4%) (BKKBN,
2012). Dari data di atas, jumlah PUS di Sumatera Utara yang berhasil dibina untuk
menggunakan MOP sebagai alat kontrasepsi masih sangat rendah yaitu (0,40%).
Berdasarkan hasil pencapaian peserta KB baru dan aktif di Sumatera Utara diketahui
bahwa dari 33 kabupaten/kota hanya 12 kabupaten/kota yang memiliki akseptor KB
MOP, sementara 21 kabupaten/kota lainnya tidak memiliki akseptor KB MOP
(BKKBN, 2012). Kabupaten dengan pencapaian akseptor KB MOP yang terbaik
pertama adalah Langkat (2,60%), Kota Tanjung Balai (1,45%) dan Tapanuli Utara
(1,28%). Sementara di Dairi hanya sekitar 0,96% akseptor KB MOP. (BPS Sumatera
Utara, 2012).
Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB vasektomi disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu : (1) faktor dukungan, baik politis, sosial budaya, maupun
keluarga yang masih rendah sebagai akibat rendah/kurangnya pengetahuan
reproduksi merupakan urusan dan tanggung jawab perempuan, (2) faktor akses, baik
akses informasi, maupun akses pelayanan. Dilihat dari akses informasi, materi
informasi pria masih sangat terbatas, demikian halnya dengan kesempatan pria/suami
yang masih kurang dalam mendapatkan informasi mengenai KB dan kesehatan
reproduksi. Keterbatasan juga dilihat dari sisi pelayanan dimana sarana/tempat
pelayanan yang dapat mengakomodasi kebutuhan KB dan kesehatan reproduksi
pria/suami masih sangat terbatas, sementara jenis pelayanan kesehatan reproduksi
untuk pria/suami belum tersedia pada semua tempat pelayanan dan alat kontrasepsi
untuk suami hanya terbatas pada kondom dan vasektomi/MOP (BKKBN, 2006).
Faktor tingkat pengetahuan suami tentang kontrasepsi MOP juga
mempengaruhi keikutsertaan suami dalam program KB MOP. Para suami sering
menganggap bahwa orang yang menggunakan MOP sama halnya seperti dikebiri dan
akan mengurangi hasrat seksual. Hal ini sesuai dengan studi operasional yang
dilakukan di D.I.Yogyakarta tahun 2000 menemukan bahwa sembilan dari sepuluh
suami dengan PUS beranggapan sterilisasi pria sama dengan dikebiri (BKKBN,
2011).
Banyaknya jumlah anak yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan umur juga
mempengaruhi keikutsertaan suami sebagai akseptor KB MOP, semakin banyak
jumlah anak maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk menjadi akseptor
KB MOP. Hal ini sesuai dengan hasil analisis lanjut ”Pola Pemakaian Kontrasepsi”
berdasarkan data dari Pemantauan PUS Melalui Mini Survei tahun 2009 juga
mereka yang berusia 40 tahun ke atas, dan telah memiliki 3 anak bahkan lebih.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa saat disterilisasi umumnya para akseptor
memang telah memiliki jumlah anak banyak dan berumur relatif tua, sehingga secara
demografis kurang memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kelahiran
(BKKBN, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukaan Litbangkes (Penelitian Pengembangan
Kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa
pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, Semakin tinggi
tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program
KB. Selain itu pengetahuan pria yang baik tentang MOP akan membentuk tindakan
yang positif terhadap keikutsertaan KB (BKKBN, 2010).
Hasil studi yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi
Manusia pada tahun 1999 di DKI Jakarta dan D.I.Yogyakarta mengungkap bahwa
rendahnya peran pria dalam ber-KB disebabkan karena kurangnya informasi tentang
metode KB pria, terbatasnya jenis kontrasepsi pria, dan terbatasnya tempat pelayanan
KB pria. Studi di Jawa Barat dan Sumatera Selatan tahun 2001, juga mengungkap
penyebab rendahnya pria ber-KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga,
yaitu istri tidak mendukung (66 %), adanya rumor di masyarakat (47 %) kurangnya
informasi metode pria, dan terbatasnya tempat pelayanan (6,2 %). Meskipun secara
umum pengetahuan wanita status kawin mengenai metode kontrasepsi sudah sangat
tinggi namun khusus untuk kontrasepsi pria tercatat masih rendah (SDKI 2002/2003).
Faktor dukungan sosial budaya yang mencakup sikap dan kepercayaan
(
beliefs)
dari suami merupakan kunci penerimaan KB. Adanya rumor dan fakta lain
tentang MOP sama dengan kebiri, pria seringkali cemas mengenai kemampuan
mereka mempertahankan ereksi dan melakukan koitus. Beberapa pria dapat
mengalami tanda-tanda berduka karena merasa kehilangan kesuburan dan seksualitas
mereka secara permanen. Semua hal ini ternyata turut mempengaruhi rendahnya
keikutsertaan pria dalam melakukan KB MOP (Everett, 2008).
Faktor yang penting lainnya adalah ukuran keluarga ideal, perhatian terhadap
kehamilan, pentingnya nilai anak laki-laki dan adanya dukungan istri terhadap
penggunaan kontrasepsi oleh suami (istri). Seluruh aspek kehidupan penduduk yang
banyak dipengaruhi oleh nilai budaya pun turut mempengaruhi keikutsertaan suami
dalam program keluarga berencana. Kendala pelaksanaan program KB-Kesehatan
Reproduksi (KB-KR), antara lain masih adanya pemahaman tentang KB yang sempit,
baik di kalangan masyarakat maupun para tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan program KB pada
umumnya karena kultur masyarakat yang masih memegang erat nilai-nilai budaya.
Adanya sebagian masyarakat yang beranggapan banyak anak banyak rejeki, anak
laki-laki lebih “berharga” dari anak perempuan, serta anggapan bahwa KB dapat
membunuh bibit keturunan. Sebagian lagi beranggapan bahwa KB hanya
diperuntukkan untuk wanita karena pria tidak pernah hamil dan tersebut merupakan
hal yang tidak penting untuk dilakukan (BKKBN, 2006). Dan hal ini juga didukung
budaya yang beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga pria tidak
perlu berperan (BKKBN, 2007).
Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak
laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan
satu keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk
mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan
menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki
atau perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak
menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan (Majalah Gema
Pria, 2009).
Kabupaten Dairi yang ibukotanya Sidikalang, merupakan salah satu
Kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki luas 1.927,80 Km
2Kecamatan Sitinjo merupakan salah satu kecamatan dengan luas wilayah
86,84 km
. Luas wilayah
Kabupaten Dairi ini hanya sebesar 2,69% dari total luas Propinsi Sumatera Utara.
Jumlah penduduk 273.394 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,9%/tahun
(keadaan tahun 2012) dan tersebar di 15 kecamatan (BPS Dairi, 2013). Berdasarkan
jumlah akseptor KB MOP di Kabupaten Dairi diketahui bahwa dari 52 akseptor, 28
akseptor diantaranya berdomisili di Kecamatan Sidikalang (53,85%), selebihnya di
Kecamatan Parbuluan dan Kecamatan Sumbul (PPAKB Dairi, 2013).
2
, jumlah penduduk 49.429 jiwa dan kepadatan penduduk 305 jiwa/km
2(BPS Dairi, 2013), merupakan kecamatan yang berdekatan dengan ibu kota
termasuk pelayanan KB. Namun kenyataan di lapangan didapatkan bahwa pada
tahun 2013 tidak ada akseptor KB MOP (PPAKB Dairi, 2013), dan pada tahun 2014
sampai pendataan bulan April 2014, terdapat hanya 2 orang peserta KB MOP di
Kecamatan Sitinjo (PLKB Sitinjo, 2014).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh BKKBN Provinsi Sumatera Utara
bekerja sama dengan PPAKB Kabupaten Dairi untuk meningkatkan partisipasi pria
sebagai akseptor KB MOP. Upaya yang telah dilakukan antara lain penyuluhan dan
sosialisasi KB MOP melalui pembagian leaflet serta pemberian informasi yang
dilakukan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Berdasarkan hasil
wawancara dengan PLKB yang bertugas di Kecamatan Sitinjo mengenai pelaksanaan
program KB MOP, mengatakan bahwa pelayanan operasi bagi suami yang bersedia
menjadi akseptor MOP dilaksanakan setiap minggu di Puskesmas Sumbul yang
hanya berjarak ± 3 km dari Kecamatan Sitinjo, dan pelayanan umum dipusatkan di
Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang yang berada di ibukota kabupaten yang
berjarak ± 5 km. Program ini tidak dipungut biaya (gratis), dan ada pemberian
insentif bagi pria/suami yang bersedia menjadi akseptor KB MOP, dan ini berlaku di
seluruh kecamatan di Kabupaten Dairi.
Berdasarkan hasil wawancara kepada seorang suami warga Kecamatan
Sitinjo, yang memiliki istri usia subur mengatakan bahwa keluarganya sudah
memiliki 4 orang anak (2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan) dengan
usia anak yang bungsu berumur 3 tahun, dan tidak ingin punya anak lagi, karena dua
mengikuti program tubektomi pada waktu kelahiran anak bungsu, tapi suami
menolak. Akhirnya istri dari bapak tersebut menjadi akseptor dengan menggunakan
pil KB, tapi sering mengeluh pusing, kemudian beralih ke alat kontrasepsi suntik, si
istri mengeluh tidak lancar haid. Ketika disinggung tentang partisipasi bapak tersebut
dengan penggunaan kondom, dengan santainya si bapak mengatakan “tidak berasa”
kalau berhubungan intim, apalagi ketika dibahas tentang KB MOP bapak tersebut
mengatakan bahwa dia keberatan menjadi akseptor KB MOP karena takut “loyo”,
bapak tersebut menambahkan bahwa pada keluarga besar mereka secara turun
temurun tidak seorang pun pria/suami yang terlibat dalam urusan per-KB-an, itu
urusan istri meskipun sudah melihat ada efek negatif pada pasangannya. Kemudian
dilakukan wawancara kepada dua orang suami yang sudah menjadi akseptor KB
MOP, mereka memiliki alasan yang sama yaitu bersedia melakukan tindakan MOP
karena adanya pemberian insentif dan tidak begitu memahami tentang kontrasepsi
MOP tersebut, mereka juga mengatakan tidak merasakan ada kejanggalan atau
perubahan pada saat berhubungan dengan istri.
Berdasarkan data bahwa rendahnya jumlah suami yang menjadi peserta KB
MOP di Kecamatan Sitinjo membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Faktor-faktor Yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB
1.2.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor pemungkin
(sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan keluarga dan
dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP di Kecamatan
Sitinjo Kabupaten Dairi.
1.3.
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor
pemungkin (sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan
keluarga dan dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP
di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.
1.4.
Hipotesis
Ada pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor pemungkin
(sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan keluarga dan
dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP di Kecamatan
1.5.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1.
Bahan informasi kepada Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana (PPAKB) Dairi beserta pihak Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan
keikutsertaan suami dalam program MOP.
2.
Bahan masukan bagi kerjasama lintas sektoral dalam hal ini dengan tokoh
masyarakat agar bekerja sama untuk mensosialisasikan program MOP.
3.
Bahan masukan bagi para tokoh masyarakat agar dalam setiap kegiatan yang
dilaksanakan pembahasan tentang program Keluarga Berencana dalam hal ini
program Medis Operasi Pria (MOP) juga menjadi topik yang perlu disebarluaskan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Keluarga Berencana (KB)
Menurut
World Health Organization
(WHO, 1970), Keluarga Berencana
adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk :
mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan
menentukan jumlah anak dalam keluarga (Anggraini, 2012).
Dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 Pasal 1 ayat 8 tentang
perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa
Keluarga Berencana adalah Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran
anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga
yang berkualitas.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana
adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu untuk
mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat dan metode kontrasepsi.
Tujuan umum keluarga berencana adalah membentuk keluarga kecil sesuai
dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran
anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagian sejahtera yang dapat memenuhi
Menurut Undang-undang nomor 52 tahun 2009 pasal 21 ayat 2, Keluarga
berencana mempunyai tujuan sebagai berikut : (1) mengatur kehamilan yang
diinginkan, (2) menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan
anak, (3) meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan
pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, (4) meningkatkan partisipasi
dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana, (5) mempromosikan penyusuan
bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.
Tujuan keluarga berencana berdasarkan rencana strategis 2005-2009 meliputi
: (1) keluarga dengan anak ideal, (2) keluarga sehat, (3) keluarga berpendidikan, (4)
keluarga sejahtera, (5) keluarga berketahanan, (6) keluarga yang terpenuhi hak-hak
reproduksinya, (7) penduduk tumbuh seimbang (PTS).
Sehingga kesimpulan dari tujuan keluarga berencana adalah memperbaiki
kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa, mengurangi angka
kelahiran untuk menaikkan tarif hidup rakyat dan bangsa, memenuhi permintaan
masyarakat akan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang
berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak
serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Sasaran program keluarga berencana yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009
meliputi : (1) menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14
persen per tahun, (2) menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per
perempuan, (3) menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin
(
unmet need
) menjadi 6 persen, (4) meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5
persen, (5) meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi rasional, efektif dan
efisien, (6) meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21
tahun, (7) meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang
anak, (8) meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 yang
aktif dalam usaha ekonomi produktif, (9) meningkatnya jumlah institusi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan program KB nasional.
2.2.
Partisipasi Pria dalam Program KB
Partisipasi adalah bentuk tanggung jawab pria dalam keterlibatan dan
kesertaan dalam ber-KB dan kesehatan reproduksi, serta perilaku yang sehat dan
aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya. Partisipasi pria dalam program KB
adalah bentuk nyata dan kepedulian serta keikutsertaan pria dalam pelaksanaan
program KB. Peningkatan dan perluasan pelayanan KB termasuk pria merupakan
salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang
sedemikian tinggi akibat kehamilan (BKKBN, 2002).
Program Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dimaksudkan
untuk membantu pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi
mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden
kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu,
terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan
dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB,
dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2002).
2.2.1.
Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB
BKKBN melalui Direktorat Badan Partisipasi Pria telah menyusun kebijakan
peran pria dalam KB (BKKBN, 2004), yang dijabarkan sebagai berikut :
a.
Sebagai peserta KB
Partisipasi pria dalam program KB dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung dapat menggunakan salah satu metode seperti kondom,
senggama terputus atau vasektomi (MOP). Salah satu hambatan dalam menggunakan
alat kontrasepsi secara langsung adalah terbatasnya metode KB pria. Sedangkan
partisipasi pria secara tidak langsung dalam program KB yaitu menganjurkan,
mendukung atau memberikan kebebasan kepada pasangannya (istri) untuk
menggunakan kontrasepsi.
b.
Mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi
Peran pria (suami) dalam menganjurkan, mendukung dan memberikan
kebebasan kepada wanita pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi atau
cara/metode KB. Diawali sejak pria tersebut melakukan pernikahan dengan wanita
pasangannya, merencanakan jumlah anak yang akan dimiliki sampai akhir masa
reproduksi (
menopause)
. Dukungan ini antara lain :
-
Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan
-
Membantu pasangannya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti
mengingatkan saat minum pil KB, mengingatkan istri untuk kontrol
-
Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi
-
Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan
-
Mencari alternatif lain bila kontrasepsi bila kontrasepsi yang digunakan saat ini
terbukti tidak memuaskan
-
Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan istrinya tidak memungkinkan
-
Membantu menghitung waktu subur apabila menggunakan metode pantang
berkala.
c.
Sebagai pemberi layanan KB
Diharapkan juga pria mampu memberi pelayanan KB kepada masyarakat,
baik sebagai motivator maupun sebagai mitra. Seorang calon motivator harus sudah
menjadi peserta KB karena keteladanannya sangat dibutuhkan. Calon motivator harus
telah mengetahui tentang : keuntungan dan kelemahan memakai salah satu alat
kontrasepsi, bersedia melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keluarga
Berencana (KIE KB) kepada masyarakat sekitarnya, dan bersedia menjadi kader atau
relawan.
d.
Merencanakan Jumlah Anak Bersama Pasangan
Perlu dibicarakan antara suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai
aspek antara lain kesehatan dan kemampuan untuk memberikan pendidikan dan
kehidupan yang layak. Perencanaan keluarga menuju keluarga berkualitas perlu
-
Masa menunda kehamilan untuk istri yang dibawah usia 20 tahun
-
Masa mengatur jarak kehamilan untuk istri yang berusia 20-30 tahun
-
Masa mengakhiri kehamilan untuk usia istri di atas 30 tahun.
2.3.
Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti
“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur
yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari
kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud
dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang
aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal
namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya ini
dapat bersifat sementara maupun bersifat permanen, dan upaya ini dapat dilakukan
dengan cara, alat atau obat-obatan (Proverawati, 2010).
Kontrasepsi adalah alat yang digunakan untuk menunda, menjarangkan
kehamilan, serta menghentikan kesuburan. Kontrasepsi adalah menghindari atau
mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur dengan
sperma tersebut. Ada dua pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi
2.3.1.
Metode Kontrasepsi Pria
Pilihan kontrasepsi yang tersedia bagi pria terbatas dibandingkan yang
tersedia bagi wanita. Sebagian besar penelitian telah ditujukan pada klien wanita
karena wanitalah yang akan hamil dan karena lebih mudah menghentikan ovulasi
bulanan dari pada proses sperma yang terus-menerus.
Adapun metode kontrasepsi yang tersedia bagi pria adalah :
1.
Koitus Interuptus
Adalah metode kontrasepsi dimana senggama diakhiri sebelum terjadi ejakulasi
intra-vaginal. Ejakulasi terjadi jauh dari genitalia eksterna wanita, sehingga sering
disebut dengan senggama terputus.
2.
Kondom
Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan
diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang
dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom dipakai untuk menutupi
penis yang sedang ereksi sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga air mani
tertampung didalamnya sehingga tidak terjadi pertemuan antara sperma dan sel
telur.
3.
Sterilisasi pria
Sterilisasi pria adalah salah satu jenis alat kontrasepsi mantap yang sama halnya
ada pada wanita. Kontrasepsi mantap ini sering juga disebut dengan istilah Medis
Operasi Pria (MOP) atau vasektomi. Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi
sederhana dan sangat efektif, memakan waktu yang singkat dan tidak memerlukan
anastesi umum (Hartanto, 2004).
2.4.
Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP)
Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan pemotongan vas deferens (
ductus
deferens
) dengan maksud memutuskan kontinuitas transportasi sperma dari testis
keluar, sehingga terjadi azoosperma pada pria (PKMI, 1996).
Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan memotong dan menutup saluran
mani (
vas deferens
) yang menyalurkan sel mani (sperma) keluar dari pusat
reproduksinya di testis. (Anggraini, 2012)
Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi adalah istilah dalam ilmu bedah
yang terbentuk dari dua kata yaitu
vas
dan
ektomi
. Vas atau vasa deferensia artinya
saluran benih yaitu saluran yang menyalurkan sel benih jantan (spermatozoa) keluar
dari buah zakar (testis) yaitu tempat sel benih itu diproduksi menuju kantung mani
(vesikulaseminalis) sebagai tempat penampungan sel benih jantan sebelum
dipancarkan keluar pada saat puncak senggama (ejakulasi). Ektomi atau ektomia
artinya pemotongan sebagian. Jadi, Vasektomi artinya adalah pemotongan sebagian
(0,5 cm - 1 cm) pada vasa deferensia atau tindakan operasi ringan dengan cara
mengikat dan memotong saluran sperma sehingga sperma tidak dapat lewat dan air
mani tidak mengandung spermatozoa, dengan demikian tidak terjadi pembuahan,
operasi berlangsung kurang lebih 15 menit dan pasien tidak perlu dirawat (Mulyani,
2.4.1.
Syarat Menjadi Akseptor MOP
Adapun syarat-syarat menjadi akseptor MOP adalah :
1.
Harus secara sukarela
Artinya klien memutuskan pilihan atas keinginannya sendiri dengan mengisi dan
menandatangani
informed concent
.
2.
Mendapat persetujuan istri dalam melakukan vasektomi.
3.
Jumlah anak yang cukup
Setiap suami dari suatu pasangan usia subur yang telah memiliki jumlah anak
yang cukup minimal 2 orang dan yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun.
4.
Mengetahui akibat-akibat vasektomi
Calon akseptor vasektomi harus mengetahui akibat setelah melakukan vasektomi
yaitu setelah melakukan vasektomi maka akseptor tidak bisa lagi memiliki
keturunan.
5.
Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun (Suratun, 2008).
2.4.2.
Efektifitas MOP
Efektifitas MOP sebagai berikut :
1.
Angka kegagalan : 0 – 2,2%, umumnya < 1%
2.
Kegagalan MOP umumnya disebabkan oleh :
a.
Senggama yang tidak terlindung sebelum semen/ejakulat bebas sama sekali
b.
Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya terjadi setelah pembentukan
granuloma spermatozoa
c.
Pemotongan dan oklusi granuloma spermatozoa
d.
Jarang : duplikasi congenital dari vas deferens (terdapat lebih dari 1 vas
deferens pada satu sisi)
2.4.3.
Kelebihan dan Kekurangan MOP
Kelebihan MOP adalah :
1.
Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon,
2.
Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan
seumur hidup.
3.
Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri
4.
Lebih aman (keluhan lebih sedikit),
5.
Lebih praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan),
6.
Lebih efektif (tingkat kegagalannya sangat kecil),
7.
Lebih ekonomis (hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan),
8.
Tidak akan mengakibatkan dampak kematian (mortalitas),
9.
Pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit,
10.
Tidak ada resiko kesehatan,
11.
Tidak harus diingat-ingat, tidak harus selalu ada persediaan sifatnya
Sedangkan kekurangan MOP adalah :
1.
Harus ada tindakan pembedahan,
2.
Tidak dilakukan pada suami yang masih ingin memiliki anak,
3.
Kadang-kadang terasa nyeri, atau terjadi perdarahan setelah operasi,
4.
Kadang-kadang timbul infeksi pada kulit skrotum, apabila operasinya tidak
sesuai dengan prosedur (Meilani dkk, 2010).
2.4.4.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB MOP
Ada beberapa faktor yang memengaruhi suami dalam memilih alat
kontrasepsi MOP, antara lain :
1.
Umur
Umur adalah jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang.
Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur
muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi
saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah
kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup (
life style
).
Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi,
jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005).
Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi,
khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi/MOP). Umur calon akseptor tidak
kurang dari 30 tahun. Pada umur tersebut kemungkinan calon peserta sudah memiliki
jumlah anak yang cukup dan tidak menginginkan anak lagi. Apabila umur calon
seandainya masih menginginkan anak lagi. Umur istri tidak kurang dari 20 tahun dan
tidak lebih dari 45 tahun. Pada umur istri antara 20-45 tahun bisa dikatakan istri
dalam usia reproduktif sehingga masih bisa hamil. Sehingga suami bisa mengikuti
kontrasepsi mantap (BKKBN, 1993).
Menurut Suprihastuti (2000), bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat
kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi
petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti
dalam kehidupan keluarga. Sementara menurut Singarimbun (1996), usia suami
menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor
kontrasepsi MOP atau tidak. Hal disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat
berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun,
sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7 tahun. Dan menurut Simanullang (2011)
ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan penggunaan kontrasepsi
MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.
2.
Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi
masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo,
Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku
masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan.
Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah
karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan
menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan
agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita
keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut
tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin
menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan
bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi
keuangan atau pendapatan yang terbatas.
Hasil penelitian yang dilakukan Litbangkes (penelitian pengembangan
kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa
pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, semakin tinggi tingkat
pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB
(BKKBN, 2010). Namun dari hasil analisis lanjut SDKI 1997, pendidikan ternyata
berpengaruh negatif terhadap pemakaian
vasektomi
, yang artinya semakin tinggi
tingkat pendidikan, semakin rendah kesertaan suami dalam program KB MOP.
3.
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan
seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan
pekerjaan seseorang (Notoatmodjo, 2005).
Tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan
suami dalam berKB. Nampaknya, bila PUS keduanya bekerja, berarti istri tidak
bekerja atau memiliki pendapatan sendiri. Wijayanti (2004) akibat ketidaktahuan
masyarakat di desa Timpik tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai
alasan, salah satunya biaya MOP atau
vasektomi
yang mahal. Alasan tersebut
dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap
tidak akan mampu menjangkau metode ini. Pernyataan responden bahwa biaya
pelaksanaan MOP ini mahal, bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya
sebetulnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali
selamanya. Sedangkan untuk metode lain, misalnya IUD yang sekali pasang hanya
untuk jangka waktu tertentu, yang mana setelah itu harus dilepas dan tentunya
dipasang lagi bila masih menginginkan metode kontrasepsi yang tentunya
membutuhkan biaya lagi. Inilah yang membuktikan bahwa metode lain justru lebih
mahal dari pada MOP.
4.
Jumlah Anak
Jumlah anak dapat didefenisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki
oleh pasangan. Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam
menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah
anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi
memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak
terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi,
pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga.
5.
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yakni : indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal
dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku
petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat, dan sebagainya.
Pengetahun dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga berperilaku sesuai
keyakinan tersebut.
Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau
menolak inovasi. Roger (1974) dalam Notoadmodjo 2012 mengungkapkan bahwa
sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri seseorang tersebut terjadi
proses berurutan, yaitu :
1.
Awareness
(kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) .
3.
Evaluation
(menimbang-nimbang) terhadap baik dan tida