• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI

SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)

DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI

TESIS

Oleh

MASTIUR SIHOMBING

127032206/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI

SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)

DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MASTIUR SIHOMBING

127032206/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis

: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

KESEDIAAN SUAMI SEBAGAI AKSEPTOR KB

MEDIS OPERASI PRIA (MOP) DI KECAMATAN

SITINJO KABUPATEN DAIRI

Nama Mahasiswa

: Mastiur Sihombing

Nomor Induk Mahasiswa : 127032206

Program Studi

: S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi

: Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si

Ketua

)

(dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S

)

Telah diuji

(4)

Pada Tanggal : 05 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si

Anggota

: 1. dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

(5)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KESEDIAAN SUAMI

SEBAGAI AKSEPTOR KB MEDIS OPERASI PRIA (MOP)

DI KECAMATAN SITINJO KABUPATEN DAIRI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2014

(6)

ABSTRAK

Medis Operasi Pria merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk

pria. Rendahnya keikutsertaan pria dalam menggunakan metode kontrasepsi Medis

Operasi Pria disebabkan oleh banyak faktor. Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan suami sebagai akseptor KB

Medis Operasi Pria di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.

Jenis penelitian survei dengan pendekatan

explanatory research

. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat

tinggal di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi sebanyak 1389 orang, dan dijadikan

sampel sebanyak 90 orang. Teknik pengumpulan data, yang meliputi : umur,

pendidikan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, nilai budaya, sarana dan

prasarana, dukungan istri, dukungan keluarga, dukungan teman, dan kesediaan

sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

analisis statistik

independent samples t test

dan uji

Chi-Square

.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor nilai budaya (

p-value

0,001),

dukungan istri (

p-value

0,001), dukungan keluarga (

p-value

0,001), dan dukungan

teman (

p-value

0,001), sarana dan prasarana (

p-value

0,006), faktor jumlah anak

dalam keluarga (

p-value

0,014), sikap (

p-value

0,026). Sementara faktor umur (

p-value

0,077), pengetahuan (

p-value

0,264), pendapatan (

p-value

0,293), tingkat

pendidikan (

p-value

0,349) tidak memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB

Medis Operasi Pria (MOP).

Disarankan bagi Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), tenaga

kesehatan Puskesmas dan petugas di kantor Pemberdayaan Perempuan, Anak dan

Keluarga Berencana (PPAKB) agar melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan

menyamakan persepsi tentang keluarga berencana khususnya KB MOP bersama

tokoh masyarakat dan tokoh agama, sehingga diharapkan nantinya para tokoh ini

yang akan menyebarluaskan informasi kepada publik, serta melibatkan suami yang

sudah menjadi akseptor KB MOP sebagai

role model

dan juga berperan sebagai

narasumber dalam kegiatan penyuluhan tentang keluarga berencana yang

dilaksanakan.

(7)

ABSTRACT

Male Medical Surgery is one of the modern contraceptive methods for men.

Less participation of men in using the Male Medical Surgery was caused by many

factors. The purpose of this study was to find out the factors influencing the

willingness of husband to be acceptor of family planning through Male Medical

Surgery in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric.

The population of this explanatory survey study was all of the 1.389 husbands

from couples of reproductive age living in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric and 90 of

them were selected to be the samples for this study. The data including age,

education, income, parity, knowledge, attitude, cultural value, facility and

infrastructure, wife’s support, family support, peer support, and willingness to be the

acceptor of family planning through Male Medical Surgery were obtained through

questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through statistical

analysis of independent samples t-test and Chi-square test.

The result of this study showed that the factors of cultural value (p = 0.001),

wife’s support (p = 0.001), family support (p = 0.001), peer support (p = 0.001),

facility and infrastructure (p = 0.006), number of parity ( p = 0.014), attitude (p =

0.026) influenced the husband to be the acceptor of family planning through Male

Medical Surgery. While the factor of age (p = 0.077), knowledge (p = 0.264), income

(p = 0.293), level of education (p = 0.349) did not influence the husband to be the

acceptor of family planning through Male Medical Surgery.

Family planning extension worker, Puskesmas health workers, and the staff in

the Office of Women Empowerment, Child and Family Planning are suggested to

attempt to improve their knowledge and to have the same perception together with

ommunity and religious leaders on Family Planning especially on Family Planning

through Male Medical Surgery. Later, it is expected that these leaders will socialize

this information to the public and involve the husbands who have been the acceptors

of Family Planning through Male Medical Surgery as the role model or speaker in

extension activity on Family Planning implemented.

(8)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan dan Putra-Nya,

Yesus Kristus karena berkat, anugerah, penyertaan, dan bimbingan-Nya, Penulis

dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di

Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi

”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan

pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi

Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, Penulis mendapat bantuan, dorongan, dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada :

1.

Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2.

Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan

pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

(9)

3.

Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

4.

Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr.

Yusniwarti Yusad, M.Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan

penuh perhatian dan kesabaran, mengarahkan dan senantiasa meluangkan waktu

untuk membimbing Penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5.

Drs. Tukiman, M.K.M dan Drs. Eddy Syahrial, M.S., selaku komisi penguji yang

telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan

tesis ini.

6.

Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu

yang sangat berarti selama Penulis mengikuti pendidikan.

7.

Bupati Dairi yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8.

Camat Sitinjo yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di wilayah

Kecamatan Sitinjo

9.

Teristimewa kepada ayahanda P. Sihombing (Alm.) dan ibunda R. br.

Simanjuntak yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada

(10)

10.

Terkhusus buat suamiku Martua Simarmata, ST, dan putraku Marcel Oktovius

Ferdinan Simarmata, terimakasih kuucapkan buat kebesaran hati kalian, penuh

sukacita memberangkatkan Penulis menjalani pendidikan dan setia menunggu

untuk berkumpul bersama kembali. Demikian juga adek-adek tersayang Purwanto

Sianturi, SE dan Alvide Sihombing, SE ; Rita Sihombing, SE ; Lamhot

Sihombing, AMd ; Nenny Sihombing, S.Pd dan Hastuti Sihombing, terimakasih

buat dukungan, motivasi dan yang terpenting telah menjadi tim pendoa buat

Penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

11.

Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat terutama Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Angkatan 2012, yang telah membantu Penulis selama pendidikan dan proses

penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah membantu Penulis selama penyusunan tesis ini.

Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk

itu saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan demi kesempurnaan

tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2014

(11)

RIWAYAT HIDUP

Mastiur Sihombing dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1982 di Parongil

Kabupaten Dairi. Anak pertama dari 6 (enam) bersaudara, dari pasangan ayahanda P.

Sihombing (Alm.) dan ibunda R. br. Simanjuntak. Menikah pada tanggal 24 Oktober

2007 dengan Martua Simarmata, ST, dan dikaruniai 1 (satu) anak, yaitu Marcel

Oktovius Ferdinan Simarmata.

Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1988-1994 di SD Negeri 030285

Sidikalang, pendidikan SMP tahun 1994-1997 di SMP Negeri 1 Sidikalang,

pendidikan SLTA tahun 1997-2000 di SMU Negeri 1 Sidikalang, pendidikan S1

tahun 2000-2004 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Medan, dan tahun 2012 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas

Kesehatan Masyarakat USU.

Tahun 2006 sampai dengan sekarang bekerja sebagai PNS pada Akademi

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...

i

ABSTRACT

...

ii

KATA PENGANTAR ...

iii

RIWAYAT HIDUP ...

vi

DAFTAR ISI ...

vii

DAFTAR TABEL ...

xi

DAFTAR GAMBAR ...

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...

xv

BAB 1.

PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Permasalahan ...

11

1.3. Tujuan Penelitian ...

11

1.4. Hipotesis ...

11

1.5. Manfaat Penelitian ...

12

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA ...

13

2.1. Keluarga Berencana (KB) ...

13

2.2. Partisipasi Pria Dalam Program KB ...

15

2.2.1. Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB ...

16

2.3. Kontrasepsi ...

18

2.3.1. Metode Kontrasepsi Pria ...

19

2.4. Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP) ...

20

2.4.1. Syarat Menjadi Akseptor MOP ...

21

2.4.2. Efektivitas MOP ...

21

2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan MOP ...

22

2.4.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB

MOP ...

23

2.5. Teori Perilaku ...

33

2.5.1. Determinan Perilaku Manusia ...

34

2.5.2. Determinan Perilaku Kesehatan ...

35

2.6. Landasan Teori ...

41

2.7. Kerangka Konsep ...

43

BAB 3.

METODE PENELITIAN ...

44

3.1. Jenis Penelitian ...

44

(13)

3.2.1. Lokasi Penelitian ...

44

3.2.1. Waktu Penelitian ...

44

3.3. Populasi dan Sampel ...

45

3.3.1. Pupolasi Penelitian ...

45

3.3.2. Sampel Penelitian ...

45

3.4. Metode Pengumpulan Data ...

46

3.5. Validitas dan Reliabilitas ...

46

3.6. Variabel dan Definisi Operasional ...

47

3.6.1. Variabel Bebas ...

47

3.6.2. Variabel Terikat ...

48

3.7. Metode Pengukuran ...

48

3.7.1. Variabel Bebas ...

48

3.7.2. Variabel Terikat ...

55

3.8. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...

56

BAB 4.

HASIL PENELITIAN ...

58

4.1. Gambaran Umum Kecamatan Sitinjo ...

58

4.1.1. Gambaran Letak dan Geografis ...

58

4.1.2. Kependudukan ...

58

4.1.3. Fasilitas Kesehatan ...

59

4.2. Faktor Predisposisi ...

59

4.2.1. Umur ...

59

4.2.2. Pendidikan ...

60

4.2.3. Pendapatan ...

60

4.2.4. Jumlah Anak ...

61

4.2.5. Pengetahuan ...

61

4.2.6. Sikap ...

61

4.2.7. Nilai Budaya ...

62

4.3. Faktor Pemungkin ...

63

4.3.1. Sarana dan Prasarana...

63

4.4. Faktor Penguat ...

63

4.4.1. Dukungan Istri ...

63

4.4.2. Dukungan Keluarga ...

64

4.4.3. Dukungan Teman ...

64

4.5. Kesediaan Menjadi Akseptor KB MOP ...

65

4.6. Pengaruh Faktor Predisposisi terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

65

4.6.1. Pengaruh Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

65

4.6.2. Pengaruh Pendidikan terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

66

(14)

4.6.4. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

68

4.6.5. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

69

4.6.6. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

70

4.6.7. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

71

4.7. Pengaruh Faktor Pemungkin terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

73

4.7.1. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan

Suami sebagai Akseptor KB MOP ...

73

4.8. Pengaruh Faktor Penguat terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

74

4.8.1. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

74

4.8.2. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan

Suami sebagai Akseptor KB MOP ...

75

4.8.3.

Pengaruh Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

76

BAB 5.

PEMBAHASAN ...

78

5.1. Faktor Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP ...

78

5.2. Faktor Tingkat Pendidikan terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

79

5.3. Faktor Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

81

5.4. Faktor Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

82

5.5. Faktor Pengetahuan terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

84

5.6.

Faktor Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP ...

86

5.7. Faktor Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

88

5.8. Faktor Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

90

5.9. Faktor Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

92

5.10. Faktor Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai

(15)

5.11. Faktor Dukungan Teman terhadap Kesediaan Suami Sebagai

Akseptor KB MOP ...

94

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ...

96

6.1. Kesimpulan ...

96

6.2. Saran ...

96

DAFTAR PUSTAKA ...

98

(16)

DAFTAR TABEL

No.

Judul

Halaman

3.1.

Metode Pengukuran Umur ...

49

3.2.

Metode Pengukuran Tingkat Pendidikan ...

49

3.3.

Metode Pengukuran Pendapatan ...

50

3.4.

Metode Pengukuran Jumlah Anak dalam Keluarga ...

50

3.5.

Metode Pengukuran Pengetahuan ...

51

3.6.

Metode Pengukuran Sikap ...

52

3.7.

Metode Pengukuran Nilai Budaya ...

52

3.8.

Metode Pengukuran Sarana dan Prasarana ...

53

3.9.

Metode Pengukuran Dukungan Istri ...

54

3.10. Metode Pengukuan Dukungan Keluarga ...

54

3.11. Metode Pengukuran Dukungan Teman ...

55

3.12. Metode Pengukuran Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB MOP ...

55

4.1.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ...

59

4.2.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...

60

4.3.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan ...

60

4.4.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Anak ...

61

4.5.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan ...

61

(17)

4.7.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nilai Budaya ...

62

4.8.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sarana dan Prasarana ...

63

4.9.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Istri ...

63

4.10. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga ...

64

4.11. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Teman ...

64

4.12. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP ...

65

4.13. Tabulasi Silang antara Umur dengan Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

65

4.14. Pengaruh Umur terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP .

66

4.15. Tabulasi Silang antara Pendidikan dengan Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

66

4.16. Tabulasi Silang antara Pendapatan dengan Kesediaan sebagai Akseptor

KB MOP ...

67

4.17. Pengaruh Pendapatan terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB

MOP ...

68

4.18. Tabulasi Silang antara Jumlah Anak dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP ...

68

4.19. Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP ...

69

4.20. Tabulasi Silang antara Pengetahuan dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP ...

69

(18)

4.22. Tabulasi Silang antara Sikap dengan Kesediaan Menjadi Akseptor KB

MOP ...

70

4.23. Pengaruh Sikap terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor KB MOP .

71

4.24. Tabulasi Silang antara Nilai Budaya dengan Kesediaan sebagai

Akseptor KB MOP ...

71

4.25. Pengaruh Nilai Budaya terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP ...

72

4.26. Tabulasi Silang antara Sarana dan Prasarana dengan Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

73

4.27. Pengaruh Sarana dan Prasarana terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

73

4.28. Tabulasi Silang antara Dukungan Istri dengan Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

74

4.29. Pengaruh Dukungan Istri terhadap Kesediaan Suami sebagai Akseptor

KB MOP ...

75

4.30. Tabulasi Silang antara Dukungan Keluarga dengan Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

75

4.31. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesediaan Suami sebagai

Akseptor KB MOP ...

76

4.32. Tabulasi Silang antara Dukungan Teman dengan Kesediaan Suami

sebagai Akseptor KB MOP ...

76

(19)

DAFTAR GAMBAR

No.

Judul

Halaman

2.1.

Determinan Perilaku Manusia ...

34

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Judul

Halaman

1.

Kuesioner Penelitian ... 103

2.

Hasil Uji Validitas dan Reabilitas ... 112

3.

Master Data Penelitian ... 123

4.

Hasil Uji Statistik ... 127

5.

Surat Izin Survei Pendahuluan ... 137

6.

Surat Izin Penelitian ... 138

(21)

ABSTRAK

Medis Operasi Pria merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk

pria. Rendahnya keikutsertaan pria dalam menggunakan metode kontrasepsi Medis

Operasi Pria disebabkan oleh banyak faktor. Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan suami sebagai akseptor KB

Medis Operasi Pria di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.

Jenis penelitian survei dengan pendekatan

explanatory research

. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua suami Pasangan Usia Subur yang bertempat

tinggal di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi sebanyak 1389 orang, dan dijadikan

sampel sebanyak 90 orang. Teknik pengumpulan data, yang meliputi : umur,

pendidikan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, nilai budaya, sarana dan

prasarana, dukungan istri, dukungan keluarga, dukungan teman, dan kesediaan

sebagai akseptor KB Medis Operasi Pria diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

analisis statistik

independent samples t test

dan uji

Chi-Square

.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor nilai budaya (

p-value

0,001),

dukungan istri (

p-value

0,001), dukungan keluarga (

p-value

0,001), dan dukungan

teman (

p-value

0,001), sarana dan prasarana (

p-value

0,006), faktor jumlah anak

dalam keluarga (

p-value

0,014), sikap (

p-value

0,026). Sementara faktor umur (

p-value

0,077), pengetahuan (

p-value

0,264), pendapatan (

p-value

0,293), tingkat

pendidikan (

p-value

0,349) tidak memengaruhi suami untuk menjadi akseptor KB

Medis Operasi Pria (MOP).

Disarankan bagi Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), tenaga

kesehatan Puskesmas dan petugas di kantor Pemberdayaan Perempuan, Anak dan

Keluarga Berencana (PPAKB) agar melakukan upaya peningkatan pengetahuan dan

menyamakan persepsi tentang keluarga berencana khususnya KB MOP bersama

tokoh masyarakat dan tokoh agama, sehingga diharapkan nantinya para tokoh ini

yang akan menyebarluaskan informasi kepada publik, serta melibatkan suami yang

sudah menjadi akseptor KB MOP sebagai

role model

dan juga berperan sebagai

narasumber dalam kegiatan penyuluhan tentang keluarga berencana yang

dilaksanakan.

(22)

ABSTRACT

Male Medical Surgery is one of the modern contraceptive methods for men.

Less participation of men in using the Male Medical Surgery was caused by many

factors. The purpose of this study was to find out the factors influencing the

willingness of husband to be acceptor of family planning through Male Medical

Surgery in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric.

The population of this explanatory survey study was all of the 1.389 husbands

from couples of reproductive age living in Sitinjo Subdistric, Dairi Distric and 90 of

them were selected to be the samples for this study. The data including age,

education, income, parity, knowledge, attitude, cultural value, facility and

infrastructure, wife’s support, family support, peer support, and willingness to be the

acceptor of family planning through Male Medical Surgery were obtained through

questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through statistical

analysis of independent samples t-test and Chi-square test.

The result of this study showed that the factors of cultural value (p = 0.001),

wife’s support (p = 0.001), family support (p = 0.001), peer support (p = 0.001),

facility and infrastructure (p = 0.006), number of parity ( p = 0.014), attitude (p =

0.026) influenced the husband to be the acceptor of family planning through Male

Medical Surgery. While the factor of age (p = 0.077), knowledge (p = 0.264), income

(p = 0.293), level of education (p = 0.349) did not influence the husband to be the

acceptor of family planning through Male Medical Surgery.

Family planning extension worker, Puskesmas health workers, and the staff in

the Office of Women Empowerment, Child and Family Planning are suggested to

attempt to improve their knowledge and to have the same perception together with

ommunity and religious leaders on Family Planning especially on Family Planning

through Male Medical Surgery. Later, it is expected that these leaders will socialize

this information to the public and involve the husbands who have been the acceptors

of Family Planning through Male Medical Surgery as the role model or speaker in

extension activity on Family Planning implemented.

(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Medis Operasi Pria (MOP) atau yang sering dikenal vasektomi adalah

merupakan salah satu teknik kontrasepsi mantap. MOP merupakan suatu metode

kontrasepsi operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif,

hanya butuh waktu operasi yang sangat singkat dan tidak memerlukan anastesi umum

(Hartanto, 2004).

Prinsipnya sama dengan tubektomi pada perempuan, yaitu menutup saluran

bibit laki-laki (

vas deferens

) dengan melakukan operasi kecil pada kantong zakar

sebelah kanan dan kiri. Operasi ini tergolong ringan, bahkan lebih ringan dari khitan

(sunat) dan bisa dilakukan tanpa pisau (Meilani, ddk., 2010). Seorang pria yang

sudah divasektomi, volume air maninya sekitar 0,15 cc yang tertahan tidak ikut

keluar bersama ejakulasi karena skrotum yang mengalirkannya sudah buntu. Sperma

yang sudah dibentuk tidak akan dikeluarkan oleh tubuh, tetapi diserap dan

dihancurkan oleh tubuh (Mulyani, 2013).

MOP secara umum dianggap lebih efektif daripada sterilisasi wanita atau

sering dikenal dengan tubektomi (Glasier, 2006). Angka kegagalan hanya 0,1-0,5%

dalam tahun pertama. Kegagalan metode ini biasanya disebabkan oleh rekanalisasi

(24)

dapat ditemukan dalam semen segera setelah vasektomi, pria yang menjalani

vasektomi harus diberitahu untuk menggunakan metode kontrasepsi lain sampai

pemeriksaan memperlihatkan bahwa tidak ada sperma yang diejakulasikan atau

mereka telah berejakulasi paling sedikit 20 kali (Pendit, 2007).

MOP merupakan salah satu metode kontrasepsi modern untuk pria, disamping

ada metode lain seperti kondom, metode kontrasepsi tradisional pria adalah dengan

senggama terputus. Sementara metode kontrasepsi modern untuk wanita antara lain :

Metode Operasi Wanita (MOW), pil, IUD, suntik, dan susuk KB, sementara metode

kontrasepsi tradisional wanita adalah dengan pantang berkala (SDKI, 2012). Di

Indonesia peserta MOP masih tergolong rendah yaitu 0,4% (SDKI, 1997) bila

dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya seperti Pakistan tahun 1999

(5,2%), Bangladesh tahun 1997 (13,9%) dan Malaysia tahun 1988 (16,8%) (BKKBN,

2007).

Pemakaian alat kontrasepsi di Indonesia juga bervariasi. Persentase

pemakaian metode kontrasepsi modern pada wanita seperti suntik (31,9%), pil

(13,6%), IUD (3,9%), susuk (3,3%), MOW (3,2%) dan untuk metode kontrasepsi

tradisional yaitu pantang berkala (1,7%). Sementara pemakaian metode kontrasepsi

modern pada pria seperti kondom (0,7%), MOP (0,2%) dan untuk metode kontrasepsi

tradisional yaitu senggama terputus (2,3%) (SDKI, 2012).

Rendahnya minat masyarakat terhadap sterilisasi dimungkinkan karena

program KB di waktu yang lalu yang ”bias gender”, dan belum adanya keputusan

(25)

tidaknya sterilisasi. Di sisi lain sikap pemerintah sendiri dinilai masih kurang tegas

mengenai sterilisasi. Sementara BKKBN beranggapan bahwa sterilisasi sudah

menjadi program pemerintah, terbukti dengan tersedianya dukungan dana dan sarana

untuk kegiatan operasionalnya. Selain menyediakan dana yang tidak sedikit untuk

pelayanan sterilisasi, BKKBN juga telah melatih dokter pemberi pelayanan,

memberikan dukungan sarana pelayanan serta dana penggerakan di lapangan.

Namun, hal ini tidak diikuti dengan pencapaian yang menggembirakan (BKKBN,

2011).

Sumatera Utara merupakan propinsi keempat yang terbesar jumlah

penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hasil

Sensus Penduduk (SP) tahun 1990 jumlah penduduk Sumatera Utara 10,26 juta jiwa,

SP tahun 2000 sebesar 11,51 juta jiwa dan SP tahun 2010 sebesar 12.982.204 jiwa.

Dengan kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa/Km

2

, tahun

2000 meningkat menjadi 161 jiwa/ Km

2

, dan selanjutnya tahun 2010 menjadi 188

jiwa/ Km

2

Besarnya jumlah penduduk Sumatera Utara tidak diimbangi dengan

keikutsertaan dalam hal ber-KB. Hal ini dapat dilihat dari data Pasangan Usia Subur

(PUS) dan peserta KB aktif bahwa jumlah peserta KB aktif di Indonesia sebanyak

35.276.105 orang (75,88% dari jumlah PUS) dan Bengkulu menempati urutan teratas

. Laju pertumbuhan penduduk kurun waktu tahun 1990-2000 adalah

1,20%/tahun dan tahun 2000-2010 menjadi 1,22%/tahun. Dan pada tahun 2012,

jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 13.215.401 jiwa (BPS Sumatera Utara,

(26)

dengan jumlah peserta KB aktif 89,79% dari jumlah PUS, yang disusul oleh

Gorontalo (85,76%), Bali (85,67%), dan Sulawesi Utara (84,46%), sedangkan

Propinsi Sumatera Utara berada di urutan 28 dari 33 provinsi .

Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ada di Sumatera Utara sekitar

2.204.567 pasangan, sementara peserta KB yang aktif hanya sekitar 68,45% yaitu

sekitar 1.509.109 pasangan. Presentase pemakaian metode kontrasepsi juga

bervariasi, untuk kontrasepsi modern untuk wanita seperti suntik (32,9%), pil

(32,7%), IUD (10,6%), susuk (9,35) dan MOW (7,48%), sementara metode

kontrasepsi modern untuk pria seperti kondom (6,65%) dan MOP (0,4%) (BKKBN,

2012). Dari data di atas, jumlah PUS di Sumatera Utara yang berhasil dibina untuk

menggunakan MOP sebagai alat kontrasepsi masih sangat rendah yaitu (0,40%).

Berdasarkan hasil pencapaian peserta KB baru dan aktif di Sumatera Utara diketahui

bahwa dari 33 kabupaten/kota hanya 12 kabupaten/kota yang memiliki akseptor KB

MOP, sementara 21 kabupaten/kota lainnya tidak memiliki akseptor KB MOP

(BKKBN, 2012). Kabupaten dengan pencapaian akseptor KB MOP yang terbaik

pertama adalah Langkat (2,60%), Kota Tanjung Balai (1,45%) dan Tapanuli Utara

(1,28%). Sementara di Dairi hanya sekitar 0,96% akseptor KB MOP. (BPS Sumatera

Utara, 2012).

Rendahnya partisipasi pria/suami dalam KB vasektomi disebabkan oleh dua

faktor utama, yaitu : (1) faktor dukungan, baik politis, sosial budaya, maupun

keluarga yang masih rendah sebagai akibat rendah/kurangnya pengetahuan

(27)

reproduksi merupakan urusan dan tanggung jawab perempuan, (2) faktor akses, baik

akses informasi, maupun akses pelayanan. Dilihat dari akses informasi, materi

informasi pria masih sangat terbatas, demikian halnya dengan kesempatan pria/suami

yang masih kurang dalam mendapatkan informasi mengenai KB dan kesehatan

reproduksi. Keterbatasan juga dilihat dari sisi pelayanan dimana sarana/tempat

pelayanan yang dapat mengakomodasi kebutuhan KB dan kesehatan reproduksi

pria/suami masih sangat terbatas, sementara jenis pelayanan kesehatan reproduksi

untuk pria/suami belum tersedia pada semua tempat pelayanan dan alat kontrasepsi

untuk suami hanya terbatas pada kondom dan vasektomi/MOP (BKKBN, 2006).

Faktor tingkat pengetahuan suami tentang kontrasepsi MOP juga

mempengaruhi keikutsertaan suami dalam program KB MOP. Para suami sering

menganggap bahwa orang yang menggunakan MOP sama halnya seperti dikebiri dan

akan mengurangi hasrat seksual. Hal ini sesuai dengan studi operasional yang

dilakukan di D.I.Yogyakarta tahun 2000 menemukan bahwa sembilan dari sepuluh

suami dengan PUS beranggapan sterilisasi pria sama dengan dikebiri (BKKBN,

2011).

Banyaknya jumlah anak yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan umur juga

mempengaruhi keikutsertaan suami sebagai akseptor KB MOP, semakin banyak

jumlah anak maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk menjadi akseptor

KB MOP. Hal ini sesuai dengan hasil analisis lanjut ”Pola Pemakaian Kontrasepsi”

berdasarkan data dari Pemantauan PUS Melalui Mini Survei tahun 2009 juga

(28)

mereka yang berusia 40 tahun ke atas, dan telah memiliki 3 anak bahkan lebih.

Kenyataan ini menggambarkan bahwa saat disterilisasi umumnya para akseptor

memang telah memiliki jumlah anak banyak dan berumur relatif tua, sehingga secara

demografis kurang memberikan kontribusi terhadap penurunan angka kelahiran

(BKKBN, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukaan Litbangkes (Penelitian Pengembangan

Kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa

pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, Semakin tinggi

tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program

KB. Selain itu pengetahuan pria yang baik tentang MOP akan membentuk tindakan

yang positif terhadap keikutsertaan KB (BKKBN, 2010).

Hasil studi yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi

Manusia pada tahun 1999 di DKI Jakarta dan D.I.Yogyakarta mengungkap bahwa

rendahnya peran pria dalam ber-KB disebabkan karena kurangnya informasi tentang

metode KB pria, terbatasnya jenis kontrasepsi pria, dan terbatasnya tempat pelayanan

KB pria. Studi di Jawa Barat dan Sumatera Selatan tahun 2001, juga mengungkap

penyebab rendahnya pria ber-KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga,

yaitu istri tidak mendukung (66 %), adanya rumor di masyarakat (47 %) kurangnya

informasi metode pria, dan terbatasnya tempat pelayanan (6,2 %). Meskipun secara

umum pengetahuan wanita status kawin mengenai metode kontrasepsi sudah sangat

tinggi namun khusus untuk kontrasepsi pria tercatat masih rendah (SDKI 2002/2003).

(29)

Faktor dukungan sosial budaya yang mencakup sikap dan kepercayaan

(

beliefs)

dari suami merupakan kunci penerimaan KB. Adanya rumor dan fakta lain

tentang MOP sama dengan kebiri, pria seringkali cemas mengenai kemampuan

mereka mempertahankan ereksi dan melakukan koitus. Beberapa pria dapat

mengalami tanda-tanda berduka karena merasa kehilangan kesuburan dan seksualitas

mereka secara permanen. Semua hal ini ternyata turut mempengaruhi rendahnya

keikutsertaan pria dalam melakukan KB MOP (Everett, 2008).

Faktor yang penting lainnya adalah ukuran keluarga ideal, perhatian terhadap

kehamilan, pentingnya nilai anak laki-laki dan adanya dukungan istri terhadap

penggunaan kontrasepsi oleh suami (istri). Seluruh aspek kehidupan penduduk yang

banyak dipengaruhi oleh nilai budaya pun turut mempengaruhi keikutsertaan suami

dalam program keluarga berencana. Kendala pelaksanaan program KB-Kesehatan

Reproduksi (KB-KR), antara lain masih adanya pemahaman tentang KB yang sempit,

baik di kalangan masyarakat maupun para tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan program KB pada

umumnya karena kultur masyarakat yang masih memegang erat nilai-nilai budaya.

Adanya sebagian masyarakat yang beranggapan banyak anak banyak rejeki, anak

laki-laki lebih “berharga” dari anak perempuan, serta anggapan bahwa KB dapat

membunuh bibit keturunan. Sebagian lagi beranggapan bahwa KB hanya

diperuntukkan untuk wanita karena pria tidak pernah hamil dan tersebut merupakan

hal yang tidak penting untuk dilakukan (BKKBN, 2006). Dan hal ini juga didukung

(30)

budaya yang beranggapan bahwa KB adalah urusan perempuan sehingga pria tidak

perlu berperan (BKKBN, 2007).

Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak

laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan

satu keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk

mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan

menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki

atau perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak

menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan (Majalah Gema

Pria, 2009).

Kabupaten Dairi yang ibukotanya Sidikalang, merupakan salah satu

Kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki luas 1.927,80 Km

2

Kecamatan Sitinjo merupakan salah satu kecamatan dengan luas wilayah

86,84 km

. Luas wilayah

Kabupaten Dairi ini hanya sebesar 2,69% dari total luas Propinsi Sumatera Utara.

Jumlah penduduk 273.394 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,9%/tahun

(keadaan tahun 2012) dan tersebar di 15 kecamatan (BPS Dairi, 2013). Berdasarkan

jumlah akseptor KB MOP di Kabupaten Dairi diketahui bahwa dari 52 akseptor, 28

akseptor diantaranya berdomisili di Kecamatan Sidikalang (53,85%), selebihnya di

Kecamatan Parbuluan dan Kecamatan Sumbul (PPAKB Dairi, 2013).

2

, jumlah penduduk 49.429 jiwa dan kepadatan penduduk 305 jiwa/km

2

(BPS Dairi, 2013), merupakan kecamatan yang berdekatan dengan ibu kota

(31)

termasuk pelayanan KB. Namun kenyataan di lapangan didapatkan bahwa pada

tahun 2013 tidak ada akseptor KB MOP (PPAKB Dairi, 2013), dan pada tahun 2014

sampai pendataan bulan April 2014, terdapat hanya 2 orang peserta KB MOP di

Kecamatan Sitinjo (PLKB Sitinjo, 2014).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh BKKBN Provinsi Sumatera Utara

bekerja sama dengan PPAKB Kabupaten Dairi untuk meningkatkan partisipasi pria

sebagai akseptor KB MOP. Upaya yang telah dilakukan antara lain penyuluhan dan

sosialisasi KB MOP melalui pembagian leaflet serta pemberian informasi yang

dilakukan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Berdasarkan hasil

wawancara dengan PLKB yang bertugas di Kecamatan Sitinjo mengenai pelaksanaan

program KB MOP, mengatakan bahwa pelayanan operasi bagi suami yang bersedia

menjadi akseptor MOP dilaksanakan setiap minggu di Puskesmas Sumbul yang

hanya berjarak ± 3 km dari Kecamatan Sitinjo, dan pelayanan umum dipusatkan di

Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang yang berada di ibukota kabupaten yang

berjarak ± 5 km. Program ini tidak dipungut biaya (gratis), dan ada pemberian

insentif bagi pria/suami yang bersedia menjadi akseptor KB MOP, dan ini berlaku di

seluruh kecamatan di Kabupaten Dairi.

Berdasarkan hasil wawancara kepada seorang suami warga Kecamatan

Sitinjo, yang memiliki istri usia subur mengatakan bahwa keluarganya sudah

memiliki 4 orang anak (2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan) dengan

usia anak yang bungsu berumur 3 tahun, dan tidak ingin punya anak lagi, karena dua

(32)

mengikuti program tubektomi pada waktu kelahiran anak bungsu, tapi suami

menolak. Akhirnya istri dari bapak tersebut menjadi akseptor dengan menggunakan

pil KB, tapi sering mengeluh pusing, kemudian beralih ke alat kontrasepsi suntik, si

istri mengeluh tidak lancar haid. Ketika disinggung tentang partisipasi bapak tersebut

dengan penggunaan kondom, dengan santainya si bapak mengatakan “tidak berasa”

kalau berhubungan intim, apalagi ketika dibahas tentang KB MOP bapak tersebut

mengatakan bahwa dia keberatan menjadi akseptor KB MOP karena takut “loyo”,

bapak tersebut menambahkan bahwa pada keluarga besar mereka secara turun

temurun tidak seorang pun pria/suami yang terlibat dalam urusan per-KB-an, itu

urusan istri meskipun sudah melihat ada efek negatif pada pasangannya. Kemudian

dilakukan wawancara kepada dua orang suami yang sudah menjadi akseptor KB

MOP, mereka memiliki alasan yang sama yaitu bersedia melakukan tindakan MOP

karena adanya pemberian insentif dan tidak begitu memahami tentang kontrasepsi

MOP tersebut, mereka juga mengatakan tidak merasakan ada kejanggalan atau

perubahan pada saat berhubungan dengan istri.

Berdasarkan data bahwa rendahnya jumlah suami yang menjadi peserta KB

MOP di Kecamatan Sitinjo membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Faktor-faktor Yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB

(33)

1.2.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah bagaimana pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor pemungkin

(sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan keluarga dan

dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP di Kecamatan

Sitinjo Kabupaten Dairi.

1.3.

Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor

pemungkin (sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan

keluarga dan dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP

di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi.

1.4.

Hipotesis

Ada pengaruh faktor predisposisi (umur, tingkat pendidikan, tingkat

pendapatan, jumlah anak, pengetahuan, sikap, dan nilai budaya), faktor pemungkin

(sarana dan prasarana), faktor penguat (dukungan istri, dukungan keluarga dan

dukungan teman) terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP di Kecamatan

(34)

1.5.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1.

Bahan informasi kepada Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga

Berencana (PPAKB) Dairi beserta pihak Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan

keikutsertaan suami dalam program MOP.

2.

Bahan masukan bagi kerjasama lintas sektoral dalam hal ini dengan tokoh

masyarakat agar bekerja sama untuk mensosialisasikan program MOP.

3.

Bahan masukan bagi para tokoh masyarakat agar dalam setiap kegiatan yang

dilaksanakan pembahasan tentang program Keluarga Berencana dalam hal ini

program Medis Operasi Pria (MOP) juga menjadi topik yang perlu disebarluaskan

(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Keluarga Berencana (KB)

Menurut

World Health Organization

(WHO, 1970), Keluarga Berencana

adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk :

mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,

mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan

menentukan jumlah anak dalam keluarga (Anggraini, 2012).

Dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 Pasal 1 ayat 8 tentang

perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa

Keluarga Berencana adalah Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran

anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,

perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga

yang berkualitas.

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana

adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu untuk

mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat dan metode kontrasepsi.

Tujuan umum keluarga berencana adalah membentuk keluarga kecil sesuai

dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran

anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagian sejahtera yang dapat memenuhi

(36)

Menurut Undang-undang nomor 52 tahun 2009 pasal 21 ayat 2, Keluarga

berencana mempunyai tujuan sebagai berikut : (1) mengatur kehamilan yang

diinginkan, (2) menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan

anak, (3) meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan

pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, (4) meningkatkan partisipasi

dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana, (5) mempromosikan penyusuan

bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.

Tujuan keluarga berencana berdasarkan rencana strategis 2005-2009 meliputi

: (1) keluarga dengan anak ideal, (2) keluarga sehat, (3) keluarga berpendidikan, (4)

keluarga sejahtera, (5) keluarga berketahanan, (6) keluarga yang terpenuhi hak-hak

reproduksinya, (7) penduduk tumbuh seimbang (PTS).

Sehingga kesimpulan dari tujuan keluarga berencana adalah memperbaiki

kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa, mengurangi angka

kelahiran untuk menaikkan tarif hidup rakyat dan bangsa, memenuhi permintaan

masyarakat akan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang

berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak

serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

Sasaran program keluarga berencana yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009

meliputi : (1) menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14

persen per tahun, (2) menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per

perempuan, (3) menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin

(37)

(

unmet need

) menjadi 6 persen, (4) meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5

persen, (5) meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi rasional, efektif dan

efisien, (6) meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21

tahun, (7) meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang

anak, (8) meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 yang

aktif dalam usaha ekonomi produktif, (9) meningkatnya jumlah institusi masyarakat

dalam penyelenggaraan pelayanan program KB nasional.

2.2.

Partisipasi Pria dalam Program KB

Partisipasi adalah bentuk tanggung jawab pria dalam keterlibatan dan

kesertaan dalam ber-KB dan kesehatan reproduksi, serta perilaku yang sehat dan

aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya. Partisipasi pria dalam program KB

adalah bentuk nyata dan kepedulian serta keikutsertaan pria dalam pelaksanaan

program KB. Peningkatan dan perluasan pelayanan KB termasuk pria merupakan

salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang

sedemikian tinggi akibat kehamilan (BKKBN, 2002).

Program Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dimaksudkan

untuk membantu pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi

mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden

kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu,

terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan

(38)

dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB,

dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2002).

2.2.1.

Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB

BKKBN melalui Direktorat Badan Partisipasi Pria telah menyusun kebijakan

peran pria dalam KB (BKKBN, 2004), yang dijabarkan sebagai berikut :

a.

Sebagai peserta KB

Partisipasi pria dalam program KB dapat bersifat langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung dapat menggunakan salah satu metode seperti kondom,

senggama terputus atau vasektomi (MOP). Salah satu hambatan dalam menggunakan

alat kontrasepsi secara langsung adalah terbatasnya metode KB pria. Sedangkan

partisipasi pria secara tidak langsung dalam program KB yaitu menganjurkan,

mendukung atau memberikan kebebasan kepada pasangannya (istri) untuk

menggunakan kontrasepsi.

b.

Mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi

Peran pria (suami) dalam menganjurkan, mendukung dan memberikan

kebebasan kepada wanita pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi atau

cara/metode KB. Diawali sejak pria tersebut melakukan pernikahan dengan wanita

pasangannya, merencanakan jumlah anak yang akan dimiliki sampai akhir masa

reproduksi (

menopause)

. Dukungan ini antara lain :

-

Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan

(39)

-

Membantu pasangannya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti

mengingatkan saat minum pil KB, mengingatkan istri untuk kontrol

-

Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi

-

Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan

-

Mencari alternatif lain bila kontrasepsi bila kontrasepsi yang digunakan saat ini

terbukti tidak memuaskan

-

Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan istrinya tidak memungkinkan

-

Membantu menghitung waktu subur apabila menggunakan metode pantang

berkala.

c.

Sebagai pemberi layanan KB

Diharapkan juga pria mampu memberi pelayanan KB kepada masyarakat,

baik sebagai motivator maupun sebagai mitra. Seorang calon motivator harus sudah

menjadi peserta KB karena keteladanannya sangat dibutuhkan. Calon motivator harus

telah mengetahui tentang : keuntungan dan kelemahan memakai salah satu alat

kontrasepsi, bersedia melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keluarga

Berencana (KIE KB) kepada masyarakat sekitarnya, dan bersedia menjadi kader atau

relawan.

d.

Merencanakan Jumlah Anak Bersama Pasangan

Perlu dibicarakan antara suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai

aspek antara lain kesehatan dan kemampuan untuk memberikan pendidikan dan

kehidupan yang layak. Perencanaan keluarga menuju keluarga berkualitas perlu

(40)

-

Masa menunda kehamilan untuk istri yang dibawah usia 20 tahun

-

Masa mengatur jarak kehamilan untuk istri yang berusia 20-30 tahun

-

Masa mengakhiri kehamilan untuk usia istri di atas 30 tahun.

2.3.

Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti

“melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur

yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari

kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat

adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud

dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang

aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal

namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).

Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya ini

dapat bersifat sementara maupun bersifat permanen, dan upaya ini dapat dilakukan

dengan cara, alat atau obat-obatan (Proverawati, 2010).

Kontrasepsi adalah alat yang digunakan untuk menunda, menjarangkan

kehamilan, serta menghentikan kesuburan. Kontrasepsi adalah menghindari atau

mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur dengan

sperma tersebut. Ada dua pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi

(41)

2.3.1.

Metode Kontrasepsi Pria

Pilihan kontrasepsi yang tersedia bagi pria terbatas dibandingkan yang

tersedia bagi wanita. Sebagian besar penelitian telah ditujukan pada klien wanita

karena wanitalah yang akan hamil dan karena lebih mudah menghentikan ovulasi

bulanan dari pada proses sperma yang terus-menerus.

Adapun metode kontrasepsi yang tersedia bagi pria adalah :

1.

Koitus Interuptus

Adalah metode kontrasepsi dimana senggama diakhiri sebelum terjadi ejakulasi

intra-vaginal. Ejakulasi terjadi jauh dari genitalia eksterna wanita, sehingga sering

disebut dengan senggama terputus.

2.

Kondom

Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan

diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang

dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom dipakai untuk menutupi

penis yang sedang ereksi sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga air mani

tertampung didalamnya sehingga tidak terjadi pertemuan antara sperma dan sel

telur.

3.

Sterilisasi pria

Sterilisasi pria adalah salah satu jenis alat kontrasepsi mantap yang sama halnya

ada pada wanita. Kontrasepsi mantap ini sering juga disebut dengan istilah Medis

Operasi Pria (MOP) atau vasektomi. Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi

(42)

sederhana dan sangat efektif, memakan waktu yang singkat dan tidak memerlukan

anastesi umum (Hartanto, 2004).

2.4.

Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP)

Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan pemotongan vas deferens (

ductus

deferens

) dengan maksud memutuskan kontinuitas transportasi sperma dari testis

keluar, sehingga terjadi azoosperma pada pria (PKMI, 1996).

Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan memotong dan menutup saluran

mani (

vas deferens

) yang menyalurkan sel mani (sperma) keluar dari pusat

reproduksinya di testis. (Anggraini, 2012)

Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi adalah istilah dalam ilmu bedah

yang terbentuk dari dua kata yaitu

vas

dan

ektomi

. Vas atau vasa deferensia artinya

saluran benih yaitu saluran yang menyalurkan sel benih jantan (spermatozoa) keluar

dari buah zakar (testis) yaitu tempat sel benih itu diproduksi menuju kantung mani

(vesikulaseminalis) sebagai tempat penampungan sel benih jantan sebelum

dipancarkan keluar pada saat puncak senggama (ejakulasi). Ektomi atau ektomia

artinya pemotongan sebagian. Jadi, Vasektomi artinya adalah pemotongan sebagian

(0,5 cm - 1 cm) pada vasa deferensia atau tindakan operasi ringan dengan cara

mengikat dan memotong saluran sperma sehingga sperma tidak dapat lewat dan air

mani tidak mengandung spermatozoa, dengan demikian tidak terjadi pembuahan,

operasi berlangsung kurang lebih 15 menit dan pasien tidak perlu dirawat (Mulyani,

(43)

2.4.1.

Syarat Menjadi Akseptor MOP

Adapun syarat-syarat menjadi akseptor MOP adalah :

1.

Harus secara sukarela

Artinya klien memutuskan pilihan atas keinginannya sendiri dengan mengisi dan

menandatangani

informed concent

.

2.

Mendapat persetujuan istri dalam melakukan vasektomi.

3.

Jumlah anak yang cukup

Setiap suami dari suatu pasangan usia subur yang telah memiliki jumlah anak

yang cukup minimal 2 orang dan yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun.

4.

Mengetahui akibat-akibat vasektomi

Calon akseptor vasektomi harus mengetahui akibat setelah melakukan vasektomi

yaitu setelah melakukan vasektomi maka akseptor tidak bisa lagi memiliki

keturunan.

5.

Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun (Suratun, 2008).

2.4.2.

Efektifitas MOP

Efektifitas MOP sebagai berikut :

1.

Angka kegagalan : 0 – 2,2%, umumnya < 1%

2.

Kegagalan MOP umumnya disebabkan oleh :

a.

Senggama yang tidak terlindung sebelum semen/ejakulat bebas sama sekali

(44)

b.

Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya terjadi setelah pembentukan

granuloma spermatozoa

c.

Pemotongan dan oklusi granuloma spermatozoa

d.

Jarang : duplikasi congenital dari vas deferens (terdapat lebih dari 1 vas

deferens pada satu sisi)

2.4.3.

Kelebihan dan Kekurangan MOP

Kelebihan MOP adalah :

1.

Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon,

2.

Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan

seumur hidup.

3.

Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri

4.

Lebih aman (keluhan lebih sedikit),

5.

Lebih praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan),

6.

Lebih efektif (tingkat kegagalannya sangat kecil),

7.

Lebih ekonomis (hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan),

8.

Tidak akan mengakibatkan dampak kematian (mortalitas),

9.

Pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit,

10.

Tidak ada resiko kesehatan,

11.

Tidak harus diingat-ingat, tidak harus selalu ada persediaan sifatnya

(45)

Sedangkan kekurangan MOP adalah :

1.

Harus ada tindakan pembedahan,

2.

Tidak dilakukan pada suami yang masih ingin memiliki anak,

3.

Kadang-kadang terasa nyeri, atau terjadi perdarahan setelah operasi,

4.

Kadang-kadang timbul infeksi pada kulit skrotum, apabila operasinya tidak

sesuai dengan prosedur (Meilani dkk, 2010).

2.4.4.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB MOP

Ada beberapa faktor yang memengaruhi suami dalam memilih alat

kontrasepsi MOP, antara lain :

1.

Umur

Umur adalah jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang.

Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur

muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi

saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah

kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup (

life style

).

Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi,

jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005).

Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi,

khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi/MOP). Umur calon akseptor tidak

kurang dari 30 tahun. Pada umur tersebut kemungkinan calon peserta sudah memiliki

jumlah anak yang cukup dan tidak menginginkan anak lagi. Apabila umur calon

(46)

seandainya masih menginginkan anak lagi. Umur istri tidak kurang dari 20 tahun dan

tidak lebih dari 45 tahun. Pada umur istri antara 20-45 tahun bisa dikatakan istri

dalam usia reproduktif sehingga masih bisa hamil. Sehingga suami bisa mengikuti

kontrasepsi mantap (BKKBN, 1993).

Menurut Suprihastuti (2000), bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat

kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi

petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti

dalam kehidupan keluarga. Sementara menurut Singarimbun (1996), usia suami

menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor

kontrasepsi MOP atau tidak. Hal disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat

berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun,

sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7 tahun. Dan menurut Simanullang (2011)

ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan penggunaan kontrasepsi

MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.

2.

Pendidikan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar

mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi

masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan

dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan

kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo,

(47)

Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku

masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan.

Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah

karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan

menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan

agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita

keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut

tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin

menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan

bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi

keuangan atau pendapatan yang terbatas.

Hasil penelitian yang dilakukan Litbangkes (penelitian pengembangan

kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa

pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, semakin tinggi tingkat

pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB

(BKKBN, 2010). Namun dari hasil analisis lanjut SDKI 1997, pendidikan ternyata

berpengaruh negatif terhadap pemakaian

vasektomi

, yang artinya semakin tinggi

tingkat pendidikan, semakin rendah kesertaan suami dalam program KB MOP.

3.

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan adalah satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan

(48)

seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan

pekerjaan seseorang (Notoatmodjo, 2005).

Tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan

suami dalam berKB. Nampaknya, bila PUS keduanya bekerja, berarti istri tidak

bekerja atau memiliki pendapatan sendiri. Wijayanti (2004) akibat ketidaktahuan

masyarakat di desa Timpik tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai

alasan, salah satunya biaya MOP atau

vasektomi

yang mahal. Alasan tersebut

dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap

tidak akan mampu menjangkau metode ini. Pernyataan responden bahwa biaya

pelaksanaan MOP ini mahal, bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya

sebetulnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali

selamanya. Sedangkan untuk metode lain, misalnya IUD yang sekali pasang hanya

untuk jangka waktu tertentu, yang mana setelah itu harus dilepas dan tentunya

dipasang lagi bila masih menginginkan metode kontrasepsi yang tentunya

membutuhkan biaya lagi. Inilah yang membuktikan bahwa metode lain justru lebih

mahal dari pada MOP.

4.

Jumlah Anak

Jumlah anak dapat didefenisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki

oleh pasangan. Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam

menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah

anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi

(49)

memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak

terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi,

pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga.

5.

Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

pancaindra manusia yakni : indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal

dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku

petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat, dan sebagainya.

Pengetahun dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga berperilaku sesuai

keyakinan tersebut.

Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau

menolak inovasi. Roger (1974) dalam Notoadmodjo 2012 mengungkapkan bahwa

sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri seseorang tersebut terjadi

proses berurutan, yaitu :

1.

Awareness

(kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) .

(50)

3.

Evaluation

(menimbang-nimbang) terhadap baik dan tida

Gambar

Gambar 2.1. Determinan Perilaku Manusia
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Tingkat Pendidikan
Tabel 3.3. Metode Pengukuran Pendapatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Jumlah Anak, Dukungan Keluarga, Pengetahuan, dan Sikap dengan Perilaku KB Metode Operasi Pria (MOP) di Kecamatan

FAKTOR DETERMINAN PERILAKU KELUARGA BERENCANA (KB) DENGAN METODE OPERASI PRIA (MOP) DI KECAMATAN.. JENAWI

yang paling menentukan terhadap penggunaan KB Metode Operasi Pria. (MOP) di Kecamatan Jenawi, sehingga dapat menjadi masukan

Pemasangan MoP (Medis Operasi Pria) pada Kelompok KB Pria &#34;Kmcana Matu/'. di Nagdi Matua llilia Kecdatm Matu Kabupaten

Skripsi yang berjudul Peran Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) terhadap Keberhasilan Pencapaian Akseptor KB Pria Metode Kontrasepsi Medis Operatif Pria

Keterlibatan seorang akseptor pria secara sukarela dalam program KB dapat dilihat dari keikutsertaan partisipasi suami dalam menggunakan kontrasepsi dengan kesadarannya

diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain.. Sikap positif terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan keikutsertaan suami menjadi akseptor KB pria, ada hubungan antara sikap dan keikutsertaan suami menjadi akseptor