• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Usia Menikah

Dalam penelitian ini sebagian besar unit keluarga dan fitur pemuda perorangan diukur menunjukkan asosiasi cukup dengan waktu pernikahan pertama seksual, interaksi dan kehamilan. Penelitian ini kemudian laporan, keluarga status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan remaja terbukti asosiasi yang sangat kuat dengan semua pencapaian pendidikan remaja terbukti asosiasi yang sangat kuat dengan semua mereka tiga evolusi tindakan. Ini berarti, remaja dari rumah tangga kelas sosial ekonomi atas atau orang-orang yang telah mencapai pada tahap pendidikan menengah sedikit dipraktekkan tindakan evolusi drastis dan tak lama daripada rekan-rekan mereka dari keluarga miskin atau status sosial ekonomi dengan pencapaian pendidikan minor.

Magadi et.al, (2009) juga menyoroti bahwa, faktor sosial ekonomi lainnya yang penting termasuk 'pencapaian pendidikan (terutama ibu' orang tua), perkotaan/ pedesaan tinggal dan daerah tempat tinggal. Ada hubungan antara pendidikan dan pencapaian kehamilan remaja. Oleh karena itu, pentingnya status sosial ekonomi rumah tangga setelah mengendalikan pendidikan dan faktor-faktor penting lainnya mungkin menyarankan kerentanan meningkat karena kemiskinan, juga terlihat di tempat lain dalam studi sebelumnya (Magadi et.al, 2009

2.5.1 Pendidikan

).

Pendidikan merupakan faktor kuat yang berhubungan dengan waktu pernikahan pertama di Indonesia (Williams, 1990). Menurut Grogger & Bronars (1993), tingkat pendidikan seseorang berkaitan dengan usia kawin yang pertama.

Semakin dini seseorang melakukan perkawinan semakin rendah tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan orangtua erat kaitannya dengan status ekonomi keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Choe dkk. (2007) di Nepal menyebutkan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi lebih berhasil menunda pernikahan di usia dini.

Penelitian yang dilakukan oleh Choe dkk (2007) di Indonesia dan Nepal menyatakan bahwa pendidikan orang tua berpengaruh pada pernikahan dini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan menunda perkawinan anak perempuannya sampai mereka menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua yang lebih berpendidikan lebih dapat menerima nilai-nilai modern dan memberikan kebebasan kepada anak mereka untuk menentukan jodohnya sendiri.

Dengan demikian, Gokce et al (2006) telah menemukan perbedaan statistik penting telah diidentifikasi antara orang dewasa dan wanita muda hamil dengan memperhatikan tingkat pendidikan, tingkat pendidikan suami mereka, status pekerjaan dan kelas sosial ayah mereka. Selain itu, Gokce et al (2006), melaporkan bahwa resiko pernikahan remaja ada dua lebih tinggi antara remaja yang tinggal di keluarga inti dibandingkan mereka yang tinggal dalam keluarga yang luas. Sebuah perbedaan sangat besar statistik jelas antara kasus dan kontrol dalam kondisi perilaku keluarga ke arah pernikahan pada usia dini. Resistensi terhadap kehamilan sebelum waktunya jauh lebih tinggi dalam keluarga remaja hamil daripada keluarga wanita hamil dewasa.

2.5.2 Sosial Ekonomi

Pernikahan dini erat kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan ditandai dengan pendapatan yang rendah, kurangnya pendidikan, kurangnya kesehatan, dan kurangnya aset (Oyortey & Pobi, 2003). Menurut Vue (2000) pernikahan dini terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah tingkat kemiskinan. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk dengan pendapatan perkapita di bawah garis standar pendapatan yang harus dipenuhi, dalam hal senilai dengan 1 US $ atau Rp 10.000,00 per hari atau Rp 300.000,00 selama satu bulan (Listyaningsih, 2004).

Dari hasil penelitian Rahman dkk (2005), pernikahan remaja terjadi karena kemiskinan. Orang tua menganggap anak gadis merupakan beban ekonomi bagi keluarga. Jika anak gadis mereka menikah lebih cepat, mereka beranggapan anak gadis mereka akan dapat membantu biaya keluarganya. Menurut Hanum (1997), faktor ekonomi yang berkenaan dengan lapangan pekerjaan dan kemiskinan penduduk memberikan andil bagi berlangsungnya perkawinan usia dini. Taraf ekonomi penduduk yang rendah, tidak cukup untuk menjamin kelanjutan pendidikan anak. Jika seorang anak perempuan telah menamatkan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia hanya tinggal di rumah. Selain itu keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Penelitian yang dilakukan Chariroh (2004) di Kabupaten Pasuruan didapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan di usia muda adalah ekonomi yang rendah (miskin).

2.5.3 Budaya

Di Indonesia, bagi perempuan menikah adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama ada dikondisikan dengan budaya, agama dan lingkungan sekitar yang membuat perempuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Dalam budaya patriarkis, menikah tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial tetapi juga agar perempuan kelihatan menjadi sempurna, yakni menjadi seorang istri dan kemudian ibu (Kartika, 2002).

Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua. Menurut Goode (1983), perubahan status seseorang dari belum kawin menjadi kawin, akan membawa perubahan peranannya dalam masyarakat atau secara ritual telah memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak baru.

Di Mojokerto, diungkapkan oleh Geerzt (1982), seorang anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan setelah haid pertama karena seorang ayah akan mendapatkan malu kalau seorang gadis yang telah dewasa belum ada jodohnya. Menurut Nurwati (2003), di Jawa Barat khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan bila wanita sudah berusia 16 tahun belum menikah maka keluarganya akan merasa malu. Pernikahan biasanya dilakukan pada saat musim panen (bulan Rayagung) yang diyakini akan menaikkan derajat sosial keluarga dan orang tua.

2.5.4 Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers 1974 dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Penelitian Rogers dalam Notoatmojo (2007) menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6 tingkatan yaitu:

a. Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut.

e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.

Ketidak bahagiaan dalam perkawinan sebagian besar pasangan yang memasuki jenjang perkawinan tidak mempunyai persiapan jiwa dalam arti yang

sesungguhnya. Mereka tidak dibekali dengan cukup, hanya sekedar petuah-tuah dan kalimat-kalimat pendek. Mereka berpikir bahwa dengan hubungan-hubungan cinta dan seks akan dapat memuaskan semua keinginan dan kebutuhan istrinya. Perempuan juga berpikir seperti itu (Nurwati, 2003).

2.5.5 Persepsi Keluarga (Orang Tua)

Keluarga terdiri dari ibu dan bapak dengan anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; sank saudara; kaum kerabat; satuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat (Santoso, 1995). Keluarga dapat dikatakan sebagai suatu badan suatu badan sosial yang berfungsi mengarahkan kehidupan efektif seseorang didalam keluarga seseorang dapat mengalami kekecewaan, mendapatkan kasih sayang bahkan mungkin celaan-celaan.

Lingkungan sosial yang berperan dalam meneruskan dan menanamkan nilai pedoman hidup pada anggota masyarakat adalah keluarga, teman sebaya, guru dan sebagainya. Keluarga mengambil tempat penting dalam sosialisasi anak, karena anggota keluarga; orang tua dan saudara kandung melakukan kontak sosial pertama bahkan mungkin satu-satunya kontak sosial bagi anak pada tahun-tahun pertamanya. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsah, 2004).

Suasana keluarga yang tenang dan penuh curahan kasih sayang dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya, akan menjadikan remaja dapat berkembang secara wajar dan mencapai kebahagiaan. Sedangkan suasana rumah tangga yang penuh konflik akan berpengaruh negatip terhadap kepribadian dan kebahagiaan

remaja yang pada ahirnya mereka melampiaskan perasaan jiwa dalam berbagai pergaulan dan perilaku yang menyimpang (Al-Mighwar, 2006).

Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur dijodohkan untuk menikah dimasa kuliah. Perjodohan semasa anak masih kuliah bukanlah hal yang baru. Orang tua sebelumnya telah membuat komitmen dengan koleganya untuk mengawainkan anaknya, meskipun anak- anaknya masih sama- sama kuliah (Ikhsan, 2004).

Mayoritas laki-laki dan perempuan yang kawin dibawah umur 20 tahun akan menyesali perkawinan mereka. Sayang sekali orang tua sendiri sering mendorong perkawinannya dalam usia sangat muda. Orang tua menganggap bahwa perkawinwn dalam usia muda mempunyai suatu faktor pematangan. Dibalik motivasi orang tua yang ingin sekali untuk segera mengawinkan anak-anaknya ialah demi melepaskan mereka dari tanggung jawab atas perilaku kejahatan dan kenakalan anaknya (Walgito, 2004).

2.5.6 Nilai Virginitas

Nilai virginitas untuk melakukan apa saja, termasuk hubungan intim. Berpacaran sebagai proses perkembangan kepribadian seseorang remaja karena ketertarikan antara lawan jenis. Namun dalam perkembangan budaya justru cenderung tidak mau tahu terhadap gaya pacaran remaja. Akibatnya, para remaja cenderung melakukan hubungan seks pranikah. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu; faktor agama dan iman, faktor lingkungan seperti orang tua, teman, tetangga dan media, faktor pengetahuan yang

minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan, dan juga faktor perubahan jaman (Dina, 2006).

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Perkawinan pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa (Sarwono, 2006).

Dokumen terkait