• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.3 Pengaruh Pengetahuan terhadap Usia Menikah pada Wanita Usia

Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pengetahuan responden mayoritas baik 101 orang (65,6%), sedangkan pengetahuan kurang ada 53 orang (34,4%). Didukung dengan latarbelakang pendidikan responden yang mayoritas tinggi yaitu tamat SMU, DIII, S1 sebanyak 103 orang (66,9%). Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0,018 (p < 0,05) artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan usia menikah pada WUS yaitu semakin tinggi pengetahuan maka semakin baik usia menikah.

Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah hasil “tahu”, ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni :indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Uji statistik menunjukkan untuk variabel pengetahuan didapatkan nilai Exp B sebesar 3,233, artinya responden yang berpengetahuan kurang baik berpeluang untuk menikah pada usia < 20 tahun 3 kali lebih besar dibanding responden yang berpengetahuan baik. Pengetahuan individu terhadap banyak hal khususnya

perkawinan di usia muda dan yang utama siapkah seseorang menghadapi resiko yang akan ditimbulkan jika perkawinan tersebut tetap berjalan dan sangat membantu dalam persiapan kematangan emosi dan pikiran. Tindakan dalam mengambil keputusan tersebut sebenarnya betul-betul atas dasar pemikiran ataupun pengetahuan yang baik pula. Jika keputusan tersebut atas dasar emosi apa lagi di usia remaja (belasan tahun) kehidupan emosi sangat menonjol tanpa adanya pemikiran yang logis terhadap risiko dari keputusan yang diambil tersebut.

Walgito (2004) mengungkapkan bahwa di Indonesia hubungan seksual antara pria dan wanita dapat diterima oleh norma masyarakat jika mereka telah melalui perkawinan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa salah satu pemicu adanya perkawinan diusia muda, karena adanya pemikiran masyarakat yang menyatakan bahwa daripada terjadi penyimpangan perilaku lebih baik mereka menjalani perkawinan di usia muda dan tidak terlalu memikirkan risiko dari perkawinan tersebut. Tim Jaringan Epidemiologi FKM-UI menyatakan bahwa dari berbagai penelitian ditemukan permasalahan utama kesehatan reproduksi remaja di Indonesia adalah adanya masalah informasi kesehatan reproduksi, perilaku, pelayanan kesehatan dan peraturan perundangan. Semuanya berpangkal dari rendahnya pendidikan remaja, kurangnya pemahaman dan pengetahuan serta kemampuan orang tua menjelaskan kepada putra-putrinya tentang pendidikan reproduksi/seks. Hal ini menyebabkan secara langsung adanya kasus penyimpangan perilaku seks dikalangan remaja.

Pengetahuan mengenai batas usia pernikahan untuk wanita dikatakan dini, sebagian besar responden mengatakan usia dibawah 19 tahun. Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 6 dan 7 disebutkan bahwa perkawinan seseorang yang berumur di bawah 21 tahun harus mendapat izin orang tua dan batas diizinkannya suatu perkawinan itu jika pihak laki-laki sekurang-kurangnya mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan sekurang-kurangnya 16 tahun. Usia 16 tahun untuk wanita ditinjau dari segi kesehatan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat.

Berdasarkan hasil Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo 1994 ada 12 hak-hak reproduksi. Ada 11 hak-hak reproduksi bagi remaja yang dianggap paling dominan dan secara sosial dan budaya dapat diterima di Indonesia yaitu: hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi, hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi, hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perlosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual, hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi, hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran, hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan), hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi, hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya, hak membangun dan merencanakan keluarga, hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan

reproduksi dan hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.

5.4 Pengaruh Nilai Virginitas terhadap Usia Menikah pada Wanita Usia Subur di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012

Hasil analisis univariat diperoleh bahwa mayoritas nilai virginitasnya baik ada 97 orang (63,0%), sedangkan yang buruk ada 57 orang (37,0%). Terdapat hubungan antara nilai virginitas dengan usia menikah pada nilai p= 0,003 (p<0,05). Mengacu pada analisis tersebut bahwa semakin baik nilai virginitas maka baik pula usia menikahnya.

Pergaulan bebas remaja yang berdampak pada pernikahan dini dalan penelitian ini disebabkan karena minimnya pengetahuan remaja dan orang tua tentang kesehatan reproduksi. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk mengatasi permasalahan tersebut belum maksimal. Penyuluhan kesehatan reproduksi remaja hanya diberikan setahun sekali yaitu pada saat tahun ajaran baru. Selain itu di Kecamatan Sunggal belum terbentuk PIK-KRR yang dapat membantu mengatasi permasalahan remaja khususnya kesehatan reproduksi, sehingga kehamilan remaja dan pernikahan dini dapat dicegah.

Berdasarkan uji regresi logistik diperoleh bahwa nilai Exp B sebesar 3,329 artinya besar pengaruh responden yang nilai virginitasnya buruk berpeluang 3 kali lebih besar menikah pada usia < 20 tahun dibanding yang nilai virginitas baik. Berdasarkan penelitian Etiekarina yang dikutip Sarwono (2006) mengenai mitos tentang seks dikalangan remaja SMU/SMP (12-15 tahun) di Jakarta dan Banjarmasin, 50% remaja menyatakan baru bisa dikatakan pacaran kalau sudah ciuman, 36% remaja menyatakan mau berhubungan seks berarti serius dengan pacar dan 31% menyatakan hubungan seks pranikah sah-sah saja asal sama-sama cinta. Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai/norma pergaulan antara remaja sudah semakin menurun. Kecenderungan pergeseran norma ini, salah satunya bersumber pada hubungan anak dengan orang tua yang kurang baik.

Sarwono (2006) juga mengutip dari Schinke (1984) yang membuktikan anak maupun orangtua bisa terbuka dan menerima pendidikan seks sejauh yang memberikannya adalah orang lain, bukan dari orang tua atau anggota keluarga sendiri. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu; faktor agama dan iman, lingkungan seperti orang tua, teman, tetangga, pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan dan perubahan zaman yang semakin modern.

Dokumen terkait