A. Intensi Membeli
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Membeli
Intensi membeli merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan membeli, oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi intensi membeli sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli (Kotler & Keller, 2012). Menurut Kotler & Keller (2012), pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan faktor personal.
a. Faktor Budaya
Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial merupakan pengaruh yang penting pada perilaku membeli konsumen. Budaya merupakan dasar penentu keinginan seseorang dan perilakunya (Kotler & Keller, 2012). Teori budaya meyakini bahwa ide, nilai, dan keyakinan seseorang dipelajari sebagai anggota dari sebuah masyarakat yang menentukan sifat mereka (Pratap, 2017). Hal ini menjelaskan alasan sebuah produk banyak diminati di wilayah tertentu, namun kurang diminati di wilayah yang lain (Hartman, 2017). Misalnya sesuatu yang dapat diterima di masyarakat barat belum tentu dapat diterima di masyarakat timur dan timur tengah (Pratap, 2017).
Setiap budaya memiliki sub-budaya yang dapat mengidentifikasi dan mensosialisasikan secara lebih spseifik terhadap anggotanya. Sub-budaya ini meliputi kewarganegaraan, agama, ras, dan wilayah geografis (Kotler & Keller, 2012).
Kemudian, semua masyarakat pada umumnya akan membentuk stratifikasi sosial, yang seringkali disebut sebagai kelas sosial. Kelas sosial membentuk anggotanya berdasarkan kesamaan nilai, minat, dan perilaku. Kelas sosial dapat menunjukkan perbedaan pilihan produk dan merek di berbagai area, seperti busana, perabotan rumah tangga, majalah, buku, dan kendaraan (Kotler & Keller, 2012).
b. Faktor sosial
Faktor sosial sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu referensi kelompok, keluarga, serta peran sosial dan status
1) Referensi kelompok:
Referensi kelompok merupakan kelompok yang memiliki pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang. Kelompok memperkenalkan individu pada perilaku dan gaya hidup yang baru. Hal tersebut dapat mempengaruhi sikap dan konsep diri anggotanya, sehingga memunculkan tekanan untuk melakukan konformitas yang dapat mempengaruhi pililhan merek dan produk (Kotler & Keller, 2012). Cialdini (dalam Henderson, 2017) mengungkapkan bahwa pemasar tidak perlu mempromosikan sebuah produk memliki kualitas yang baik, mereka cukup memberikan label “best-selling” untuk
membuat konsumen tertarik. Hal ini disebabkan konsumen seringkali berpikir sesuatu yang populer biasanya memiliki kualitas yang baik.
Kelompok terdiri dari kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer merupakan orang-orang yang berinteraksi dengan kita secara berkelanjutan dan bersifat informal, seperti keluarga, teman, tetangga, teman kerja. Selain itu, individu juga bisa terpengaruh pada kelompok sekunder, yaitu kelompok lain yang bukan kelompoknya. Seperti kelompok aspirasional dan kelompok disosiatif. Kelompok Aspirational merupakan kelompok yang seseorang harapkan. Sedangkan kelompok dissosiatif merupakan kelompok yang ditolak.
2) Keluarga
Keluarga merupakan organisasi yang paling penting dalam pembelian konsumen. Keluarga juga merupakan kelompok referensi yang paling berpengaruh bagi anggotanya. (Moore, dkk dalam Kotler, 2012). Anak-anak biasanya belajar membuat keputusan membeli berdasarkan kebiasaan konsumsi keluarganya dan dari proses sosialisasi di dalam keluarga (Grossbart dalam Chikweche, 2012). Setiap anggota keluarga memiliki peran dalam membeli kebutuhan. Misalnya, seorang istri biasanya memiliki peran dalam pembelian bahan makanan, dan kebutuhan rumah tangga (Kotler & Keller, 2012).
3) Peran Sosial dan Status
Setiap orang pasti tergabung dalam banyak kelompok seperti keluarga, organisasi, dan sebagainya. Kelompok merupakan
sumber informasi yang penting dan membantu membentuk norma perilaku. Posisi seseorang dalam kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan statusnya. Peran terdiri dari sejumlah kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh seseorang, dan setiap peran mengandung arti status seseorang.
Kelas sosial juga merupakan faktor yang penting dalam menentukan dimana konsumen akan berbelanja. Konsumen biasanya akan menghindari toko yang memiliki citra yang berbeda dengan kelas sosial yang dimilikinya (Schiffman, Kanuk, & Wisenblit, 2010).
c. Personal
Karakteristik personal yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen meliputi usia dan perkembangan, pekerjaan, kondisi ekonomi, kepribadian, dan konsep diri, serta gaya hidup seseorang 1) Usia dan tahap dalam siklus kehidupan
Usia seseorang seringkali berhubungan dengan selera dalam makanan, busana, perabotan rumah, dan selera dalam rekreasi. Kebutuhan seseorang berubah seiring bertambahnya usia seseorang. Usia dapat merubah gaya hidup seseorang, sehingga kebutuhan dan nilai personalnya pun ikut berubah. Misalnya, kaun muda lebih banyak menghabiskan pengeluaran di film dan fashion, namun ketika mereka tua, pengeluaran lebih banyak ke bidang
kesehatan (Pratap, 2017). Selain usia, jenis kelamin dan pendidikan juga mampu mempengaruhi pilihan pembelian.
2) Pekerjaan dan keadaan ekonomi
Pekerjaan merupakan pengaruh bagi pola konsumsi (Kotler & Keller, 2012). Selain itu, kesuksesan atau kegagalan ekonomi pada suatu negara mempengaruhi perilaku konsummen secara signifikan. Konsumen akan memiliki kekuatan belanja yang lebih tinggiketika ekonomi sedang kuat. Sebaliknya, ketika ekonomi sedang melemah, konsumen kehilangan kekuatan untuk membeli barang (Lee, 2017).
3) Kepribadian dan konsep diri
Setiap orang memiliki karakter kepribadian yang mempengaruhi perilaku membelinya (Kotler & Keller, 2012; Schiffman & Wisenblit, 2015). Kepribadian mempengaruhi cara konsumen merespon promosi dari pemasaran, serta mempengaruhi kapan, bagaimana, dan dimana seseorang akan berbelanja (Schiffman & Wisenblit, 2015). Banyak peneliti setuju bahwa kepribadian terbentuk dari kombinasi karakteristik yang unik, sehingga tidak ada dua individu yang memiliki kepribadian yang sama persis (Schiffman & Wisenblit, 2015). Kepribadian seseorang biasanya cenderung bersifat consisten dan tahan lama (Howel, 2014; Kotler & Keller, 2012; Schiffman & Wisenblit, 2015). Karena trait melekat pada manusia dalam jangka yang panjang,
maka penting bagi pasar dalam menjelaskan atau memprediksi perilaku konsumen dengan kepribadian (Schiffman & Wisenblit, 2015). Meskipun kepribadian bersifat konsisten, kepribadian seseorang dapat berubah ketika menghadapi lingkungan tertentu (Shiffman & Wisenblit, 2015).
Niat atau intensi seseorang dapat diprediksi melalui kepribadian seseorang ketika alasan keputusan seseorang berhubungan dengan trait (Howell, 2014). Schiffman dan Wisenblit (2015) mengungkapkan bahwa banyak peneliti yang menemukan bahwa trait lebih berhubungan dengan kategori produk secara luas, daripada dengan merek secara spesifik. Trait
didefinisikan sebagai pola perilaku, sikap, emosi berbeda yang dimiliki individu dalam jangka panjang dan bersifat stabil. Howell (2014) meyakini bahwa trait memiliki hubungan dengan perilaku konsumen. Oleh karena itu dapat disimpulkan motivasi apapun yang berkaitan dengan trait merupakan motivasi untuk perilaku tersebut. Para pemasar tidak mampu untuk merubah kepribadian seseorang untuk menyesuaikan dengan produk yang mereka jual, namun ketika mereka mengerti bagaimana sebuah kepribadian menentukan respon konsumen, mereka mampu memikat konsumen target mereka dengan sifat-sifat yang relevan (Schiffman & Wisenblit, 2015).
Ada banyak tokoh-tokoh psikologi yang mengemukakan teori-teori kepribadian (Schiffman & Wisenblit, 2015). Untuk perilaku konsumen, para peneliti biasa menguji dengan menggunakan single-trait personality tests. Hal tersebut menguji inovasi, materialisme,
dan etnosentrisme (Schiffman & Wisenblit, 2015).
Materialisme menguji tingkat kemelekatan konsumen dengan kepemilikan duniawi. Sedangkan Etnosentrisme menguji kemungkinan konsumen untuk menerima atau menolak produk-produk buatan luar negri.
Dalam konteks perilaku konsumen, Inovasi menguji seberapa konsumen mau menerima pengalaman belanja yang baru, serta pertimbangan untuk membeli dan menggunakan produk atau jasa yang baru. Inovator merupakan orang yang mencoba produk untuk pertama kalinya. Para konsumen inovator biasanya entusias terhadap produk baru (Schiffman & Wisenblit, 2015). Trait lainnya yang berhubungan dengan inovasi adalah kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness). Kebutuhan akan keunikan (Need for uniqueness) merupakan sifat konsumen yang mencari keunikan melalui pencarian atau pengejaran akan perbedaan terhadap orang lain melalui akuisisi, pemanfaatan, dan disposisi barang atau produk dengan tujuan untuk mengingkatkan citra diri dan identitas
sosial (Knight & Kim, 2007; Schiffman & Wisenblit, 2015; Tian, Bearden, & Hunter 2001).
4) Gaya Hidup
Meskipun memiliki sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sejenis, konsumen mungkin tetap mengarah ke gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup merupakan pola hidup yang tercermin dalam kegiatan, ketertarikan, dan opini seseorang. Gaya hidup seseorang sebagian terbentuk keterbatasan konsumen akan uang atau waktu. Produsen melayani konsumen dengan keterbatasan uang dengan menyediakan produk-produk dengan harga yang lebih rendah. Konsumen dengan keterbatasan waktu seringkali melakukan kegiatan secara multitasking, yaitu melakukan dua atau lebih kegiatan secara bersamaan. Mereka seringkali berpendapat bahwa waktu lebih penting daripada uang. Oleh karena itu, produsen melayani konsumen yang mengalami keterbatasan waktu dengan menyediakan produk dan jasa yang mengutamakan kenyamanan.
Sama halnya dengan pemasar pada produk yang lebih murah dan lebih sederhana, hanya pada produk premium memerlukan lingkungan pemasaran yang terus berkembang dan berubah-ubah dengan cepat. Bagi produk premium, merek dan kesan yang diciptakan seringkali merupakan kunci dari keuntungan (Kotler & Keller, 2012). Harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan produk pada umumnya, produk premium berfokus
pada status sosial dan target konsumen yang akan dituju. Kemewahan bagi banyak orang menjadi lebih bersifat kesenangan pribadi dan ekspresi diri. Orang yang membeli produk premium perlu merasakan bahwa barang yang didapatkan merupakan barang yang spesial (Kotler & Keller, 2012).
Konsumen rela membayar harga lebih untuk produk premium, biasanya karena dari salah satu atau lebih dari faktor-faktor berikut. Yang pertama adalah keterjangkauan kesenangan, yang kedua adalah sebagai hadiah yang memiliki selera tinggi. Sedangkan, alasan yang ketiga adalah investasi, dan yang terakhir karena produk premium merupakan simbol status seseorang (Quelch, 1987).