Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium pada generasi Y. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang linear antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli. Selain itu, juga terdapat hubungan yang positif antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium pada generasi Y (r=0.254, p=0.000). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) seseorang, maka semakin tinggi pula intensi membeli produk fashion premiumnya. Sebaliknya, semakin rendah kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) seseorang, maka akan semkain rendah juga intensi membeli produk fashion premium. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis
yang telah ditentukan, bahwa terdapat hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium, sehingga dapat disimpulkan H0 ditolak.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lajevardi (2014) yang menyatakan bahwa kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) memiliki hubungan yang positif terhadap intensi membeli produk mewah. Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) akan mendorong seseorang untuk membeli barang untuk membedakan dirinya dengan orang lain (Tian, Bearden, & Hunter, 2001). Konsumen memiliki persepsi bahwa produk fashion premium merupakan hal yang langka. Hal ini disebabkan karena pemilik produk fashion premium yang jumlahnya terbatas (Dubois & Paternaut dalam Laverjadi, 2014).
Salah satu ciri utama produk premium adalah produk yang menawarkan harga yang relatif tinggi. Karena produk premium memiliki harga yang premium juga, maka produk premium perlu menjaga kualitas yang baik (Kotler & Keller, 2012; Quelch, 1987). Namun, konsumen tidak selalu bersedia membeli produk hanya karena kualitasnya yang baik, melainkan konsumen ingin merasa bahwa produk yang dibeli benar-benar spesial (Kim, Chun, & Ko, 2017; Kotler & Keller, 2012). Oleh karena itu merek perlu memberi perhatian lebih pada persepsi konsumen terhadap produk untuk mengembangkan strategi marketing mereka (Kim, Chun, & Ko, 2017). Produk premium juga perlu menjaga keunikan, pendistribusian yang selektif, serta pemasaran yang baik. Selain itu kepribadian konsumen juga mendorong
seseorang memiliki intensi untuk membeli produk premium (Howel, 2014; Kotler & Keller, 2012; Quintelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015). Kepribadian dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespon promosi pemasaran produk. Selain itu kepribadian juga mempengaruhi kapan, bagaimana, dan dimana seseorang akan berbelanja (Schifman & Wisenblit, 2015). Teori Kepribadian yang paling sering digunakan dalam konteks perilaku konsumen adalah Teori Trait (Howel, 2014; Quitelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015).
Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) merupakan sifat manusia yang cenderung melakukan pencarian atau pengejaran akan perbedaan terhadap orang lain melalui akuisisi, pemanfaatan, dan disposisi barang atau produk untuk mengingkatkan citra diri dan identitas sosialnya (Knight & Kim, 2007; Schiffman & Wisenblit, 2015; Tian, Bearden, & Hunter 2001). Menurut Fromkin dan Lipshitz (dalam Workman & Kidd, 2000), orang yang memiliki keunikan yang tinggi dapat dikarakteristikan sebagai orang yang, non-konformitas, berdaya cipta, dan memiliki keinginan untuk mengekspresikan keunikan mereka melalui perilaku, meskipun beresiko kurang diterima oleh masyarakat.
Orang akan memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) ketika dirinya merasa memiliki terlalu banyak persamaan dengan orang lain (Lynn & Harris, 1997). Dalam hal ini, subjek yang merasa memiliki terlalu banyak kesamaan dalam berbusana akan berusaha mencari produk fashion premium untuk mengekspresikan keunikan mereka. Fashion
merupakan hal yang sangat penting bagi sebagian orang. Fashion
mempengaruhi banyak aspek dari kehidupan, salah satunya sebagai alat bagi konsumen untuk mengekspresikan dirinya dan menciptakan identitas (Sudha & Shena, 2017).
Menurut Frank dan Chong (dalam Jang, Kim, & Bonn, 2011), generasi Y memiliki pendapatan disposable yang lebih dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal tersebut didukung dengan generasi Y yang telah terakulturasi menjadi lebih materialistik daripada generasi-generasi sebelumnya. (Bakewell & Mitchell, 2003). Para konsumen, khususnya yang berusia masih muda memiliki kebutuhan untuk menonjolkan self image mereka dengan memiliki penampilan yang keren dan berbeda dengan orang lain (Knight & Kim, 2007). Oleh karena itu, generasi Y secara umum menyukai merek yang memiliki identitas berdasarkan nilai yang dapat diidentifikasi, dan mampu mengekspresikan diri mereka (Taylor, 2012; Knight & Kim, 2007).
Keunikan dapat ditemukan pada konsumen di seluruh dunia (Sharma, Verma, & Sharma, 2017). Meskipun keunikan dapat ditemukan di seluruh dunia, tingkat kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) pada konsumen di tiap negara berbeda-beda (Schumpe, Hezberg, & Erb, 2016). Misalnya, hasil penelitian dari Tafarodi, Marshal, & Karsura (2004) menemukan bahwa konsumen di Jepang memiliki kebutuhan untuk keunikan (need for uniqueness) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsumen di Kanada, dan keubutuhan akan keunikan (need for uniqueness) di Korea lebih
rendah dibandingkan di German ( Schumpe et al, dalam Schumpe, Hezberg, & Erb, 2016).
Pada penelitian ini juga menunjukan bahwa tingkat kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) pada generasi Y khususnya di Indonesia tergolong rendah dan signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukan bahwa mean empirik pada variabel kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) lebih rendah daripada mean teoritiknya (47.17<50) dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (<0.05). Peneliti juga menemukan subjek wanita pada penelitian ini memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang rendah dan signifikan. Hal tersebut dibuktikan dengan mean empiris yang lebih kecil daripada mean teoritiknya (46.98 < 50) dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (<0.05). Namun, pada subjek laki-laki tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara mean empirik dan mean teoritik kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness).
Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa subjek memiliki tingkat intensi membeli fashion premium yang tinggi dan signifikan. Hal ini dapat dilihat dari mean empiris intensi membeli yang lebih besar daripada mean teoritiknya (10.658 > 10) dnegan niali signifikansi sebesar 0.000 (<0.55). Dari hasil data tambahan, yaitu uji perbedaan mean teoritis dan mean empiris intensi membeli pada subjek wanita juga memperoleh hasil bahwa subjek wanita memiliki intensi membeli fashion premium yang tinggi dan signifikan. Hal ini dapat dilihat dari mean empiris yang lebih tinggai daripada
mean teoritiknya (10.93 > 10) dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (<0.05). Namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara mean empirik dan mean teoritik intensi membeli fashion premium pada subjek pria
Meskipun tingkat kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) pada subjek penelitian ini tergolong rendah, tingkat intensi membeli produk fashion
premium pada subjek tergolong tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena banyak faktor lain yang mendasari konsumen memiliki intensi membeli produk fashion premium, seperti segmentasi konsumen, status sosial, pengaruh budaya, materialisme, brand image yang positif, publikasi, rasa ekslusifitas, serta interaktif perusahaan dengan konsumen melalui media sosial (Schiffman, Kanuk, & Wisenblit, 2015; Shan et al, 2015).
65