i
HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN AKAN KEUNIKAN (NEED FOR
UNIQUENESS) DENGAN INTENSI MEMBELI FASHION PREMIUM PADA GENERASI Y
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Grace Nathania 149114061
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“Every person on this earth is full of great possibilities that can be realized through imagination, effort, and preseverance”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Soli Deo Gloria
Kupersembahkan karya ini untuk:
Tuhan Yesus yang selalu membimbing, menolong dan menyertai sepanjang perjalanan saya
Serta untuk Papa dan Mama tercinta, dan Raymond Yang telah memberi semangat, cinta, dan dukungan untuk
vii
HUBUNGAN KEBUTUHAN AKAN KEUNIKAN (NEED FOR
UNIQUENESS) DENGAN INTENSI MEMBELI PRODUK FASHION
PREMIUM PADA GENERASI Y
Grace Nathania
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) dengan Intensi Membeli Fashion Premium pada generasi Y. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 240 orang yang tergolong kedalam generasi Y, yaitu orang yang lahir antara tahun 1980-1999. Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan 20 item skala Need for Uniqueness
(α=0.929) dan 4 item skala intensi membeli (α=0.783), yang disebarkan kepada
subjek melalui Google Form dengan metode purposive sampling. Analisis data
yang digunakan adalah Spearman’s Rho Correlation karena terdapat hubungan
yang linear, namun data tidak dapat terdistribusi secara normal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan kategori rendah antara Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) dengan Intensi Membeli Fashion Premium pada Generasi Y (r=0.254, p=0.000). Kata kunci : Kebutuhan akan Keunikan, Need for Uniqueness, Intensi Membeli,
viii
Correlation Between Need for Uniqueness and Premium Fashion Purchase
Intention In Generation Y
Grace Nathania
ABSTRACT
The current research was aimed to understand the relationship beetwen
the Need for Uniqueness and Intention of Purchasing Premium Fashion in
Generation Y. The sample size of the current study was 240 Generation Y, who
was born beetwen 1982 and 2000. This study obtained data using 20 items need
for uniqueness scale (α=0.929) and four items Purchase Intention scale (α=0.783), which distributed via Google Form with Purposive sampling method. Data were analyzed with Spearman’s Rho Correlation techique because there’s a
linear correlation, but the data did not follow normal distribution. The Results
shows that there was a positive and significant with low category correlation
between Need for Uniqueness and Premium Fashion Purchase Intention.
(r=0.254, p=0.000)
Keywords: Need for Uniqueness, Purchase Intention, Premium Fashion,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa menyertai saya dalam menyelesaikan proses penulisan skripsi saya yang berjudul “Hubungan Need for Uniqueness dengan Intensi Membeli Produk Fashion Premium pada
Generasi Y“ hingga dapat selesai dengan lancar. Dalam proses penulisan skripsi ini. Terdapat banyak pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Titik Kristiyanti, M.Psi Selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum M.App.Psych selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
3. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan membantu proses perkuliahan dan verifikasi poin.
4. Bapak Minta Istono, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membibing sejak mata kuliah seminar hingga menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kesediaannya untuk memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing, memberi saran, masukan, dan nasihat-nasihat selama pengerjaan skripsi, sehingga skripsi saya dapat diselesaikan dengan lancar.
5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas sanata Dharma yang telah membimbing, mendidik, membagikan ilmu pengetahuan, serta memotivasi untuk dapat mengaplikasikan ilmu Psikologi dalam kehidupan sehari-hari.
xi
7. Cathlin, William, Gracia, Nindy, Amadea, Samuel, Alam, Didi, Josephine dan Eko, yang membantu dalam menyebarkan skala pada penelitian ini.
8. Pipin dan Angel yang telah menemani, memotivasi, memberi masukan, dan memberi dukungan dalam pengerjaan skripsi saya
9. Teman-teman satu bimbingan: Nindy, Yuka, Adit, Lius, Clara, Poppy, Angel, Dhanis, Stefanus, Sandro, dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu, memberi masukan, mendukung dan memberikan informasi.
10.Teman-teman SMA: Cathlin, Amadea, Amelia, Arnina, Michael, Juju, Grace Chyntia, Anthoni, Ervin, Victor, dan lainnya yang telah mendoakan, mendengarkan keluh kesah, dan memberi dukungan dalam proses pengerjaan skripsi.
11.Teman-teman kelas B yang telah banyak membantu, bekerja sama, dan memberikan informasi selama proses perkuliahan.
12.Seluruh teman-teman saru angkatan 2014 yang telah berjuang bersama selama 4 tahun di Fakultas Psikologi
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN .... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... x
xiii
2. Definisi Intensi membeli ... 12
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Membeli ... 13
4. Karakteristik Produk Premium ... 21
B. Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) ... 24
1. Teori Keunikan ... 24
2. Definisi Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) ... 25
3. Dimensi Kebutuhan akan Keunikan (need for uniqueness) ... 27
4. Fashion Sebagai Atribut Keunikan ... 30
C. Generasi Y ... 31
1. Karakteristik Generasi Y ... 31
D. Dinamika Hubungan Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) dengan Intensi Membeli Produk fashion Premium ... 32
E. Skema Hubungan Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) ... 35
Dengan Intensi Membeli Produk Fashion Premium ... 35
F. Hipotesis Penelitian ... 35
BAB III ... 36
METODELOGI PENELITIAN ... 36
A. Jenis Penelitian ... 36
B. Variabel Penelitian ... 37
C. Definisi Operasional... 37
1. Intensi Membeli ... 38
2. Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) ... 38
D. Subjek Penelitian ... 39
E. Metode Pengumpulan Data ... 40
xiv
2. Skala Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) ... 41
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43
1. Validitas ... 43
2. Daya Diskriminnasi Item ... 44
3. Reliabilitas ... 45
G. Teknik Analisis Data ... 46
1. Uji Asumsi ... 46
2. Uji Hipotesis ... 47
BAB IV ... 48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Pelaksanaan Penelitian ... 48
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 48
C. Deskripsi Data Penelitian ... 50
D. Analisis Data Penelitian ... 52
1. Uji Asumsi ... 52
B. Keterbatasan Penelitian ... 65
C. Saran ... 66
1. Bagi Produsen ... 66
xv
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi Item Skala Intensi Membeli Fashion Premium ... 41Tabel 2 Distribusi Item Skala Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness) ... 42
Tabel 3 Data Subjek Berdasarkan Usia ... 49
Tabel 4 Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50
Tabel 5 Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 51
Tabel 6 Hasil Uji Normalitas ... 52
Tabel 7 Hasil Test Of Linearity ... 53
Tabel 8 Kriteria Koefisien Korelasi ... 55
Tabel 9 Hasil Uji Hipotesis Variabel Kebutuhan Akan Keunikan (Need For Uniqueness) Dan Intensi Membeli Fashion Premium ... 56
Tabel 10 Uji Beda Mean Teoritik Dan Mean Empirik Pada Subjek Wanita ... 57
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Faktor-faktor Determinan Intensi ... 11 Gambar 2. Hubungan Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 77
Lampiran 2. Daya Diskriminasi Item ... 82
Lampiran 3. Reliabilitas Skala ... 84
Lampiran 4. Korelasi Item Total ... 86
Lampiran 5. Data Empirik ... 87
Lampiran 6. Uji Normalitas ... 88
Lampiran 7. Uji Linearitas ... 90
Lampiran 8. Uji Korelasi ... 92
Lampiran 9. Analisis Tambahan ... 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut penelitian dari Ebenkamp (dalam Bakewell & Mitchel, 2003), para remaja di USA menghabiskan 64,87 milyar dollar hanya untuku kategori fashion.Di Indonesia sendiri, kategori fashion memberikan kontribusi terbesar dalam transaksi penjualan. Hal ini dapat dilihat dari total penjualan produk fahion di MatahariMall.com pada tahun 2017 yang mencapai 64% (Herman, 2018). Kemudian berdasarkan data Bekraf, kontribusi ekonomi kreatif Indonesia di tahun 2015 subsektor fashion memberikan kontribusi terbesar peringkat kedua setelah subsektor kuliner, yakni sebesar 18.15% dari total penjualan 852 triliun rupiah (“Fashion hingga kuliner beri kontribusi
terbesar pada ekonomi kreatif”, 2017).
Merek fashion premiun sendiri juga sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fashion premium yang baru dibuka di Indonesia, yaitu Uniqlo dan Vans yang ramai diserbu oleh kaum muda. (Hasanah, 2017; Widiyanto, 2017). Kemudian menurut hasil survei Google dan ANTV selama tahun 2017, sepuluh merek fashion yang terlaris di tahun 2017 termasuk dalam kategori fashion merek dengan kelas premium dan high-end (Jacobs, 2017; Okta 2017).
didukung oleh Bosnia (2018) yang mengungkapkan bahwa Chanel, salah satu merek fashion ternama, mampu menghasilkan penjualan sebesar 10 miliar US dolar, atau setara dengan 140,89 triliun rupiah di tahun 2017. Angka pendapatan tersebut meningkat 11% dibandingkan dengan pendapatan di tahun 2016. Hal tersebut menandakan bahwa Chanel memiliki keuangan yang kuat. Secara rinci, sebesar 9.62 miliar dollar dari angka penjualan di tahun 2017 tersebut didorong oleh kawasan Asia Pasifik dan Eropa (Bosnia, 2018).
Di sisi lain, hasil laporan dari Badan Pusat Statistik mengenai konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2017 melambat 4.93%. Para ekonom juga mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang mengalami tekanan. Hal ini disebabkan karena harga kebutuhan pokok yang bertambah, namun tidak disertai peningkatan pendapatan (Kusuma, 2017). Tidak hanya kalangan menengah kebawah, Faisal Basri selaku pengamat ekonomi menyatakan bahwa penurunan konsumsi yang saat ini terjadi ke arah masyarakat kelas menengah ke atas (Denny, 2017).
Pemaparan di atas mengungkapkan bahwa Indonesia tengah mengalami penurunan daya beli di masyarakat. Meskipun demikian, produk
Seiring berkembangnya jaman, persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Oleh karena itu, cara mempengaruhi konsumen untuk membeli barang yang mereka jual merupakan sebuah tantangan yang dihadapi dalam dunia bisnis (Banschick 2016). Penting untuk memahami bagaimana proses pembuatan keputusan pembelian dalam industri fashion. (Sudha & Shena, 2017).
Keputusan membeli pada konsumen dapat diprediksi melalui Intensi membeli. Intensi membeli memungkinkan memprediksi faktor yang membuat sebuah produk menarik sebelum produk dibeli oleh konsumen. Kemampuan intensi dalam memprediksi faktor-faktor yang menarik tersebut membuat Intensi membeli mampu membantu meningkatkan penjualan di tahap-tahap awal (East, Wright, & Vanhuele, 2013). Intensi membeli dapat memprediksi dan mengeliminasi antara pembeli yang prospektif dengan bukan pembeli (East, Wright, & Vanhuele, 2013). Intensi membeli merupakan rencana seseorang dalam keadaan sadar untuk membuat usaha untuk membeli sebuah produk (Spears & Singh, 2004). Oleh karena itu, intensi membeli produk fashion premium merupakan rencana seseorang untuk membeli produk
fashion kelas premium.
Chun, & Ko, 2017). Konsumen tidak selalu bersedia membeli produk hanya karena kualitasnya yang baik, sehingga merk perlu memberi perhatian lebih terhadap persepsi konsumen terhadap produk untuk mengembangkan strategi marketing (Kim, Chun, & Ko, 2017).
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya, membuktikan ada berbagai faktor yang dapat mendorong intensi membeli konsumen. Garner dan Levy (dalam East, 2013) meyakini bahwa merek memiliki arti secara sosial dan psikologi yang mengarah kepada pembelian. Selain itu, merek, harga, gaya, asal produk, identitas sosial, identitas sosial, dan konformitas merupakan faktor intensi membeli produk fashion (Anderson dalam Meyer, 2000; Valaei & Nikhashemi, 2017). Sedangkan faktor-faktor yang mampu mempengaruhi pembelian produk premium adalah keunikan, kualitas, referensi kelompok, selebriti, eksklusifitas, dan perasaan berbeda dari orang lain (Hung et al, 2011; Kotler & Keller, 2012; Schiffman, & Wisenblit, 2015; Shan et al, 2015).
dengan cara konsumen menentukan pilihan (Schiffman, Kanuk, & Wisenblit, 2010).
Salah satu trait yang memiliki pengaruh terhadap pembelian adalah kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness). Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) merupakan wujud pencarian konsumen terhadap benda yang mampu membedakan mereka dengan orang lain (Knight & Kim, 2007). Konsumen dengan kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang tinggi memiliki ketertarikan yang lebih terhadap produk baru, dan menampilkan sebagai konsumen yang lebih inovatif dibandingkan dengan konsumen yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang rendah (Workman & Kidd, 2000).
Hubungan antara kebutuhan akan keunikan dengan intensi membeli sendiri masih terdapat perbedaan. Hasil penelitian dari Lajevardi (2014) menunjukan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk premium. Sedangkan penelitian dari Latter, Phau, & Marchegiani menunjukan tidak adanya hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan Intensi membeli. Oleh karena itu menarik untuk diteliti kembali apakah terdapat hubungan yang positif antara kebutuhan akan keunikan dengan intensi membeli konsumen.
Para pengemuka Teori Generasi mengajukan bahwa sejalan dengan berubahnya lingkungan makro, terdapat perubahan pada pola dan perilaku konsumen (Bakewell & Mitchell, 2003). Akibat inovasi teknologi, generasi Y telah terakulturasi menjadi lebih materialistik daripada generasi-generasi sebelumnya (Bakewell & Mitchell, 2003). Kelompok generasi Y melihat belanja sebagai hal yang menyenangkan, dimana konsumen menikmati stimulasi mencari dan memilih produk (Bakewell & Mitchell, 2003). Berbeda dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X yang tidak terkesan dengan label merek desainer atau iklan yang mewah. Kelompok generasi X cenderung lebih suka berbelanja di tempat yang mereka yakini memiliki pilihan yang lebih beragam dan harga yang sesuai (Taylor, 2002). Sedangkan konsumen pada kelompok generasi Y secara umum menyukai merek yang memiliki identitas berdasarkan nilai yang dapat diidentifikasi, dan mampu mengekspresikan diri mereka. Hal tersebut mungkin disebabkan karena konsumen khususnya yang berusia masih muda memiliki kebutuhan untuk menonjolkan self image mereka dengan memiliki penampilan yang dan berbeda dengan orang lain (Knight & Kim, 2007). Sebagai pasar yang potensial, namun perilaku belanja generasi Y belum banyak diteliti secara empiris (Bakewell & Mitchell, 2003).
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dijabarkan, maka permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:
Apakah terdapat hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli fashion premium pada generasi Y?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) terhadap intensi membeli fashion premium pada generasi Y
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mengandung manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis
1. Manfaat teoritis
dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti lain di masa yang akan datang.
2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini memberikan informasi mengenai hubungan kebutuhan akan keunikan dengan intensi membeli produk
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Intensi Membeli
1. Teori Perilaku Berencana
Intensi membeli merupakan aplikasi dari Teori Perilaku Berencana. Pengukuran intensi digunakan dalam teori perilaku berencana (East, Wright, & Vanhuele, 2013). Teori Perilaku Berencana telah sukses digunakan dalam memprediksi perilaku-perilaku penting manusia karena kemampuannya dalam memprediksi perilaku, teori perilaku berencana sering dipakai untuk memprediksi berbagai bisnis (Picazovela, Chou, Melcher, & Pearson, 2010). Teori perilaku berencana telah dikembangkan sejak lama, yang dipelopori oleh Teori Expected Value yang dikemukakan oleh Fishbein yang membahas tentang sikap (Fishbein, dalam East, Wright, & Vanhuele, 2013). Sikap merepresentasikan evaluasi penilaian pribadi baik berupa evaluasi yang positif maupun negatif (Ajzen, 2001). Teori tersebut telah mengalami perpanjangan penelitian untuk memprediksi instensi dan perilaku (Ajzen & Fishbein, 1969; Ajzen & Fishbein, 1972).
Pada tahun 1985, Ajzen (dalam East, Wright, & Vanhuele, 2013) menambahkan perceived control sebagai penentu intensi. Hal tersebut memunculkan teori baru yang disebut sebagai teori perilaku berencana.
Perceived control mengukur keyakinan seseorang mengenai peluang akan tindakan yang didasarkan pada lingkungan dan kemampuan mereka.
Gambar 1. Faktor-faktor Determinan Intensi
Dikembangkan dari “Consumer behaviour: Application in marketing” , oleh East, Wright, & Vanhuele, 2013
Sikap, norma subjektif, dan perceived control memiliki hubungan terhadap intensi membeli produk fashion. Sikap akan membeli pakaian mengacu pada sejauh mana konsumen memegang keyakinan akan hasil yang menguntungkan mengenai membeli pakaian yang berkelanjutan. Norma Subjektif yang berkaitan dengan penggunaan pakaian yang berkelanjutan dapat dimengerti karena adanya tekanan dari sosial seperti keluarga, teman, dan rekan sebaya untuk membeli pakaian, sehingga muncul motivasi yang mengikuti tekanan tersebut (Ajzen, 1991). Meskipun Teori Perilaku Berencana hanya menyertakan norma subjektif, literatur telah menekankan pentingnya norma deskriptif dalam membentuk
Sikap
Norma Subjektif
Perceived Control
intensi seseorang (Lenne & Vandenbosch, 2017). Norma deskriptif merujuk pada keyakinan konsumen bahwa lingkungan sosial mereka juga membeli pakaian tersebut (Cornel dalam Lenne & Vandenbosch, 2017).
2. Definisi Intensi membeli
Setiap hari, kita tidak luput dalam membuat beragam keputusan (Decision making). Semua barang dan jasa yang dikonsumsi oleh konsumen melewati proses pembuatan keputusan (Boyd, 2010). Ketika perilaku belum terjadi atau sulit diukur, maka akan lebih mudah memprediksi melalui intensi daripada perilaku (East, Wright, & Vanhuele, 2013). Oleh karena itu sebelum perilaku membeli terjadi, keputusan membeli dapat diprediksi melalui intensi membeli dengan cara menghubungkan faktor-faktor yang paling relevan untuk membuat keputusan membeli (Morwitz, 2012; Peter & Olson, 2010). Namun intensi tidak menjelaskan penyebab terjadinya perilaku (East, Wright, & Vanhuele, 2013).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Membeli
Intensi membeli merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan membeli, oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi intensi membeli sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli (Kotler & Keller, 2012). Menurut Kotler & Keller (2012), pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan faktor personal.
a. Faktor Budaya
Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial merupakan pengaruh yang penting pada perilaku membeli konsumen. Budaya merupakan dasar penentu keinginan seseorang dan perilakunya (Kotler & Keller, 2012). Teori budaya meyakini bahwa ide, nilai, dan keyakinan seseorang dipelajari sebagai anggota dari sebuah masyarakat yang menentukan sifat mereka (Pratap, 2017). Hal ini menjelaskan alasan sebuah produk banyak diminati di wilayah tertentu, namun kurang diminati di wilayah yang lain (Hartman, 2017). Misalnya sesuatu yang dapat diterima di masyarakat barat belum tentu dapat diterima di masyarakat timur dan timur tengah (Pratap, 2017).
Kemudian, semua masyarakat pada umumnya akan membentuk stratifikasi sosial, yang seringkali disebut sebagai kelas sosial. Kelas sosial membentuk anggotanya berdasarkan kesamaan nilai, minat, dan perilaku. Kelas sosial dapat menunjukkan perbedaan pilihan produk dan merek di berbagai area, seperti busana, perabotan rumah tangga, majalah, buku, dan kendaraan (Kotler & Keller, 2012).
b. Faktor sosial
Faktor sosial sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu referensi kelompok, keluarga, serta peran sosial dan status
1) Referensi kelompok:
Referensi kelompok merupakan kelompok yang memiliki pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang. Kelompok memperkenalkan individu pada perilaku dan gaya hidup yang baru. Hal tersebut dapat mempengaruhi sikap dan konsep diri anggotanya, sehingga memunculkan tekanan untuk melakukan konformitas yang dapat mempengaruhi pililhan merek dan produk (Kotler & Keller, 2012). Cialdini (dalam Henderson, 2017) mengungkapkan bahwa pemasar tidak perlu mempromosikan sebuah produk memliki kualitas yang baik, mereka cukup memberikan label “best-selling” untuk
Kelompok terdiri dari kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer merupakan orang-orang yang berinteraksi dengan kita secara berkelanjutan dan bersifat informal, seperti keluarga, teman, tetangga, teman kerja. Selain itu, individu juga bisa terpengaruh pada kelompok sekunder, yaitu kelompok lain yang bukan kelompoknya. Seperti kelompok aspirasional dan kelompok disosiatif. Kelompok Aspirational merupakan kelompok yang seseorang harapkan. Sedangkan kelompok dissosiatif merupakan kelompok yang ditolak.
2) Keluarga
Keluarga merupakan organisasi yang paling penting dalam pembelian konsumen. Keluarga juga merupakan kelompok referensi yang paling berpengaruh bagi anggotanya. (Moore, dkk dalam Kotler, 2012). Anak-anak biasanya belajar membuat keputusan membeli berdasarkan kebiasaan konsumsi keluarganya dan dari proses sosialisasi di dalam keluarga (Grossbart dalam Chikweche, 2012). Setiap anggota keluarga memiliki peran dalam membeli kebutuhan. Misalnya, seorang istri biasanya memiliki peran dalam pembelian bahan makanan, dan kebutuhan rumah tangga (Kotler & Keller, 2012).
3) Peran Sosial dan Status
sumber informasi yang penting dan membantu membentuk norma perilaku. Posisi seseorang dalam kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan statusnya. Peran terdiri dari sejumlah kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh seseorang, dan setiap peran mengandung arti status seseorang.
Kelas sosial juga merupakan faktor yang penting dalam menentukan dimana konsumen akan berbelanja. Konsumen biasanya akan menghindari toko yang memiliki citra yang berbeda dengan kelas sosial yang dimilikinya (Schiffman, Kanuk, & Wisenblit, 2010).
c. Personal
Karakteristik personal yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen meliputi usia dan perkembangan, pekerjaan, kondisi ekonomi, kepribadian, dan konsep diri, serta gaya hidup seseorang 1) Usia dan tahap dalam siklus kehidupan
kesehatan (Pratap, 2017). Selain usia, jenis kelamin dan pendidikan juga mampu mempengaruhi pilihan pembelian.
2) Pekerjaan dan keadaan ekonomi
Pekerjaan merupakan pengaruh bagi pola konsumsi (Kotler & Keller, 2012). Selain itu, kesuksesan atau kegagalan ekonomi pada suatu negara mempengaruhi perilaku konsummen secara signifikan. Konsumen akan memiliki kekuatan belanja yang lebih tinggiketika ekonomi sedang kuat. Sebaliknya, ketika ekonomi sedang melemah, konsumen kehilangan kekuatan untuk membeli barang (Lee, 2017).
3) Kepribadian dan konsep diri
maka penting bagi pasar dalam menjelaskan atau memprediksi perilaku konsumen dengan kepribadian (Schiffman & Wisenblit, 2015). Meskipun kepribadian bersifat konsisten, kepribadian seseorang dapat berubah ketika menghadapi lingkungan tertentu (Shiffman & Wisenblit, 2015).
Niat atau intensi seseorang dapat diprediksi melalui kepribadian seseorang ketika alasan keputusan seseorang berhubungan dengan trait (Howell, 2014). Schiffman dan Wisenblit (2015) mengungkapkan bahwa banyak peneliti yang menemukan bahwa trait lebih berhubungan dengan kategori produk secara luas, daripada dengan merek secara spesifik. Trait
Ada banyak tokoh-tokoh psikologi yang mengemukakan teori-teori kepribadian (Schiffman & Wisenblit, 2015). Untuk perilaku konsumen, para peneliti biasa menguji dengan menggunakan single-trait personality tests. Hal tersebut menguji inovasi, materialisme,
dan etnosentrisme (Schiffman & Wisenblit, 2015).
Materialisme menguji tingkat kemelekatan konsumen dengan kepemilikan duniawi. Sedangkan Etnosentrisme menguji kemungkinan konsumen untuk menerima atau menolak produk-produk buatan luar negri.
sosial (Knight & Kim, 2007; Schiffman & Wisenblit, 2015; Tian, Bearden, & Hunter 2001).
4) Gaya Hidup
Meskipun memiliki sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sejenis, konsumen mungkin tetap mengarah ke gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup merupakan pola hidup yang tercermin dalam kegiatan, ketertarikan, dan opini seseorang. Gaya hidup seseorang sebagian terbentuk keterbatasan konsumen akan uang atau waktu. Produsen melayani konsumen dengan keterbatasan uang dengan menyediakan produk-produk dengan harga yang lebih rendah. Konsumen dengan keterbatasan waktu seringkali melakukan kegiatan secara multitasking, yaitu melakukan dua atau lebih kegiatan secara bersamaan. Mereka seringkali berpendapat bahwa waktu lebih penting daripada uang. Oleh karena itu, produsen melayani konsumen yang mengalami keterbatasan waktu dengan menyediakan produk dan jasa yang mengutamakan kenyamanan.
pada status sosial dan target konsumen yang akan dituju. Kemewahan bagi banyak orang menjadi lebih bersifat kesenangan pribadi dan ekspresi diri. Orang yang membeli produk premium perlu merasakan bahwa barang yang didapatkan merupakan barang yang spesial (Kotler & Keller, 2012).
Konsumen rela membayar harga lebih untuk produk premium, biasanya karena dari salah satu atau lebih dari faktor-faktor berikut. Yang pertama adalah keterjangkauan kesenangan, yang kedua adalah sebagai hadiah yang memiliki selera tinggi. Sedangkan, alasan yang ketiga adalah investasi, dan yang terakhir karena produk premium merupakan simbol status seseorang (Quelch, 1987).
4. Karakteristik Produk Premium
Merek produk premium biasanya dapat diidentifikasi dengan beberapa asosiasi tertentu, yaitu harga yang mahal, kualitas yang baik, dan estetik. Produk premium juga biasanya memiliki identitas yang khas, dan menyajikan produk dengan integritas (Genier, 2014).
Sebuah produk diakatakan memiliki harga yang premium apabila konsumen bersedia membayar produk dari sebuah merek dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan produk serupa dari merek lain (Aaker dalam Anselmsson, Bondesson, & Johansson, 2014
a. Produk premium cenderung memiliki kesan yang berganti-ganti secara ekstrinsik, seperti prestis, dan secara intriksi seputar fitur baru dan produk yang unik.
b. Produk premium mengambil banyak makna dan kaya akan sejarah. Produk premium juga membawa nilai simbolik dalam status dan pencapaiannya.
c. Semua aspek-aspek yang dirancangkan dalam produk premium perlu meyakinkan akan kualitas produk dan jasa, serta menjaga kepuasan dan pengalaman berbelanja konsumen. Hal ini disebabkan konsumen memiliki ekpektasi yang tinggi terhadap produk premium, yang memberi tekanan pada produk premium untuk menampilkan produknya dengan sempurna (Keller, 2009). Oleh karena itu, kualitas yang baik merupakan hal yang penting bagi produk premium (Quelch,1987).
d. Elemen dari produk premium seperti nama, logo, simbol, kemasan, dan lain-lain merupakan hal yang menguatkan brand equity produk mewah atau premium (Keller, 2009; Quelch, 1987)
f. Produk premium perlu memperhatikan cara mendistribusikan produknya secara selektif melalui saluran tertentu. Hal ini disebabkan target pasar yang membutuhkan rasa eksklusivitas dan prestis.
g. Produk premium memerlukan strategi dalam menentukan harga. Untuk menetapkan harga yang premium, produk premium perlu menciptakan nilai intrinsik dan extrinsik untuk produk mereka. Produk premium juga perlu memperkuat produk dengan kualitas yang spesial, kemasan yang menarik, produk atau jasa yang dipersonalisasi, dan garansi yang cukup baik. Selain itu, penggunaan diskon dan penurunan harga perlu dilakukan dengan penuh strategi. Pergerakan harga yang drastis dapat justru dapat mengirim siyal yang salah bagi nilai produk.
h. Struktur dari merek premium perlu dikelola dengan hati-hati. Hal ini disebabkan karena persaingan kebutuhan, selektivitas, dan kecerdasan, dan eklusifitas dalam setiap aspeknya
i. Produk premium tidak hanya bersaing dengan produk dengan kategori yang sama, melainkan juga bersaing dengan produk premium lainnya. j. Produk premium perlu menjaga trademarks dan mencegah dan
memberantas produk-produk palsu.
Menurut Keller (2009) ada tiga hal penting dalam memasarkan produk kelas premium, yaitu :
Produk premium perlu menjadi aspiratif. Selain itu produk premium perlu terlihat sebagai sesuatu yang spesial dan lain dari yang biasanya, namun secara bersamaan terlihat relevan pembeli yang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga pertumbuhan dan keuntungan pada penjualan.
b. Kesan klasik vs kontemporer
Produk premium mungkin memiliki banyak sejarah, turun temurun dan pengalaman yang telah lama dihargai oleh konsumen, namun hal ini mungkin sudah menjadi hal yang tidak relevan bagi konsumen yang lebih muda. Konsumen yang lebih muda biasanya menggunakan sudut pandang yang lebih kontemporer dalam menilai produk.
c. Penerimaan vs penyimpanan
Penjual produk premium perlu menentukan alokasi sumber daya pemasaran yang optimal serta menentukan perlakuan untuk pelanggan yang menguntungkan di jangka pendek dan pelanggan berpotensi menguntungkan di jangka panjang.
B. Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
1. Teori Keunikan
dalam Lynn & Harris, 1997). Teori mengenai keunikan menggunakan konsep dari self sebagai dasar penjelasan dinamis. Atribut self merupakan hasil perseptual dari perbandingan interpersonal atau lokasi spesifik seseorang dalam menentukan dirinya sendiri (Snyder & Fromkin, 1980).
Menurut Snyder dan Fromkin, setiap orang memiliki kadar keunikan masing-masing. Meskipun tingkat keunikan setiap orang berbeda, Manusia memiliki motivasi untuk menjaga rasa spesial pada dirinya sejalan dengan mereka dalam berbagai dimensi yang terkait dengan diri sendiri terhadap orang lain (Snyder & Fromkin, 1980).Ketika seseorang merasa memiliki lebih banyak kesamaan dengan orang lain, ia akan mencari perbedaan atau keunikan. Hal ini disebabkan individu selalu mencari keseimbangan anatara kesamaan dan perbedaan terhadap orang lain (Lynn & Harris, 1997)
.
2. Definisi Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
Kebutuhan akan keunikan (Need for uniqueness) merupakan sifat pencarian atau pengejaran akan perbedaan terhadap orang lain melalui akuisisi, pemanfaatan, dan disposisi barang atau produk dengan tujuan untuk meningkatkan citra diri dan identitas sosial (Tian, Bearden, & Hunter 2001; Knight & Kim, 2007; Schiffman & Wisenblit, 2015). Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) merupakan salah satu
trait (Schiffman & Wisenblit, 2015; Tian, Bearden & Hunter, 2001). Kebutuhan akan keunikan disebut sebagai trait karena kebutuhan akan keunikan pada seseorang tidak hanya muncul pada situasi tertentu, melainkan merupakan kecenderungan atau atau kebiasaan seseorang (Snyder & Fromkin, 1980; Tian, Bearden, & Hunter, 2001; Burger, 2011). Selain itu, menurut teori perilaku konsumen, kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) tergolong sebagai trait karena kebutuhan akan keunikan tidak hanya spesifik tehadap suatu brand, melainkan berlaku menyeluruh pada semua brand (Schiffman & Wisenblit, 2015).
Orang yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang tinggi akan cenderung menggunakan produk atau merek baru dengan lebih cepat dibandingkan orang dengan kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang rendah. Orang yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang tinggi juga akan menghindari konformitas terhadap standar atau ekspektasi orang lain baik dalam penampilan ataupun kepemilikan benda. Selain itu, orang yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang tinggi juga tidak kuatir akan kritik dari orang lain, mereka lebih memilih untuk membuat pilihan-pilihan yang unik (Simonson & Nowlis, 2000). Memahami kebutuhan akan keunikan ini penting terutama di industri
fashion. Hal ini disebabkan karena tren busana dan gaya berpakaian berganti-ganti dari waktu ke waktu (Schiffman & Wisenblit, 2015).
Teori kebutuhan akan keunikan juga berbeda tengan teori Independence karena adanya motivasi yang secara tidak sengaja terbentuk dalam perbedaan sosial akibat mengikuti selera pribadi. Individu dihadapkan pada seperangkat norma sosial dan secara aktif mencari diferensiasi melalui ketidaksesuaian. (Tian, Bearden, & Hunter, 2001).
3. Dimensi Kebutuhan akan Keunikan (need for uniqueness)
Menurut Snyder dan Fromkin (1980), terdapat 3 dimensi dalam
need for uniqueness:
Pada budaya barat, orang menunjukan perbedaan dalam dirinya dengan cara individualitas, atau keunikan identitas yang membutuhkan gaya personal melalui benda-benda materi supaya dapat menunjukan dirinya. Menunjukan gaya dalam bentuk materi dapat dilakukan dengan cara membelli barang yang asli, unik, dan langka. (Kroon, dalam Tian, Bearden, & Hunter, 2001). Gaya personal seseorang dapat dibentuk dengan membeli benda yang asli, unik dan lain dari yang lain. Pilihan kreatif counter conformity menunjukkan bahwa konsumen mencari perbedaan dengan kebanyakan orang. Namun, konsumen masih memilih pilihan yang dianggap baik oleh orang lain (Tian, Bearden, & Hunter, 2001).
b. Pilihan tidak populer counter-conformity
Pilihan yang tidak popular merujuk pada pemilihan atau penggunaan produk dan merek yang menyimpang dari norma kelompok. Hal ini memunculkan resiko penolakan sosial ketika konsumen membangun perbedaan mereka dari orang lain (Tian, Bearden, & Hunter, 2001). Ziller (dalam Tian, Bearden, & Hunter, 2001) mengusulkan bahwa apabila individu gagal untuk melihat arti membedakan dirinya dari orang lain yang sesuai dan pantas dalam sosial, mereka akan memilih perilaku membedakan mereka dengan orang lain secara negatif.
dengan cara yang sesuai dengan norma (Knight & Kim, 2007). Konsumen yang seperti ini tidak peduli terhadap kritik orang lain. mereka justru cenderung membuat keputusan yang orang lain anggap akan menjadi fenomenal. (Simson & Nowlis, 2000)
c. Menghindari kesamaan.
Menghindari kesamaan merupakan keadaan dimana seseorang kehilangan hasrat atau menghentikan penggunaan terhadap hal yang biasa atau lumrah. Hal tersebut dilakukan untuk membangun kembali perbedaan seseorang (Tian, Bearden, & Hunter, 2001). Menghindari kesamaan juga merujuk pada tindakan merendahkan dan menghindari pembelian produk atau merek yang dirasa umum atau biasa.
4. Fashion Sebagai Atribut Keunikan
Banyak pengikut teori keunikan telah mengenal bahwa terdapat hubungan yang erat antara identitas diri, pakaian, dan keunikan yang dirasakan (Snyder & Fromkin, 1980). Menurut Ries (dalam Valaei & Nikhashemi, 2017), identitas seseorang dapat terlihat dari kesan cara berpakaiannya. Pakaian merupakan cara seseorang untuk mengirim pesan kepada orang lain mengenai dirinya (Ries dalam Valaei & Nikhashemi, 2017). Oleh karena itu, pakaian merupakan salah satu komoditas yang memiliki sinyal khusus sebagai atribut keunikan. (Snyder & Fromkin, 1980).
Peran dari fashion dan pakaian sebagai atribut keunikan pertama kali dikenali oleh pelajar di bidang distribusi fashion dan pemasaran pakaian. (Snyder & Fromkin, 1980). Meskipun keaslian dan edisi terbatas dalam fashion seringkali membuat harga menjadi sangat tinggi, dan memberikan kesan kualitas tinggi, faktor-faktor tersebut juga cenderung digunakan untuk membedakan diri dengan orang banyak (Snyder & Fromkin, 1980).
C. Generasi Y
Generasi Y dipertimbangkan sebagai konsumen yang berpengaruh terhadap ekonomi yang diperkirakan mencapai 600 miliar setiap tahunnya (Kennedy dalam Giovannini, Xu, & Tomas, 2015). Generasi Y yang merupakan anak-anak dari generasi Baby Boomer menggunakan uang keluarganya untuk berbelanja. Mereka juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orangtua mereka dalam menggunakan uang mereka untuk berbelanja (Fernandez & Lean, 2009). Konsumen pada generasi Y telah memulai berbelanja produk mewah pada usia yang lebih muda dibandingkan orangtua mereka. Bahkan konsumen pada generasi Y meningkatkan angka pengeluaran pada segmen fashion premium sebanyak 33% selama di tahun 2011 (Jay, 2012).
1. Karakteristik Generasi Y
Menurut Valentine dan Powers (2013), media utama yang digunakan oleh generasi Y adalah media elektronik. Karena kemudahan menerima informasi melalui media elektronik, konsumen Generasi Y memiliki brand conscious yang tinggi (Giovannini, Xu, & Thomas, 2015). Rasa eksklusif dalam hal yang baru dapat menarik konsumen generasi Y dalam membeli barang (Giovannini, Xu, & Tomas, 2015). Oleh karena itu, konsumen di generasi Y senang membeli produk dari berbagai merek, beragam rentang harga dan prestise yang berbeda (Little, 2012). Konsumen pada generasi Y cenderung memiliki self esteem yang tinggi (Logan, 2008; Giovannini, Xu, & Thomas, 2015). Selain itu, Generasi Y merupakan individu yang memiliki self conscious yang tinggi (Giovannini, Xu, & Thomas, 2015).
D. Dinamika Hubungan Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
dengan Intensi Membeli Produk fashion Premium
premium adalah dari kepribadian konsumen itu sendiri (Howel, 2014; Kotler & Keller, 2012; Quintelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015).
Kepribadian mempengaruhi cara konsumen merespon promosi dari pemasaran, serta mempengaruhi kapan, bagaimana, dan dimana seseorang akan berbelanja. Salah satu teori kepribadian yang berhubungan dan paling sering digunakan untuk pendekatan perilaku konsumen dan paling adalah teori
Trait (Quintelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015). Trait merupakan pola perilaku, sikap, dan emosi yang dimiliki oleh individu dalam jangka panjang (Schiffman & Wisenblit, 2015). Salah satu trait yang dapat digunakan dalam perilaku belanja konsumen adalah kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness). Konsumen dengan kebutuhan akan keunikan (need of uniqueness) yang tinggi memiliki ketertarikan yang lebih terhadap produk baru, dan menampilkan sebagai konsumen yang lebih inovatif dibandingkan dengan konsumen yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang rendah. (Workman & Kidd, 2000). Untuk memenuhi kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness), konsumen akan mencari dan membeli benda yang menurutnya mampu membedakan mereka dengan orang lain (Knight & Kim, 2007).
kesamaan atau perbedaan yang terlalu extrim dengan menjaga tingkat kekhasan diri yang sewajarnya. Hal ini menandakan bahwa ketika seseorang merasa memiliki lebih banyak kesamaan dengan orang lain, ia akan mencari perbedaan atau keunikan (Lynn & Harris, 1997)
Tingkat kesamaan tehadap orang lain seringkali menimbulkan perasaan yang kurang menyenangkan, sehingga orang seringkali mencari hal yang dapat membedakan mereka dari orang lain (Fromkin dalam Lynn & Harris, 1997). Orang yang memiliki keunikan yang tinggi cenderung dikarakteristikan sebagai orang yang independen, non-konformitas, berdaya cipta, dan memiliki keinginan untuk mengekspresikan keunikan mereka melalui perilaku, meskipun beresiko kurang diterima oleh masyarakat. (Fromkin & Lipshitz dalam Workman & Kidd, 2000). Dalam hal berbusana, konsumen yang memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang tinggi akan mencari produk yang berbeda dengan produk pada umumnya, sehingga mereka akan memiliki intensi membeli produk fashion
premium. Hal ini disebabkan konsumen memiliki persepsi bahwa produk
fashion premium merupakan hal yang langka karena pemilik produk fashion
premium yang jumlahnya terbatas (Dubois & Paternaut dalam Laverjadi, 2014). Fashion merupakan hal yang sangat penting bagi sebagian orang.
Pilihan kreatif
E. Skema Hubungan Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
Dengan Intensi Membeli Produk Fashion Premium
Gambar 2. Hubungan kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan Intensi Membeli produk fashion premium
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada masalah dan teori yang telah dipaparkan, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho: Tidak adanya hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium
Hi: Adanya hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium.
Apabila Ho ditolak, maka Hi diterima, artinya terdapat hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium pada Generasi Y. Semakin tinggi kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) seseorang, maka semakin tinggi pula intensi
36
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional dengan desain penelitian survei. Metode kuantitatif bertujuan untuk menguji teori dengan cara meneliti hubungan antar dua atau lebih varibel secara objektif (Supratiknya, 2015). Dalam penelitian kuantitatif, data yang diperoleh berupa angka yang bersifat statistik, dengan tujuan menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2013). Variabel-variabel ini perlu diukur agar data numerik bisa dianalisis secara statistik (Creswell dalam Supratiknya, 2015). Hal tersebut sesuai dengan jenis penelitian ini yang menguji hubungan kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) konsumen terhadap intensi membeli produk fashion premium pada generasi Y.
B. Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2013), variabel merupakan atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan dengan variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang terdiri dari satu variabel tergantung dan satu variabel bebas.
1. Variabel Tergantung (DV)
Variabel tergantung merupakan variabel yang diasumsikan sebagai pengaruh, hasil, atau akibat dari variabel bebas (Supraktiknya, 2015). Variabel tergantung dalam penelitian ini merupakan intensi membeli
fashion premium 2. Variabel Bebas (IV)
Variabel bebas merupakan variabel yang diduga menyebabkan, mempengaruhi, atau berdampak pada sebuah hasil. Variabel bebas diasumsikan sebagai variabel yang menjelaskan sebagian atau keseluruhan variasi pada variabel tergantung (Supratiknya, 2015). Variabel bebas dalam penelitian ini merupakan kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness).
C. Definisi Operasional
1. Intensi Membeli
Intensi membeli merupakan keinginan atau rencana seseorang untuk membeli suatu barang atau produk. Intensi membeli sering digunakan untuk memprediksi perilaku membeli seseorang sebelum terjadi pembelian. Intensi membeli ini diukur melalui skala intensi membeli yang dikembangkan oleh Barber, Kuo, Bishop, dan Goodman (2012). Semakin tinggi skor skala, maka semakin tinggi juga intensi membeli subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor skala, menandakan semakin rendahnya intensi membeli subjek.
2. Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
pilihan kreatif counter-conformity dan dimensi menghindari kesaaman untuk menghindari resiko penolakan sosial. Semakin tinggi skor skala, maka semakin tinggi pula kebutuhan akan kebutuhan (need for uniqueness) subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor skala, menandakan semakin rendah kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) subjek.
D. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian merupakan sampel dari populasi yang dianggap mewakili atau mencerminkan karakteristik populasi aslinya (Supratiknya, 2014). Sampel pada penelitian ini menggunakan Teknik
purposive sampling. Metode purposive sampling adalah metode pengumpulan subjek sebagai sampel berdasarkan kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013). Adapun kriteria dalam penelitian ini adalah orang yang termasuk dalam generasi Y.
diidentifikasi, dan mampu mengekspresikan diri mereka (Lehtonen dan Maenpaa, dalam Bakewell & Mitchell 2003).
Untuk menjangkau subjek dengan jarak yang jauh dan efisiensi waktu, peneliti menggunakan google form untuk menyebarkan kuisioner. Peneliti meminta bantuan teman-teman untuk mengisi kuisioner. Peneliti juga meminta bantuan dari sebagian teman-teman untuk menyebarkan ke teman-teman yang lain.
E. Metode Pengumpulan Data
Skala dalam penelitian ini memiliki empat pilihan jawaban, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (setuju), 4 (sangat setuju). Skala ini tidak menggunakan alternatif jawaban pilihan jawaban netral agar menghindari kecenderungan subjek memilih kategori tersebut demi mencari aman (Supratiknya, 2014).
1. Skala Intensi Membeli
Variabel intensi membeli diukur menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Barber, Kuo, Bishop, dan Goodman (2012). Skala ini berjumlah empat item yang mengukur intensi membeli. Setiap pernyataan memiliki empat pilihan jawaban, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (setuju), 4 (sangat setuju).
Tabel 1
Distribusi Item skala Intensi Membeli fashion premium
Variabel No item Jumlah item Intensi membeli
fashion premium
1,2,3,4 4
2. Skala Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness)
item, dimensi pilihan tidak populer counter-conformity terdiri dari 10 item, dan dimensi menghindari kesamaan terdiri dari 9 item. Untuk menghindari resiko penolakan sosial dalam mengukur kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness), penelitian ini hanya menggunakan dua dimensi, yaitu pilihan kreatif counter-conformity dan menghindari kesamaan (Stiglbauer & Kovacs, 2018). Hal ini disebabkan karena, meskipun konsumen ingin mengexpresikan keunikan, mereka tetap ingin menjaga norma sosial (Knight & Kim, 2007). Oleh karena itu, skala yang digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan 20 item dari dua dimensi.
Tabel 2
Distribusi Item Skala Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
Variabel Dimensi Nomor item Jumlah
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Validitas
Kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang berasal dari bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses adaptasi skala ke dalam Bahasa Indonesia. Tahap pertama proses adaptasi adalah dengan menerjemahkan skala dalam Bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tahapan kedua yaitu back translation, dimana hasil terjemahan tahap pertama diubah lagi ke dalam Bahasa Inggris untuk melihat konsistensi makna. Kemudian tahap ketiga yaitu membandingkan skala asli dengan skala yang terlah sudah dterjemahkan oleh orang yang ahli dalam Bahasa Inggris.
peneliti meminta Dosen pembimbing yang dirasa peneliti mampu dan kompeten dalam memberikan penilaian pada keseluruhan item.
2. Daya Diskriminnasi Item
Setelah melakukan adaptasi dan validasis, kedua skala diujicobakan kepada sampel yang memiliki karakteristik yang sama dengan sasaran populasi yang sesungguhnya. Uji coba dilakukan untuk melihat dan menguji kualitas dari setiap item dalam mengukur variabel, sehingga dapat dipastikan bahwa skala yang digunakan bersifat homogen dan memiliki daya diskriminasi yang tinggi (Supratiknya, 2014). Pelaksanaan uji coba skala dilakukan pada tanggal 15 hingga 17 Mei 2018 yang disebarkan secara online menggunakan fasilitas Google Form kepada 68 responden yang merupakan mahasiswa dan mahasiswi Universitas Sanata Dharma yang tergolong dalam generasi Y. Dari 68 data yang disebar, semua dapat dianalisis, karena semua memenuhi syarat untuk dianalisis, yang berarti semua data diisi dengan lengkap, tidak ada yang terlewati, dan semua subjek memenuhi kriteria penelitian.
Setelah respon terkumpul, tahap pertama yang dilakukan untuk menguji daya dikriminasi item adalah menghitung korelasi item total. Teknik yang digunakan untuk menghitung korelasi item total adalah
yang bagus adalah item yang memiliki nilai rit yang lebih besar dari 0,3. Sedangkan, item yang memiliki rit di bawah 0,3 dapat diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya diskriminasi yang rendah, sehingga lebih baik tidak digunakan atau diperbaiki setelah itu diuji cobakan kembali (Supratiknya, 2014).
Hampir semua item-item pada skala kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dalam penelitian ini memiliki skor lebih besar daripada 0.3, sehingga dapat dikatakan item-item pada variabel kebutuhan akan keunikan in memiliki daya diskriminasi yang baik. Hanya terdapat 1 item yang memiliki skor di bawah 0.3, yaitu item ke-14 yang memiliki skor sebesar 0.281. Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan perbaikan pada item tersebut. Sedangkan untuk variabel intensi membeli fashion premium, rentang skor korelasi item total adalah 0.401 hingga 0.689. Hal tersebut menandakan seluruh item dapat dikatakan memiliki daya diskriminasi yang baik karena memiliki skor yang lebih besar daripada 0.3.
3. Reliabilitas
Reliabilitas menurut Supratiknya (2014) merupakan konsistensi dari hasil pengukuran apabila pengukuran dilakukan berulang kali terhadap suatu populasi individu atau kelompok. Reliabilitas dapat diukur dengan menghitung koefisien reliabilitas Alpha Cronbach
yang baik apabila memiliki koefisien minimum 0.70 (Supratiknya, 2014)
Dalam penelitian ini, estimasi reliabilitas dilakukan dengan menggunakan alpha cronbach. Pada skala kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) didapati nilai reliabilitas α=0.929. Sedangkan pada skala intensi membeli didapati α=0.783. Kedua hasil uji reliabilitas tersebut tergolong memadai untuk digunakan dalam penelitian, karena memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0.70
G. Teknik Analisis Data
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
b. Uji Linearitas
Uji Linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang hendak dianalilsis memiliki hubungan yang linear, sehingga penurunan atau peningkatan di satu variabel akan diikuti oleh penurunan atau peningkatan di variabel lainnya secara linear. Sebuah data dikatakan linear apabila memiliki p < 0.05 (Santoso, 2010).
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis akan dilakukan dengan statistik parametrik yaitu
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2018 hingga 11 Juni 2018. Kuesioner disebarkan secara online melalui google form. Peneliti memilih penyebaran kuisioner secara online agar penyebaran lebih efisien waktu dan dapat menjangkau subjek dengan jarak jauh. Skala online ini terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama berisi pernyataan-pernyataan yang bertujuan untuk mengukur kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness), sedangkan di bagian kedua berisikan pernyataan yang bertujuan untuk mengukur intensi membeli produk fashion premium. Peneliti meminta bantuan teman-teman untuk mengisi kuisioner, kemudian meminta bantuan teman-teman untuk menyebarkan kuisioner ini ke teman-teman yang lain. Total subjek mengisi kuisioner sebanyak 241 orang, 1 subjek digugurkan karena salah satu subjek mengisi kuisioner sebanyak dua kali, sehingga total subjek yang terkumpul sebanyak 240 orang.
B. Deskripsi Subjek Penelitian
Tabel 3
Data Subjek Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Presentase
18 3 1.3%
19 3 1.3%
20 20 8.3%
21 68 28%
22 79 32.9%
23 24 10%
24 10 4.2%
25 13 5.4%
26 7 2.9%
27 6 2.5%
29 2 0.8%
30 2 0.8%
33 2 0.8%
26 2 0.8%
Sebanyak 10 subjek berusia 24 tahun, dengan presentase 10%. Terdapat 7 subjek yang berusia 26 tahun, dengan presentase 2.9%. Terdapat 6 subjek berusia 27 tahun, dengan presentase 2.5%. Kemudian subjek yang berusia 18 dan 19 tahun masing berjumlah 3 orang dengan presentase masing-masing 1.3%. Subjek yang berusia 30, 33, dan 36 tahun masing-masing-masing-masing berjumlah 2 orang, dengan presentase masing-masing 0.8%.
Tabel 4
Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Presentasi
Perempuan 169 70.4%
Laki-laki 71 29.6%
Dari tabel 2 di atas, dapat kita lihat subjek didominasi oleh jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 169 subjek atau sebesar 70.4%. Sedangkan subjek laki-laki berjumlah 71 orang, dengan presentase 29.6%.
C. Deskripsi Data Penelitian
untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara mean
Dari tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa variabel kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) memiliki mean teoritik sebesar 50, sedangkan mean empiris sebesar 47.17. Kemudian nilai signifikansi dari variabel kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) sebesar 0.000 (<0.05). Hal tersebut menandakan bahwa subjek pada penelitian ini memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang cenderung rendah dan signifikan.
signifikansi 0.000 (<0.05). Hal ini menandakan bahwa subjek dalalm penelitian ini memiliki intensi membeli yang cenderung tinggi dan signifikan
D. Analisis Data Penelitian
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas data pada penelitan ini menggunakan analisis
Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS for windows versi 18. Umumnya data dikatakan normal apabila hasil uji normalitas memiliki nilai p > 0,05. Sebaliknya, data dikatakan tidak normal jika hasil uji normalitas memiliki p < 0,05 (Santoso, 2010).
Tabel 6
Hasil uji normalitas
Variabel Kolmogorov-smirnov (sig.) Keterangan Kebutuhan akan
keunikan (need for uniqueness)
0.064 Normal
Intensi membeli 0.000 Tidak Normal
bahwa data terdistribusi secara tidak normal. Hal ini dikarenakan nilai signifikansi lebih kecil dari pada 0.05 (p < 0.05).
b. Uji Linearitas
Dalam penelitian ini, uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli memiliki hubungan yang linear. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan SPSS for windows versi 18. Pada umumnya, hubungan antar variabel dikatakan linear apabila p<0.05. Sebaliknya, apabila p > 0.05, maka hubungan antar variabel dinyatakan tidak linear.
Tabel 7
HasilTest of Linearity
Variabel F Linearity Sig.
Gambar 3. Grafik Scatterplot
Dari Grafik 1 diatas, dapat kita lihat bahwa titik-titik cenderung membentuk susunan garis horizontal ke atas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang linear. Dalam grafik 1 juga dapat dilihat ada beberapap outlier yang memungkinkan heterogenitas varians
2. Uji Hipotesis
kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli (Raharjo, 2015). Hasil uji korelasi bersifat positif menandakan bahwa setiap kenaikan nilai variabel bebas akan meningkatkan nilai variabel terikat. Sebaliknya, hasil uji korelasi yang bersifat negatif menandakan bahwa setiap kenaikan nilai variabel bebas akan menurunkan nilai variabel terikat. Berikut pembagian kriteria koefisien korelasi (Budi, 2006; Raharjo, 2015):
Tabel 8
Kriteria Koefisien Korelasi
0.00 sampai 0.20 Hampir tidak ada korelasi 0.21 sampai 0.40 Korelasi rendah
Tabel 9
Hasil Uji Hipotesis Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan Intensi Membeli fashion Premium
E. Analisis Data Tambahan
Sebagai bahan pertimbangan, peneliti juga menguji tingkat kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dan intensi membeli khusus pada pria dan wanita.
Tabel 10
Uji Beda Mean Teoritik dan Mean Empirik pada Subjek Perempuan
Variabel Mean Teoritik Mean Empirik .Sig SD
Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness)
50 46.98 0.000 11.048
Intensi Membeli
Fashion
Premium
10 10.929 0.000 2.523
memiliki kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) yang rendah dan signifikan.
Kemudian pada variabel intensi membeli pada subjek perempuan pada tabel 8, diperoleh mean teoritik sebesar 10, sedangkan mean empirisnya sebesar 10.929. Variabel intensi membeli produk premium pada subjek wanita ini memiliki nilai signifikasi sebesar 0.000 (< 0.05). Hasil menunjukan bahwa mean empiris variabel intensi membeli produk premium pada subjek wanita lebih besar daripada mean teoritisnya. Hal tersebut menandakan bahwa subjek perempuan pada penelitian ini memiliki intensi membeli produk fashion
premium yang tinggi dan signifikan. Tabel 11
Uji beda Mean Teoritik dan Mean Empirik pada Subjek Laki-laki
Variabel Mean Teoritik Mean Empirik .Sig SD
Kebutuhan akan Keunikan (Need for Uniqueness)
50 47.62 0.066 10.743
Intensi Membeli
Fashion Premium
10 10.014 0.964 2.648
yang signifikan antara mean empirik dan mean teoritik variabel kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) pada subjek laki-laki.
Kemudian, hasil uji data dari one sample t test variabel intensi membeli pada subjek laki-laki memiliki mean teoritik sebesar 10, sedangkan mean empirisnya sebesar 10.01. Hal ini menunjukan bahwa mean empiris lebih besar daripada mean teoritik. Sedangkan nilai signifikansi dari variabel intensi membeli produk fashion premium pada subjek laki-laki sebesar 0.964. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara mean teoritik dan mean empirik variabel intensi membeli fashion
premium pada subjek laki-laki.
F. Pembahasan
yang telah ditentukan, bahwa terdapat hubungan antara kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) dengan intensi membeli produk fashion premium, sehingga dapat disimpulkan H0 ditolak.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lajevardi (2014) yang menyatakan bahwa kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) memiliki hubungan yang positif terhadap intensi membeli produk mewah. Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) akan mendorong seseorang untuk membeli barang untuk membedakan dirinya dengan orang lain (Tian, Bearden, & Hunter, 2001). Konsumen memiliki persepsi bahwa produk fashion premium merupakan hal yang langka. Hal ini disebabkan karena pemilik produk fashion premium yang jumlahnya terbatas (Dubois & Paternaut dalam Laverjadi, 2014).
seseorang memiliki intensi untuk membeli produk premium (Howel, 2014; Kotler & Keller, 2012; Quintelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015). Kepribadian dapat mempengaruhi bagaimana seseorang merespon promosi pemasaran produk. Selain itu kepribadian juga mempengaruhi kapan, bagaimana, dan dimana seseorang akan berbelanja (Schifman & Wisenblit, 2015). Teori Kepribadian yang paling sering digunakan dalam konteks perilaku konsumen adalah Teori Trait (Howel, 2014; Quitelier, 2014; Schiffman & Wisenblit, 2015).
Kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) merupakan sifat manusia yang cenderung melakukan pencarian atau pengejaran akan perbedaan terhadap orang lain melalui akuisisi, pemanfaatan, dan disposisi barang atau produk untuk mengingkatkan citra diri dan identitas sosialnya (Knight & Kim, 2007; Schiffman & Wisenblit, 2015; Tian, Bearden, & Hunter 2001). Menurut Fromkin dan Lipshitz (dalam Workman & Kidd, 2000), orang yang memiliki keunikan yang tinggi dapat dikarakteristikan sebagai orang yang, non-konformitas, berdaya cipta, dan memiliki keinginan untuk mengekspresikan keunikan mereka melalui perilaku, meskipun beresiko kurang diterima oleh masyarakat.
merupakan hal yang sangat penting bagi sebagian orang. Fashion
mempengaruhi banyak aspek dari kehidupan, salah satunya sebagai alat bagi konsumen untuk mengekspresikan dirinya dan menciptakan identitas (Sudha & Shena, 2017).
Menurut Frank dan Chong (dalam Jang, Kim, & Bonn, 2011), generasi Y memiliki pendapatan disposable yang lebih dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal tersebut didukung dengan generasi Y yang telah terakulturasi menjadi lebih materialistik daripada generasi-generasi sebelumnya. (Bakewell & Mitchell, 2003). Para konsumen, khususnya yang berusia masih muda memiliki kebutuhan untuk menonjolkan self image mereka dengan memiliki penampilan yang keren dan berbeda dengan orang lain (Knight & Kim, 2007). Oleh karena itu, generasi Y secara umum menyukai merek yang memiliki identitas berdasarkan nilai yang dapat diidentifikasi, dan mampu mengekspresikan diri mereka (Taylor, 2012; Knight & Kim, 2007).