• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

2.2 Dampak Penggunaan Pestisida

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida

Keluarga petani yang tinggal di kawasan pertanian meskipun tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pertanian juga memiliki risiko kontak dengan pestisida melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun tanah. Kebiasaan petani dalam penanganan pestisida pasca penyemprotan ( take-home pathway) oleh Fenske et al., (2000), dan Curl et al., (2002), diantaranya membawa pakaian kerja pulang tanpa dibersihkan terlebih dahulu, membawa atau menyimpan sisa pestisida dan kemasan pestisida dengan tidak aman dari jangkauan anak-anak diidentifikasikan sebagai sumber utama paparan pestisida pada keluarga petani.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida dan gangguan kesehatan lainnya pada petani diantaranya dapat dibedakan menjadi dua kelompok meliputi faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor eksternal

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida diantaranya sebagai berikut.

1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan

Suhu lingkungan berkaitan dengan pengaruh penguapan melalui keringat petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35oC. Suhu lingkungan pada saat penyemprotan juga berkaitan dengan waktu penyemprotan yang sesuai sehingga menurut Sartono (2002), secara umum disarankan waktu yang baik untuk melakukan penyemprotan pestisida adalah pada

24

pagi hari pukul 07.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-18.00 (Budiawan, 2013). Waktu penyemprotan pestisida berkaitan dengan suhu lingkungan yang mana penyemprotan pestisida pada siang hari dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah selain itu kondisi panas yang terik menyebabkan kecenderungan petani menyeka APD karena kondisi panas (Dahlan, 2009).

2. Arah kecepatan angin

Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin sehingga kabut semprot tidak mengarah kepada penyemprot dan sebaiknya penyemprotan dilakukan pada kecepatan angin dibawah 750 mil permenit. Petani yang melakukan penyemprotan melawan arah angin memiliki risiko 1,54 kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menyemprot mengikuti arah angin dengan nilai OR 1,54 ; 95%CI : 1,20-1,94 (Kim et al., 2013).

3. Dosis pestisida

Pestisida merupakan racun sehingga jika penggunaan dosisnya ditingkatkan dapat mempermudah terjadinya keracunan karena efek toksik juga akan meningkat. Berkaitan dengan penggunaan pestisida yang juga sering menjadi masalah adalah dalam penentuan dosis, dimana dalam anjuran pakai pestisida untuk dosis cair rata-rata 1,5 - 2,5 cc per 1 liter air sedangkan untuk pestisida bubuk 1,5 – 2,5 gram per 1 liter air. Tangki yang umum digunakan berkapasitas 17 liter. Dalam perhitungan luas tanaman 1 hektar diperlukan sekitar 500 liter pestisida yang sudah dilarutkan dalam air untuk satu kali penyemprotan.

25

Kim et al., (2013) menyatakan bahwa penggunaan dosis pestisida tanpa mengikuti label instruksi kemasan pestisida meningkatkan risiko keracunan akut sebesar 1,61 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengikuti label instruksi kemasan pestisida dengan nilai OR 1,61; 95% CI 1,21-213.

4. Lama penyemprotan

Semakin lama seseorang kontak dengan pestisida, semakin besar risiko mengalami keracunan, penyemprotan hendaknya tidak melebihi 4-5 jam secara terus-menerus dalam sehari. Hasil penelitian oleh Mahyuni (2015), menunjukkan bahwa lama menyemprot berhubungan dengan keracunan pestisida pada petani bawang merah di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dengan nilai p value kurang dari 0,05 (0,018<0,05). Selain itu hasil penelitian oleh Nasruddin (2001), menyatakan bahwa petani yang melakukan penyemprotan lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami keracunan (OR 3,32; 95% CI 1,39 6,14).

5. Masa kerja

Semakin lama seseorang menjadi petani maka semakin banyak pula kemungkinan untuk kontak dengan pestisida sehingga risiko untuk mengalami keracunan juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), disebutkan bahwa masa kerja > 10 tahun berhubungan dengan kejadian iritasi kulit pada petani dengan nilai p value < 0,05 (0,03<0,05). Hasil penelitian oleh Zuraida (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan kesehatan pada petani dimana dijelaskan bahwa petani petani yang memiliki masa kerja < 5 tahun dianggap pengetahuan dalam menggunakan

26

pestisida lebih baik daripada petani yang memiliki masa kerja sudah lebih dari 10 sehingga lebih mampu untuk menjaga kesehatannya pada saat akan kontak dengan pestisida.

6. Jenis lahan dan tinggi tanaman yang disemprot

Jenis lahan pertanian khususnya hortikultura dapat berupa ladang terbuka dan juga greenhouse. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa jenis lahan greenhouse bukan merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 0,55; 95% CI 0,24-1,29) selain itu jenis tanaman yang ditanam akan berkaitan dengan tinggi tanaman yang disemprot karena semakin tinggi tanaman maka petani cenderung mendapat pemaparan yang lebih besar.

7. Luas lahan

Luas lahan yang digarap oleh petani memberikan risiko kepada petani untuk mengalami keracunan. Hal ini dikaitkan dengan lama kontak petani dengan pestisida semakin luas lahan yang digarap kemungkinan untuk mengalami

keracunan akan meningkat, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) yaitu petani yang menggarap lahan ≥ 1 ha memiliki risiko 1,9

kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan < 1 ha (OR 1,90 ; 95% CI 1,53-2,53).

8. Kebiasaan memakai alat pelindung diri

Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang akan mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. Hasil uji regresi logistik multinomial dalam penelitian Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa risiko keracunan pestisida akut meningkat pada petani yang tidak memakai

27

masker (OR 1,46; 95% CI 1,04-2,06) sedangkan hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak lengkap berhubungan dengan gejala iritasi pada petani pengguna pestisida dengan nilai p adalah 0,004 dan hasil uji regresi pemakaian APD sebagai faktor protektif dengan nilai (OR 0.61; 95% CI 0.40-0.92).

9. Jenis pestisida

Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada dalam pestisida. Hasil penelitian Butinof (2015), menyatakan bahwa mencampur pestisida atau mengaplikasikan pestisida lebih dari 10 jenis dalam sekali campuran meningkatkan risiko terjadinya gejala iritasi pada kulit (OR 1,56; 95%CI: 1.04-2.35). Hasil penelitian di Kecamatan Kersana oleh Siwiendayanti (2011), menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu yang sama menimbulkan efek sinergistik dan memberikan risiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar pula.

10.Frekuensi menyemprot

Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko keracunan karena menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi lebih tinggi. Namun hasil penelitian oleh Mahyuni (2015) menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (0,406>0,05). Petani yang melakukan penyemprotan pestisida ≥ 2 kali dalam seminggu memiliki risiko 4,95 kali lebih

28

tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07 (Mualim, 2002).

11.Pengelolaan pestisida

Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51; 95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI 1,182-5,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

12.Jenis alat semprot

Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar 0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat, menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke tempat lainnya) yang dialami penyemprot. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),

29

penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05).

13.Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot. Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pestisida.

Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88% dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot. Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih dikenakan untuk aktivitas selanjutnya.

30

b. Faktor internal

Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai berikut.

1. Umur petani

Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17).

2. Jenis kelamin

Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dengan nilai p 0,697 > 0,05.

3. Status gizi

Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap kadar enzim yang bahan dasarnya adalah protein. Status gizi pada orang dewasa

31

dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62).

4. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05).

5. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya keracunan dapat dihindari.Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keracunan pestisida pada petani dengan nilai p>0,05 (0,423>0,05).

Dokumen terkait