i
TESIS
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI
HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA
PANCASARI KECAMATAN SUKASADA
KABUPATEN BULELENG
IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
TESIS
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI
HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA
PANCASARI KECAMATAN SUKASADA
KABUPATEN BULELENG
IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA
NIM 1492161047
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI
HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA
PANCASARI KECAMATAN SUKASADA
KABUPATEN BULELENG
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA
NIM 1492161047
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
oleh Panitia Penguji pada
Progam Pascasarjana Universitas Udayana
pada Tanggal 18 Juli 2016
Berdasarkan SK Rektorat Universitas Udayana
No.
: 3257/UN 14.4/HK/2016
Tanggal
: 18 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis adalah:
Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
Anggota :
v
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: Ida Ayu Dwi Astuti Minaka
NIM
: 1492161047
Program Studi
: Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis
: Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Keluhan
Kesehatan Petani Hortikultura dan Keluarganya di Desa
Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,
tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Denpasar, Juli 2016
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan anugrah-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan p
enelitian yang berjudul “
Penggunaan Pestisida dan
Hubungannya dengan Keluhan Kesehatan Petani Hortikultura dan
Keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng
”
tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. dr.
Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang telah berkenan
memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh bimbingan dan arahan
selama penulis menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula
penulis sampaikan kepada Ibu dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH selaku
pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan
bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis.
Ucapan terima kasih penulis juga tujukan kepada Rektor Universitas
Udayana Bapak Prof. Dr. dr.I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih
ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Ibu Prof. Dr. dr.A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada Bapak Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS MIKM
Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada sekretariat PS MIKM Universitas Udayana, Koordinator Peminatan
Epidemiologi Lapangan PS MIKM Universitas Udayana, dan seluruh dosen dan
staf PS MIKM Universitas Udayana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Desa
Pancasari, Ketua Gapoktan Desa Pancasari dan seluruh pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan ijin serta telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Akhirnya penulis ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua beserta keluarga besar
penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis
untuk menyelesaikan penelitian ini.
Denpasar, Juli 2016
vii
ABSTRAK
PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KELUHAN KESEHATAN PETANI HORTIKULTURA DAN
KELUARGANYA DI DESA PANCASARI KECAMATAN SUKASADA
KABUPATEN BULELENG
Pestisida digunakan secara luas dalam bidang pertanian untuk membunuh
organisme pengganggu tanaman. WHO memperkirakan bahwa keracunan
pestisida menyumbang 300.000 kematian per tahun diseluruh dunia terutama di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Desa Pancasari merupakan
salah satu daerah pertanian di Provinsi Bali dengan penggunaan pestisida yang
tinggi. Hasil pemeriksaan
cholinesterase
di desa tersebut menemukan tingkat
keracunan pada petani yang tinggi dibandingkan dengan desa-desa pertanian
lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku penggunaan pestisida,
alat pelindung diri (APD) dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani.
Penelitian survei
cross sectional
dilakukan pada 87 petani hortikultura di
Desa Pancasari. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan
kuesioner dan observasi. Data tentang karakteristik sosiodemografi, pengetahuan
dan perilaku dalam menggunakan pestisida dan APD dihubungkan dengan
keluhan kesehatan akibat pestisida (sakit kepala, gatal-gatal, kelelahan meningkat
dan mual). Keluhan kesehatan ditentukan apabila terdapat minimal dua keluhan
dari empat keluhan tersebut. Hubungan kedua variabel pada analisis bivariat
menggunakan uji
chi square
dan analisis multivariate menggunakan uji regresi
logistic.
Mayoritas (94,3%) petani beru
mur ≥30 tahun, jenis kelamin laki
-laki
(81,6%) dengan pendidikan menengah kebawah (78,2%). Lebih dari setengahnya
(54,1%) petani memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pestisida dan
APD namun perilakunya masih buruk. Sebanyak 60,9% petani dijumpai
mengalami keluhan kesehatan spesifik akibat pestisida dengan faktor-faktor yang
terbukti berhubungan yaitu menggunakan pestisida golongan organophosfat
(AOR=3,74; 95% CI: 1,33-10,48), lama hari pemakaian baju kerja sebelum dicuci
(AOR=1,37; 95% CI: 1,08-1,75), tidak menggunakan baju panjang pada saat
pencampuran (AOR=0,25;95% CI: 0,09-0,76) dan masker pada saat
penyemprotan (AOR=0,18; 95% CI: 0,05-0,69).
Risiko paparan pestisida tidak hanya terjadi pada petani penyemprot saat
penyemprotan namun juga terjadi mulai dari pencampuran sampai dengan
penanganan pestisida serta aktifitas lainnya di areal pertanian. Hal ini juga
ditunjukkan dengan adanya keluhan kesehatan pada keluarga petani yang hampir
sama dengan keluhan spesifik dari petani penyemprot diantaranya sakit kepala,
gatal-gatal dan mual. Hasil analisis kluster menunjukkan separuh keluarga petani
masih dalam paparan risiko rendah (44,83%) sedangkan sisanya berada dalam
risiko sedang (47,12%) dan tinggi (8,05%).
viii
ABSTRACT
PESTICIDE USE AND THE CORRELATION WITH HEALTH
COMPLAINTS AMONG HORTICULTURE FARMER AND THEIR
FAMILY IN PANCASARI SUKASADA BULELENG
Pesticides are widely used in agricultural production to prevent or control
pests, diseases, weeds, and other plant pathogens. According to estimates by the
World Health Organization (WHO) that 300.000 death cases of pesticide
intoxication occur in workers who work in agriculture regions especially in
low-middle income country. Pancasari is one of the agricultural centers on the
Province of Bali which still uses the high level of chemical pesticides. Based on
the result of cholinesterase examination was conducted in this region, the toxicity
to the famers is considered in high level compared with other famers in other
different villages. This study aims to discover the behavior of horticulture farmers
in using pesticide, personal protective equipments (PPE) and the correlation with
their health complaints.
The method of this study was based on cross
–
sectional which was carried
out on eighty seven (87) horticulture farmers (respondents) who were selected
purposively as the samples of this research. The respondents (famers) were
interviewed and observed directly by means of structured questionnaires and
observations papers. The characteristics of the sosiodemografi data, the
knowledge and the behavior in using pesticides, and personal protective
equipments were related to the health complaints due to poison effect of pesticide
use (headache, skin irritation, fatigue and nausea).The indication of health
complaints were determined by, at least, two minimal health complaint categories
among four common health complaints. The correlation of both variables which
based on bivariat analysis uses chi square test and multivariate analysis which
uses logistic regression test.
Majority of the farmers (94.3%) were under 30 years old and 81.6%
among them were male with secondary education down (78.2). Actually, more
than a half (51.4%) of the farmers had good enough knowledge about pesticide
and personal protective equipments. However, in terms of the implementation,
they had bad and risky behaviors. The majority of the farmers (60.9%) in this
study were suffering from specific health complaints due to the poison effects of
the type of organophosfat pesticide use (AOR =3.74 ;95% CI : 1.33-10.48), the
couple day use of work cloth before being washed ( AOR=1.37 ; 95% CI :
1.08-1.75), no using long sleeves when mixing process of pesticide ( AOR =0.25 ; 95%
CI : 0.09-0.76), no using mask when spraying activity (AOR=0.18;95% CI
:0.05-0.69).
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ... i
SAMPUL DALAM ... ii
LEMBAR PERSYARATAN GELAR ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT
... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3
Tujuan Penelitian ... 7
1.3.1 Tujuan Umum ... 7
1.3.2
Tujuan Khusus ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.4.1
Manfaat Praktis ... 8
1.4.2
Manfaat Teoritis ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pestisida ... 10
2.1.1
Pengertian Pestisida ... 10
2.1.2
Penggolongan Pestisida ... 10
2.1.3
Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida ... 17
x
2.2.1
Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan ... 20
2.2.2
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Keracunan
Pestisida ... 23
2.2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku/Praktik ... 31
BAB III KERANGKA
BERPIKIR,
KONSEP
DAN
HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir ... 34
3.2 Konsep Penelitian ... 36
3.3 Hipotesis ... 37
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian ... 38
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
4.2.1 Tempat Penelitian ... 38
4.2.2 Waktu Penelitian ... 39
4.3
Ruang Lingkup Penelitian ... 39
4.4
Penentuan Sumber Data ... 39
4.4.1
Populasi Penelitian... 39
4.4.2
Kriteria Sampel Penelitian ... 39
4.4.3
Teknik Pengambilan Sampel ... 41
4.4.4
Cara Pengambilan Sampel ... 41
4.5
Variabel Penelitian ... 42
4.5.1
Variabel Penelitian... 42
4.5.2
Definisi Operasional ... 43
4.6
Instrumen Pengumpulan Data ... 51
4.7
Prosedur Pengumpulan Data ... 51
4.7.1
Pengumpulan Data Awal ... 51
4.7.2
Pengumpulan Data Penelitian ... 52
4.7.3
Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan ... 52
4.8
Pengolahan dan Analisis Data ... 52
4.8.1 Pengolahan Data... 52
xi
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1
Karakteristik Sampel Penelitian ... 59
5.2
Pengetahuan Petani tentang Pestisida, APD dan Dampaknya
Terhadap Kesehatan ... 60
5.3
Karakteristik Pestisida yang Digunakan Petani di Desa
Pancasari ... 62
5.4
Perilaku Penggunaan Pestisida dan APD ... 64
5.5
Peranan Keluarga Petani dalam Aktifitas Pertanian dan
Penggunaan APD pada Keluarga Petani ... 68
5.6
Keluhan Kesehatan Petani dan Keluarganya ... 69
5.7
Hubungan Penggunaan Pestisida dengan Keluhan Kesehatan
Petani ... 70
5.8
Hubungan antara Jenis Pestisida dan Penggunaan APD dengan
Keluhan Kesehatan Pada Petani ... 73
5.9
Risiko Keluarga Petani Akibat Paparan Pestisida Berdasarkan
Aktifitasnya dalam Pertanian ... 75
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pengetahuan dan Perilaku Penggunaan Pestisida dan APD
pada Petani di Desa Pancasari ... 78
6.2 Perilaku Penggunaan Pestisida yang Tidak Sesuai dengan
Regulasi ... 83
6.3 Keluhan Kesehatan Petani Pengguna Pestisida dan
Keluarganya ... 86
6.4 Faktor-Faktor yang Tidak Signifikan Berhubungan dengan
Keluhan Kesehatan ... 92
6.5 Keterbatasan Penelitian ... 94
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ... 95
7.2 Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 98
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Definisi Operasional ... 43
Tabel 5.1 Karakteristik Sosiodemografi Petani dan Keluarganya di Desa
Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 60
Tabel 5.2 Tingkat Pengetahuan Petani di Desa Pancasari Kecamatan
Sukasada Kabupaten Buleleng tentang Pestisida, APD dan
Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan ... 61
Tabel 5.3 Karakteristik Pestisida yang Digunakan Petani di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 63
Tabel 5.4 Perilaku Petani dalam Penggunaan Pestisida di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 64
Tabel 5.5 Persentase Petani yang Tidak Menggunakan APD pada Saat
Menggunakan Pestisida di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada
Kabupaten Buleleng ... 67
Tabel 5.6 Peranan dalam Aktifitas Pertanian dan Persentase yang Tidak
Menggunakan APD pada Keluarga Petani di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 68
Tabel 5.7 Keluhan Kesehatan Petani dan Keluarganya di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 69
Tabel 5.8 Hubungan Penggunaan Pestisida dengan Keluhan Kesehatan
Petani di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten
Buleleng ... 71
Tabel 5.9 Adjusted OR Keluhan Kesehatan pada Petani Pengguna Pestisida
di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 74
Tabel 5.10 Risiko Keluarga Petani Akibat Paparan Pestisida Berdasarkan
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ACHe
:
Asetilcholinesterase
ADHD
: Attention Deficit
Hyperactivity Disorder
AOR
:
Addjusted Odds Ratio
ASEAN
:
Association of Southeast Asian Nations
BPS
: Badan Pusat Statistik
BPTPH
: Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura
CI
:
Confidence Interval
EP
:
Emulsifable Concentrate
INOFICE
: Indonesia Organic Farming Certification
Kesbangpol
: Kesatuan Bangsa dan Politik
OPT
: Organisme Pengganggu Tanaman
OSHANET
: Occupational Safety and Health Administration
OR
:
Odds Ratio
Permentan
: Peraturan Menteri Pertanian
RI
: Republik Indonesia
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
WHO
:
World Health Organization
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Partisipasi Dalam Penelitian ... 104
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 105
Lampiran 3. Kuesioner (Petani Penyemprot Pestisida) ... 106
Lampiran 4. Kuesioner (Istri/Suami dan Anak petani penyemprot pestisida) 115
Lampiran 5. Karakteristik pestisida yang digunakan di wilayah Desa
Pancasari ... 119
Lampiran 6. Nama dagang, jenis bahan aktif dan golongan pestisida
yang digunakan oleh petani di Desa Pancasari ... 120
Lampiran 7. Keluhan Kesehatan Pada Petani Penyemprot Pestisida... 121
Lampiran 8. Kelompok keluarga petani berdasarkan alamat tinggal,
pendidikan dan keluhan kesehatan ... 122
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian ... 123
Lampiran 10. Hasil analisis bivariat, multivariat dan hasil analisis kluster
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bidang pertanian saat ini masih merupakan aktivitas perekonomian
terbesar salah satunya di Indonesia. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di
sektor pertanian. Jumlah angkatan kerja di bidang pertanian berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia hingga bulan Agustus 2014 mencapai
38,97% dari total 151,9 juta angkatan kerja (BPS,2014).
Secara luas pestisida dalam bidang pertanian digunakan untuk membunuh
organisme pengganggu tanaman (OPT) dan merupakan zat yang dapat bersifat
racun (WHO, 2006; Permentan, 2007). Penggunaan pestisida di dunia mencapai
3,5 juta ton pertahun dimana pengguna terbanyak pestisida dengan jenis highly
toxic adalah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia (Perveen,2011).
Berdasarkan data dari INOFICE (Indonesia Organic Farming
Certification) disebutkan bahwa jumlah formula pestisida yang terdaftar di
Indonesia meningkat sangat signifikan. Pada tahun 1996 terdaftar 520 formula,
meningkat hampir tiga kali lipat di tahun 2006 menjadi 1.300 formula. Berikutnya
meningkat hampir tiga kali lipat di tahun 2015 mencapai 3.459 formula (per bulan
Mei) atau dalam 9 tahun terakhir jumlah rata-rata formula yang didaftarkan per
tahun mencapai sekitar 240 formula.
Peranan pestisida dalam sistem pertanian menjadi dilema yang sangat
2
namun di sisi lain pestisida memberikan dampak negatif baik terhadap kesehatan
manusia maupun terhadap kesehatan lingkungan. Data dari database ASEAN
OSHANET dan ILO dalam Haerani (2010), menunjukkan bahwa kecelakaan kerja
termasuk keracunan pestisida di Indonesia yang terjadi di industri pertanian
menduduki tempat kedua atau ketiga terbesar dibanding industri lain. WHO
memperkirakan bahwa keracunan pestisida menyumbang 300.000 kematian per
tahun di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Goel dan Aggarwal 2007).
Dalam Afriyanto (2008), dikemukakan oleh Asosiasi Industri
Perlindungan Tanaman Indonesia (AIPTI) dari 1000 petani, kurang dari 10%
petani yang telah menerapkan pola pemakaian pestisida secara benar. Hasil
penelitian Asep Nugraha (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian) pada buku
“Prinsip dan Teknologi Pertanian Organik Tahun 2014” menunjukkan bahwa
residu pestisida di sentra produksi pertanian terdapat pada padi, sayuran, perairan,
tanah, bahkan ada pestisida yang sudah puluhan tahun yang lalu digunakan namun
residunya masih terdeteksi, sehingga sangat membahayakan bagi kesehatan
manusia dan lingkungan.
Tingkat pekerjaan masyarakat di bidang pertanian dan perkebunan di
Provinsi Bali berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Bali tahun 2014 mencapai
23,25% dari seluruh angkatan kerja dan merupakan bidang kerja tertinggi kedua
diantara bidang pekerjaan lainnya. Penggunaan pestisida pada sektor pertanian di
Bali mengalami peningkatan dari tahun 2001 (28.663,90 lt/kg) ke tahun 2005
3
pertanian hortikultura tahun 2015 sampai dengan bulan Agustus adalah sebanyak
6152,25 lt/kg (UPT.BPTPH Prov. Bali, 2015).
Hasil pengujian dampak penggunaan pestisida melalui pemeriksaan
cholinesterase oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 dan 2015 di
beberapa wilayah pertanian hortikultura di Bali diantaranya pada 45 petani di
Desa Landih Bangli, pada 57 petani di Desa Sinduwati Karangasem dan 30 petani
di Desa Songan Kinatamani Bangli tidak terdapat petani yang mengalami
keracunan sedangkan hasil pemeriksaan pada 22 orang petani di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada sebanyak 18% petani mengalami keracunan (Dinas
Kesehatan Provinsi Bali, 2014). Hasil penelitian lain yang sebelumnya pernah
dilaksanakan terkait dengan penggunaan pestisida di Desa Pancasari adalah
pemeriksaan kualitas air Danau Buyan yang merupakan salah satu badan air
sekaligus sumber air bersih di Desa Pancasari diketahui bahwa air danau Buyan
positif mengandung residu pestisida golongan organokhlorin, oragnophosfat dan
karbamat (Manuaba, 2009).
Desa Pancasari merupakan salah satu desa di Kabupaten Buleleng Provinsi
Bali dengan aktivitas pertanian hortikultura merupakan mata pencaharian
sebagian besar penduduk yaitu sebanyak 1698 penduduk laki-laki sebagai petani
dan 1274 penduduk perempuan sebagai petani atau sebesar 64% penduduk
laki-laki dan perempuan sebagai petani dari 4610 jumlah penduduk. Hasil dari studi
pendahuluan melalui wawancara pada 10 orang petani disebutkan bahwa selama
penggunaan pestisida keseluruhan petani yang diwawancara pernah mengalami
4
pada kulit. Selain itu sistem pencampuran pestisida bervariasi yaitu 2-5 jenis
pestisida dalam satu kali aplikasi sementara berdasarkan petunjuk aplikasi
pestisida dari UPT BPTPH Provinsi Bali maksimal campuran pestisida yang
dianjurkan adalah 1-2 jenis pestisida. Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh
petani di wilayah tersebut diantaranya Mitracol (fungisida, bahan aktifnya
Propineb 70%) dan Dithane (fungisida, bahan aktifnya Mancozeb 80%)
sedangkan jenis insektisida yang banyak digunakan adalah Promectin 18 EC
(bahan aktifnya Abamectin 18 g/L).
Dampak penggunaan pestisida pada aktivitas pertanian di Desa Pancasari
juga diindikasikan dengan tingginya angka kejadian dermatitis kontak di wilayah
Desa Pancasari. Berdasarkan data morbiditas Puskesmas II Sukasada yang
berlokasi di Desa Pancasari, prevalensi kejadian dermatitis kontak tahun 2014
sebesar 45 per 1000 penduduk dengan kejadian kasus tertinggi pada golongan usia
20-69 tahun. Kejadian kasus tersebut tinggi jika dibandingkan dengan wilayah
puskesmas lain yang karakteristik penduduknya bermata pencaharian bukan
petani yaitu di Puskesmas Sukasada I kejadian dermatitis sebesar 19 per 1000
penduduk dan di Puskesmas Tejakula I sebesar 15 per 1000 penduduk dengan
diagnosa dermatitis yang tidak ditentukan.
Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit yang berhubungan
dengan penggunaan pestisida. Hasil penelitian di Taiwan menyebutkan bahwa
prevalensi kejadian dermatitis kontak pada 122 orang petani berhubungan dengan
frekuensi penyemprotan pestisida dan lebih banyak terjadi pada petani yang
5
(2015), pada petani di Cordoba Argentina menunjukkan bahwa gejala iritasi pada
kulit meningkat sebesar 1,58 kali pada petani yang pemakaian alat pelindung diri
tidak lengkap dengan nilai OR 1,58 ; 95% CI: 1,05-2,37.
Dampak lain dari penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani
ditunjukkan oleh hasil penelitian Perez et al., (2014) pada petani di Mindanao,
Philipina disebutkan bahwa keluhan paling umum dirasakan oleh petani yang
menerapkan pestisida diantaranya iritasi kulit (32,95%), sakit kepala (29,55%),
batuk (23,30%), tenggorokan kering (15,34%), sesak nafas (14,96%), pusing
(14,20%), mual (12,69%) dan iritasi mata (11,36%). Hasil penelitian lainnya oleh
Lekei et al., (2014), menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian keracunan
akibat pestisida khususnya di negara berkembang disebabkan oleh penyimpanan
pestisida pada tempat yang tidak aman dan mudah dijangkau oleh anak-anak.
Penelitian oleh Kim et al., (2013), menyebutkan, peningkatan aktivitas di wilayah
pertanian (OR 1,74; 95% CI; 1,32–2,29), tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD) seperti selop tangan (OR 1,29 ; 95% CI 1,04 -1,60) atau masker (OR 1,39;
95% CI 1,11-1,73) dan penyemprotan yang dilakukan pada siang hari
meningkatkan keluhan kesehatan pada petani (OR 1,48 ; 95% CI 1,09-2,01).
Mengingat pentingnya monitoring terhadap kesehatan masyarakat
khususnya petani di wilayah Desa Pancasari berkaitan dengan tingginya tingkat
pemakaian pestisida pada aktivitas pertanian maka penelitian mengenai dampak
penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani sangat penting dilakukan di
samping itu berdasarkan informasi dari salah satu dokter praktek swasta di Desa
6
beberapa kasus vertigo pada anak sehingga melalui penelitian ini juga diperoleh
gambaran situasi kesehatan pada keluarga petani yang kemungkinan secara tidak
langsung terkena dampak dari penggunaan pestisida.
Penelitian terkait dengan penggunaan pestisida dan hubungannya dengan
keluhan kesehatan petani dan keluarga petani di wilayah Desa Pancasari masih
jarang dilaksanakan. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan sosialisasi dalam rangka mencegah dampak negatif dari
penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani dan keluarga petani mulai dari
jenis pestisida yang digunakan sampai dengan cara penggunaan dan pengelolaan
pestisida yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah karakteristik petani hortikultura dan keluarganya
berdasarkan faktor sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin,
pendidikan, masa kerja, luas lahan dan jenis lahan di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?
1.2.2 Bagaimanakah tingkat pengetahuan petani hortikultura di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng mengenai pestisida., APD dan
dampaknya terhadap kesehatan?
1.2.3 Bagaimanakah karakteristik pestisida yang digunakan (jenis campuran,
7
penyemprotan dan pengamanan pestisida) dan pemakaian APD oleh petani
hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?
1.2.4 Bagaimanakah gambaran keluhan kesehatan petani hortikutltura pengguna
pestisida dan keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada
Kabupaten Buleleng?
1.2.5 Apakah masa kerja, luas lahan dan jenis lahan yang digarap berhubungan
dengan keluhan kesehatan pada petani di Desa Pancasari Kecamatan
Sukasada Kabupaten Buleleng?
1.2.6 Apakah tingkat pengetahuan, karakteristik pestisida, perilaku dalam
pencampuran, penyemprotan dan pengamanan pestisida serta perilaku
pemakaian APD berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani
hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perilaku penggunaan pestisida oleh petani dan hubungannya
dengan keluhan kesehatan petani hortikultura dan keluarganya di Desa Pancasari
Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian dampak penggunaan pestisida terhadap
keluhan kesehatan petani hortikultura dan keluarganya di Desa Pancasari
8
a. Karakteristik sosiodemografi petani dan keluarga petani dalam hal umur,
jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, luas lahan dan jenis lahan.
b. Tingkat pengetahuan petani mengenai pestisida, APD dan dampaknya
terhadap kesehatan.
c. Karakteristik pestisida yang digunakan (jenis campuran, bahan aktif dan
dosis), perilaku penggunaan pestisida (saat pencampuran, penyemprotan dan
pengamanan pestisida) dan pemakaian APD oleh petani.
d. Jenis-jenis keluhan kesehatan yang dialami petani dan keluarganya.
e. Hubungan antara masa kerja, luas lahan dan jenis lahan dengan keluhan
kesehatan pada petani.
f. Hubungan antara tingkat pengetahuan karakteristik pestisida, perilaku dalam
pencampuran, penyemprotan dan pengamanan pestisida serta perilaku
pemakaian APD berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani
hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dengan
bukti ilmiah bagi instansi terkait maupun pembuat kebijakan terutama
dalam hal pengawasan pemakaian pestisida serta dampaknya terhadap
kesehatan.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya petani pengguna
9
1.4.2 Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan
kesehatan khususnya terkait dengan dampak penggunaan pestisida bagi
kesehatan terutama bagi petani pengguna pestisida.
b. Data yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai informasi awal untuk
penelitian terkait dengan pestisida dan dampaknya terhadap kesehatan
yang lebih luas dengan analisis yang lebih mendalam tidak hanya terbatas
pada kesehatan petani namun juga dampaknya terhadap kualitas
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Pengertian Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau
bahan-bahan lain yang bersifat racun dan bioaktif. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu
tanaman (OPT). Menurut The United State Federal Environmental Pesticide
Control Act, pestisida merupakan suatu zat yang fungsinya untuk memberantas
atau mencegah gangguan OPT diantaranya serangga, binatang pengerat,
nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama
pengganggu tanaman (Kardinan, 2000). Pestisida dalam pertanian secara spesifik
disebut sebagai produk perlindungan tanaman (crop protection products)
(Djojosumarto, 2008).
2.1.2 Penggolongan Pestisida
Menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Khamdani (2009),
persentase penggunaan pestisida di Indonesia diantaranya insektisida 55,42%,
herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, bahan pengawet kayu 3,61%,
zat pengatur pertumbuhan 3,21%, rodentisida 2,81%, bahan perata atau perekat
2,41%, akarisida 1,4%, moluskisida 0,4%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan
serta lain-lain berjumlah 1,41%. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa
insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan. Secara
11
a. Menurut sasaran atau organisme target
Pestisida diklasifikasikan menjadi 16 jenis menurut sasaran atau
organisme targetnya diantaranya (1) Insektisida untuk mengendalikan serangga,
(2) Herbisida untuk membunuh gulma, (3) Fungisida untuk membunuh jamur, (4)
Algasida untuk membunuh alga, (5) Avisida untuk mengontrol populasi burung,
(6) Akarisida untuk membunuh tungau atau kutu, (7) Bakterisida untuk
membunuh bakteri, (8) Larvasida untuk membunuh larva, (9) Moluskisida untuk
membunuh siput, (10) Nematisida untuk membunuh cacing, (11) Ovisida untuk
membunuh telur, (12) Pedukulisida untuk membunuh kutu, (13) Piscisida untuk
membunuh ikan, (14) Rodentisida untuk membunuh binatang pengerat, (15)
Predisida untuk membunuh pemangsa atau predator, (16) Termisida untuk
membunuh rayap.
b. Menurut cara kerja
Dalam sistem pertanian hortikultura jenis insektisida, herbisida dan
fungisida yang banyak digunakan oleh petani jika dilihat dari cara kerjanya
diantaranya sebagai berikut (Djojosumarto, 2000).
1. Insektisida
Insektisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya menurut
cara kerja pada tanaman terdiri dari (1) Insektisida Sistemik yaitu jenis insektisida
yang diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun daun.
Contoh insektisida sistemik adalah Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran,
dan Monokrotofos. (2)Insektisida Nonsistemik merupakan jenis insektisida yang
12
Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos. Jenis insektisida lainnya
berdasarkan cara kerjanya yaitu Insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah
Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.
2. Fungisida
Fungisida dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan cara
kerjanya di dalam tubuh tanaman diantaranya Fungisida Nonsistemik, Fungisida
Sistemik dan Fungisida Sistemik Lokal. Contoh fungisida nonsitemik adalah
Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb sedangkan
fungsida sistemik tidak akan hilang apabila terjadi hujan. Contoh fungisida
sistemik adalah Benomil, Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil,
Propikonazol, dan Triadimefon dan fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan
oleh jaringan tanaman contohnya adalah Simoksanil.
Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi
jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Multiside inhibitor
contoh dari multiside inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram,
dan Thiram dan monoside inhibitor yaitu fungisida yang bekerja dengan
menghambat salah satu proses metabolisme jamur. Contoh dari monoside
inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil.
3. Herbisida
Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
(1) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput,
misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin. (2) Herbisida yang aktif untuk
13
Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai herbisida
nonselektif contohnya Glifosat, Glufosinat, dan Paraquat.
Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu
(1) Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides. Contohnya adalah herbisida
kelompok urea (Diuron, Linuron, Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin),
karbamat (Asulam, Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor,
Pretilaklor), dan urasil (Bromasil) dan (2) Herbisida yang aktif pada gulma yang
sudah tumbuh. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat. Selain kedua kelompok
utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah yang aktif terhadap gulma yang baru
tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari jenis urea dan triazim
c. Menurut struktur bahan kimia
Berdasarkan struktur kimianya, Sudarmo (1991) dalam Runia (2008)
pestisida terdiri dari empat kelompok besar yaitu organokhlorin, organophosfat,
karbamat dan piretiroid.
Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates,
phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus
esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid
dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan
organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas
syaraf. Organofosfat merupakan senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas
1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik C2H5O (R1 dan R2) serta
gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi
14
R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah
dimetoksi atau dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida,
halogen lain dan dimetoksi atau dietoksi. Bahan aktif organophosfat yang sudah
dilarang beredar di Indonesia diantaranya diazinon, fention, fenitrotion, fentoat,
klorfirifos, kuinalfos dan malation. Pestisida ini memiliki kemampuan
menghambat aktivitas enzim achetylcholinesterase (ACHe) yang merupakan
neurohormon pada ujung syaraf untuk meneruskan rangsang (Sitepu, 2010).
Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan organophosfat dibagi menjadi
kelompok sangat toksik (extremely toxic) (klorpirifos, parathion dan metil
parathion) dan kelompok toksisitas sedang (dimethoate dan malathion). Gejala
keracunan yang ditimbulkan akibat pestisida golongan organophosfat terhadap
fungsi enzim cholinesterase diantaranya mudah letih, tidak bertenaga, mual
muntah dan merasa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan, sesak nafas,
banyak kelenjar cairan hidung, banyak keringat dan air mata, dan akhirnya
menyebabkan kelumpuhan otot-otot rangka, sukar bicara, kejang dan koma.
Berdasarkan masa degradasinya dalam lingkungan, frekuensi/jarak penyemprotan
sebaiknya adalah 2 minggu sekali (Ardiyanto, 2013).
Kelompok pestisida golongan Karbamat (carbamat) yang terkenal antara
lain proxposure (baygon), carbofuran (furadan), carbaryl (sevin). Insekisida
golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti juga insektisida dari
golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa golongan ini tidak banyak
berbeda dengan senyawa golongan organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun
HO-15
CO-NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa
golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase. Berdasarkan
toksisitasnya pestisida golongan karbamat juga dibagi menjadi toksisitas tinggi
(highly toxic) (carbofuran, methomyl dan temik) dan kelompok toksisitas sedang
(carbaryl dan baygon). Sama halnya dengan Organophosfat, pestisida jenis ini
menghambat kerja enzim cholinesterase. Gejala keracunan yang timbul sebagian
besar hampir sama dengan gejala yang muncul akibat keracunan Organophosfat
yang paling umum diantaranya sakit kepala, gangguan penglihatan, muntah dan
merasa lemah. Keracunan akut dapat menimbulkan terjadinya kelumpuhan
otot-otot rangka, bingung, sukar bicara, kejang-kejang dan koma. Masa degradasi di
lingkungan hampir sama dengan Organophosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh
karena itu maka frekuensi penyemprotannya berkisar 12-14 hari.
Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom
karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga
disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong
memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam
lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu susunan
syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida golongan ini
berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik sebagai pelarut.
Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh udara, cahaya, panas, dan
karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat rusak oleh asam kuat, namun bisa
rusak dengan basa dimana pestisida jenis ini akan menjadi tidak stabil dan
16
udara, saluran pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam
bentuk serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila
digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka toksisitasnya
akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menembus membran
sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena
bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di Organokhlorin dalam sistem
pertanian juga dilarang penggunaannya seperti dieldrin, endosulfan, dan clordan.
Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida garlon 480 EC dan
fungisida Akofol 50 WP. Golongan ini dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing,
mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan
hilang kesadaran (Wudianto, 2005).
Piretiroid merupakan jenis golongan pestisida lainnya selain dari
organophosfat, karbamat dan organokhlorin serta secara alamiah piretroid
diperoleh dari ekstrak bunga chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I
dan II cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga
alkohol, pyrethrolone, cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic
dan pyrethric. Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah
dibanding pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari
produk insektisida yang ada di pasaran. Pada umumnya piretroid mengalami
metabolisme pada mamalia melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi.
Tidak ada kecenderungan terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan
terhadap piretroid. Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan
17
impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah Deltametrin,
Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate, Siflutrin, Fenpropatrin,
Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin, dan Bioresmetrin.
2.1.3 Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida
Dalam penggunaan pestisida aktivitas yang berpengaruh terhadap
gangguan kesehatan diantaranya adalah pada saat pencampuran, penyemprotan
dan penanganan pestisida. Mencampur pestisida merupakan pekerjaan yang paling
berisiko oleh karena bekerja secara langsung dengan konsentrat. Upaya yang
dapat dilakukan untuk menghindarkan diri dari kontak secara langsung dengan
pestisida diantaranya pemilihan tempat pencampuran yang sirkulasi udaranya
lancar dan penggunaan alat pelindung diri. Dalam pencampuran pestisida wadah
yang digunakan adalah khusus untuk pencampuran bisa menggunakan ember dan
corong untuk memindahkan pestisida ke tangki penyemprotan. Pada saat
pencampuran pestisida, dosis dan konsentrasi disesuaikan dengan yang dianjurkan
pada kemasan. Pada saat pencampuran APD yang dianjurkan untuk digunakan
adalah masker (pelindung pernafasan) dan sarung tangan karet. Selain itu juga
makan, minum, dan merokok selama melakukan pencampuran sangat tidak
dianjurkan (Wudianto, 2005).
Penyemprotan sebagai aktivitas dalam aplikasi pestisida juga perlu
memperhatikan hal-hal berikut diantaranya (1) pemilihan alat semprot sesuai
dengan luas areal yang akan di semprot, jenis-jenis alat semprot pestisida
18
tangki paling kecil dan mudah untuk dipindahkan ke bagian tanaman yang akan
disemprot sedangkan sprayer lainnya yaitu back sprayer (sprayer knap sack)
digunakan dengan cara menggendong di punggung dan menggunakan tenaga
manusia untuk memompa dan sprayer mesin (machine sprayer) menggunakan
mesin untuk menggerakkan pompa. Waktu untuk melakukan penyemprotan
sebaiknya antara pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00-18.00 WIB
dan tidak dilakukan pada saat aliran udara meningkat (thermik) selain itu tidak
dianjurkan melakukan penyemprotan di saat angin kencang dan melawan arah
angin karena banyak pestisida yang tidak mengenai sasaran (Wudianto, 2005).
Dalam hal penyimpanan pestisida, perlu diperhatikan beberapa hal seperti
penyimpanan pestisida harus jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur
dengan tempat makan atau bahan makanan dan tersedia tempat khusus yang
terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah selesai penyemprotan
hal-hal yang juga perlu diperhatikan diantaranya alat semprot segera dibersihkan
setelah selesai digunakan sedangkan untuk sisa cairan pestisida dan bekas
kemasan pestisida dikubur atau dibakar jauh dari sumber mata air untuk
menghindari pencemaran ke badan air dan tidak menggunakan bekas kemasan
pestisida untuk tempat makanan dan minuman. Selain itu, setelah selesai aplikasi
pakaian yang digunakan segera dicuci dengan bersih dan petani penyemprot
segera mandi dengan bersih menggunakan sabun (Wudianto, 2005).
Dalam Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh
Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementrian Pertanian Tahun 2011 disebutkan
19
aplikasi, tetapi sejak mulai mencampur, mencuci peralatan aplikasi dan sesudah
aplikasi selesai. Pakaian serta peralatan pelindung yang harus dipakai adalah
sebagai berikut (1) untuk menutupi seluruh atau sebagian dari percikan bahan
beracun dapat digunakan pakaian terusan dengan celana panjang dan lengan
panjang. Baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah berbahan kulit
atau plastik. Jika baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah pakaian
kerja sehari-hari maka pada saat melakukan penyemprotan harus dilapisi dengan
beberapa baju dan celana panjang atau pakaian terusan yang berbahan tenunan
rapat atau menggunakan apron (bahan kulit atau plastik) (2) penutup kepala yang
digunakan petani dapat berupa topi atau tudung untuk melindungi kepala dari
zat-zat kimia dan kondisi iklim yang buruk dan penutup mata untuk menghindari
kontak pada mata dapat menggunakan kaca mata (3) alat pelindung hidung dan
mulut dapat berupa masker untuk melindungi pernafasan dari gas, uap, debu atau
udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun dan korosi,
(4) sarung tangan dapat terbuat dari karet untuk melindungi diri dari paparan
bahan kimia sehingga larutan pestisida tidak masuk ke kulit dan (5) sepatu kerja
untuk melindungi kaki dari larutan kimia dapat terbuat dari kulit, karet sintetik
atau plastik. Ketika menggunakan sepatu boot ujung celana tidak boleh
dimasukkan ke dalam sepatu, karena cairan pestisida dapat masuk ke dalam
20
2.2 Dampak Penggunaan Pestisida
2.2.1 Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan
Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara diantaranya
melalui kulit (epidermis) apabila pestisida kontak dengan kulit. Lebih dari 90%
kasus keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Selain
itu pestisida masuk melalui sistem pernafasan (inhalation) apabila
terhisap/terhirup, dan melalui mulut/pencernaan (ingestion) apabila
terminum/tertelan (Wudianto, 2005). Organ-organ tubuh yang biasanya terkena
dampak dari racun pestisida diantaranya paru-paru, hati (hepar), susunan saraf
pusat (otak dan sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan
saraf tepi, dan darah. Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek lokal
seperti iritasi, reaksi alergi, dermatitis, ulkus dan gejala lain.
a. Keracunan Kronis
Keracunan kronis timbul setelah terjadinya pemaparan dalam jangka
panjang karena racun terakumulasi di dalam tubuh khususnya dalam lemak tubuh.
Keracunan kronik lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronik dalam
jangka waktu lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Keracunan kronis
dapat ditemukan dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik)
atau mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida,
antara lain gangguan otak dan syaraf (ingatan, kelumpuhan, bahkan kehilangan
kesadaran dan koma), gangguan pada fungsi hati diantaranya paparan selama
21
Hasil penelitian Fleming, Gomez-Martin, Zheng Ma, Lee, et al., (2003),
melalui analisis data survei kematian oleh National Health di Amerika diperoleh
bahwa petani penyemprot pestisida baik laki-laki maupun perempuan berisiko
tinggi untuk menderita kanker, gangguan limfa dan kelainan susunan saraf. Selain
itu pestisida juga berdampak terhadap kesehatan keluarga petani di wilayah
Neonates oleh hasil penelitian Eskenazi et al.,(2005), diperoleh hasil penggunaan
pestisida Organophosfat mempengaruhi fungsi organ dan sistem saraf.
Studi di Amerika Serikat (AS) oleh Bouchard et al., (2010), membuktikan
bahwa anak yang di dalam urinnya terdeteksi mengandung metabolit pestisida
golongan Organophosfat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yaitu suatu gangguan
perkembangan yang bila dalam derajat berat disebut sebagai autisme, yang jumlah
kasusnya juga semakin meningkat di Indonesia. Hasil penelitian di Ekuador oleh
Grandjean et al., (2006), membuktikan bahwa pajanan pestisida merupakan
prediktor untuk terjadinya keterlambatan tumbuh-kembang pada anak
(Suhartono,2014).
b. Keracunan akut.
Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung pada
saat aplikasi atau seketika setelah aplikasi pestisida. Dampak dari Keracunan akut
dibedakan menjadi (1) efek akut lokal, apabila efeknya hanya mempengaruhi
bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida biasanya bersifat
iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit dan (2) efek akut sistemik, terjadi
22
Darah akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh yang menyebabkan
bergeraknya saraf-saraf otot secara tidak sadar dengan gerakan halus maupun
kasar dan pengeluaran air mata serta pengeluaran air ludah secara berlebihan,
pernafasan menjadi lemah/cepat (tidak normal).
Hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa dampak penggunaan
pestisida pada 880 petani yang diobservasi di wilayah Cordoba Argentina
sebanyak 47,4% mengalami iritasi, 35,5% mengalami fatigue, 40,4% menderita
sakit kepala dan 27,6% mengalami gangguan saraf dan depresi selama
menggunakan pestisida. Hasil penelitian di Indonesia oleh Catur, (2012)
menunjukkan keluhan utama yang dirasakan oleh petani penyemprot pestisida
yang mengalami keracunan pestisida diantaranya sakit kepala (25,6%), mudah
lelah (13,95%). Hasil penelitian oleh Choudary (2011), pada 175 petani di Bhopal
Madhya Pradesh, India gejala keracunan akut yang dialami oleh para petani
diantaranya iritasi mata/mata merah sebanyak 62,5%, 37,5% mengalami gangguan
pada kulit dan gangguan saraf selama aplikasi pestisida.
Baik petani maupun keluarga petani memiliki risiko yang sama terkena
dampak akut penggunaan pestisida seperti keluhan sakit kepala, iritasi kulit dan
gangguan pernafasan. Sebagian besar istri petani ikut terlibat dalam sistem
pertanian dalam hal menyiangi rumput/tanaman pengganggu, memanen, atau
menata dan mengikat hasil panen, hal tersebut menempatkan mereka sebagai
populasi yang berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan akibat pajanan
23
Keluarga petani yang tinggal di kawasan pertanian meskipun tidak terlibat
secara langsung dalam kegiatan pertanian juga memiliki risiko kontak dengan
pestisida melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun
tanah. Kebiasaan petani dalam penanganan pestisida pasca penyemprotan (
take-home pathway) oleh Fenske et al., (2000), dan Curl et al., (2002), diantaranya
membawa pakaian kerja pulang tanpa dibersihkan terlebih dahulu, membawa atau
menyimpan sisa pestisida dan kemasan pestisida dengan tidak aman dari
jangkauan anak-anak diidentifikasikan sebagai sumber utama paparan pestisida
pada keluarga petani.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida dan
gangguan kesehatan lainnya pada petani diantaranya dapat dibedakan menjadi dua
kelompok meliputi faktor eksternal dan faktor internal.
a. Faktor eksternal
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya keracunan
pestisida diantaranya sebagai berikut.
1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan
Suhu lingkungan berkaitan dengan pengaruh penguapan melalui keringat
petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35oC.
Suhu lingkungan pada saat penyemprotan juga berkaitan dengan waktu
penyemprotan yang sesuai sehingga menurut Sartono (2002), secara umum
24
pagi hari pukul 07.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-18.00 (Budiawan, 2013).
Waktu penyemprotan pestisida berkaitan dengan suhu lingkungan yang mana
penyemprotan pestisida pada siang hari dapat menyebabkan keluarnya keringat
lebih banyak sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih
mudah selain itu kondisi panas yang terik menyebabkan kecenderungan petani
menyeka APD karena kondisi panas (Dahlan, 2009).
2. Arah kecepatan angin
Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin
sehingga kabut semprot tidak mengarah kepada penyemprot dan sebaiknya
penyemprotan dilakukan pada kecepatan angin dibawah 750 mil permenit. Petani
yang melakukan penyemprotan melawan arah angin memiliki risiko 1,54 kali
lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang
menyemprot mengikuti arah angin dengan nilai OR 1,54 ; 95%CI : 1,20-1,94
(Kim et al., 2013).
3. Dosis pestisida
Pestisida merupakan racun sehingga jika penggunaan dosisnya
ditingkatkan dapat mempermudah terjadinya keracunan karena efek toksik juga
akan meningkat. Berkaitan dengan penggunaan pestisida yang juga sering menjadi
masalah adalah dalam penentuan dosis, dimana dalam anjuran pakai pestisida
untuk dosis cair rata-rata 1,5 - 2,5 cc per 1 liter air sedangkan untuk pestisida
bubuk 1,5 – 2,5 gram per 1 liter air. Tangki yang umum digunakan berkapasitas
17 liter. Dalam perhitungan luas tanaman 1 hektar diperlukan sekitar 500 liter
25
Kim et al., (2013) menyatakan bahwa penggunaan dosis pestisida tanpa
mengikuti label instruksi kemasan pestisida meningkatkan risiko keracunan akut
sebesar 1,61 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengikuti label instruksi
kemasan pestisida dengan nilai OR 1,61; 95% CI 1,21-213.
4. Lama penyemprotan
Semakin lama seseorang kontak dengan pestisida, semakin besar risiko
mengalami keracunan, penyemprotan hendaknya tidak melebihi 4-5 jam secara
terus-menerus dalam sehari. Hasil penelitian oleh Mahyuni (2015), menunjukkan
bahwa lama menyemprot berhubungan dengan keracunan pestisida pada petani
bawang merah di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dengan nilai p value
kurang dari 0,05 (0,018<0,05). Selain itu hasil penelitian oleh Nasruddin (2001),
menyatakan bahwa petani yang melakukan penyemprotan lebih dari 3 jam per hari
memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami keracunan (OR 3,32; 95% CI 1,39
6,14).
5. Masa kerja
Semakin lama seseorang menjadi petani maka semakin banyak pula
kemungkinan untuk kontak dengan pestisida sehingga risiko untuk mengalami
keracunan juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),
disebutkan bahwa masa kerja > 10 tahun berhubungan dengan kejadian iritasi
kulit pada petani dengan nilai p value < 0,05 (0,03<0,05). Hasil penelitian oleh
Zuraida (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan
keluhan kesehatan pada petani dimana dijelaskan bahwa petani petani yang
26
pestisida lebih baik daripada petani yang memiliki masa kerja sudah lebih dari 10
sehingga lebih mampu untuk menjaga kesehatannya pada saat akan kontak dengan
pestisida.
6. Jenis lahan dan tinggi tanaman yang disemprot
Jenis lahan pertanian khususnya hortikultura dapat berupa ladang terbuka
dan juga greenhouse. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013), menunjukkan
bahwa jenis lahan greenhouse bukan merupakan faktor risiko keracunan pada
petani (OR 0,55; 95% CI 0,24-1,29) selain itu jenis tanaman yang ditanam akan
berkaitan dengan tinggi tanaman yang disemprot karena semakin tinggi tanaman
maka petani cenderung mendapat pemaparan yang lebih besar.
7. Luas lahan
Luas lahan yang digarap oleh petani memberikan risiko kepada petani
untuk mengalami keracunan. Hal ini dikaitkan dengan lama kontak petani dengan
pestisida semakin luas lahan yang digarap kemungkinan untuk mengalami
keracunan akan meningkat, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh
Kim et al., (2013) yaitu petani yang menggarap lahan ≥ 1 ha memiliki risiko 1,9
kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang
menggarap lahan < 1 ha (OR 1,90 ; 95% CI 1,53-2,53).
8. Kebiasaan memakai alat pelindung diri
Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang akan
mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. Hasil uji
regresi logistik multinomial dalam penelitian Kim et al., (2013), menunjukkan
27
masker (OR 1,46; 95% CI 1,04-2,06) sedangkan hasil penelitian Butinof (2015),
menunjukkan bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak lengkap
berhubungan dengan gejala iritasi pada petani pengguna pestisida dengan nilai p
adalah 0,004 dan hasil uji regresi pemakaian APD sebagai faktor protektif dengan
nilai (OR 0.61; 95% CI 0.40-0.92).
9. Jenis pestisida
Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan
dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada
dalam pestisida. Hasil penelitian Butinof (2015), menyatakan bahwa mencampur
pestisida atau mengaplikasikan pestisida lebih dari 10 jenis dalam sekali
campuran meningkatkan risiko terjadinya gejala iritasi pada kulit (OR 1,56;
95%CI: 1.04-2.35). Hasil penelitian di Kecamatan Kersana oleh Siwiendayanti
(2011), menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu yang
sama menimbulkan efek sinergistik dan memberikan risiko 3 kali lebih besar
untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang
digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga
memberikan efek samping yang semakin besar pula.
10.Frekuensi menyemprot
Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko
keracunan karena menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi
lebih tinggi. Namun hasil penelitian oleh Mahyuni (2015) menunjukkan bahwa
frekuensi penyemprotan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada
dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (0,406>0,05). Petani yang melakukan
28
tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07
(Mualim, 2002).
11.Pengelolaan pestisida
Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan
sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini
berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara
penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51;
95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI
1,182-5,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat
pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
12.Jenis alat semprot
Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat
penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang
telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai
bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian
Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar
0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga
mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat,
menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke
29
penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit
kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05).
13.Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja
Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak
dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot
dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot.
Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama
menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada
petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan
muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan
mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan pestisida.
Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida
melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah
menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88%
dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot.
Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani
setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih
melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar
pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih
30
b. Faktor internal
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai
berikut.
1. Umur petani
Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan
pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh
yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan
mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al.,
(2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian
keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17).
2. Jenis kelamin
Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar
cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun
demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan
kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa
acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan
bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida
dengan nilai p 0,697 > 0,05.
3. Status gizi
Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk
mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida
organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap
31
dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar
cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan
faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62).
4. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil
peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai
pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat
sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari.
Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina
dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05).
5. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani
khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam
melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya
keracunan dapat dihindari.Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa
tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan
nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012),
menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan