• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Pelecehan Seksual

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelecehan Seksual

Tindak kekerasan terhadap perempuan dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Poerwandari (dalam Luhulima, 2000:14-19) mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya pelecehan seksual terhadap perempuan yaitu : a. Faktor Internal

Faktor penyebab terjadinya tindak pelecehan seksual adalah kondisi atau karakteristik pribadi pelaku. Salah satu karakteristik pribadi pelaku adalah keisengan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor terbesar yang menyebabkan pelecehan seksual adalah keisengan (Rosmalinda dkk, 2002:77). Pendapat tersebut didukung oleh Ellyawati dkk (2000:104) yang menunjukkan bahwa 67% faktor penyebab pelecehan seksual adalah keisengan. Pelecehan seksual tersebut tidak disebabkan karena keinginan seks atau hormon berlebih namun hanya sekedar untuk menggoda dan sekedar jahil (Rosmalinda dkk, 2002:77; Ellyawati dkk, 2000:104). Selain itu, Poerwandari (dalam Luhulima, 2000:14) juga mengemukakan bahwa kondisi pelaku pelecehan seksual sangat mungkin merupakan individu yang “terganggu”, memiliki banyak konflik dan masalah sehingga membuat pelaku merasa tertekan yang kemudian mengalihkan perasaan tertekan tersebut dengan melakukan pelecehan seksual.

b. Karakteristik korban

Karakteristik korban tindak pelecehan seksual berkaitan dengan jenis kelamin, usia dan status perkawinan (Fiztgerald dalam Fauziyah, 2003:20). Menurut Wignjosoebroto (dalam Supanto, 1999:7) korban tindak pelecehan seksual sebagian besar berjenis kelamin perempuan dan pelakunya hampir pasti laki- laki. Kurnianingsih (2003:119) menambahkan bahwa perempuan yang belum atau tidak menikah akan lebih banyak menjadi korban pelecehan seksual dibandingkan perempuan yang sudah menikah, namun hal ini lebih berkaitan dengan usia. Zastrow dan Ashman (dalam Kurnianingsih, 2003:119) menyatakan bahwa perempuan di bawah 20 tahun memiliki dua kali lipat resiko menjadi korban pelecehan seksual dibandingkan perempuan yang berusia 20-40 tahun. Selain itu, Poerwandari (dalam Luhulima, 2000:15) mengemukakan bahwa tindak pelecehan seksual disebabkan oleh tingkah laku korban yang dianggap mengundang hasrat seksual pelaku untuk melakukan pelecehan seksual misalnya, cara berperilaku, cara berpakaian, cara berdandan, berada di tempat sepi pada malam hari, membiarkan diri terlibat pembicaraan porno dengan pelaku dan sebagainya (Muttaqin & Adib, 2005:21; Yuarsi dkk, 2001:47; Rosmalinda dkk, 2002:78).

c. Struktur Sosial

Struktur sosial membentuk dan mengarahkan perilaku individu sehingga perilaku tersebut menjadi sebuah keteraturan perilaku yang

dapat diprediksi (Rahman dkk, 2002:15). Keteraturan perilaku ini dibentuk berdasarkan status dan peran individu dalam masyarakat (Rahman dkk, 2002:15). Struktur sosial yang berkembang di Indonesia merupakan struktur sosial yang berdasar pada budaya patriarki. Menurut Rahman dkk (2002:16), budaya patriarki adalah suatu budaya yang menganggap bahwa laki- laki lebih superior terhadap perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Budaya patriarki ini menganggap laki- laki dominan dan memiliki kontrol atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaan, peran dan statusnya dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat (Rosmalinda dkk, 2002:84).

Struktur sosial dalam masyarakat lebih mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan laki- laki, menganggap laki- laki lebih kuat, agresif, rasional, jantan serta perkasa (Fakih, 1996:8; Poerwandari, 2000:17; Subono, 2002:102). Sejak kecil laki- laki disosialisasikan untuk menyukai kekerasan melalui berbagai bentuk permainan, olahraga dan tayangan-tayangan yang menyuguhkan kekerasan sebagai cara untuk memperoleh apa yang diinginkan dan cara untuk menyelesaikan masalah (Poerwandari dalam Luhulima, 2000:16). Sedangkan perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sabar, mengalah, meminggirkan kepentingan-kepentingannya sendiri, dinilai rendah, dinomorduakan serta berperan

di belakang (Fakih, 1996:8; Poerwandari, 2000:17; Subono, 2002:102).

Laki- laki dengan kekuasaan dan hak- hak istimewa yang dimiliki dalam berbagai bidang tersebut membuat mereka cenderung merasa lebih unggul dibanding perempuan sehingga kaum laki- laki merasa mempunyai hak dan kebebasan untuk berbuat semena- mena terhadap perempuan termasuk dengan berbagai wujud tindak kekerasan (Nadia dalam Kollman, 1998:3), salah satunya adalah pelecehan seksual. Hal ini didukung dengan adanya suatu pandangan bahwa perempuan memiliki beberapa sifat seksual antara lain “menggoda dan menggairahkan”, pandangan-pandangan bahwa perempuan adalah obyek seksual laki- laki, dan karenanya telah memberikan kesempatan laki- laki untuk mengintimidasi perempuan secara seksual (Rahman dkk, 2002:18).

Faktor penyebab terjadinya tindak pelecehan seksual terhadap perempuan yang lainnya yaitu faktor usia. Padavic dan Orcutt (dalam Wardoyo, 2002:25-26) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada keterkaitan ya ng erat antara usia dan tindak pelecehan seksual terhadap perempuan. Padavic dan Orcutt (dalam Wardoyo, 2002:25-26) menggunakan laki- laki sebagai subyek dan membaginya menjadi tiga kelompok usia yaitu kelompok usia 39 tahun ke bawah, kelompok usia 40-54 tahun dan kelompok 55 tahun ke atas. Kelompok usia 39 tahun ke bawah rata-rata memiliki potensi yang tinggi untuk melakukan tindak

pelecehan seksual terhadap perempuan. Sedangkan kelompok usia 40-54 tahun memiliki rata-rata potensi yang lebih rendah untuk me lakukan tindak pelecehan seksual terhadap perempuan dibandingkan kelompok usia 39 tahun ke bawah dan kelompok usia 55 tahun ke atas memiliki potensi yang paling rendah untuk melakukan tindak pelecehan seksual terhadap perempuan dibandingkan 2 kelompok yang lainnya. Hal ini didukung oleh pendapat Harvey dan Smith (dalam Kusumiati, 2001:8) yang mengemukakan bahwa usia turut mempengaruhi sikap seseorang. Subyek yang memiliki usia semakin dewasa tentunya memiliki lebih banyak pengalaman yang dapat dijadikan pertimbangan dalam bersikap.

Kusumiati menambahkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusumiati (2001:8) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan juga turut mempengaruhi tinggi rendahnya tindak pelecehan seksual. Pendidikan menekankan pada terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu agar berusaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya ke arah yang lebih baik yaitu daya pikir, kreativitas dan sikap dalam menghadapi setiap permasalahan (Kusumiati, 2001:8). Adapun salah satu tujuan pendidikan adalah mengubah perilaku individu ke arah yang lebih baik agar individu lebih memiliki rasa tanggungtawab kemasyarakatan, mandiri dan berkepribadian (Husain dalam Kusumiati, 2001:8). Selain itu, dengan pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia yang berpengetahua n, mampu berpikir dan bersikap. Berdasarkan masing-masing tahap pendidikan yang dilaluinya, individu akan mengalami

proses ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan setiap tingkat pendidikan, jadi seharusnya individu yang telah mencapai tahap tertinggi akan mampu bersikap lebih baik melalui pertimbangan yang dimilikinya (Kusumiati, 2001:5).

Subyek dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusumiati terdiri dari subyek yang berjenis kelamin laki- laki yang berpendidikan tinggi (Akademi, Diploma, Perguruan Tinggi), subyek berpendidikan menengah (SLTA) dan subyek berpendidikan rendah (SLTP dan SD). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak pelecehan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki- laki yang berpendidikan tinggi dan menengah cenderung rendah dan tindak pelecehan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki- laki berpendidikan dasar cenderung tinggi (Kusumiati, 2001:8-9). Individu yang berpendidikan tinggi dan menengah cenderung lebih memiliki pertimbangan yang lebih baik dalam bersikap dibandingkan dengan individu yang berpendidikan dasar (Kusumiati, 2001:8). Individu dengan pendidikan tinggi dan menengah akan merasa ikut bertanggungjawab bahwa pelecehan seksual adalah salah satu masalah yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, individu cenderung lebih menghargai perempuan sebagai sesama makhluk Tuhan dan bukan sebagai objek seksual laki- laki (Kusumiati, 2001:8).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor penyebab terjadinya tindak pelecehan seksual terhadap perempuan adalah

faktor internal, karakteristik korban, struktur sosial dalam masyarakat, usia dan pendidikan.

Dokumen terkait