• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan, yaitu nilai C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kandungan air (kelembaban), suhu, pH, kandungan hara, dan kandungan bahan-bahan berbahaya (Isroi 2008).

Menurut hasil penelitian Cahaya dan Nugraha (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan adalah kelembaban, konsentrasi oksigen, suhu, perbandingan C/N, derajat keasaman (pH), dan ukuran bahan. Mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme bekerja optimal. Kebutuhan oksigen dalam pembuatan kompos yaitu berkisar antara 10-18%. Suhu optimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk merombak bahan adalah 35-55°C. Perbandingan C/N yang optimum untuk proses pengomposan adalah berkisar antara 25-25. Derajat keasaman yang terbaik untuk proses pengomposan adalah pada kondisi pH netral yaitu berkisar antara 6-8. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik berkisar antara 1-7.5 cm.

Menurut Rynk (1992) kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan pada perbandingan nilai C/N pada 20: 1 sampai dengan 40 : 1 dengan nilai C/N ideal 25-35 : 1. Kondisi optimal untuk mempercepat proses pengomposan ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan

Sumber : Rynk (1992)

1. Perbandingan C dan N (C/N)

Nilai perbandingan C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Pengomposan bergantung pada aktivitas mikroorganisme, sehingga dibutuhkan sumber karbon untuk menyediakan energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Perbandingan karbon nitrogen (C/N) yang ideal adalah sekitar 20-40 (CPIS, 1992).

Menurut Metcalf dan Eddy (1991) unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan satu bagian nitrogen atau nilai C/N sama dengan 30 dalam perbandingan berat. Proses pengomposan yang paling efisien mempersyaratkan kebutuhan nilai C/N antara 25-30 sebagai perbandingan yang paling ideal. Unsur C dalam rasio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon. Nilai C/N yang rendah atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan emisi dari nitrogen sebagai amoniak, sedangkan nilai C/N yang tinggi atau kandungan unsur N yang relatif kurang atau rendah akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lambat dan nitrogen menjadi faktor penghambat (growth- rate limiting factor).

Nilai C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada nilai C/N di antara 30 - 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isroi, 2008).

Pada kompos yang mengandung nilai C/N rendah akan banyak mengandung amoniak (NH3) yang disebabkan oleh bakteri amoniak. Hal ini bisa dioksidasi lebih lanjut

menjadi nitrit dan nitrat yang mudah diserap oleh tanaman. Jika perbandingan C/N terlalu rendah juga akan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen mudah hilang ke udara (Harada et al. 1993).

Menurut Rao (1994) nitrat yang terdapat dalam kompos (dalam nitrogen total) dihasilkan dari proses nitrifikasi yang merupakan oksidasi enzimatis yang dilakukan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah aerasi, suhu, kelembaban, dan nilai C/N. Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses nitrifikasi berjalan dengan baik adalah 6-7 dengan temperatur optimal 40oC. Hasil analisa FAO (1987) menghasilkan kandungan nitrogen dan nilai C/N pada beberapa bahan organik diantaranya

Kondisi Konsisi yang bisa diterima Ideal

Nilai C/N 20:1 s/d 40:1 25-35:1

Kelembaban 40 – 65 % 45 – 62 %

Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10%

Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi

Bulk Density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd

Nilai pH 5.5 – 9.0 6.5 – 8.0

limbah tebu memiliki nitrogen per berat kering sebesar 0.3 % dengan nilai C/N sebesar 150. Beberapa bahan organik lain disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen, dan nilai C/N

Jenis Bahan Nitrogen per Berat Kering (%) Nilai C/N

Lumpur limbah 5-6 6

Rumput 2-4 8

Sisa tanaman hijauan 3-5 10-15

Eceng gondok 2.2-2.5 20 Jerami gandum 0.6 80 Daun-daunan 0.4-1.0 40-80 Limbah tebu 0.3 150 Serbuk Gergaji 0.1 500 Sumber : FAO (1987)

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat arang (C) sebagai sumber tenaganya. Selain itu membutuhkan zat lemas (N) sebagai sumber makanan dan nutrisi untuk pertumbuhan. Kadar unsur tersebut harus tersedia dalam bahan baku dan jumlah yang sesuai. Jumlah optimal C dan N yang dibutuhkan mikroorganisme bervariasi sesuai dengan jenis substrat dan organisme yang ada. Biasanya satu bagian N dengan 15-30 bagian C. Jika nilai C/N di bawah 15, nitrogen akan hilang oleh proses amonifikasi yang ditandai dengan adanya bau amonia. Reaksi pembakaran C dan O pada mikroorganisme akan menghasilkan panas dan karbon dioksida yang dilepas dalam bentuk gas, sedangkan N yang terurai akan ditangkap oleh mikroorganisme. Pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur N tersebut akan tetap tinggal dalam kompos dan akan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.

Adapun skema siklus nitrogen dalam proses dekomposisi bahan organik pada co- composting dapat dilihat pada Gambar 7 dan sekema proses fiksasi nitrogen dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Skema proses fiksasi nitrogen (Sitaresmi 2000)

2. Ukuran Partikel

Menurut Isroi (2008) aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

Menurut Dalzell et al. (1987) ukuran partikel yang berukuran kurang dari 10 mm perlu dilakukan aerasi buatan, sedangkan ukuran partikel yang berukuran lebih besar dari 50 mm hanya diperlukan aerasi alami untuk suplai oksigen. Menurut Murbandono (1983) sampai batas tertentu semakin kecil ukuran potongan bahan, maka semakin cepat pula waktu pembusukannya. Hal ini karena semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk menyerang dan menghancurkan material-material tersebut. Walaupun demikian, jika pencincangan bahan terlalu kecil akan mengakibatkan timbunan mampat dan tidak terkena udara. Indrasti (2007) menambahkan bahwa proses pengomposan akan berjalan apabila bahan baku yang digunakan memiliki ukuran diameter yang seragam, yaitu antara 20 mm sampai dengan 50 mm. Ukuran partikel yang terlalu besar menyebabkan proses pengomposan berjalan lambat, sedangkan ukuran partikel yang terlalu kecil tidak sesuai untuk proses aerasi.

3. Aerasi (Sirkulasi Udara)

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat adanya peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos (Isroi 2008).

Menurut Dalzell et al. (1987) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Tidak adanya udara atau kondisi anaerobik akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam

mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan dan menimbulkan bau busuk. Indrasti (2007) menambahkan bahwa bau yang ditimbulkan dari beberapa tahap pengomposan, meliputi ketidakcukupan proses aerasi, nilai C/N yang rendah, dan suhu yang terlalu tinggi. Apabila proses tidak mendapatkan suplai oksigen yang sesuai akan terjadi proses anaerobik yang menghasilkan campuran senyawa berbau tidak sedap. Hal ini berbeda dengan proses pengomposan yang hanya menghasilkan karbon dioksida. Aerasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan udara pada sistem pengomposan. Aerasi dilakukan dengan beberapa cara yang berbeda tergantung dari sistem pengomposan yang digunakan, yaitu sistem pengadukan (agitation) di dalam wadah (windrow), tumpukan tetap yang teraerasi (force aeration), dan kombinasi pengadukan dengan tenaga misalnya aerated/agitated by system. Melalui ketiga sistem aerasi tersebut kebutuhan udara dalam sistem akan terpenuhi.

Pereira-Neto et al. (1991) menyatakan bahwa forced aeration adalah proses aerasi atau suplai oksigen ke dalam tumpukan kompos melalui udara yag ditekan ke dalam sistem. Sistem ini lebih efektif dibandingkan sistem pembalikan. Forced aeration dilakukan melalui fan berkapasitas tinggi dan head yang rendah (< 150 mm). Sistem aerasi ini terdiri atas 3 model, yaitu :

1. Blowing atau meniupkan udara ke dalam tumpukan bahan kompos (tekanan positif)

2. Sucking atau pengisapan oleh tumpukan bahan kompos (tekanan negatif) 3. Hybrid atau kombinasi antara peniupan dan pengisapan

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme dalam tumpukan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi. Jika tumpukan kekurangan oksigen, biasanya akan mengeluarkan bau. Jika ini terjadi maka sebaiknya dilakukan pembongkaran kembali tumpukan untuk memberikan oksigen pada tumpukan kompos.

Sistem aerasi kompos dapat berupa aerasi aktif atau aerasi pasif. Proses aerasi pasif kompos tidak menggunakan langkah pemberian suplai udara melalui pipa atau pori-pori bahan kompos. Aerasi aktif pada kompos memberikan aliran udara ke dalam bahan kompos melalui pipa. Keuntungan sistem aerasi aktif ini adalah waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan aerasi pasif (AESA 2001).

Kebutuhan udara oleh mikroorganisme ditentukan oleh tipe limbah yang diolah (bahan nutrisi atau ukuran partikel), suhu proses, tahapan proses, dan kondisi proses (kadar kelembaban dan strukturnya). Kebutuhan udara tersebut dapat diukur dengan alat laboratorium menggunakan respirometer. Sistem pengomposan menggunakan forced aeration dengan suhu udara dikendalikan melalui sistem umpan balik, membutuhkan udara yang lebih rendah dari kebutuhan udara yang disediakan. Pada tahap awal pengomposan menunjukkan kebutuhan udara yang lebih tinggi terdapat pada proses pendinginan dengan nilai kebutuhan udara mencapai 90% dari total kebutuhan udara yang diperlukan. Selain itu, pada beberapa kasus pengendalian temperatur ditentukan oleh suplai oksigen yang digunakan. Proses pemanasan dan pendinginan tetap menjadi perhatian utama. Hal ini disebabkan keberhasilan kedua proses tersebut menjadi indikator rata-rata oksigen yang masih terdapat dalam tumpukan kompos (Indrasti 2007).

AESA (2001) menambahkan bahwa aerasi pasif merupakan tumpukan bahan organik yang didekomposisi dengan sedikit pengaturan dan pembalikan bahan. Secara umum metode ini digunakan untuk bahan yang memiliki porositas tinggi seperti dedaunan, karena suplai oksigen tergantung pada difusi pasif. Aerasi pasif masih perlu pembalikan

secara berkala untuk meningkatkan aliran aerasi dan membangun porositas bahan. Proses pengomposan menggunakan aerasi pasif ini cenderung lambat dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan kompos matang dan dimungkinkan akan menimbulkan bau karena laju aerasi rendah.

4. Porositas (Susunan Bahan)

Menurut Isroi (2008) porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan menyuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

Ukuran partikel bahan menentukan ukuran dan volume pori-pori bahan. Jika ukuran bahan bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah. Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang merupakan masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan dari suatu bahan. Semakin halus suatu partikel, semakin luas permukaan yang terbuka terhadap kegiatan mikroorganisme (Gotass 1956).

5. Kandungan Air

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi 2008).

Menurut Indrasti (2007) nilai kelembaban yang tepat pada kompos akan menyediakan kondisi yang sesuai bagi proses biologis yang terjadi dalam pengomposan. Kompos yang terlalu basah menyebabkan penghambatan proses aerasi dan proses akan berlangsung anaerobik, sedangkan kompos yang terlalu kering dekomposisi tidak akan terjadi. Selama pengomposan, nilai kelembaban yang diharapkan yaitu 55% per berat kompos, dengan batas atas 60% dan batas bawah 45%. Indriani (1999) menambahkan kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik bila kadar airnya mencapai 40-60 %. Kadar air yang terlalu tinggi mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi sehingga tercipta kondisi anaerob. Kadar air terlalu rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga dekomposisi bahan organik oleh mikrorganisme tidak optimal (kondisi perlu dijaga).

Richard (1996) menambahkan bahwa jika kadar air tidak cukup akan menyebabkan suhu bahan menjadi rendah, walaupun suhu bahan pusat tetap tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan waktu penguraian, jika kompos terlalu basah, bisa ditambahkan beberapa material kering seperti potongan kayu dan dedaunan. Hal tersebut dapat meningkatkan porositas agar air dan udara dapat mengalir dengan baik.

Kelebihan kandungan air pada tumpukan kompos akan menghambat sirkulasi oksigen melalui rongga, sedangkan tumpukan kompos terlalu kering dapat mengakibatkan kematian mikroorganisme pendegradasi. Kedua kondisi tersebut membatasi perkembangbiakan mikroorganisme sehingga proses pengomposan akan berjalan lambat (CPIS 1992).

Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor kadar air. Limit terendah dari aktivitas bakteri adalah sekitar 12-15 %, walaupun sebenarnya kadar air lebih kecil dari 40 % merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum. Idealnya kadar air antara 50-60 %. Jika kadar air campuran lebih besar dari 60 % maka integritas struktural yang baik juga tidak akan tercapai. Selama proses pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan agar kondisi air pada kondisi optimum tetap terjaga selama proses pengomposan (Richard 1996).

Menurut Golueke (1977) kadar air bahan kompos yang ideal untuk berbagai jenis bahan organik berbeda-beda tergantung jenisnya. Kadar air pengomposan beberapa jenis bahan organik disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Kadar air pengomposan beberapa jenis bahan organik

Jenis Bahan Kadar Air %

Jerami 50-60 Kayu 75-90 Kertas 55-65 Limbah basah 50-75 Sampah kota 55-65 Pupuk kandang 55-65 Sumber : Golueke (1977)

6. Suhu

Menurut Isroi (2008) panas dihasilkan dari aktivitas mikroba dan ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30 - 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. Indrasti (2007) menambahkan bahwa suhu sebaiknya diatur dan dikendalikan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme patogen, mengatur kondisi proses sesuai untuk aktivitas mikroba, mengurangi waktu proses produksi. Panas secara mudah dapat dikendalikan dan memilki peranan penting dalam proses pengomposan. Panas dihasilkan oleh mikroorganisme saat proses pencernaan bahan organik. Pada saat kecepatan dekomposisi bahan organik di awal fase semakin cepat, maka panas yang ditimbulkan meningkat semakin cepat. Seiring dengan kecepatan dekomposisi yang mulai konstan, suhu berkurang perlahan-lahan. Di akhir proses pengomposan, bahan organik yang dicerna sudah habis sehingga terjadi penurunan suhu.

Indriani (1999) menyatakan bahwa jika suhu terlalu tinggi mengakibatkan mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal. Tchobanoglous et al. (1993) menambahkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam sistem pengomposan terbagi ke dalam tiga bagian berdasarkan temperaturnya yaitu cryophiles or psychrophiles (0-25oC) mesophiles (25-45oC) dan thermopiles (>45oC).

Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas. Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60oC. Di bawah 32oC, proses berlangsung lambat dan di atas 60oC, mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, gundukan kompos dapat lebih besar untuk minimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65oC (Richard 1996).

Menurut Indrasti (2007) pada suatu sistem pengomposan, massa kompos mengalami perubahan fisik, kimia, maupun biologi. Perubahan tersebut salah satunya menyebabkan perubahan dan perbedaan suhu terhadap waktu. Pada sistem pengomposan dengan tumpukan tetap teraerasi, terdapat perbedaan suhu antara massa yang di bagian dasar dan bagian permukaan. Suhu yang diperlukan pada masing-masing tahapan proses pengomposan berbeda-beda. Sebagai contohnya, pada proses sanitasi suhu yang tinggi membuat proses berjalan efektif, sedangkan pada proses stabilisasi suhu yang tinggi justru menghambat proses. Rentang suhu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan proses terlihat seperti berikut :

Suhu > 55oC : dapat memaksimumkan proses sanitasi Suhu 45-55oC : dapat memaksimumkan proses biodegradasi

Suhu 35-40oC : dapat memaksimumkan keragaman mikroba yang ada

7. Nilai pH (Derajat Keasaman)

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. Nilai pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Nilai pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Nilai pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Isroi 2008).

Pengaturan pH penting pada operasi pengomposan dan tetap harus dilakukan terutama pada proses yang tidak terlihat perkembangannya. Tingkat pH 5.5 merupakan pH optimum pada permulaan tahap pengomposan. Nilai pH tersebut untuk mengantisipasi kenaikan pH akibat dihasilkannya nitrogen pada tahap pengomposan selanjutnya. Secara umum nilai pH selama proses pengomposan berada sekitar 6.0 dan 8.0. pada pH yang lebih tinggi atau lebih rendah (>8.5 dan <5.5) aktivitas biologis akan terhambat. Cara yang termudah untuk mengatasi tingginya nilai pH pada kompos yaitu dengan membatasi aerasi yang dilakukan. Melalui cara tersebut dapat dihasilkan asam organik yang akan

menurunkan nilai pH dan tidak menyebabkan penurunan pH terlalu rendah. Setyorini et al. (2006) menambahkan bahwa bahan organik dengan nilai pH 3-11 dapat dikomposkan. Nilai pH optimum sekitar 5.5 – 8.0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH sedikit asam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kehati-hatian saat menambahkan kapur pada saat pengomposan. Pada awal proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju netral. Variasi pH yang ekstrem selama proses pengomposan menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi.

Faktor yang mempengaruhi hasil pengomposan adalah pH. Nilai pH optimal yang berlangsung saat pengomposan adala 6-8. Nilai pH yang terlalu tinggi menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme (CPIS 1992). Menurut Murbandono (1983) pengontrolan pH agar tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan karena keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan.

Nilai pH yang cenderung menurun pada awal pengomposan menunjukkan terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam-asam lemah yaitu asam laktat, asam butirat, asam propanat, asam asetat, dan asam lemah lainnya. Peningkatan nilai pH pada saat proses pengomposan disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2 dan sambungan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan organik. Selain itu,

kondisi proses pengomposan pada keadaan basa disebabkan perubahan nitrogen dan asam lemah menjadi asam amoniak. Pemberian kotoran hewan, urea, pupuk nitrogen biasanya akan menurunkan nilai pH, tetapi selama proses pengomposan berjalan terjadi perubahan pH. Pengomposan pada kondisi aerob biasanya dalam kondisi basa, sedangkan pengomposan pada kondisi anaerob dalam kondisi asam (Harada et al. 1993).

8. Kandungan Hara

Menurut Isroi (2008) kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi dan bermanfaat sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Apabila digunakan sebagai mulsa, maka ia akan mengontrol kehilangan air evaporasi dari permukaan tanah dan pada saat yang sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam tanaman dapat dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekomposisi. Kandungan haranya sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan tanaman tersebut (FAO 1987).

9. Kandungan Bahan Berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan (Isroi 2008).

Masalah yang paling utama pada produksi kompos adalah hadirnya logam berat atau bahan beracun yang berbahaya, baik untuk manusia maupun untuk pertumbuhan tanaman.

Bahan dasar kompos yang paling banyak digunakan adalah sampah kota dan sewage.

Dokumen terkait