• Tidak ada hasil yang ditemukan

ke- Suhu Ruang Suhu Bagasse (C)

Aerasi Aktif (% Sludge) Aerasi Pasif (% Sludge)

0 25 50 0 25 50 1

27.50

26.00 26.00 27.00 26.00 26.50 27.00 2

27.50

25.92 26.00 26.33 27.00 27.17 27.42 3

27.50

29.00 29.00 29.00 30.17 31.08 31.17 4

27.50

28.92 28.75 28.83 29.67 29.67 29.92 5

27.50

29.08 32.17 29.17 31.17 31.33 31.75 6

27.50

29.67 29.42 30.08 32.17 31.92 32.92 7

27.50

32.75 33.08 34.50 33.08 33.25 33.08 8

27.50

32.08 31.50 32.58 33.08 33.42 33.50 9

27.50

31.17 31.17 31.00 30.50 31.00 31.58 10

27.50

28.58 27.83 27.83 29.08 29.17 29.50 11

27.50

32.00 31.83 32.25 31.58 31.67 32.00 12

27.50

33.00 31.42 31.33 31.75 31.17 31.33 13

27.50

32.17 30.50 30.42 31.25 30.92 31.08 14

27.50

35.75 32.50 32.50 32.42 32.33 33.00 15

27.50

33.75 29.58 29.50 30.58 29.83 29.83 16

27.50

36.25 32.42 31.92 33.75 32.42 32.75 17

27.50

38.00 32.92 32.75 32.58 32.33 32.50 18

27.50

38.75 35.17 33.33 34.25 32.83 33.67 19

27.50

33.50 29.67 29.17 30.92 30.08 29.50 20

31.00

32.75 31.25 30.42 31.67 31.17 31.33 21

26.50

33.25 32.92 31.17 32.92 32.00 31.25 22

26.50

35.08 33.92 31.75 34.08 33.33 32.08 23

27.00

35.00 33.83 32.58 34.27 34.26 32.04 24

30.00

38.92 38.83 35.33 38.17 38.42 35.67 25

30.00

37.42 37.00 33.75 36.67 36.83 34.50 26

26.00

34.50 34.58 30.67 33.50 35.25 30.42 27

29.00

34.83 34.67 31.50 34.50 35.00 30.92 28

29.00

34.92 34.58 31.00 35.25 35.08 30.83 29

28.00

32.67 32.25 30.17 33.08 33.08 29.67 30

28.00

33.42 32.42 29.25 32.67 32.42 29.00 31

28.50

30.58 31.48 28.75 31.31 31.00 27.96 32

31.00

35.33 35.42 32.83 36.42 35.50 32.50 33

27.50

35.33 35.42 32.83 36.42 35.50 32.50 34

25.00

29.67 29.67 27.00 30.58 29.33 27.00 35

24.50

29.00 32.67 29.42 29.92 28.92 27.08 36

26.00

28.58 29.50 28.17 29.42 29.00 28.17 37

29.50

30.33 31.33 28.33 31.08 30.75 28.33 38

27.00

30.67 30.75 28.50 30.50 30.25 28.33

39

30.00

32.58 32.67 31.33 33.33 32.42 30.92 40

28.00

30.17 30.08 29.17 30.75 30.08 29.08 41

28.00

32.00 32.08 31.08 32.08 31.67 31.17 42

31.00

30.33 30.25 29.58 30.42 30.00 29.50 43

27.50

29.67 29.33 28.83 29.83 29.75 28.92 44

29.00

30.42 29.50 28.92 30.67 29.83 28.92 45

27.00

30.50 30.00 28.92 30.33 25.00 29.00 46

24.50

28.58 28.92 27.58 29.00 28.50 27.75 47

24.50

28.75 28.42 27.92 28.75 28.17 27.58 48

24.50

28.58 28.08 27.42 28.42 28.33 27.75 49

26.50

28.92 28.33 27.92 29.08 28.67 27.83 50

27.00

28.83 28.25 27.83 28.67 28.75 27.92 51

25.50

28.83 28.50 27.92 29.67 28.58 28.08 52

28.00

28.83 28.42 28.08 28.75 28.75 28.58 53

27.00

28.08 27.83 27.50 28.67 27.67 27.50 54

27.50

28.58 28.08 28.00 29.08 28.75 28.08 55

28.00

28.75 28.58 28.25 28.50 28.67 28.25 56

27.50

28.50 28.67 28.17 28.42 28.42 28.25 57

26.00

28.75 28.50 28.08 28.83 28.50 28.25 58

26.00

28.92 28.83 28.58 28.75 28.75 28.75 59

24.50

28.17 28.58 28.08 28.25 28.50 27.83 60

24.50

28.92 28.33 28.00 28.67 28.17 28.33

CO-COMPOSTING BAGASSE DENGAN SLUDGE LIMBAH

INDUSTRI GULA MENGGUNAKAN TEKNIK AERASI

DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI C/N

SKRIPSI

ADI SETIAWAN

F34070089

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

CO-COMPOSTING BAGASSE WITH SLUDGE SUGAR

INDUSTRY WASTE USING AERATION TECHNIQUES

AND ITS EFFECT IN VALUE OF C/N

Mohamad Yani, Nastiti Siswi Indrasti, and Adi Setiawan

Departemen of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Tecnology,

Bogor Agricultural University, IPB Dramaga-Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone +6285 780377877, e-mail : adie_boxer@yahoo.co.id

ABSTRACT

Bagasse is the solid waste sugar industry and relatively abundant (30-40%). Sugarcane planted area in Indonesia reaches 395,399.44 hectare and potentially to achieve national bagasse 39,539,944 tons per year. As well as produced sludge each day around 10-50 %. Sludge has quite high carbon content and nitrogen, thus potentially to be composting. Co-composting is one of the alternative solutions in the utilization of industrial solid waste of sugar. One of them is the bagasse and sludge with complementary characteristics, thus simplifying the process of composting. Composting methods and that techniques applied are aerated static pile system and using two factorial of aeration and formulation. Aeration factor conducted by active and passive aeration, while the formulation conducted by a factor of 0%, 25%, and 50% sludge. Composting process carried out during the sixty days with active aeration at first week. Analysis results showed that aeration technique proved didn’t have significant effect in changing C/N value. After analysis of variance and advanced test showed that the formulation of three different stages proved significantly different of C/N and significant at 50% sludge. Generally, aeration factor and formulation are not related yet and do not have any significant interaction to co-composting C/N value. There is need for advanced research until the value of C/N can achieve the appropriate standard of quality compost.

ADI SETIAWAN. F34070089. Co-Composting Bagasse dengan Sludge Limbah Industri Gula Menggunakan Teknik Aerasi dan Pengaruhnya Terhadap Nilai C/N. Di bawah bimbingan Mohamad Yani dan Nastiti Siswi Indrasti. 2011

RINGKASAN

Industri gula di Indonesia tidak terlepas dari limbah padat yang dihasilkan, yaitu salah satunya berupa ampas tebu (bagasse) dan sludge. Pemanfaatan dan penggunaan limbah ini masih belum tertangani secara optimal, sedangkan ketersediaan limbah tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya proses produksi. Bagasse jumlahnya relatif melimpah, yaitu sekitar 30-40% dari total proses penggilingan tebu setiap produksi. Fauzi (2005) menambahkan bahwa menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia mencapai 395,399.44 ha dengan potensi bagasse nasional dihitung dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun. Limbah lain hasil proses produksi gula dan belum ditangani dengan baik adalah sludge (lumpur). Sludge dihasilkan dari sisa penanganan air limbah IPAL yang berupa lumpur flok, sisa endapan lumpur dari clarifier, dan endapan lumpur aktif di biological treatment (biasanya ditampung dan dikeringkan di sludge drying bed). Sludge memiliki nilai C/N yang menentukan kandungan karbon dan nitrogen dalam bahan organiknya sebagai indikator dalam pengomposan (composting). Nilai C/N merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Pencampuran antara bagasse dan sludge dilakukan agar kandungan C/N dapat saling melengkapi serta memanfaatkan fungsi bagasse sebagai bulking agent, sehingga mempermudah aliran oksigen dan mempercepat dekomposisi bahan organik.

Tujuan dalam penelitian ini mencakup tiga aspek penting, yaitu pemanfaatan limbah padat industri gula berupa bagasse dan sludge dengan pengomposan campuran (Co-composting), mengetahui pengaruh teknik aerasi terhadap perubahan nilai C/N pada proses co-composting, dan mengetahui pengaruh formulasi bagasse dengan sludge terhadap perubahan nilai C/N pada proses co- composting .

Metode dan teknik pengomposan yang digunakan dalam proses co-composting bagasse dan sludge dilakukan dengan sistem aerated static pile (sistem aerasi tanpa pembalikan tumpukan). Perlakuan aerasi yang dirancang berupa pemberian aerasi secara aktif menggunakan bantuan compressor (blower) dan sebagai perbandingan perlakuan, aerasi yang lain menggunakan aliran udara secara alami (aerasi pasif). Sistem pengomposan dilakukan dalam reaktor termodifikasi, agar kondisi bahan pengompos terjaga dari faktor eksternal yang tidak diinginkan. Faktor aerasi dilakukan dengan dua taraf, yaitu perlakuan aerasi aktif dan pasif, sedangkan faktor formulasi dilakukan dengan tiga taraf, yaitu 0%, 25%, dan 50% sludge. Proses pengomposan bahan campuran dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan aerasi aktif selama satu minggu. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan perbandingan antara pengaruh formulasi dan aerasi terhadap perubahan nilai C/N. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan (co-composting) yaitu kandungan nilai C/N, pengaruh teknik aerasi, kandungan air, suhu, dan keasaman (pH) serta pengamatan tambahan terhadap ukuran partikel dan porositas. Pengujian parameter proses pengomposan yang paling utama diuji adalah nilai C/N yang didapatkan dari analisa total kadar karbon (C) dan total kadar nitrogen (N) dalam bahan kompos. Selain itu dilakukan analisa terhadap suhu (setiap hari), keasaman (pH), dan kadar air.

Hasil dari analisa terhadap sampel yang diambil setiap minggu selama satu bulan menunjukkan beberapa data yang mendukung literatur. Dari grafik yang telah didapatkan menunjukkan bahwa perubahan nilai C/N yang memiliki trend terbaik terjadi pada perlakuan formulasi 50% sludge dengan perlakuan aerasi aktif dan pasif yaitu hingga mencapai 54.73 dan 62.26 (masih belum mendekati

standar). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan formulasi yang seimbang antara campuran bagasse dengan sludge memberikan perubahan yang cukup baik dibandingkan formulasi 0% sludge dengan 25% sludge. Hasil analisa menggunakan rancangan percobaan acak lengkap menunjukkan bahwa faktor aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai C/N. Hal tersebut diakibatkan kurangnya jumlah oksigen yang dialirkan dan waktu aerasi aktif yang singkat. Jumlah banyaknya oksigen yang masuk akan mempermudah aliran oksigen ke dalam bahan, sehingga meningkatkan jumlah mikroorganisme dekomposer. Parameter uji lainnya juga mendukung terhadap proses pengomposan, yaitu pada faktor suhu menunjukkan hasil peningkatan (fase aktif) yang cukup tinggi pada periode hari ke-1 hingga hari ke-30 mencapai sekitar 30-39 oC, lalu dilanjutkan pada trend yang relatif sama (fase pematangan). Fase aktif merupakan fase ketika mikroorganisme beraktivitas mengeluarkan energi cukup banyak (mesofilik) dan konsumsi oksigen tinggi, sehingga membantu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Faktor lain yang mendukung proses dekomposisi bahan organik berupa bagasse dan sludge adalah kadar keasaman (pH), ukuran partikel, serta porositas (rongga tumpukan kompos). Dari data dan pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keasaman (penurunan nilai pH) hingga mencapai pH 4 pada formulasi 0% sludge baik aerasi aktif maupun aerasi pasif, sedangkan pada formulasi 50% sludge memiliki kestabilan pH yang berkisar antara 6.5-7.5. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya pengaruh formulasi yang signifikan terhadap keasaman bahan. Faktor porositas dan ukuran partikel memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan C/N co-composting bagasse dengan sludge. Hal ini terbukti ketika dibandingkan dengan bahan lain seperti blotong dan abu ketel yang memiliki ukuran partikel dan porositas lebih kecil.

Dari berbagai parameter uji proses pengomposan yang dilakukan, membuktikan bahwa perlakuan teknik aerasi pada co-composting tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai C/N, sedangkan perlakuan formulasi co-composting bagasse dengan sludge pada tiga taraf yang berbeda terbukti berbeda nyata terhadap perubahan C/N. Setelah dilakukan uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa signifikan pada formulasi 50% sludge. Dari analisia data sesuai rancangan percobaan menunjukkan bahwa faktor A (aerasi) dan B (formulasi) belum berkaitan erat dan memiliki interaksi yang belum berpengaruh terhadap perubahan nilai C/N co-composting. Sebagai suatu wujud nyata aplikasi penelitian ini, perlu adanya penelitian lanjutan terhadap co-composting bagasse dengan perlakuan aerasi yang lebih banyak dan intensif, sehingga proses pengomposan lebih berkualitas dan mendapatkan nilai C/N yang mendekati mutu standar kompos. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan terhadap bagasse yang masih segar dan membandingkan dengan bagasse yang lama tertimbun di land application (proses alami).

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gula dan hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395,399.44 ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 99,383.8 ha, Pulau Jawa seluas 265,671.82 ha, Pulau Kalimantan seluas 13,970.42 ha, dan Pulau Sulawesi seluas 16,373.4 ha. Diperkirakan dari setiap hektar tanaman tebu menghasilkan bagasse sebanyak 100 ton dalam proses pengolahan menjadi gula. Potensi bagasse nasional yang ditimbulkan industri pengolahan tebu dihitung dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Fauzi 2005).

Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu industri penghasil tanaman tebu yang cukup besar di Pulau Jawa dan industri pangan yang menghasilkan limbah hasil kegiatan produksi yang relatif banyak. Limbah yang dihasilkan pabrik gula didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil). Hal ini erat kaitannya dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan merupakan bahan-bahan organik. Limbah yang dihasilkan di pabrik gula terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula berupa limbah cair, limbah padat, limbah gas, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Jumlah limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi gula relatif banyak. Limbah padat pabrik gula pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat dimanfaatkan kembali dan limbah padat yang tidak dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Proses produksi gula ini menghasilkan beberapa limbah padat yaitu ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, sludge, sisa pucuk dan daun tebu, kerak nira dan gula,dan limbah domestik.

Pemanfaatan dan penggunaan kembali limbah padat dari proses produksi gula masih belum ditangani secara optimal, sedangkan ketersediaan limbah padat tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya proses produksi. Limbah padat tersebut terutama adalah bagasse dan sludge. Bagasse atau ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula (hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan) yang jumlahnya melimpah. Bagasse berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Rendemen bagasse mencapai sekitar 30-40 % dari tebu yang masuk ke penggilingan. Pemanfaatan bagasse di pabrik gula secara umum dilakukan dengan cara langsung mengirimnya ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai umpan pembakaran dan sisanya belum ditangani dengan baik. Penanganan bagasse di beberapa pabrik gula masih belum teralokasikan secara optimal, masih banyak bagasse yang melimpah tersisa di bagasse house setiap kali produksi. Hal tersebut merupakan salah satu masalah yang cukup serius jika tidak ada penanganan atau pemanfaatan khusus selain sebagai bahan bakar boiler atau dijual.

Limbah padat yang cukup melimpah dan belum termanfaatkan dengan baik di pabrik gula termasuk PG Jatitujuh selain bagasse adalah sludge. Sludge dihasilkan dari sisa penanganan air limbah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berupa gumpalan lumpur atau flok, sisa endapan lumpur dari clarifier, dan endapan lumpur aktif di biological treatment dan biasanya ditampung dan dikeringkan di sludge drying bed. Limbah sludge mengandung berbagai jenis mikroorganisme dan senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Sludge merupakan salah satu limbah yang jumlahnya cukup melimpah dari hasil proses pengolahan air limbah sisa

produksi gula dan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dengan memberikan sentuhan teknologi agar memiliki value added. Pengolahan limbah sludge memerlukan biaya yang mahal, sedikitnya 50 % dari biaya pengolahan air limbah dapat tersedot untuk mengatasi limbah sludge yang terjadi dan tersisa. Akibatnya, di PG Jatitujuh limbah sludge ini langsung dibuang ke areal kebun atau ditimbun di TPA (tempat pembuangan akhir) dan sludge drying bed. Menurut Kristanto (2002) pembuangan dan penanganan sludge dengan cara seperti ini (land filling) dapat berakibat buruk terhadap kondisi air dan tanah karena dapat terjadi infiltrasi logam berat dalam sludge bersama-sama dengan leachate (lindi) yang terbentuk pada proses dekomposisi sampah. Selain itu, land filling juga beresiko dengan keterbatasan kapasitas, tempat yang cocok dan aman, biaya dan sebagainya.

Pemanfaatan sludge sebagai pupuk tanaman (kompos) merupakan salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk pengelolaan dan pemanfaatan limbah padat industri gula agar dapat bersinergi dengan lingkungan. Pengomposan dipandang sebagai alternatif pengolahan limbah padat dan sludge yang lebih baik dan cukup sederhana. Selain ramah lingkungan, pengomposan juga hanya membutuhkan biaya investasi yang relatif lebih murah dan dapat menguntungkan bagi perusahaan. Pengomposan dapat mengembalikan bahan organik dari sludge ke dalam tanah sehingga dapat membantu memulihkan kesuburan tanah atau lahan perkebunan. Bahan organik berperan penting dalam pengaturan kadar air, aerasi, pemantap struktur, sumber hara tanaman, meningkatkan kapasitas tukar kation, dan sumber energi aktivitas mikroorganisme dalam tanah. Menurut Wardhana (2004) bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga akan sangat bijaksana apabila buangan yang termasuk ke dalam kelompok ini tidak dibuang ke air atau lingkungan karena akan mencemari dan meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam air. Bertambahnya populasi mikroorganisme ini tidak menutup kemungkinan untuk ikut berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Limbah padat organik sebaiknya dikumpulkan untuk diproses menjadi pupuk buatan (kompos) yang berguna bagi tanaman. Pembuatan kompos ini berarti mendaur ulang limbah organik yang akan berdampak positif bagi lingkungan hidup manusia.

Pengomposan tidak terlepas dari kandungan unsur karbon dan nitrogen (nilai C/N) dalam bahan organik yang ada dalam bahan baku pembentuknya. Unsur-unsur yang terdapat dalam bahan organik tersebut sangat berperan penting dalam peningkatan kesuburan tanah. Nilai C/N tersebut dimiliki oleh sludge yang menjadi faktor penentu kandungan karbon dan nitrogen dalam bahan organiknya sebagai indikator pengomposan (composting). Nilai C/N yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik (karbon) belum terdekomposisi sempurna. Sebaliknya, nilai C/N yang semakin rendah menunjukkan bahwa bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus (kandungan nitrogen tinggi). Sludge yang dihasilkan PG Jatitujuh memiliki C/N yang relatif rendah dibandingkan dengan nilai C/N standar. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya campuran dari bahan organik yang memiliki kandungan karbon tinggi agar campuran bahan organik tersebut dapat menyuburkan tanah lingkungan. Salah satu bahan organik yang memiliki kadar karbon tinggi adalah bagasse (memiliki kandungan nitrogen, fosfor, dan kalium cukup tinggi). Kondisi tersebut memunculkan beberapa aspek yang berpotensi untuk dikaji dalam proses co-composting, yaitu kombinasi (pencampuran) antara bagasse dan sludge yang berkaitan erat dengan formulasi dalam menentukan komposisi bahan pengompos. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan kualitas kompos yang baik dan sesuai dengan kadar unsur kompos yang ideal. Aspek lain yang perlu dikaji adalah pengaruh dari perubahan nilai C/N dalam proses pengomposan, termasuk pengaruh teknik aerasi merupakan faktor penting dalam memberikan perlakuan terhadap proses pengomposan bagasse dengan sludge limbah industri gula.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemanfaatan limbah padat industri gula berupa bagasse dan sludge dengan pengomposan campuran (Co-composting)

2. Mengetahui pengaruh teknik aerasi terhadap perubahan nilai C/N pada proses pengomposan bagasse dengan sludge

3. Mengetahui pengaruh formulasi bagasse dengan sludge terhadap perubahan nilai C/N pada proses co-composting .

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. KARAKTERISTIK BAHAN ORGANIK INDUSTRI GULA

1. Karaktersitik Bagasse

Ampas tebu atau disebut dengan bagasse merupakan hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan. Bagasse berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan merupakan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Bagasse ini juga merupakan salah satu hasil samping (by product) dari penggilingan tebu yang berupa limbah termanfaatkan. Limbah padat pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah.

Berdasarkan hasil analisa kandungan bagasse di PG Jatitujuh, rendemen bagasse mencapai sekitar 30-40 % dari tebu yang masuk ke penggilingan serta dilakukan analisa pada unsur makro dan unsur mikro dalam bagasse. Analisis terhadap unsur makro dan unsur mikro bagasse di PG Jatitujuh ditunjukkan pada Tabel 1. Kandungan dan komposisi bagasse lain seperti pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi bagasse PG Jatitujuh

Analisis Kandungan (%) Kalium (K2O) 0.11 Phospat (P2O5) 0.12 Kadar Nitrogen (N) 0.244 Pol 1.2 – 1.5 Bahan Kering (BK) 48 – 51.7 Kadar Air 51.4

Sumber : Hasil analisa di Laboratorium PUSLITAGRO PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh (2010)

Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu, setelah dilakukan pengolahan menjadi gula, menghasilkan bagasse sebanyak 100 ton. Maka potensi bagasse nasional yang dihasilkan industri pengolahan tebu dilihat dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Fauzi 2005).

Menurut Lavarack et al. (2002) bagasse merupakan hasil samping proses pembuatan gula tebu (sugarcane) mengandung residu berupa serat, minimal 50% serat bagasse diperlukan sebagai bahan bakar boiler, sedangkan 50% sisanya hanya ditimbun sebagai buangan yang memiliki nilai ekonomi rendah. Penimbunan bagasse dalam kurun waktu tertentu akan menimbulkan permasalahan bagi pabrik. Mengingat bahan ini berpotensi mudah terbakar, mengotori lingkungan sekitar, dan menyita lahan yang cukup luas untuk penyimpanannya.

Secara umum pengolahan tebu di pabrik gula menghasilkan bagasse dari proses penggilingan batang tebu pada penggilingan kelima. Secara garis besar, proses produksi dari tebu menjadi bagasse dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses penggilingan tebu menjadi bagasse (PG Jatitujuh, 2010)

Tanaman tebu yang berisi air yang digunakan sebagai bahan pembuat gula (nira) dan memiliki komposisi yang lebih kompleks yaitu sacharose, zat sabut atau fiber, gula reduksi, dan beberapa bahan lainnya. Sabut yang terkandung dalam ampas tebu (bagasse), tersusun dari beberapa komponen penyusun yaitu selulosa, pentosan, lignin, dan beberapa komponen lain seperti dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komponen penyusun sabut bagasse

Sumber : Brady (1991)

Setelah dilakukan pengujian pendahuluan terhadap bagasse dari PG Jatitujuh pada 7 Februari 2011, komponen dalam bagasse adalah sesuai Tabel 3.

Tabel 3. Komponen bagasse di PG Jatitujuh (pengujian pendahulu)

Senyawa Satuan Jumlah

Bahan Organik % 60.48 Karbon % 33.12 Nilai C/N - 165.6 Kalsium % 0.535 Magnesium % 0.014 Besi % 0.074 Alumunium % 0.083 Mangan % 0.007 Kadar Air % 36.26 pH - 4.90

Sumber : Hasil analisa Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB Div.Teknologi dan Manajemen Lingkungan No. 008/TIN/11 (2011)

Bagasse yang jumlahnya melimpah dan hampir 100% termanfaatkan untuk umpan boiler ternyata masih memiliki sisa yang cukup banyak dan melimpah. Selain itu, akan

Nama Bahan Jumlah (%)

Cellulose 45

Pentosan 32

Lignin 18

berdampak lanjut pada gangguan lingkungan dan membutuhkan lahan yang lebih luas dalam penampungannya. Pemanfaatan bagasse di PG Jatitujuh tahun 2010 sesuai data pada Tabel 4.

Tabel 4. Pemanfaatan bagasse periode 2010

Bulan Jumlah Ampas (Ku) Sebagai Bahan Bakar Boiler (Ku) Persediaan (Ku) Jumlah Ampas Keluar (Ku) Sisa Persediaan (Ku) Januari - - 55838 - 55838 Februari - - 55838 - 55838 Maret - - 55838 1040 54798 April - - 54798 - 54798 Mei 167314 189154 -21480 - 32958 Juni 448523 377263 71260 - 71260

Total sampai Juni 1040 104218

Sumber : Laporan Praktek lapangan tentang Manajemen Lingkungan Industri di PG Jatitujuh (2010)

2. Karaktersitik Sludge

Hasil identifikasi di IPAL PG Jatitujuh tahun 2010 menghasilkan sludge dari sisa penanganan air limbah dan berupa lumpur-lumpur flok, sisa endapan lumpur dari clarifier, dan endapan lumpur aktif di biological treatment yang biasanya ditampung dan dikeringkan di sludge drying bed. Limbah berupa sludge mengandung berbagai jenis mikroorganisme dan senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme.

Sludge merupakan hasil samping dari proses pengolahan limbah sistem lumpur aktif. Produksi sludge setiap hari pada umumnya 10-50 % dari beban COD air limbah yang diolah (Supriyatno 1993). Sebelum dimanfaatkan, sludge harus diolah terlebih dahulu agar diperoleh hasil yang memuaskan diantaranya dengan proses penggumpalan melalui penampungan lumpur hasil pengendapan kemudian hasil penyaringan dibuang. Sludge dapat dibentuk menjadi suatu produk yang disebut dengan wet spray dengan kandungan kadar kering 2 %. Kadar air di dalam sludge dapat juga ditekan dengan filter press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40 %. Pemanfaatan sludge dapat ditambahkan dengan zat penstabil seperti CaO dengan dosis sebesar 5% dari berat kering (L’Hermite 1988).

Menurut Metcalf dan Eddy (1991) sludge akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Secara biologis, mikroorganisme tersebut terdiri dari kelompok procaryotic dan kelompok eukaryotic. Komposisi dasar sel terdiri atas sekitar 90% organik dan 10% anorganik. Fraksi kimiawi tersebut secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C5H7O2N atau perumusan yang lebih

kompleks sebagai C60H87O23N12P, sehingga kandungan C sebesar 53% dan C/N empiris 4.3.

Basis fraksi kandungan bahan anorganik yang 10% terdiri atas beberapa senyawa dan komposisi seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi 10 % fraksi anorganik sludge Komponen Persentase (%) P2O5 50 SO3 15 Na2O 11 CaO 9 MgO 8 K2O 6 Fe2O3 1

Sumber : Metcalf dan Eddy (1991)

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang pengomposan berbahan sludge dan serbuk gergaji oleh Arifuddin (2001) menyatakan bahwa karakteristik sludge di lapangan sangat bervariasi tergantung jenis industri, tambahan bahan kimia selama proses pengolahan, dan sistem dewatering dari sludge. Umumnya komposisi solid content dalam dewatered sludge sekitar 20-40 %, kandungan air 60-80 %, dan VSS (volatile suspended solid) sekitar 60-90 %, sedangkan kandungan C/N dengan basis biodegradible C sekitar 6-15 %.

Berdasarkan analisa pendahulu terhadap lumpur buangan (sludge) di Pabrik Gula Jatitujuh sebagai perbandingan memiliki beberapa karakteristik dan komponen yang berbeda sesuai komposisi sesuai Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi lumpur buangan (sludge) di PG Jatitujuh

Komponen Satuan Konsentrasi

Dokumen terkait