• Tidak ada hasil yang ditemukan

Co-composting bagasse dengan sludge limbah industri gula menggunakan teknik aerasi dan pengaruhnya terhadap nilai c/n

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Co-composting bagasse dengan sludge limbah industri gula menggunakan teknik aerasi dan pengaruhnya terhadap nilai c/n"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

CO-COMPOSTING BAGASSE DENGAN SLUDGE LIMBAH

INDUSTRI GULA MENGGUNAKAN TEKNIK AERASI

DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI C/N

SKRIPSI

ADI SETIAWAN

F34070089

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

CO-COMPOSTING BAGASSE WITH SLUDGE SUGAR

INDUSTRY WASTE USING AERATION TECHNIQUES

AND ITS EFFECT IN VALUE OF C/N

Mohamad Yani, Nastiti Siswi Indrasti, and Adi Setiawan

Departemen of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Tecnology,

Bogor Agricultural University, IPB Dramaga-Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone +6285 780377877, e-mail : adie_boxer@yahoo.co.id

ABSTRACT

Bagasse is the solid waste sugar industry and relatively abundant (30-40%). Sugarcane planted area in Indonesia reaches 395,399.44 hectare and potentially to achieve national bagasse 39,539,944 tons per year. As well as produced sludge each day around 10-50 %. Sludge has quite high carbon content and nitrogen, thus potentially to be composting. Co-composting is one of the alternative solutions in the utilization of industrial solid waste of sugar. One of them is the bagasse and sludge with complementary characteristics, thus simplifying the process of composting. Composting methods and that techniques applied are aerated static pile system and using two factorial of aeration and formulation. Aeration factor conducted by active and passive aeration, while the formulation conducted by a factor of 0%, 25%, and 50% sludge. Composting process carried out during the sixty days with active aeration at first week. Analysis results showed that aeration technique proved didn’t have significant effect in changing C/N value. After analysis of variance and advanced test showed that the formulation of three different stages proved significantly different of C/N and significant at 50% sludge. Generally, aeration factor and formulation are not related yet and do not have any significant interaction to co-composting C/N value. There is need for advanced research until the value of C/N can achieve the appropriate standard of quality compost.

(3)

ADI SETIAWAN. F34070089. Co-Composting Bagasse dengan Sludge Limbah Industri Gula Menggunakan Teknik Aerasi dan Pengaruhnya Terhadap Nilai C/N. Di bawah bimbingan Mohamad Yani dan Nastiti Siswi Indrasti. 2011

RINGKASAN

Industri gula di Indonesia tidak terlepas dari limbah padat yang dihasilkan, yaitu salah satunya berupa ampas tebu (bagasse) dan sludge. Pemanfaatan dan penggunaan limbah ini masih belum tertangani secara optimal, sedangkan ketersediaan limbah tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya proses produksi. Bagasse jumlahnya relatif melimpah, yaitu sekitar 30-40% dari total proses penggilingan tebu setiap produksi. Fauzi (2005) menambahkan bahwa menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia mencapai 395,399.44 ha dengan potensi bagasse nasional dihitung dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun. Limbah lain hasil proses produksi gula dan belum ditangani dengan baik adalah sludge (lumpur). Sludge dihasilkan dari sisa penanganan air limbah IPAL yang berupa lumpur flok, sisa endapan lumpur dari clarifier, dan endapan lumpur aktif di biological treatment (biasanya ditampung dan dikeringkan di sludge drying bed). Sludge memiliki nilai C/N yang menentukan kandungan karbon dan nitrogen dalam bahan organiknya sebagai indikator dalam pengomposan (composting). Nilai C/N merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Pencampuran antara bagasse dan sludge dilakukan agar kandungan C/N dapat saling melengkapi serta memanfaatkan fungsi bagasse sebagai bulking agent, sehingga mempermudah aliran oksigen dan mempercepat dekomposisi bahan organik.

Tujuan dalam penelitian ini mencakup tiga aspek penting, yaitu pemanfaatan limbah padat industri gula berupa bagasse dan sludge dengan pengomposan campuran (Co-composting), mengetahui pengaruh teknik aerasi terhadap perubahan nilai C/N pada proses co-composting, dan mengetahui pengaruh formulasi bagasse dengan sludge terhadap perubahan nilai C/N pada proses co-composting .

Metode dan teknik pengomposan yang digunakan dalam proses co-composting bagasse dan sludge dilakukan dengan sistem aerated static pile (sistem aerasi tanpa pembalikan tumpukan). Perlakuan aerasi yang dirancang berupa pemberian aerasi secara aktif menggunakan bantuan compressor (blower) dan sebagai perbandingan perlakuan, aerasi yang lain menggunakan aliran udara secara alami (aerasi pasif). Sistem pengomposan dilakukan dalam reaktor termodifikasi, agar kondisi bahan pengompos terjaga dari faktor eksternal yang tidak diinginkan. Faktor aerasi dilakukan dengan dua taraf, yaitu perlakuan aerasi aktif dan pasif, sedangkan faktor formulasi dilakukan dengan tiga taraf, yaitu 0%, 25%, dan 50% sludge. Proses pengomposan bahan campuran dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan aerasi aktif selama satu minggu. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan perbandingan antara pengaruh formulasi dan aerasi terhadap perubahan nilai C/N. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan (co-composting) yaitu kandungan nilai C/N, pengaruh teknik aerasi, kandungan air, suhu, dan keasaman (pH) serta pengamatan tambahan terhadap ukuran partikel dan porositas. Pengujian parameter proses pengomposan yang paling utama diuji adalah nilai C/N yang didapatkan dari analisa total kadar karbon (C) dan total kadar nitrogen (N) dalam bahan kompos. Selain itu dilakukan analisa terhadap suhu (setiap hari), keasaman (pH), dan kadar air.

(4)

standar). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan formulasi yang seimbang antara campuran bagasse dengan sludge memberikan perubahan yang cukup baik dibandingkan formulasi 0% sludge dengan 25% sludge. Hasil analisa menggunakan rancangan percobaan acak lengkap menunjukkan bahwa faktor aerasi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai C/N. Hal tersebut diakibatkan kurangnya jumlah oksigen yang dialirkan dan waktu aerasi aktif yang singkat. Jumlah banyaknya oksigen yang masuk akan mempermudah aliran oksigen ke dalam bahan, sehingga meningkatkan jumlah mikroorganisme dekomposer. Parameter uji lainnya juga mendukung terhadap proses pengomposan, yaitu pada faktor suhu menunjukkan hasil peningkatan (fase aktif) yang cukup tinggi pada periode hari ke-1 hingga hari ke-30 mencapai sekitar 30-39 oC, lalu dilanjutkan pada trend yang relatif sama (fase pematangan). Fase aktif merupakan fase ketika mikroorganisme beraktivitas mengeluarkan energi cukup banyak (mesofilik) dan konsumsi oksigen tinggi, sehingga membantu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Faktor lain yang mendukung proses dekomposisi bahan organik berupa bagasse dan sludge adalah kadar keasaman (pH), ukuran partikel, serta porositas (rongga tumpukan kompos). Dari data dan pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keasaman (penurunan nilai pH) hingga mencapai pH 4 pada formulasi 0% sludge baik aerasi aktif maupun aerasi pasif, sedangkan pada formulasi 50% sludge memiliki kestabilan pH yang berkisar antara 6.5-7.5. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya pengaruh formulasi yang signifikan terhadap keasaman bahan. Faktor porositas dan ukuran partikel memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan C/N co-composting bagasse dengan sludge. Hal ini terbukti ketika dibandingkan dengan bahan lain seperti blotong dan abu ketel yang memiliki ukuran partikel dan porositas lebih kecil.

(5)

CO-COMPOSTING BAGASSE DENGAN SLUDGE LIMBAH

INDUSTRI GULA MENGGUNAKAN TEKNIK AERASI

DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI C/N

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

ADI SETIAWAN

F34070089

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Co-CompostingBagasse dengan Sludge Limbah Industri Gula Menggunakan Teknik Aerasi dan Pengaruhnya Terhadap Nilai C/N

Nama : Adi Setiawan

NIM : F34070089

Menyetujui,

Pembimbing I,

(Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng) NIP 19630805 199002 1001

Pembimbing II,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 1962 1009 198903 2001

Tanggal Lulus : 8 Agustus 2011

Mengetahui : Ketua Departemen,

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Co-Composting Bagasse dengan Sludge Limbah Industri Gula Menggunakan Teknik Aerasi dan Pengaruhnya Terhadap Nilai C/N adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari tulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang Membuat Pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Adi Setiawan, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

BIODATA PENULIS

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan judul Co-CompostingBagasse

dengan Sludge Limbah Industri Gula Menggunakan Teknik Aerasi dan Pengaruhnya Terhadap Nilai C/N” ini dengan penuh semangat dan kemudahan. Pelaksanaan penelitian ini sejak bulan Februari sampai Mei 2011 di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan Teknologi Industri Pertanian IPB. Terlaksananya penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari jasa semua pihak yang sudah membantu, mendukung, dan memotivasi penulis hingga skripsi ini diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang membantu dan mendukung terlaksananya penelitian dan penyusunan skripsi ini, yaitu kepada :

1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku dosen pembimbing akademik utama atas bimbingannya selama ini.

2. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku dosen pembimbing ke-2 atas bimbingan dan dukungannya selama ini.

3. Seluruh staf dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB atas bantuan dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian.

4. Ibu dan Bapak yang telah mendo’akan dan mendukung secara materil serta moril terlaksananya penelitian dan penyusunan skripsi ini.

5. Teman-teman yang telah membantu baik secara moril ataupun materil dan tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga besar harapan penulis mendapatkan kritik dan saran yang membangun agar menghasilkan tulisan yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan di bidang teknik dan manajemen lingkungan industri dan bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2011

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. KARAKTERISTIK BAHAN ORGANIK INDUSTRI GULA ... 4

B. TEKNOLOGI PENGOMPOSAN... 8

C. PROSES PENGOMPOSAN ... 11

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGOMPOSAN ... 16

E. KARAKTERISTIK DAN MUTU KOMPOS ... 25

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A. BAHAN DAN ALAT ... 27

B. METODE PENELITIAN ... 27

C. RANCANGAN PERCOBAAN ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. KARAKTERISASI DAN FORMULASI BAHAN BAKU ... 34

B. PERUBAHAN SELAMA CO-COMPOSTING ... 36

C. MUTU HASIL CO-COMPOSTING ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. KESIMPULAN ... 50

B. SARAN... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi bagasse PG Jatitujuh ... 4

Tabel 2. Komponen penyusun sabut bagasse ... 5

Tabel 3. Komponen bagasse di PG Jatitujuh (pengujian pendahulu) ... 5

Tabel 4. Pemanfaatan bagasse periode 2010 ... 6

Tabel 5. Komposisi 10 % fraksi anorganik sludge ... 7

Tabel 6. Komposisi lumpur buangan (sludge) di PG Jatitujuh ... 7

Tabel 7. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan ... 14

Tabel 8. Populasi mikroba selama proses pengomposan aerobik ... 15

Tabel 9. Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan... 17

Tabel 10. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen, dan nilai C/N ... 18

Tabel 11. Kadar air pengomposan beberapa jenis bahan organik ... 22

Tabel 12. Karakteristik kompos ... 25

Tabel 13. Tiga taraf formulasi co-composting bagasse dengan sludge ... 28

Tabel 14. Karakteristik bahan baku co-composting dan hasi analisa bahan segar... 35

Tabel 15. Hasil analisa perbandingan nilai C dan N dalam bahan co-composting ... 40

Tabel 16. Hasil analisa parameter mutu kompos dari hasil co-composting... 47

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses penggilingan tebu menjadi bagasse ... 5

Gambar 2. Contoh pengomposan dengan teknik windrowcomposting ... 10

Gambar 3. Aerated static pile ... 10

Gambar 4. Aerated compost bins ... 11

Gambar 5. Proses umum pengomposan limbah padat organik... 13

Gambar 6. Perubahan suhu dan jumlah mikroba mesofilik dan termofilik selama proses pengomposan ... 15

Gambar 7. Skema proses siklus nitrogen ... 18

Gambar 8. Skema proses fiksasi nitrogen ... 19

Gambar 9. Langkah awal proses co-compostingbagasse dengan sludge ... 28

Gambar 10. Diagram alir co-compostingbagasse dengan sludge limbah industri gula ... 30

Gambar 11. Reaktor termodifikasi co-composting ... 31

Gambar 12. Skema reaktor co-composting termodifikasi pada aerasi aktif ... 31

Gambar 13. Komponen dalam penerapan teknik aerasi ... 32

Gambar 14. Perubahan kadar karbon (C) organik dalam bahan co-composting ... 36

Gambar 15. Perubahan kadar nitrogen (N) dalam bahan co-composting ... 36

Gambar 16. Perubahan nilai C/N co-composting ... 37

Gambar 17. Perubahan suhu selama proses co-composting ... 37

Gambar 18. Perubahan kadar air co-composting ... 38

Gambar 19. Perubahan nilai pH co-composting ... 38

Gambar 20 Perubahan nilai C/N co-composting pada blotong ... 41

Gambar 21 Perubahan nilai C/N co-composting pada abu ketel ... 42

Gambar 22 Pengukuran suhu pada reaktor co-composting ... 43

Gambar 23 Penampakan fisik bahan baku ... 46

Gambar 24 Hasil pengujian terhadap nilai C/N bahan akhir co-composting ... 47

Gambar 25 Hasil pengujian terhadap nilai pH bahan akhir co-composting ... 48

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisis parameter uji co-composting ... 55

Lampiran 2. Standar kualitas kompos (SNI 19-7030-2004) ... 57

Lampiran 3. Hasil olah data menggunakan software SPSS ... 58

(15)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gula dan hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Menurut data statistik Indonesia tahun 2002, luas tanaman tebu di Indonesia 395,399.44 ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 99,383.8 ha, Pulau Jawa seluas 265,671.82 ha, Pulau Kalimantan seluas 13,970.42 ha, dan Pulau Sulawesi seluas 16,373.4 ha. Diperkirakan dari setiap hektar tanaman tebu menghasilkan bagasse sebanyak 100 ton dalam proses pengolahan menjadi gula. Potensi bagasse nasional yang ditimbulkan industri pengolahan tebu dihitung dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Fauzi 2005).

Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu industri penghasil tanaman tebu yang cukup besar di Pulau Jawa dan industri pangan yang menghasilkan limbah hasil kegiatan produksi yang relatif banyak. Limbah yang dihasilkan pabrik gula didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil). Hal ini erat kaitannya dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan merupakan bahan-bahan organik. Limbah yang dihasilkan di pabrik gula terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula berupa limbah cair, limbah padat, limbah gas, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Jumlah limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi gula relatif banyak. Limbah padat pabrik gula pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat dimanfaatkan kembali dan limbah padat yang tidak dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Proses produksi gula ini menghasilkan beberapa limbah padat yaitu ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, sludge, sisa pucuk dan daun tebu, kerak nira dan gula,dan limbah domestik.

Pemanfaatan dan penggunaan kembali limbah padat dari proses produksi gula masih belum ditangani secara optimal, sedangkan ketersediaan limbah padat tersebut terus bertambah seiring dengan berjalannya proses produksi. Limbah padat tersebut terutama adalah bagasse dan sludge. Bagasse atau ampas tebu merupakan limbah padat produksi gula (hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan) yang jumlahnya melimpah. Bagasse berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Rendemen bagasse mencapai sekitar 30-40 % dari tebu yang masuk ke penggilingan. Pemanfaatan bagasse di pabrik gula secara umum dilakukan dengan cara langsung mengirimnya ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai umpan pembakaran dan sisanya belum ditangani dengan baik. Penanganan bagasse di beberapa pabrik gula masih belum teralokasikan secara optimal, masih banyak bagasse yang melimpah tersisa di bagasse house setiap kali produksi. Hal tersebut merupakan salah satu masalah yang cukup serius jika tidak ada penanganan atau pemanfaatan khusus selain sebagai bahan bakar boiler atau dijual.

(16)

produksi gula dan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dengan memberikan sentuhan teknologi agar memiliki value added. Pengolahan limbah sludge memerlukan biaya yang mahal, sedikitnya 50 % dari biaya pengolahan air limbah dapat tersedot untuk mengatasi limbah sludge yang terjadi dan tersisa. Akibatnya, di PG Jatitujuh limbah sludge ini langsung dibuang ke areal kebun atau ditimbun di TPA (tempat pembuangan akhir) dan sludge drying bed. Menurut Kristanto (2002) pembuangan dan penanganan sludge dengan cara seperti ini (land filling) dapat berakibat buruk terhadap kondisi air dan tanah karena dapat terjadi infiltrasi logam berat dalam sludge bersama-sama dengan leachate (lindi) yang terbentuk pada proses dekomposisi sampah. Selain itu, land filling juga beresiko dengan keterbatasan kapasitas, tempat yang cocok dan aman, biaya dan sebagainya.

Pemanfaatan sludge sebagai pupuk tanaman (kompos) merupakan salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk pengelolaan dan pemanfaatan limbah padat industri gula agar dapat bersinergi dengan lingkungan. Pengomposan dipandang sebagai alternatif pengolahan limbah padat dan sludge yang lebih baik dan cukup sederhana. Selain ramah lingkungan, pengomposan juga hanya membutuhkan biaya investasi yang relatif lebih murah dan dapat menguntungkan bagi perusahaan. Pengomposan dapat mengembalikan bahan organik dari sludge ke dalam tanah sehingga dapat membantu memulihkan kesuburan tanah atau lahan perkebunan. Bahan organik berperan penting dalam pengaturan kadar air, aerasi, pemantap struktur, sumber hara tanaman, meningkatkan kapasitas tukar kation, dan sumber energi aktivitas mikroorganisme dalam tanah. Menurut Wardhana (2004) bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga akan sangat bijaksana apabila buangan yang termasuk ke dalam kelompok ini tidak dibuang ke air atau lingkungan karena akan mencemari dan meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam air. Bertambahnya populasi mikroorganisme ini tidak menutup kemungkinan untuk ikut berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Limbah padat organik sebaiknya dikumpulkan untuk diproses menjadi pupuk buatan (kompos) yang berguna bagi tanaman. Pembuatan kompos ini berarti mendaur ulang limbah organik yang akan berdampak positif bagi lingkungan hidup manusia.

(17)

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemanfaatan limbah padat industri gula berupa bagasse dan sludge dengan pengomposan campuran (Co-composting)

2. Mengetahui pengaruh teknik aerasi terhadap perubahan nilai C/N pada proses pengomposan bagasse dengan sludge

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KARAKTERISTIK BAHAN ORGANIK INDUSTRI GULA

1.

Karaktersitik

Bagasse

Ampas tebu atau disebut dengan bagasse merupakan hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan. Bagasse berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan merupakan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Bagasse ini juga merupakan salah satu hasil samping (by product) dari penggilingan tebu yang berupa limbah termanfaatkan. Limbah padat pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah.

Berdasarkan hasil analisa kandungan bagasse di PG Jatitujuh, rendemen bagasse mencapai sekitar 30-40 % dari tebu yang masuk ke penggilingan serta dilakukan analisa pada unsur makro dan unsur mikro dalam bagasse. Analisis terhadap unsur makro dan unsur mikro bagasse di PG Jatitujuh ditunjukkan pada Tabel 1. Kandungan dan komposisi bagasse lain seperti pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi bagasse PG Jatitujuh

Analisis Kandungan (%)

Kalium (K2O) 0.11

Phospat (P2O5) 0.12

Kadar Nitrogen (N) 0.244

Pol 1.2 – 1.5

Bahan Kering (BK) 48 – 51.7

Kadar Air 51.4

Sumber : Hasil analisa di Laboratorium PUSLITAGRO PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh (2010)

Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu, setelah dilakukan pengolahan menjadi gula, menghasilkan bagasse sebanyak 100 ton. Maka potensi bagasse nasional yang dihasilkan industri pengolahan tebu dilihat dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Fauzi 2005).

Menurut Lavarack et al. (2002) bagasse merupakan hasil samping proses pembuatan gula tebu (sugarcane) mengandung residu berupa serat, minimal 50% serat bagasse diperlukan sebagai bahan bakar boiler, sedangkan 50% sisanya hanya ditimbun sebagai buangan yang memiliki nilai ekonomi rendah. Penimbunan bagasse dalam kurun waktu tertentu akan menimbulkan permasalahan bagi pabrik. Mengingat bahan ini berpotensi mudah terbakar, mengotori lingkungan sekitar, dan menyita lahan yang cukup luas untuk penyimpanannya.

(19)

Gambar 1. Proses penggilingan tebu menjadi bagasse (PG Jatitujuh, 2010)

Tanaman tebu yang berisi air yang digunakan sebagai bahan pembuat gula (nira) dan memiliki komposisi yang lebih kompleks yaitu sacharose, zat sabut atau fiber, gula reduksi, dan beberapa bahan lainnya. Sabut yang terkandung dalam ampas tebu (bagasse), tersusun dari beberapa komponen penyusun yaitu selulosa, pentosan, lignin, dan beberapa komponen lain seperti dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komponen penyusun sabut bagasse

Sumber : Brady (1991)

Setelah dilakukan pengujian pendahuluan terhadap bagasse dari PG Jatitujuh pada 7 Februari 2011, komponen dalam bagasse adalah sesuai Tabel 3.

Tabel 3. Komponen bagasse di PG Jatitujuh (pengujian pendahulu)

Senyawa Satuan Jumlah

Bahan Organik % 60.48

Karbon % 33.12

Nilai C/N - 165.6

Kalsium % 0.535

Magnesium % 0.014

Besi % 0.074

Alumunium % 0.083

Mangan % 0.007

Kadar Air % 36.26

pH - 4.90

Sumber : Hasil analisa Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB Div.Teknologi dan Manajemen Lingkungan No. 008/TIN/11 (2011)

Bagasse yang jumlahnya melimpah dan hampir 100% termanfaatkan untuk umpan boiler ternyata masih memiliki sisa yang cukup banyak dan melimpah. Selain itu, akan

Nama Bahan Jumlah (%)

Cellulose 45

Pentosan 32

Lignin 18

(20)

berdampak lanjut pada gangguan lingkungan dan membutuhkan lahan yang lebih luas dalam penampungannya. Pemanfaatan bagasse di PG Jatitujuh tahun 2010 sesuai data pada Tabel 4.

Tabel 4. Pemanfaatan bagasse periode 2010

Bulan Jumlah Ampas (Ku)

Sebagai Bahan Bakar

Boiler (Ku)

Persediaan (Ku)

Jumlah Ampas Keluar (Ku)

Sisa Persediaan

(Ku)

Januari - - 55838 - 55838

Februari - - 55838 - 55838

Maret - - 55838 1040 54798

April - - 54798 - 54798

Mei 167314 189154 -21480 - 32958

Juni 448523 377263 71260 - 71260

Total sampai Juni 1040 104218

Sumber : Laporan Praktek lapangan tentang Manajemen Lingkungan Industri di PG Jatitujuh (2010)

2.

Karaktersitik

Sludge

Hasil identifikasi di IPAL PG Jatitujuh tahun 2010 menghasilkan sludge dari sisa penanganan air limbah dan berupa lumpur-lumpur flok, sisa endapan lumpur dari clarifier, dan endapan lumpur aktif di biological treatment yang biasanya ditampung dan dikeringkan di sludge drying bed. Limbah berupa sludge mengandung berbagai jenis mikroorganisme dan senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme.

Sludge merupakan hasil samping dari proses pengolahan limbah sistem lumpur aktif. Produksi sludge setiap hari pada umumnya 10-50 % dari beban COD air limbah yang diolah (Supriyatno 1993). Sebelum dimanfaatkan, sludge harus diolah terlebih dahulu agar diperoleh hasil yang memuaskan diantaranya dengan proses penggumpalan melalui penampungan lumpur hasil pengendapan kemudian hasil penyaringan dibuang. Sludge dapat dibentuk menjadi suatu produk yang disebut dengan wet spray dengan kandungan kadar kering 2 %. Kadar air di dalam sludge dapat juga ditekan dengan filter press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40 %. Pemanfaatan sludge dapat ditambahkan dengan zat penstabil seperti CaO dengan dosis sebesar 5% dari berat kering (L’Hermite 1988).

Menurut Metcalf dan Eddy (1991) sludge akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Secara biologis, mikroorganisme tersebut terdiri dari kelompok procaryotic dan kelompok eukaryotic. Komposisi dasar sel terdiri atas sekitar 90% organik dan 10% anorganik. Fraksi kimiawi tersebut secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C5H7O2N atau perumusan yang lebih

kompleks sebagai C60H87O23N12P, sehingga kandungan C sebesar 53% dan C/N empiris 4.3.

(21)

Tabel 5. Komposisi 10 % fraksi anorganik sludge

Komponen Persentase (%)

P2O5 50

SO3 15

Na2O 11

CaO 9

MgO 8

K2O 6

Fe2O3 1

Sumber : Metcalf dan Eddy (1991)

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang pengomposan berbahan sludge dan serbuk gergaji oleh Arifuddin (2001) menyatakan bahwa karakteristik sludge di lapangan sangat bervariasi tergantung jenis industri, tambahan bahan kimia selama proses pengolahan, dan sistem dewatering dari sludge. Umumnya komposisi solid content dalam dewatered sludge sekitar 20-40 %, kandungan air 60-80 %, dan VSS (volatile suspended solid) sekitar 60-90 %, sedangkan kandungan C/N dengan basis biodegradible C sekitar 6-15 %.

Berdasarkan analisa pendahulu terhadap lumpur buangan (sludge) di Pabrik Gula Jatitujuh sebagai perbandingan memiliki beberapa karakteristik dan komponen yang berbeda sesuai komposisi sesuai Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi lumpur buangan (sludge) di PG Jatitujuh

Komponen Satuan Konsentrasi

Bahan Organik % 17.04

Nitrogen % 0.33

Karbon % 9.36

Nilai C/N - 28.36

Phospor (P2O5) % 0.01

Kalium (K2O) % 0.31

Kalsium (CaO) % 11.16

Alumunium % 4.03

Besi (Fe) % 4.12

Magnesium % 0.33

Mangan % 0.04

Kadar Air % 15.08

Ph - 7.83

(22)

B. TEKNOLOGI PENGOMPOSAN

1.

Pengomposan

(Co-composting)

Pengomposan adalah dekomposisi biologi dan stabilisasi dari bahan organik pada suhu yang tinggi sebagai hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980).

Co-composting adalah pengontrolan degradasi aerobik dari bahan organik menggunakan lebih dari satu bahan baku (sludge dan limbah padat organik). Sludge memiliki kadar air dan nitrogen yang tinggi untuk mendegradasi. Limbah padat organik memilki kandungan karbon organik yang tinggi dan memiliki karakteristik kekambaan yang baik, sehingga mempermudah sirkulasi dan aliran udara masuk ke dalam co-composting (Drescher et al. 2006).

Menurut Indrasti dan Wilmot (2001) kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme yang dapat berguna bagi tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, sehingga produksi tanah pertanian menjadi tinggi. Fungsi dari kompos selain memperkaya bahan organik, mempertinggi kemampuan penampungan air sehingga lebih banyak menyediakan air bagi tanaman, memperbaiki drainase, dan mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara tanah, sehingga zat hara tersebut tidak mudah larut atau terbawa arus pengairan. Indrasti (2004) menambahkan bahwa ada beberapa metode produksi yang dapat dilakukan dalam mengomposkan bahan organik, baik secara aerobik ataupun anaerobik. Proses pengomposan dapat dilakukan tanpa atau dengan bahan tambahan (cacing atau mikroorganisme). Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara, sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik.

Pengomposan merupakan peruraian bahan-bahan organik secara biologis dalam suhu termofilik (suhu yang tinggi) dengan hasil akhir yang berupa bahan yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan (Indriani 1999). Rinsema (1983) menambahkan bahwa pengomposan adalah proses untuk menghasilkan suatu produk dari berbagai campuran dalam bentuk mendekati sifat tanah yang banyak mengandung humus.

Proses pengomposan merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk dan bakteri patogen. Selama proses pengomposan suhu akan mencapai range pasteurization dari 50-70oC, sehingga bakteri patogen dari sludge (jika dihasilkan dari pengolahan limbah domestik atau municipal) akan mati (Metcalf dan Eddy 1991).

(23)

2.

Metode dan Teknik Pengomposan

Menurut Metcalf dan Eddy (1991) proses pengomposan dapat diklasifikasikan dalam dua sistem, yaitu sistem terbuka (unconfined process) dan sistem tertutup (confined process). Sistem terbuka terdiri atas metode windrow (turned windrow) dan aerated static pile (forced aeraction static windrow). Aerated static pile terdiri atas metode individual pile dan extended pile. Proses pengomposan sistem terbuka banyak dilakukan di USA. Tahap dasar dari kedua proses adalah serupa, hanya teknologi prosesnya yang berbeda. Pada metode windrow, kontak oksigen dengan tumpukan berlangsung secara konveksi alami dengan pembalikan, sedangkan aerated static pile dilakukan dengan pengaliran udara.

Sistem aerated static pile dikembangkan dalam rangka mengeliminasi masalah kebutuhan lahan dan masalah sulit lain pada sistem windrow. Adapun proses sistem aerated static pile mencakup beberapa tahapan proses yaitu pencampuran sludge dengan bulking agent, pembentukan tumpukan massa kompos, proses pengomposan, pengayakan dan pemisahan campuran kompos, dan curring andstorage (penyimpanan). Penggunaan dan pengaliran udara tekan memberikan kemudahan operasional dan ketepatan pengaturan kandungan oksigen dan suhu di dalam tumpukan yang tidak akan dijumpai dalam sistem windrow. Hal ini menunjukkan bahwa porositas sangat berperan dan diatur dengan penggunaan bulking agent yang akan didaur ulang setelah pengomposan sempurna. Meskipun porositas memegang peranan pada proses pengomposan sistem aerated pile, pengaturan kadar air juga tetap masih memegang peranan, yaitu antara 50-60 %. Pada kondisi yang lebih terkendali tersebut maka waktu pengomposan relatif lebih cepat dan kemungkinan anaerobik juga dapat dicegah, sehingga resiko bau dapat dikurangi (Metcalf dan Eddy 1991).

Lebih lanjut Metcalf dan Eddy (1991) menambahkan bahwa sistem aerated pile pada tahap start-up, suhu rata-rata dapat mencapai 70oC dan setelah kondisi stabil tercapai suhu minimum rata-rata mencapai 55oC. Pada konstruksi penumpukan yang benar, baik curah hujan maupun kondisi suhu lingkungan tidaklah berpengaruh terhadap operasional pengomposan. Dewasa ini aplikasi sistem pengomposan sludge terfokus pada sitem aerated pile. Aplikasi untuk pengolahan undigested sludge memberikan keuntungan yang nyata dibandingkan sistem windrow. Beberapa keuntungan lain sistem aerated pile yaitu mengatasi masalah bau dengan lebih baik, proses inaktivasi bakteri patogen lebih efektif, keseragaman suhu terhadap seluruh sludge lebih terjamin, penggunaan lahan lebih sedikit, dan total biaya relatif lebih murah.

Proses pengomposan terdiri atas pengomposan aerob dan pengomposan anaerob. Proses pengomposan aerob kurang lebih dua per tiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2

dan sisanya satu per tiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Tetapi apabila suhu melampaui 65-70oC, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme akibat panas yang tinggi. Pada proses pengomposan anaerobik penguraian bahan organik terjadi pada kondisi anaerob (tanpa oksigen). Pada tahap awal bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dan lain-lain. Proses selanjutnya bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, amonia, CO2, dan hidrogen. Pada proses aerob energi yang dilepaskan lebih besar (484-674

(24)

Menurut Isroi (2008) metode atau teknik pengomposan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat teknologi yang dibutuhkan, yaitu pengomposan dengan teknologi rendah (Low – Technology) pengomposan dengan teknologi sedang (Mid Technology) dan pengomposan dengan teknologi tinggi (High – Technology).

a) Pengomposan dengan Teknologi Rendah

Teknik pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow Composting. Kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang disusun sejajar. Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kadar air kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar dan lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan. Contoh pengomposan teknik windrow composting seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh pengomposan dengan teknik windrow composting

b) Pengomposan dengan Teknologi Sedang

Pengomposan dengan teknologi sedang terdiri atas aerated static pile (gundukan kompos dengan aerasi statis) dan aerated compost bins (bak/kotak kompos dengan aerasi). Aerated static pile (Gambar 3) merupakan tumpukan atau gundukan kompos (seperti windrow system) dengan memberikan aerasi menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos ditutup dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3 – 5 minggu.

Gambar 3. Aerated static pile

(25)

Gambar 4. Aerated compost bins

c) Pengomposan dengan Teknologi Tinggi

Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus untuk mempercepat proses pengomposan. Terdapat panel-panel untuk mengatur kondisi pengomposan dan lebih banyak dilakukan secara mekanis. Contoh-contoh pengomposan dengan teknologi tinggi yaitu rotary drum composters, box atau tunnel composting system, dan mechanical compost bins.

C. PROSES PENGOMPOSAN

1.

Prinsip Dasar Proses Dekomposisi Bahan Organik

Kompos adalah hasil dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba (bakteria, actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobik (Crawford 2003). Menurut Haug (1980) dekomposisi adalah proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tanaman secara fisik maupun kimia yang dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme menjadi zat hara nutrisi untuk tanaman. Soepardi (1983) menambahkan bahwa proses dekomposisi bahan organik sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu lingkungan dan kelembaban dapat merangsang kegiatan metabolisme sehingga mempercepat laju mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2, air, dan nutrien).

Djaja (2008) menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengomposan adalah pencampuran bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung Nitrogen (N). Bahan baku kompos juga harus memiliki karakteristik yang khas agar dapat dibuat kompos. Pada umumnya bahan baku yang mengandung karbon kering sangat baik untuk dijadikan kompos. Namun, bahan baku tersebut harus dicampur dengan bahan lain yang memiliki kualitas berbeda. Higa (1990) menambahkan bahwa berbagai substansi terbentuk saat proses dekomposisi yang akhirnya dipecahkan oleh mikroorganisme. Proses dekomposisi berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang kompleks berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana atau senyawa anorganik dan terjadi mineralisasi.

(26)

meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba tersebut membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya dari pada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak (Isroi 2007). Menurut Herdiyantoro (2010) dekomposisi atau pengomposan pada prinsipnya adalah proses biologi untuk menguraikan bahan organik menjadi humus oleh mikroorganisme menggunakan komponen residu sisa tanaman sebagai substrat untuk memperoleh energi yang dibentuk melalui oksigen senyawa organik dengan produk utama CO2 (lepas ke alam) dan

karbon (untuk sintesis sel baru).

Menurut Murbandono (1983) dan Indriani (1999) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan terjadi proses perubahan yaitu :

a) Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air

b) Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO2, dan air

c) Peningkatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama nitrogen (N) disamping P, K, dan unsur lainnya yang terlepas kembali ketika mikroorganisme tersebut mati

d) Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanah.

2.

Mekanisme Proses Pengomposan

Menurut Indrasti (2007) setelah bahan baku kompos masuk ke proses pengomposan, maka bahan tersebut berada pada fase aktif kompos yang di dalamnya terjadi dekomposisi aktif mikrobial. Perombakan mikroba diikuti dengan kenaikan suhu dan terbunuhnya bakteri patogen yang terdapat dalam kompos. Selama fase aktif kompos terdapat beberapa parameter yang harus dikontrol dan dikendalikan.

Proses pengomposan (Gambar 5) berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada kondisi ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air, dan panas. Setelah sebagian besar bahan

(27)

pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti pada asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Isroi 2007).

Gambar 5. Proses umum pengomposan limbah padat organik (Rynk 1992)

Menurut Setyorini et al. (2006) menyatakan bahwa bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Nilai C/N merupakan perbandingan antara unsur karbon (C) dan nitrogen (N). Nilai C/N tanah berkisar antara 10-12 dan apabila bahan organik mempunyai nilai C/N mendekati atau sama dengan nilai C/N tanah, sehingga bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai nilai C/N tinggi. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan nilai C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (< 20). Semakin tinggi nilai C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna. Secara alami proses peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob (dengan O2) maupun anaerob (tanpa O2). Proses

penguraian aerob dan anaerob secara garis besar sebagai berikut :

Bahan organik + O2 H2O + CO2 + hara + humus + energi

Bahan organik CH4 + hara + humus

Proses perombakan tersebut akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia N, P, dan K. Penguraian bisa berlangsung cepat apabila perbandingan kadar C-organik : N : P : K dalam bahan terurai setara 30 : 1 : 0.1 : 0.5. hal ini disebabkan N, P, dan K dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme sel mikroba dekomposer.

Menurut Herdiyantoro (2010) proses perombakan bahan organik secara aerob terjadi seperti reaksi berikut :

Gula (CH2O)x + O2 xCO2 + H2O + Energi

(selulosa, hemiselulosa)

N-organik (protein) NH4 +

NO2

-

NO3 -

+ Energi Mikroba aerob

N, P, K

(28)

Sulfur Organik (S) + xO2 SO4-2 + Energi

Fosfor Organik H3BO3 Ca(HPO4)

(Fitin, lesitin) (Asam borat) (Kalsium hidrofosfat)

Reaksi utuh :

Aktivitas mikroorganisme

Bahan organik CO2 + H2O + hara + humus + Energi

(484-674 Kkal/mol glukosa)

Proses perombakan bahan organik secara anaerob seperti pada reaksi perombakan berikut :

Bakteri penghasil asam Methanomonas

(CH2O)x xCH3COOH CH4 + CO2

N-organik NH3

2H2S + CO2 (CH2O)x + S + H2O + Energi (26 kkal/mol glukosa)

Menurut Isroi (2007) proses pengomposan tergantung pada tiga aspek penting yaitu karakteristik bahan yang dikomposkan, aktivator pengomposan yang dipergunakan, dan metode pengomposan yang dilakukan. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan

Kelompok Organisme Organisme Jumlah Sel/g kompos

Mikroflora

Bakteri 108 -109

Aktinomicetes 105– 108

Kapang 104 - 106

Mikrofauna Protozoa Mikrofauna Protozoa 104 - 105

Makroflora Jamur tingkat tinggi

Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut, kutu, dll Sumber : Isroi (2007)

Herdiyantoro (2010) menambahkan bahwa proses pengomposan terdiri atas tiga tahapan dalam kaitannya dengan suhu yaitu mesofilik, termofilik, dan pendinginan.

a) Mesofilik

Merupakan tahap awal dan memiliki suhu proses naik di sekitar 40oC karena adanya bakteri dan fungi pembentuk asam

b) Termofilik

(29)

c) Pendinginan

 Terjadi penurunan aktivitas mikroba dan penggantian mikroba termofilik ke mesofilik

 Sel mikroba yang mati merupakan sumber substrat bagi mikroba yang hidup. Dinding sel fungi terdiri atas selulosa, kitin, dan chitosan. Dinding sel bakteri terdiri atas N-acetylglucosamin dan N-acetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan yang merupakan substrat yang baik bagi mikroba lain.

 Perombakan dalam penyusunan asam humat dan stabilisasi pH masih terus berlangsung. Perubahan suhu dan jumlah mikroba dalam proses pengomposan ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perubahan suhu dan jumlah mikroba mesofilik dan termofilik selama proses pengomposan (Isroi 2007)

Menurut Burford (1994), Finstein (1992), dan McKinley et al. (1985) aktivitas mikroba pada rentang suhu 35-45oC sangat banyak. Pada kenaikan suhu akhir 45oC, kondisi ini kurang menguntungkan untuk bakteri mesofilik dan mulai mendukung bakteri termofilik. Hasil dari peningkatan aktivitas mikroba termofilik menyebabkan suhu tumpukan kompos meningkat sampai 65-70oC. Adapun populasi mikroba selama proses pengomposan secara aerobik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Populasi mikroba selama proses pengomposan aerobik

Mikroba Suhu Mesofilik (<40oC)

Termofilik (40-70oC)

Mesofilik (70oC – Pendinginan)

Jumlah Spesies yang Diidentifikasi

Bakteri

Mesofilik 108 106 1011 6

Termofilik 104 109 107 1

Actinomyces

Termofilik 104 108 105 14

Fungi

Mesofilik 106 103 105 18

Termofilik 103 107 106 16

(30)

Golueke (1977) memperkirakan bahwa paling sedikit 80-90% aktivitas mikroba dalam proses pengomposan disebabkan oleh bakteri. Populasi bakteri tersebut tergantung pada bahan baku, kondisi lokal, dan amandemen yang digunakan. Burford (1994) mengamati bahwa pada proses awal pengomposan banyak mengandung berbagai macam spesies sperti Streptococcus sp., Vibrio sp., dan Bacillus sp. dengan setidaknya ada 2000 turunan. Corominas et al. (1987) mempelajari bahwa mikroorganisme dalam proses pengomposan limbah pertanian, diidentifikasi spesies yang termasuk secara umum terdiri atas Bachillus, Pseudomonas, dan Arthrobacter semuanya dalam fase mesofilik. Pada fase termofilik, Strom (1985) mengidentifikasi 87% bakteri termofilik yang terdiri atas Bacillus sp. seperti B.subtilis, B. Stearothermophilic, dan B. licheniformis. Golueke (1977) menambahkan bahwa spesies dari Actinomycetes terdiri atas Micromonospora, Streptomyces, dan Actinomyces secara teratur dapat ditemukan pada bahan pengomposan. Epstein (1997) juga menambahkan bahwa pada bahan pengompos terdapat beberapa jenis fungi yaitu Aspergillus, Penicillin, Fusarium, Trichoderma, dan Chaetomonium.

Menurut Day dan Shaw (2001) proses pengomposan pada prinsipnya merupakan konversi biologis dari biodegradasi bahan menjadi karbon dioksida (CO2) dan H2O.

Akibatnya, kadar karbon (C) yang ada dalam bahan pengompos akan tereduksi sejalan dengan proses pengomposan, sehingga akan menurunkan kandungan nilai C/N.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGOMPOSAN

Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan, yaitu nilai C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kandungan air (kelembaban), suhu, pH, kandungan hara, dan kandungan bahan-bahan berbahaya (Isroi 2008).

Menurut hasil penelitian Cahaya dan Nugraha (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan adalah kelembaban, konsentrasi oksigen, suhu, perbandingan C/N, derajat keasaman (pH), dan ukuran bahan. Mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme bekerja optimal. Kebutuhan oksigen dalam pembuatan kompos yaitu berkisar antara 10-18%. Suhu optimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk merombak bahan adalah 35-55°C. Perbandingan C/N yang optimum untuk proses pengomposan adalah berkisar antara 25-25. Derajat keasaman yang terbaik untuk proses pengomposan adalah pada kondisi pH netral yaitu berkisar antara 6-8. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik berkisar antara 1-7.5 cm.

(31)

Tabel 9. Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan

Sumber : Rynk (1992)

1.

Perbandingan C dan N (C/N)

Nilai perbandingan C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Pengomposan bergantung pada aktivitas mikroorganisme, sehingga dibutuhkan sumber karbon untuk menyediakan energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Perbandingan karbon nitrogen (C/N) yang ideal adalah sekitar 20-40 (CPIS, 1992).

Menurut Metcalf dan Eddy (1991) unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan satu bagian nitrogen atau nilai C/N sama dengan 30 dalam perbandingan berat. Proses pengomposan yang paling efisien mempersyaratkan kebutuhan nilai C/N antara 25-30 sebagai perbandingan yang paling ideal. Unsur C dalam rasio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon. Nilai C/N yang rendah atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan emisi dari nitrogen sebagai amoniak, sedangkan nilai C/N yang tinggi atau kandungan unsur N yang relatif kurang atau rendah akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lambat dan nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).

Nilai C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada nilai C/N di antara 30 - 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isroi, 2008).

Pada kompos yang mengandung nilai C/N rendah akan banyak mengandung amoniak (NH3) yang disebabkan oleh bakteri amoniak. Hal ini bisa dioksidasi lebih lanjut

menjadi nitrit dan nitrat yang mudah diserap oleh tanaman. Jika perbandingan C/N terlalu rendah juga akan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen mudah hilang ke udara (Harada et al. 1993).

Menurut Rao (1994) nitrat yang terdapat dalam kompos (dalam nitrogen total) dihasilkan dari proses nitrifikasi yang merupakan oksidasi enzimatis yang dilakukan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah aerasi, suhu, kelembaban, dan nilai C/N. Derajat keasaman (pH) ideal dalam proses nitrifikasi berjalan dengan baik adalah 6-7 dengan temperatur optimal 40oC. Hasil analisa FAO (1987) menghasilkan kandungan nitrogen dan nilai C/N pada beberapa bahan organik diantaranya

Kondisi Konsisi yang bisa diterima Ideal

Nilai C/N 20:1 s/d 40:1 25-35:1

Kelembaban 40 – 65 % 45 – 62 %

Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10%

Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi

Bulk Density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd

Nilai pH 5.5 – 9.0 6.5 – 8.0

(32)

limbah tebu memiliki nitrogen per berat kering sebesar 0.3 % dengan nilai C/N sebesar 150. Beberapa bahan organik lain disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Sumber bahan kompos, kandungan nitrogen, dan nilai C/N

Jenis Bahan Nitrogen per Berat Kering (%) Nilai C/N

Lumpur limbah 5-6 6

Rumput 2-4 8

Sisa tanaman hijauan 3-5 10-15

Eceng gondok 2.2-2.5 20

Jerami gandum 0.6 80

Daun-daunan 0.4-1.0 40-80

Limbah tebu 0.3 150

Serbuk Gergaji 0.1 500

Sumber : FAO (1987)

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat arang (C) sebagai sumber tenaganya. Selain itu membutuhkan zat lemas (N) sebagai sumber makanan dan nutrisi untuk pertumbuhan. Kadar unsur tersebut harus tersedia dalam bahan baku dan jumlah yang sesuai. Jumlah optimal C dan N yang dibutuhkan mikroorganisme bervariasi sesuai dengan jenis substrat dan organisme yang ada. Biasanya satu bagian N dengan 15-30 bagian C. Jika nilai C/N di bawah 15, nitrogen akan hilang oleh proses amonifikasi yang ditandai dengan adanya bau amonia. Reaksi pembakaran C dan O pada mikroorganisme akan menghasilkan panas dan karbon dioksida yang dilepas dalam bentuk gas, sedangkan N yang terurai akan ditangkap oleh mikroorganisme. Pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur N tersebut akan tetap tinggal dalam kompos dan akan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.

Adapun skema siklus nitrogen dalam proses dekomposisi bahan organik pada co-composting dapat dilihat pada Gambar 7 dan sekema proses fiksasi nitrogen dapat dilihat pada Gambar 8.

(33)

Gambar 8. Skema proses fiksasi nitrogen (Sitaresmi 2000)

2.

Ukuran Partikel

Menurut Isroi (2008) aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

Menurut Dalzell et al. (1987) ukuran partikel yang berukuran kurang dari 10 mm perlu dilakukan aerasi buatan, sedangkan ukuran partikel yang berukuran lebih besar dari 50 mm hanya diperlukan aerasi alami untuk suplai oksigen. Menurut Murbandono (1983) sampai batas tertentu semakin kecil ukuran potongan bahan, maka semakin cepat pula waktu pembusukannya. Hal ini karena semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk menyerang dan menghancurkan material-material tersebut. Walaupun demikian, jika pencincangan bahan terlalu kecil akan mengakibatkan timbunan mampat dan tidak terkena udara. Indrasti (2007) menambahkan bahwa proses pengomposan akan berjalan apabila bahan baku yang digunakan memiliki ukuran diameter yang seragam, yaitu antara 20 mm sampai dengan 50 mm. Ukuran partikel yang terlalu besar menyebabkan proses pengomposan berjalan lambat, sedangkan ukuran partikel yang terlalu kecil tidak sesuai untuk proses aerasi.

3.

Aerasi (Sirkulasi Udara)

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat adanya peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos (Isroi 2008).

(34)

mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan dan menimbulkan bau busuk. Indrasti (2007) menambahkan bahwa bau yang ditimbulkan dari beberapa tahap pengomposan, meliputi ketidakcukupan proses aerasi, nilai C/N yang rendah, dan suhu yang terlalu tinggi. Apabila proses tidak mendapatkan suplai oksigen yang sesuai akan terjadi proses anaerobik yang menghasilkan campuran senyawa berbau tidak sedap. Hal ini berbeda dengan proses pengomposan yang hanya menghasilkan karbon dioksida. Aerasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan udara pada sistem pengomposan. Aerasi dilakukan dengan beberapa cara yang berbeda tergantung dari sistem pengomposan yang digunakan, yaitu sistem pengadukan (agitation) di dalam wadah (windrow), tumpukan tetap yang teraerasi (force aeration), dan kombinasi pengadukan dengan tenaga misalnya aerated/agitated by system. Melalui ketiga sistem aerasi tersebut kebutuhan udara dalam sistem akan terpenuhi.

Pereira-Neto et al. (1991) menyatakan bahwa forced aeration adalah proses aerasi atau suplai oksigen ke dalam tumpukan kompos melalui udara yag ditekan ke dalam sistem. Sistem ini lebih efektif dibandingkan sistem pembalikan. Forced aeration dilakukan melalui fan berkapasitas tinggi dan head yang rendah (< 150 mm). Sistem aerasi ini terdiri atas 3 model, yaitu :

1. Blowing atau meniupkan udara ke dalam tumpukan bahan kompos (tekanan positif)

2. Sucking atau pengisapan oleh tumpukan bahan kompos (tekanan negatif) 3. Hybrid atau kombinasi antara peniupan dan pengisapan

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme dalam tumpukan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi. Jika tumpukan kekurangan oksigen, biasanya akan mengeluarkan bau. Jika ini terjadi maka sebaiknya dilakukan pembongkaran kembali tumpukan untuk memberikan oksigen pada tumpukan kompos.

Sistem aerasi kompos dapat berupa aerasi aktif atau aerasi pasif. Proses aerasi pasif kompos tidak menggunakan langkah pemberian suplai udara melalui pipa atau pori-pori bahan kompos. Aerasi aktif pada kompos memberikan aliran udara ke dalam bahan kompos melalui pipa. Keuntungan sistem aerasi aktif ini adalah waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan aerasi pasif (AESA 2001).

Kebutuhan udara oleh mikroorganisme ditentukan oleh tipe limbah yang diolah (bahan nutrisi atau ukuran partikel), suhu proses, tahapan proses, dan kondisi proses (kadar kelembaban dan strukturnya). Kebutuhan udara tersebut dapat diukur dengan alat laboratorium menggunakan respirometer. Sistem pengomposan menggunakan forced aeration dengan suhu udara dikendalikan melalui sistem umpan balik, membutuhkan udara yang lebih rendah dari kebutuhan udara yang disediakan. Pada tahap awal pengomposan menunjukkan kebutuhan udara yang lebih tinggi terdapat pada proses pendinginan dengan nilai kebutuhan udara mencapai 90% dari total kebutuhan udara yang diperlukan. Selain itu, pada beberapa kasus pengendalian temperatur ditentukan oleh suplai oksigen yang digunakan. Proses pemanasan dan pendinginan tetap menjadi perhatian utama. Hal ini disebabkan keberhasilan kedua proses tersebut menjadi indikator rata-rata oksigen yang masih terdapat dalam tumpukan kompos (Indrasti 2007).

(35)

secara berkala untuk meningkatkan aliran aerasi dan membangun porositas bahan. Proses pengomposan menggunakan aerasi pasif ini cenderung lambat dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan kompos matang dan dimungkinkan akan menimbulkan bau karena laju aerasi rendah.

4.

Porositas (Susunan Bahan)

Menurut Isroi (2008) porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan menyuplai oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

Ukuran partikel bahan menentukan ukuran dan volume pori-pori bahan. Jika ukuran bahan bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah. Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang merupakan masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan dari suatu bahan. Semakin halus suatu partikel, semakin luas permukaan yang terbuka terhadap kegiatan mikroorganisme (Gotass 1956).

5.

Kandungan Air

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi 2008).

Menurut Indrasti (2007) nilai kelembaban yang tepat pada kompos akan menyediakan kondisi yang sesuai bagi proses biologis yang terjadi dalam pengomposan. Kompos yang terlalu basah menyebabkan penghambatan proses aerasi dan proses akan berlangsung anaerobik, sedangkan kompos yang terlalu kering dekomposisi tidak akan terjadi. Selama pengomposan, nilai kelembaban yang diharapkan yaitu 55% per berat kompos, dengan batas atas 60% dan batas bawah 45%. Indriani (1999) menambahkan kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik bila kadar airnya mencapai 40-60 %. Kadar air yang terlalu tinggi mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi sehingga tercipta kondisi anaerob. Kadar air terlalu rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga dekomposisi bahan organik oleh mikrorganisme tidak optimal (kondisi perlu dijaga).

(36)

Kelebihan kandungan air pada tumpukan kompos akan menghambat sirkulasi oksigen melalui rongga, sedangkan tumpukan kompos terlalu kering dapat mengakibatkan kematian mikroorganisme pendegradasi. Kedua kondisi tersebut membatasi perkembangbiakan mikroorganisme sehingga proses pengomposan akan berjalan lambat (CPIS 1992).

Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor kadar air. Limit terendah dari aktivitas bakteri adalah sekitar 12-15 %, walaupun sebenarnya kadar air lebih kecil dari 40 % merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum. Idealnya kadar air antara 50-60 %. Jika kadar air campuran lebih besar dari 60 % maka integritas struktural yang baik juga tidak akan tercapai. Selama proses pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan agar kondisi air pada kondisi optimum tetap terjaga selama proses pengomposan (Richard 1996).

Menurut Golueke (1977) kadar air bahan kompos yang ideal untuk berbagai jenis bahan organik berbeda-beda tergantung jenisnya. Kadar air pengomposan beberapa jenis bahan organik disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Kadar air pengomposan beberapa jenis bahan organik

Jenis Bahan Kadar Air %

Jerami 50-60

Kayu 75-90

Kertas 55-65

Limbah basah 50-75

Sampah kota 55-65

Pupuk kandang 55-65

Sumber : Golueke (1977)

6.

Suhu

(37)

Indriani (1999) menyatakan bahwa jika suhu terlalu tinggi mengakibatkan mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal. Tchobanoglous et al. (1993) menambahkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam sistem pengomposan terbagi ke dalam tiga bagian berdasarkan temperaturnya yaitu cryophiles or psychrophiles (0-25oC) mesophiles (25-45oC) dan thermopiles (>45oC).

Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas. Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60oC. Di bawah 32oC, proses berlangsung lambat dan di atas 60oC, mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, gundukan kompos dapat lebih besar untuk minimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65oC (Richard 1996).

Menurut Indrasti (2007) pada suatu sistem pengomposan, massa kompos mengalami perubahan fisik, kimia, maupun biologi. Perubahan tersebut salah satunya menyebabkan perubahan dan perbedaan suhu terhadap waktu. Pada sistem pengomposan dengan tumpukan tetap teraerasi, terdapat perbedaan suhu antara massa yang di bagian dasar dan bagian permukaan. Suhu yang diperlukan pada masing-masing tahapan proses pengomposan berbeda-beda. Sebagai contohnya, pada proses sanitasi suhu yang tinggi membuat proses berjalan efektif, sedangkan pada proses stabilisasi suhu yang tinggi justru menghambat proses. Rentang suhu yang dibutuhkan pada masing-masing tahapan proses terlihat seperti berikut :

Suhu > 55oC : dapat memaksimumkan proses sanitasi Suhu 45-55oC : dapat memaksimumkan proses biodegradasi

Suhu 35-40oC : dapat memaksimumkan keragaman mikroba yang ada

7.

Nilai pH (Derajat Keasaman)

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. Nilai pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Nilai pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. Nilai pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Isroi 2008).

(38)

menurunkan nilai pH dan tidak menyebabkan penurunan pH terlalu rendah. Setyorini et al. (2006) menambahkan bahwa bahan organik dengan nilai pH 3-11 dapat dikomposkan. Nilai pH optimum sekitar 5.5 – 8.0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH sedikit asam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kehati-hatian saat menambahkan kapur pada saat pengomposan. Pada awal proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju netral. Variasi pH yang ekstrem selama proses pengomposan menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi.

Faktor yang mempengaruhi hasil pengomposan adalah pH. Nilai pH optimal yang berlangsung saat pengomposan adala 6-8. Nilai pH yang terlalu tinggi menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah

Gambar

Tabel 13. Tiga taraf formulasi co-composting bagasse dengan sludge (Basis 5 kg)
Gambar 10. Diagram alir co-composting bagasse dengan sludge limbah industri gula
Gambar 13. Komponen dalam penerapan teknik aerasi : (a) selang dan pipa termodifikasi, (b) proses aerasi aktif, (c) compressor, dan (d) Flowmeter
Gambar 14. Perubahan kadar karbon (C) organik dalam bahan co-composting : (a) aerasi
+7

Referensi

Dokumen terkait